Anda di halaman 1dari 44

▬▬▬ MENUJU DEMOKRASI

TERPIMPIN ▬▬▬
Siapakah tokoh di balik Demokrasi Terpimpin? Bagaimanakah kondisi negara setelah
berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui proses peralihan demokrasi
di Indonesia ke bentuk Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin adalah bentuk demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan


Indonesia setelah era Demokrasi Liberal. Demokrasi Terpimpin adalah salah satu
gagasan dari Ir. Soekarno sebagai solusi untuk keharmonisan lembaga-lembaga negara,
karena Demokrasi Liberal yang adalah produk Barat tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa. Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia berlangsung setelah keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Diterbitkannya Dekrit Presiden kemudian disertai dengan
beberapa kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh Ir. Soekarno, di antaranya:
• Pembentukan MPRS
Sesuai dengan isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden Soekarno memiliki
kewenangan untuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Seluruh anggota MPRS tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan umum, tetapi
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan 3 syarat, yaitu:
a) Setuju kembali kepada UUD 1945.
b) Setia kepada perjuangan Republik Indonesia.
c) Setuju kepada manifesto politik.
Dalam masa kerjanya, MPRS melakukan beberapa keputusan melalui sidangnya, yakni:
1) Penetapan manifesto politik RI sebagai bagian dari Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
2) Penetapan Garis-Garis Besar Pembangunan Nasional Berencana Tahap I.
3) Menetapkan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
• Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) **
DPAS dibentuk oleh Presiden Soekarno dan diketuai langsung oleh
Presiden dengan wakil ketuanya, Ruslan Abdul Gani.
• **Pembentukan Kabinet Kerja
Kabinet Kerja dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri dan Ir.
Djuanda sebagai Menteri Pertama.
• Pembentukan Front Nasional
Front Nasional adalah lembaga ekstra parlementer yang dibentuk dengan tujuan:
a) Menyelesaikan revolusi nasional Indonesia.
b) Melaksanakan pembangunan semesta nasional.
c) Mengembalikan Irian Jaya ke wilayah Republik Indonesia.
5. Penataan Organisasi Hankam dan Penyederhanaan Partai Politik
Penataan organisasi pertahanan/keamanan ditandai dengan digabungkannya TNI dan
Polri ke dalam satu organisasi, yakni ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Sementara untuk partai-partai politik yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan
akan dibubarkan.
6. Penyederhanaan Ekonomi
Melakukan devaluasi mata uang rupiah, yaitu penurunan nilai mata uang yang beredar
di masyarakat atau dikenal juga dengan sebutan sanering. Presiden juga membentuk
beberapa lembaga ekonomi, seperti Depernas (Dewan Perancang Nasional) dan Badan
Musyawarah Pengusaha Swasta Nasional.

Di awal bergulirnya sistem Demokrasi Terpimpin, sebagian besar masyarakat masih


memandangnya sebagai hal positif. Pandangan ini dilatarbelakangi beberapa hal, yaitu:
a) Pada masa Demokrasi Liberal, sistem pemerintahan terpecah belah karena masing-
masing individu hanya mementingkan kekuasaan partainya di atas kepentingan rakyat.
b) Kembalinya konstitusi ke UUD 1945 yang dinilai lebih jelas bagi kelangsungan negara
dan sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa.
c) Ide pembentukan lembaga tertinggi negara dan lembaga negara (MPRS dan DPAS)
yang diharapkan memberi solusi untuk harmonisasi hubungan lembaga pemerintahan.

Namun, dalam perjalanannya, Demokrasi Terpimpin mewujud sebagai sentralisasi


keputusan kepada satu sosok, yaitu Ir. Soekarno yang menjabat sebagai Presiden.
Berbagai penyimpangan pun terjadi semasa Demokrasi Terpimpin, misalnya:
1. Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Presiden
RI seumur hidup oleh MPRS.
2. Pengumuman ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).
3. Politik luar negeri Indonesia dari bebas aktif tanpa memihak blok (non-blok) menjadi
politik konfrontatif dengan ambil bagian di OLDEFO (Old Established Forces) dan
NEFO (New Emerging Forces).

RANGKUMAN
1) Demokrasi Terpimpin adalah bentuk demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan
Indonesia setelah era Demokrasi Liberal. Demokrasi Terpimpin adalah salah satu
gagasan dari Ir. Soekarno sebagai solusi untuk keharmonisan lembaga-lembaga negara.
2) Dalam perjalanannya, Demokrasi Terpimpin mewujud sebagai sentralisasi keputusan
kepada satu sosok, yaitu Ir. Soekarno yang menjabat sebagai Presiden. Berbagai
penyimpangan pun terjadi semasa Demokrasi Terpimpin.
PETA KEKUATAN POLITIK
NASIONAL PADA MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN
Bagaimanakah situasi politik di Indonesia semasa Demokrasi Terpimpin? Bagaimanakah
peranan lembaga negara untuk memperjuangkan nasib rakyat? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui strategi politik Presiden Soekarno
untuk melanggengkan kekuasaan di era Demokrasi Terpimpin.

Di masa berlakunya Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno selaku Presiden RI saat itu
menganggap bahwa praktek Demokrasi Liberal adalah salah satu ajaran Barat yang
menyebabkan instabilitas di Indonesia. Terutama di bidang demokrasi, liberalisme dengan ciri
multipartai menjadi faktor kuat ketidakstabilan kehidupan politik di Indonesia. Oleh karenanya,
dengan kekuatan yang dimiliki, Presiden Soekarno membubarkan banyak partai politik di masa
itu, kecuali partai 10 partai yang dianggap mampu bekerja sama dan didominasi oleh ideologi
yang dipercayai Presiden Soekarno.

PNI dan NU, sebagai dua partai dengan suara terbanyak pada Pemilihan Umum 1955,
dilumpuhkan oleh tekanan dari Presiden. Walau kedua partai ini masih diberikan izin untuk
berdiri, namun praktis tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat. Saat itu, untuk
memberikan tekanan kepada kehidupan berpolitik di Indonesia, Presiden Soekarno
menggunakan Penpres (Penetapan Presiden). Di tingkat legislatif, DPR yang merupakan hasil
pemilihan umum 1955 juga mendapatkan tekanan dari Presiden, meski awalnya masih dapat
diterima. Namun, keadaan ini mencapai puncaknya dengan Penpres yang dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno pada tahun 1960 yang menyatakan pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan
digantikan dengan susunan anggota DPR baru yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR). Pembubaran dilatarbelakangi penolakan DPR terhadap APBN tahun 1960
yang diajukan oleh pemerintah. Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan
dianggap sejalan dengan keinginan pemerintah. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-
partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII,
dan IPKI.

Beberapa hal yang disyaratkan oleh Presiden Soekarno untuk partai-partai politik yang berdiri
di Indonesia pada saat itu dimuat dalam Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada
tanggal 31 Desember 1959 berisi:

1. Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila.


2. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.
3. Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah.
4. Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di
seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-
kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik
Indonesia.
5. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai.
6. Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong
kehidupan politik.

Untuk meredakan situasi politik di tanah air, beberapa pemuka partai mengajukan organisasi
bentukan yang dinamakan Liga Demokrasi. Organisasi ini menempatkan diri sebagai Penasihat
Presiden, namun keberadaan Liga Demokrasi tidak berlangsung lama karena segera dibubarkan
oleh Presiden Soekarno dengan membentuk Front Nasional, sebuah organisasi massa yang
memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan UUD 1945. Front Nasional diketuai langsung oleh
Presiden Soekarno.

Berbeda dengan nasib partai kebanyakan, PKI sebagai partai yang dekat dengan ideologi
komunisme mengalami masa jaya di masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Ideologi
NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) milik Presiden Soekarno adalah salah satu
alasan semakin menyebarnya perwakilan PKI di sepenjuru Indonesia. Pada saat itu, dua tokoh
muda PKI yang aktif mengumpulkan dukungan adalah DN Aidit dan Njoto. Kedekatan PKI dan
Presiden Soekarno dikatakan sebagai hubungan yang menguntungkan. PKI memanfaatkan
Presiden Soekarno dengan kepopulerannya untuk mendapatkan massa, sementara Presiden
Soekarno mengharapkan dukungan dari PKI di pemerintahan terutama ketika melalui
keputusannya, MPRS mengangkat Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.

Kejayaan PKI lantas memantik perseteruan antar elite politik Indonesia saat itu. Terlebih
setelah di tubuh TNI terjadi perpecahan antara TNI Angkatan Darat dengan TNI Angkatan
Udara yang dianggap diistimewakan oleh Presiden Soekarno. Situasi inilah yang kemudian
menjadi awal mula berlangsungnya pemberontakan PKI di tahun 1965.

RANGKUMAN
1) Aktivitas politik di Indonesia mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah di masa
Demokrasi Terpimpin.
2) Presiden Soekarno membentuk langsung lembaga-lembaga negara untuk dapat
melanggengkan kekuasaannya.
3) PKI mengambil keuntungan dari situasi politik yang berkembang di Indonesia.
▬▬▬ KONFRONTASI
INDONESIA-MALAYSIA ▬▬▬
Apakah akar permasalahan yang menyulut konflik dengan Malaysia? Tindakan apa yang
dilakukan Indonesia selama konflik berlangsung? Bagaimanakah dampak dari tindakan yang
diambil? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui bentuk konflik Indonesia-Malaysia di
era politik konfrontasi.

Pada tahun 1961, Pulau Kalimantan terbagi menjadi empat wilayah administrasi. Wilayah
pertama disebut dengan Kalimantan, yang menjadi provinsi dari Republik Indonesia. Di sebelah
utara ialah Kerajaan Brunei dan dua bagian lainnya adalah bagian dari Koloni Inggris yaitu
Sarawak dan Sabah. Dengan dua bagian wilayah koloninya di Pulau Kalimantan, Inggris
mencoba untuk menggabungkannya dengan Semenanjung Malaya melalui pembentukan
Federasi Malaysia. Rencana inilah yang menjadi awal dari konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Rencana penggabungan wilayah oleh Inggris ditentang keras oleh pemerintah Indonesia. Pada
saat itu, Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah negara boneka dari
Inggris sehingga ide pembentukan federasi hanya akan menambah kekuasaan yang dimiliki
oleh Inggris sehingga dikhawatirkan dapat mengancam kemerdekaan Indonesia. Ide
pembentukan negara federasi ini juga mendapatkan perlawanan dari Filipina yang melakukan
klaim atas Sabah, dengan pertimbangan sejarah Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Konflik pertama atas rencana pembentukan federasi berlangsung di Brunei. Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU) melakukan konfrontasi bersenjata pada 8 Desember 1962 dengan
mencoba menangkap Sultan Brunei dan menyandera orang-orang Eropa. Sultan Brunei berhasil
meloloskan diri dan meminta pertolongan pada pihak Inggris. Pada 16 Desember 1962, British
Far Eastern Command mengklaim bahwa seluruh pemberontakan telah berhasil diatasi. Demi
mengatasi pergolakan di Kalimantan, semua pihak yang terlibat (Indonesia, Filipina, dan
Inggris) sepakat melakukan referendum untuk menyelesaikan sengketa wilayah ini. Tetapi,
sebelum hasil referendum dilaporkan, muncul demonstrasi mengecam Indonesia di Malaysia.
Pihak Malaysia melihat pembentukan federasi sebagai masalah dalam negeri yang tidak
membutuhkan campur tangan pihak luar.

Akibatnya, muncul berbagai bentuk demonstrasi anti Indonesia di Kuala Lumpur. Demonstran
menyerbu Kedutaan Republik Indonesia di Malaysia dan merobek foto Presiden Soekarno.
Bahkan Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tuanku Abdul Rahman menginjak lambang negara
Burung Garuda dalam sebuah demonstrasi. Tindakan ini direspon oleh Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Luar Negeri, Subandrio, pada 20 Januari 1963 menyatakan permusuhan dan
politik konfrontasi terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia mulai memasuki
Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melakukan sabotase. Di Indonesia, pada 3
Mei 1963 dalam sebuah Rapat Raksasa yang diadakan di Jakarta, Presiden Soekarno
mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
a) Pertinggi ketahanan revolusi.
b) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk
menghancurkan Malaysia.

Ketegangan berlanjut dengan Deklarasi Ganyang Malaysia oleh Presiden Soekarno pada 27 Juli
1963 dan 18 September 1963 ketika berlangsung kerusuhan yang berakibat pembakaran di
Kedutaan Inggris di Jakarta. Pada 1964, pasukan Indonesia mulai melakukan serangan di
wilayah Semenanjung Malaya. Tepatnys bulan Mei, dibentuklah Komando Siaga yang bertugas
mengkoordinir kegiatan perlawanan terhadap Malaysia. Kedua negara bergantian menerjunkan
kekuatan militernya di wilayah Kalimantan dan Semenanjung Malaysia sepanjang tahun 1964.
Konfrontasi militer kemudian berkembang menjadi konfrontasi politik ketika PBB menerima
Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Presiden Soekarno mewakili Indonesia kemudian menarik
keanggotaan Indonesia dari PBB pada 20 Januari 1965 dan bergabung dengan New Emerging
Forces (NEFO).

Konfrontasi militer mereda sekitar tahun 1965 setelah terjadi peralihan kekuasaan di Indonesia
sekaligus jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno. Pada 28 Mei 1966, dalam sebuah
konferensi di Bangkok, Thailand, pihak Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan
perundingan untuk penyelesaian konflik. Perjanjian perdamaian kemudian ditandatangani pada
11 Agustius 1966 dan diresmikan dua hari kemudian.

RANGKUMAN
1) Indonesia di masa demokrasi terpimpin menerapkan politik konfrontasi dalam hubungan
internasional dengan sejumlah negara.
2) Ide Inggris untuk membentuk Republik Federasi Malaysia mendapat perlawanan keras dari
pemerintah Indonesia.
3) Presiden Soekarno menyerukan Dwikora untuk melawan kebijaksanaan yang diambil
Malaysia.
MEREBUT KEMBALI IRIAN
BARAT
Salah satu keputusan dalam KMB (27 Desember 1949) Belanda mengikuti kedaulatan Indonesia
sepenuhnya kecuali wilayah Irian Barat yang rencananya akan dikembalikan setahun kemudian.
Namun setelah pengakuan kedaulatan, Belanda tidak juga menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia. Bagaimanakah upaya merebut kembali Irian Barat? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai upaya
merebut kembali Irian Barat.

Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi beban pemerintahan RI adalah masalah
Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945.
Tetapi, dalam perundingan KMB tahun 1950, masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan
satu tahun. Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui
Konferensi Uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta serta Belanda. Namun, upaya
penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah RI mengajukan
permasalahan ke Sidang Majelis Umum PBB. Sayangnya, upaya-upaya diplomasi yang
dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan.

Indonesia pun kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang berujung pada
Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan guna menyokong
perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional agar Belanda melunakkan sikapnya
dan bersedia berunding secara bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian. Karena jalan
damai yang telah ditempuh selama satu dasawarsa tidak berhasil mengembalikan Irian Barat,
pemerintah Indonesia lantas memutuskan untuk menempuh jalan lain. Upaya ini telah terjadi
sejak tahun 1957, melalui pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh
kaum buruh. Untuk mencegah anarki, KSAD, A.H. Nasution, mengambil alih semua perusahaan
milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang ketika pada 17 Agusus 1960, Indonesia akhirnya
memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda. Presiden Soekarno
dalam pidatonya berjudul ‘Membangun Dunia Kembali’ pada tanggal 30 September 1960 di
depan Sidang Majelis Umum PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan
Irian Barat ke pangkuan RI. Pidato Presiden Soekarno membawa dampak kepada dibuka
kembalinya perdebatan tentang Irian Barat di PBB. Usulan yang muncul adalah agar pihak
Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan ini
dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun.
Usulan tersebut datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bunker. Usulan secara
prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia, namun dengan waktu yang lebih singkat. Adapun
pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan
pemerintah Belanda ini disikapi Presiden Soekarno dengan konfrontasi militer. Dalam rangka
persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan
senjata ke luar negeri. Pada awalnya, usaha dilakukan kepada negara-negara Blok Barat,
khususnya Amerika Serikat, namun tidak membawa hasil memuaskan. Kemudian upaya ini
dialihkan ke negara-negara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.

Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke Indonesia secara damai,
maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer. Melihat perkembangan persiapan
militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia akan
melakukan agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan
mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan Irian, di
antaranyaadalah Kapal Induk Karel Doorman.

Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan cita-cita
kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, segala upaya telah dilakukan dan
didukung oleh semua kalangan, baik kalangan politisi maupun militer. Oleh karena itu, dalam
rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember
1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando untuk berkonfrontasi
secara militer dengan Belanda yang disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari
Trikora tersebut adalah:
• Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
• Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
• Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah
air dan bangsa.
Dengan dideklarasikannya Trikora, mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden
No 1 tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto.

Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan militer di bawah Komando
Mandala. Belanda menganggap bahwa pasukan Indonesia tidak akan mampu melakukan
infiltrasi ke wilayah Irian. Namun, ketika operasi infiltrasi Indonesia berhasil merebut dan
menduduki kota Teminabuan, Belanda terpaksa bersedia kembali untuk duduk berunding guna
menyelesaikan sengketa Irian. Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB
menyadari bahwa tuntutan pimpinan Indonesia sungguh serius. Di sisi lain Pemerintah
Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali berunding, agar Amerika
Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya.
Amerika Serikat juga punya kepentingan dengan kebijakan politik luar negerinya untuk
membendung arus komunis di wilayah ini. Akhirnya, pada tanggal 15 Agustus 1962,
ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New
York, yang dikenal sebagai Perjanjian New York.

Hal pokok dari isi Perjanjian New York adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak
Belanda ke PBB. Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation Temporary
Excecutive Authority (UNTEA) yang akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia
sebelum tanggal 1 Mei 1963. Berdasarkan perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya
kewajiban untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat
sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus menerima apa pun hasil dari
Pepera tersebut. Tindak lanjut berikutnya adalah pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang
dilakukan pada tahun 1963 dengan membuka kembali Kedutaan Belanda di Jakarta dan
Kedutaan Indonesia di Den Haag.

Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963, secara resmi dilakukan
penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik
Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jaya Pura. Kembali Irian ke pangkuan RI berakhirlah
perjuangan memperebutkan Irian Barat. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian New York,
Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera). Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera
yang telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi perjanjian New York. Sejak saat
itulah Indonesia secara de jure dan de facto memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian
dari NKRI.

RANGKUMAN
1) Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi beban pemerintahan RI adalah masalah
Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945.
Tetapi, dalam perundingan KMB tahun 1950, masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan
satu tahun.
2) Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963, secara resmi dilakukan
penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik
Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jaya Pura.
PERKEMBANGAN BIDANG
EKONOMI SEMASA
DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin adalah kurun waktu 1959 hingga 1965. Bagaimanakah perkembangan
bidang ekonomi semasa Demokrasi Terpimpin? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai
perkembangan bidang ekonomi semasa Demokrasi Terpimpin.

Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan Ekonomi Terpimpin,


sebagai awal berlakunya herordering ekonomi, dimana alat-alat produksi dan distribusi yang
vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara.
Dengan demikian, peranan pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional
makin menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando. Sikap dan
kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi. Masalah pemilikan
aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis
nasional.

Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa Demokrasi Liberal berusaha
diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah yang dilakukannya, antara lain,
membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas
yang nilai nominalnya Rp.500 dan Rp.1.000 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10%
saja. Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin
oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas Depernas ialah
menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural, dan mental. Pada tanggal
17 Agustus 1959, Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas
utamanya memberikan isi kepada Proklamasi melalui grand strategy, yaitu
perencanaan overall dan hubungan pembangunan dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi
terpimpin.

Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang
disebut sebagai ‘Pola Pembangunan Semesta Berencana’ dengan mempertimbangkan faktor
pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan. Perencanaan ini meliputi perencanaan
segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik, mental, etis, dan spiritual berdasarkan
norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan
Semesta dan Berencana terdiri atas blueprint tripola, yang mencakup pola proyek
pembangunan, pola penjelasan pembangunan, dan pola pembiayaan pembangunan.

Depernas, pada tahun 1963, diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas Bappenas ialah
menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun
daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai
Mandataris untuk MPRS. Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan dan Irian Barat
berhasil dibebaskan, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan
rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri
Pertama Ir. Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan ‘Konsep Djuanda’. Namun, konsep
ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI sebab dianggap bekerja
sama dengan Amerika Serikat dan Yugoslavia.

Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13.
Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan
partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, dan
DPA. Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut ‘Deklarasi Ekonomi’ (Dekon)
sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap
tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Salah
satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek
mercusuar, yang lebih bersifat politis daripada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen
Nasional (Monas), Pertokoan Sarinah, dan Kompleks Olahraga Senayan yang dipersiapkan
untuk Asian Games IV dan Games Of the New Emerging Forces (Ganefo).

Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan


devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu atau dua
tahun. Menteri Bank Sentral, Yusuf Muda, dalam memanfaatkan devisa kredit ini
sebagai deferedpayment khusus untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan
cara melakukan pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas
kredit antara Rp.250 juta sampai Rp.1 milyar. Perusahaan atau perseorangan itu harus
membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan. Walaupun cadangan
devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi,
karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau
mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.

Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi adalah semakin semrawut dan kenaikan barang
mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintahmengeluarkan kebijakan bahwa
pecahan mata uang Rp.1.000 (uang lama) diganti dengan Rp.1 (uang baru). Tindakan
penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan
bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksi-aksi Tri Tuntutan
Rakyat (Tritura).

RANGKUMAN
1) Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi terpimpin,
sebagai awal berlakunya herordering ekonomi, dimana alat-alat produksi dan distribusi yang
vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara.
2) Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan
devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu atau dua
tahun.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai beberapa
peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.

Masa Pemerintahan B.J Habibie


Apakah kalian pernah menyaksikan film ‘HABIBIE DAN AINUN” yang sempat meramaikan
kancah dunia hiburan Indonesia beberapa tahun silam ? Film itu mengisahkan sekelumit
kehidupan B.J. Habibie, Presiden ke-3 RI. Apakah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada
masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie ? Untuk mengetahui lebih lanjut, mari simak
bahasan berikut.

Selama kekuasaan Orde Baru, terjadi ketidakefektifan fungsi dari lembaga tinggi negara dan
organisasi sosial politik akibat dominannya kekuasaan lembaga kepresidenan. Setelah era
reformasi yang ditandai dengan dilantiknya Presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998 sebagai
presiden Indonesia ke-3 menggantikan Soeharto, maka hal-hal dimaksud perlahan mulai
dibenahi. Beberapa pembenahan yang tampak, antara lain :
1. Adanya demokratisasi politik
Kabinet Reformasi Pembangunan sebagai bentukan dari B.J. Habibie melakukan berbagai revisi
undang-undang warisan Orde Baru untuk memastikan peningkatan kualitas kehidupan
berpolitik masyarakat. Undang-undang subversi yang dijadikan tameng represif untuk menekan
kebebasan berdemokrasi ditinjau kembali. Pemerintah juga meninjau ulang penangkapan
aktivis-aktivis politik, di antaranya, Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar Pakpahan yang
akhirnya diberi amnesti dan abolisi.
Di tahun 1999, pemerintahan Presiden B.J. Habibie juga turut mengawal penyelenggaraan
Pemilihan Umum 1999 yang dinilai sebagai pemilu yang demokratis dan minim unsur KKN
serta Sidang Istimewa MPR di tahun yang sama.
2. Pemerintah menuju ke arah yang lebih demokratis di segala aspek
Percepatan dilakukan pemerintah dan jajaran kabinetnya untuk merumuskan undang-undang
anti monopoli dan persaingan yang tidak sehat. Selain itu, pemerintah juga menepati janjinya
untuk melaksanakan program reformasi di segala bidang, khususnya di bidang ekonomi sesuai
kesepakatan dengan IMF.
3. Dikuranginya dominasi militer dalam pemerintahan
Secara perlahan Undang-Undang yang mengatur dwifungsi ABRI ditinjau ulang dan ABRI
dikembalikan fungsinya sebagai barisan terdepan pengawal kedaulatan negara seperti semula.
4. Kemunculan partai politik baru
Tidak kurang dari 141 partai politik baru bermunculan di era reformasi sebagai produk dari
lahirnya Undang-Undang yang menjamin kemerdekaan untuk berpendapat dan berpolitik.
Salah satu peristiwa penting yang turut menjadi tonggak sejarah dari pemerintahan B.J.
Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI. Banyaknya kerusuhan yang terjadi di Timor
Timur hingga menelan banyak korban jiwa telah mendorong Presiden B.J. Habibie untuk
memberikan dua opsi kepada masyarakat, yaitu otonomi khusus atau merdeka. Proses ini
dimulai pada 27 Januari 1999 dengan pengumuman kebijakan pemerintah untuk
mengantisipasi bila jajak pendapat menghasilkan keputusan pemisahan Timor Timur dari
wilayah Indonesia.
Pada 5 Mei 1999, pihak Indonesia yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Menteri
Luar Negeri Portugal Jaime Gama, dan Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan
penentuan pendapat untuk Timor Timur di New York. Kesepakatan ini kemudian
ditindaklanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas dari kedua pihak untuk mengawal proses
jajak pendapat.
Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat
di Timor Timur (Satgas P3TT), sementara PBB mengutus UNAMET (United Nations Asistance
Mission in East Timor) untuk mengawasi dan menyelenggarakan penentuan pendapat.
Penentuan pendapat berlangsung pada 30 Agustus 1999 secara aman, namun dengan hasil yang
mengejutkan, yakni mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk lepas dari NKRI.
Hasil penentuan pendapat ini akhirnya menimbulkan kerusuhan di Timor Timur sehingga
memaksa pemerintah Indonesia untuk memberlakukan status darurat militer di sana pada 9
September 1999. Pada 12 September 1999, INTERFET (International Force for East Timor)
yang merupakan Pasukan Pemeliharaan Perdamaian PBB, atas seizin Presiden B.J. Habibie,
masuk ke Timor Timur untuk menjaga keamanan bersama dengan ABRI.
Kekuasaan Presiden B.J. Habibie sendiri berakhir setelah pada Sidang Umum MPR, 19 Oktober
1999. Laporan pertanggungjawabannya ditolak karena adanya ketidakakuratan dari laporan
yang disampaikan, terutama mengenai indikator pertumbuhan ekonomi yang diduga tak sesuai
kenyataan.

RANGKUMAN
7. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, pemerintah mengkaji ulang dan merevisi
sejumlah kebijakan kontroversial yang diberlakukan semasa Orde Baru.
8. Pemerintahan B.J. Habibie mengupayakan adanya demokratisasi politik, pembenahan
menuju ke arah yang lebih demokratis di segala aspek, berkurangnya dominasi militer
dalam pemerintahan, serta mengizinkan pendirian partai politik baru.
9. Salah satu peristiwa penting yang turut menjadi tonggak sejarah dari pemerintahan B.J.
Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai beberapa
peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN


WAHID
Apakah kalian pernah mendengar mengenai Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur
? Beliau pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4. Beliau dikenal sebagai sosok jenaka dan
gemar melontarkan lelucon segar. Salah satu celotehannya yang paling dikenal adalah, “Gitu aja
kok repot ?” Apakah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid ? Untuk mengetahui lebih lanjut, mari simak bahasan berikut.

Pemilu 1999 yang dilakukan pada tanggal 7 Juni 1999 dan diikuti oleh 48 partai menghasilkan 5
pemenang, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Selanjutnya, dalam pemungutan suara anggota yang dilakukan pada Sidang Umum MPR 4-19
Oktober 1999, terpilihlah Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 RI dan Megawati
Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden RI.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dibentuklah Kabinet yang
dinamakan Kabinet Persatuan Nasional I yang dilantik pada 29 Oktober 1999 oleh Wakil
Presiden Megawati. Namun, pada 23 Agustus 2000, Presiden mengumumkan susunan kabinet
baru (Kabinet Persatuan Nasional II) hasil reshuffle dan menyatakan Kabinet Persatuan
Nasional I demisioner. Secara total, Kabinet Persatuan Nasional I hanya bertahan selama 10
bulan karena banyaknya menteri yang mengundurkan diri atau pun diberhentikan. Selain itu,
pembentukan kabinet hasil reshuffle ini turut menjadi awal mula konflik antara Presiden
dengan DPR.
Salah satu penyebab konflik adalah komentar negatif Presiden terhadap kinerja DPR dan
kurangnya konsultasi Presiden ke DPR, terutama mengenai pembubaran Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Dalam sidang Tahunan MPR tanggal 7-12 Agustus 2000, Presiden yang diwakili Menteri
Sekretaris Kabinet menyampaikan laporan tahunannya. Laporan ini tidak mendapat respon
yang baik dari fraksi-fraksi di MPR, sehingga memaksa Presiden untuk menugaskan Wakil
Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang bersifat
teknis, susunan agenda kerja, dan prioritas pemerintahan yang nantinya dipertanggung
jawabkan kepada Presiden.
Pada tanggal 23 Agustus 2000, setelah sidang terakhir Kabinet Persatuan Nasional II, Presiden
mengumumkan kembali perombakan kabinet tanpa didampingi Wakil Presiden. Hal ini
menimbulkan tanda tanya, walaupun pada akhirnya kabinet ini tetap dilantik oleh Wakil
Presiden, Megawati Soekarnoputri pada 26 Agustus 2000. Sayangnya, peristiwa ini ditanggapi
negatif oleh pasar perekonomian, ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan
merosotnya harga saham di bursa. Ketegangan antara Presiden dan DPR turut meningkat
seiring dengan munculnya dugaan keterlibatan Presiden dalam skandal penggunaan dana
Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) atau Bulog-gate dan dana bantuan Sultan
Brunei Darussalam atau disebut juga Bruneigate.
DPR lantas bereaksi dengan membentuk Panitia Khusus untuk menyelidiki kasus skandal yang
diduga melibatkan Presiden. Hasil investigasi kemudian menyimpulkan bahwa Presiden patut
diduga berperan dalam penyalahgunaan dana tersebut. Panitia Khusus diketuai oleh Bachtiar
Chamsyah dari PPP.
Hasil penyelidikan Panitia Khusus ini kemudian dijadikan dasar oleh DPR untuk mengeluarkan
Memorandum 1 dan 2 kepada Presiden, yang intinya meminta Presiden untuk kembali bekerja
sesuai GBHN dan mengingatkan Presiden bahwa telah melakukan pelanggaran terhadap TAP
MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Memorandum tersebut dijawab oleh Gus Dur melalui Menteri Hukum
dan HAM saat itu, Baharuddin Lopa, sebagai hal yang inkonstitusional dan menyatakan dirinya
tidak bersalah atas kasus Bulog-gate dan Bruneigate.
Karena Presiden terus mengabaikan DPR, di antaranya dengan mengangkat langsung Kapolri
sebagai Pejabat Sementara sehingga menciptakan dualisme kepemimpinan, MPR melakukan
tindakan dengan mempercepat Sidang Istimewa menjadi tanggal 21 Juli 2001 dan meminta
pertanggungjawaban Presiden pada 23 Juli 2001. Langkah DPR ini ditolak oleh Presiden
Abdurrahman Wahid sekaligus menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR tidak sah dan ilegal.
Langkah Presiden selanjutnya adalah dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001
yang berisi :
1. Membekukan MPR dan DPR RI.
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun
badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu
tahun.
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan
pembekuan Partai Golkar sambil menunggu putusan Mahkamah Agung.
Pada 23 Juli 2001, MPR memutuskan bahwa Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid itu telah
melanggar konstitusi. Kemudian, setelah melalui persidangan yang rumit, MPR menyetujui
pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dan mengangkat Megawati Soekarnoputri
sebagai Presiden RI Ke-5.

RANGKUMAN
10. Dalam pemungutan suara anggota yang dilakukan pada Sidang Umum MPR 4-19
Oktober 1999, terpilihlah Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 RI dan Megawati
Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden RI.
11. Masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid diwarnai oleh kontroversi, skandal,
dan konflik antar lembaga negara.
12. Pada 23 Juli 2001, MPR menyetujui pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dan
mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI Ke-5.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai beberapa
peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI


SOEKARNOPUTRI
Apakah kalian pernah mendengar mengenai Megawati Soekarnoputri yang adalah putri dari
tokoh proklamasi dan Presidan I RI, Ir. Soekarno ? Apakah peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ? Mari simak bahasan
berikut.

MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Setelah pelantikan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI pada 23 Juli 2001 dan hasil
pemilihan Wakil Presiden yang dimenangkan oleh Hamzah Haz, maka dibentuklah Kabinet
Gotong Royong (9 Agustus 2001). Anggota kabinet ini adalah kombinasi dari tokoh profesional
dan politisi parpol pendukung pemerintahan. Beberapa persoalan-persoalan yang harus
diselesaikan para menteri kabinet terpilih antara lain :
1. Ancaman disintegrasi
Disintegrasi dikhawatirkan akan terjadi karena proses peralihan kekuasaan dari Presiden
sebelumnya, Abdurrahman Wahid yang berlangsung tidak pada waktunya dan tak melalui
proses Pemilihan Umum. Massa pendukung Presiden Abdurrahman Wahid dan partai politik
pendukungnya kerap berseberangan pendapat dengan Megawati Soekarnoputri yang dilantik
menggantikan Abdurrahman Wahid.
2. Ketidakpastian reformasi
Semangat reformasi yang mendasari peralihan kekuasaan dari Orde Baru menghadapi
ketidakpastian arah dan sasaran yang ingin dicapai. Hal ini dimungkinkan karena lemahnya
hukum yang mendasari penyelenggaraan negara, hubungan antar lembaga negara, serta antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
3. Ekonomi
Fluktuasi nilai tukar rupiah yang masih belum terkendali turut mempersempit ruang gerak
masuknya investasi di Indonesia. Terlebih dengan belum rampungnya upaya penyehatan
perbankan yang masih berkutat seputar penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI). Minimnya investasi juga mengakibatkan sempitnya lapangan pekerjaan baru dan
tingginya pengangguran.
4. Sosial
Sistem penindakan hukum yang masih lemah terlihat dari kurangnya sanksi bagi pelaku KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme), terutama di lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini
menyebabkan kerawanan konflik sosial di masyarakat.
Tercatat program kerja Kabinet Gotong Royong bentukan Megawati Soekarnoputri memiliki
program kerja berikut :
1. Mempertahankan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Meneruskan reformasi dan demokratisasi dalam kehidupan nasional.
3. Normalisasi ekonomi dan memperkuat kehidupan perekonomian rakyat.
4. Penegakan hukum secara konsisten.
5. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif.
6. Mempersiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004.
Dalam pemerintahannya, Megawati Soekarnoputri kerap mengambil beberapa langkah tidak
populer. Salah satunya adalah privatisasi terhadap Indosat. Walau keputusan ini mampu
menekan tingkat inflasi, namun beberapa kalangan justru menilai tindakan ini sebagai upaya
paksa untuk memasukkan pengaruh ekonomi asing ke Indonesia, terlebih privatisasi yang
dilakukan terhadap lembaga telekomunikasi. Beberapa kasus pelanggaran hukum yang
diwariskan pemerintahan terdahulu juga masih belum dituntaskan pada masa
pemerintahannya. Walaupun pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
dirintis, namun tidak tercatat penyelesaian yang mencolok terhadap kasus korupsi yang ada.
Kasus pelanggaran HAM di masa reformasi (Trisakti, Semanggi, dan lainnya) juga masih belum
tersentuh oleh kebijakan pemerintah pada masa itu. Banyaknya kritikan terhadap kinerja
pemerintah ini turut mempengaruhi kepercayaan publik. Terlebih pada masa pemerintahan
Megawati Soekarnoputri, dilakukan Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilihan Umum digelar dalam dua putaran. Putaran kedua menyisakan pasangan Megawati
Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pada putaran kedua, secara sah tercatat pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
memenangi Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden, 5 Juli 2004. Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung yang pertama kali diadakan ini sebelumnya diikuti oleh 5
pasang kandidat (Hamzah Haz-Agum Gumelar, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Megawati
Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan Soesilo Bambang Yudhoyono-
Jusuf Kalla).

RANGKUMAN
1) Setelah pelantikan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI pada 23 Juli 2001 dan hasil
pemilihan Wakil Presiden yang dimenangkan oleh Hamzah Haz, maka dibentuklah Kabinet
Gotong Royong (9 Agustus 2001).
2) Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dilakukan terobosan baru dalam sistem
pemilihan, yakni Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai beberapa
peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG


YUDHOYONO
Apakah kalian pernah mendengar mengenai Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi Presiden
RI pertama pilihan langsung masyarakat Indonesia ? Apakah peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Mari simak bahasan
berikut.

MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Pemilu Presiden Langsung pertama pada 2004 yang diikuti 5 kandidat menetapkan pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Kemenangan ini diperoleh
setelah dua putaran bersaing dengan kandidat Megawati Soekarnoputri yang adalah
pejabat incumbent. Pasca pelantikan oleh MPR, pasangan ini langsung dituntut untuk memberi
kinerja terbaik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Untuk mengakomodasi tuntutan dan harapan dari semua pihak, dibentuklah Kabinet Indonesia
Bersatu. Beranggotakan profesional dan politisi -politisi partai pendukung, Kabinet Indonesia
Bersatu tercatat menghasilkan beberapa prestasi, antara lain :
1. Penyelesaian Konflik Horizontal
Dalam masa pemerintahan SBY, dilakukan kesepakatan damai RI-Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Helsinski pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan damai ini ditandatangani oleh Menteri
Luar Negeri RI, Hassan Wirayudha dan petinggi GAM, Zaini Abdullah. Kesepakatan ini juga
mengatur pemberian status otonomi khusus pada Nanggroe Aceh Darussalam dan amnesti
untuk anggota GAM yang ditahan pemerintah Indonesia. Proses kesepakatan damai ini ditinjau
oleh AMM (Aceh Monitoring Mission) sebagai pengawas yang beranggotakan negara-negara
sahabat. Dalam proses perdamaian ini, secara perlahan dilakukan penarikan pasukan TNI dari
Aceh dan penyerahan senjata-senjata milik anggota GAM di daerah.
Beberapa kerusuhan sosial antar masyarakat lainnya juga diselesaikan, antara lain, Kerusuhan
di Poso , Ambon dan Papua.
2. Birokrasi
Dalam masa pemerintahan pertamanya, Presiden menggagas pembentukan beberapa komisi
untuk mengawasi jalannya birokrasi pemerintahan. Tercatat dibentuk Komisi Pengawas
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) mendapatkan apresiasi yang baik dari masyarakat karena beberapa kali mengusut kasus-
kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara bahkan dari kalangan menteri sekalipun.
3. Ekonomi
Pada periode kepemimpinannya, Presiden mengambil kebijakan untuk mengurangi beban
subsidi negara. Salah satunya dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pemerintah juga melakukan pengawasan berkala ke pasar modal dan investasi untuk menjaga
tingkat suku bunga (BI Rate), nilai tukar rupiah, dan beberapa kebijakan lainnya seputar
likuiditas perbankan.
4. Bidang Lainnya
Di sektor pendidikan, digagas sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk mengatasi
besarnya angka putus sekolah dari anak-anak usia wajib sekolah. Selain itu, dalam bidang
kebudayaan juga dirintis gerakan untuk mendata ulang peninggalan-peninggalan budaya
Indonesia untuk nantinya didaftarkan ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization) sehingga tidak diklaim sebagai warisan budaya bangsa lain.
Terlepas dari prestasi-prestasi yang diperoleh semasa pemerintahannya, tercatat juga beberapa
pelanggaran mencolok semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Skandal kasus Bank
Century yang mempersoalkan kajian penting tidaknya pengucuran dana likuiditas untuk
mencegah kebangkrutan Bank Century dan beberapa kasus korupsi lainnya yang justru banyak
melibatkan kalangan internal partai penyokong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.
Susilo Bambang Yudhoyono menjalani dua kali periode kepresidenan. Pada 2004-2009
berpasangan dengan Jusuf Kalla dan pada 2009-2014 berpasangan dengan Boediono.

RANGKUMAN
1) Pemilu Presiden Langsung pertama pada 2004 yang diikuti 5 kandidat menetapkan pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang.
2) Untuk mengakomodasi tuntutan dan harapan dari semua pihak, dibentuklah Kabinet
Indonesia Bersatu yang berhasil mengukir keberhasilan di berbagai bidang.
3) Susilo Bambang Yudhoyono menjalani dua kali periode kepresidenan.
KRISIS MONETER, POLITIK,
HUKUM, DAN
KEPERCAYAAN
Berbagai krisis akhirnya menumbangkan Orde Baru. Bagaimanakah krisis moneter, hukum, dan
kepercayaan yang terjadi di penghujung Orde Baru? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai krisis
moneter, hukum, dan kepercayaan yang terjadi di penghujung Orde Baru.

Krisis moneter yang melanda Thailand, pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa
yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Filipina,
Korea dan Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp.2.500/US$ terus
mengalami kemerosotan. Situasi ini mendorong Presiden Soeharto meminta bantuan
dari International Monetary Fund (IMF). Persetujuan bantuan IMF dilakukan pada Oktober
1997 dengan syarat pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan kebijakan-kebijakan,
terutama kebijakan ekonomi. Di antara syarat-syarat tersebut adalah penghentian subsidi dan
penutupan 16 bank swasta. Namun, semua ternyata tidak menyelesaikan masalah yang
dihadapi.

Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah, melalui Bank Indonesia dengan
melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar rupiah yang terus merosot.
Nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp.4.000/US$ pada Oktober terus melemah menjadi
sekitar Rp.17.000/ US$ pada bulan Januari 1998. Kondisi tersebut berdampak pada jatuhnya
bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang
menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Kondisi ini
membuat Presiden Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada tanggal 15 Januari 1998
dengan ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto dan
Direktur Pelaksana IMF, Michele Camdesus.

Namun, kemudian Presiden Soeharto menyatakan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya
membawa Indonesia pada sistem ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah
Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut.
Situasi tarik-menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi semakin
memburuk. Pada saat krisis semakin parah, muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam
masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti Cina.
Kelompok dimaksud menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena
mereka mendominasi perekonomian di Indonesia. Krisis pun semakin menjalar dalam bentuk
gejolak-gejolak non-ekonomi lainnya yang membawa pengaruh terhadap proses perubahan
selanjutnya.
Sementara itu, sesuai dengan hasil Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997,
Golkar memperoleh suara 74,5 persen, PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen. Setelah pelaksanaan
pemilu tersebut, perhatian tercurah pada Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada Maret
1998. Sidang umum MPR itu akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sidang umum
kemudian menetapkan kembali Soeharto sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang
ketujuh kalinya dengan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.

Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-
kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul ke permukaan. Meningkatnya kecaman
terhadap Presiden Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa sejak
awal 1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI, dan
lain-lain semakin meningkat intensitasnya sejak terpilihnya Soeharto. Demonstrasi-
demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademis
maupun pimpinan universitas. Garis besar
tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu tuntutan penurunan
harga sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN) serta suksesi kepemimpinan nasional.

Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para
mahasiswa di berbagai kota mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus. Maraknya aksi-aksi
mahasiswa yang sering berlanjut menjadi bentrokan dengan aparat kemanan membuat
Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog.
Dari dialog tersebut, diharapkan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat kembali
terbuka. Namun, mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan pemerintah tidak efektif karena
tuntutan pokok mereka adalah reformasi politik dan ekonomi serta pengunduran diri Presiden
Soeharto. Menurut mahasiswa, mitra dialog yang paling efektif adalah lembaga kepresidenan
dan MPR. Di tengah maraknya aksi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada
tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dan tarif dasar
listrik. Kebijakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan tuntutan yang berkembang
saat itu.

Naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa, karena kebijakan
tersebut berdampak pula pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya. Dalam
kondisi negara yang sedang mengalami krisis, Presiden Soeharto, pada 9 Mei 1998, berangkat
ke Kairo (Mesir) untuk menghadiri Konferensi G 15. Di dalam pesawat menjelang
keberangkatannya Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami kenaikan
harga BBM. Selain itu, ia menyerukan kepada lawan–lawan politiknya bahwa pasukan
keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul. Meskipun demikian,
kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang protes dari berbagai kalangan
komponen masyarakat terus berlangsung.

RANGKUMAN
1) Krisis moneter yang melanda Thailand, pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa
yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, seperti Indonesia.
2) Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah, melalui Bank Indonesia dengan
melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar rupiah yang terus merosot.
TUNTUTAN DAN AGENDA
REFORMASI
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena tatanan
tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak efisien
maupun tidak bersih dan tidak demokratis. Bagaimanakah tuntutan dan agenda reformasi
untuk mengakhiri Orde Baru? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai tuntutan dan
agenda reformasi untuk mengakhiri Orde Baru.

Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi


bangsa Indonesia. Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus
besar. Namun mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak
mendapatkan respon dari pemerintah. Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam
agenda, yaitu:
1) Suksesi kepemimpinan nasional,
2) Amandemen UUD 1945,
3) Pemberantasan KKN,
4) Penghapusan dwifungsi ABRI,
5) Penegakan supremasi hukum, dan
6) Pelaksanaan otonomi daerah.

Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan Presiden. Berikut ini
kronologi beberapa peristiwa penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun
1998:
a) Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada
tanggal 20 Mei 1998 mahasiswa merencanakan gerakan sebagai momen Hari Reformasi
Nasional. Namun, ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei
1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru aparat keamanan
saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur. Mereka adalah Elang Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa
Trisakti dan lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan demostrasi di gedung MPR.
b) Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar. Pada
tanggal 13 Mei 1998, terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo.
Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara
itu, mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para
demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.
c) Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif aman.
Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap gedung
tersebut. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas.
Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998, Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari
jabatannya sebagai Presiden.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat Pemilu. Hal ini
dinyatakan setelah Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat, seperti Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid, ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998. Akan tetapi,
upaya ini tidak mendapat sambutan rakyat. Momentum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei
1998 rencananya digunakan tokoh reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di
sekitar Tugu Monas. Namun, beliau membatalkan rencana apel dan doa bersama karena
80.000 tentara bersiaga di kawasan tersebut.

Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi.
Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari Jumat
tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan dengan
itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri.

Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran
dirinya. Itulah beberapa peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan Presiden yang telah dipegang selama 32 tahun. Soeharto
kemudian digantikan B.J. Habibie. Sejak saat itu, berakhirlah era Orde Baru selama 32 tahun.
Indonesia pun memasuki sebuah era baru yang kemudian dikenal sebagai Masa Reformasi.

RANGKUMAN
1) Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi
bangsa Indonesia.
2) Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar. Namun
mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan respon
dari pemerintah.
▬▬▬ AKSI-AKSI
TRITURA ▬▬▬
Apakah yang mendorong keluarnya tuntutan rakyat terhadap pemerintah? Apakah yang berada
di balik gerakan rakyat ini? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui aksi untuk mewujudkan Tri (Tiga)
Tunturan Rakyat.

Di penghujung tahun 1965, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan tidak populer


dengan melakukan devaluasi rupiah dan menaikkan harga minyak bumi. Kebijakan itu
menyulut demonstrasi di berbagai penjuru, terlebih mengingat situasi politik yang masih belum
stabil setelah Pemberontakan PKI. Pada tanggal 10 Januari 1966, mahasiswa yang melakukan
demonstrasi mengeluarkan tuntutan kepada pemerintah yang dikenal dengan Tri Tuntutan
Rakyat (Tritura) yang isinya, antara lain:
1) Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
2) Pembersihan kabinet dari unsur PKI.
3) Penurunan harga.
Tuntutan yang dilakukan kemudian berlanjut dengan aksi lainnya di Bandung pada 13 Januari
1966. Ketika itu, berlangsung demonstrasi yang diikuti lebih dari 2.000 mahasiswa dan pelajar
untuk menuntut penurunan harga dan pembubaran PKI. Aksi demonstrasi berusaha
ditenangkan oleh Walikota Bandung pada saat itu, Priatnakusumah. Namun, upaya ini tidak
membuahkan hasil sehinggan mahasiswa dan pelajar tetap melakukan demonstrasi selama tiga
jam di halaman Kotapraja Bandung. Aksi di Bandung dikoordinasi langsung oleh KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang sekaligus membacakan petisi untuk
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno.

Di Jakarta, KAMI merapatkan barisan untuk mencegah terjadinya kembali insiden antara
mahasiswa dengan unsur dari Front Marhaenis. Sebelumnya, dalam aksi di Istana Merdeka
terjadi bentrokan dengan Front Marhaenis sehingga menimbulkan korban di pihak KAMI. Pada
tanggal 21 Januari 1966, melalui Ketua Presidium Pusat KAMI, Cosmas Batubara, dikeluarkan
instruksi kepada segenap mahasiswa yang tergabung dalam KAMI untuk bertindak sebagai
berikut:
a) Tetap merapatkan barisan perjuangan mahasiswa, tetap berdiri di belakang Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno.
b) Menggalang kekompakan dan kesatuan segenap potensi mahasiswa dengan semangat rela
berkorban, berdisiplin, serta ikhlas mengabdi menjadi satu front yang bisa diuji kemampuannya
oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
c) Terus meningkatkan penghayatan tritunggal Bung Karno-Rakyat-ABRI dalam satu front demi
kepentingan rakyat, nusa, dan bangsa menghadapi rongrongan Nekolim (Neo Kolonialisme).
d) Mendaftarkan dengan segera sebagai barisan pendukung Bung Karno.
e) Tetap waspada akan usaha pecah-belah, intrik, adu-domba, serta pancingan-pancingan dari
pihak nekolim atau pun antek-antek PKI.
Sebagai upaya mendinginkan suasana, pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno
mengumumkan reshuffle Kabinet Dwikora dengan kabinet baru yang dinamakan Kabinet
Seratus Menteri. Tindakan ini tidak mampu mendinginkan suasana di kalangan mahasiswa
karena banyaknya simpatisan PKI yang diangkat menjadi menteri-menteri baru. Pada 24
Februari 1966, saat pelantikan Kabinet Seratus Menteri, mahasiswa melakukan boikot yang
mengakibatkan bentrok fisik dengan Resimen Cakrabirawa. Dalam insiden ini, seorang
mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim gugur. Pada tanggal 25 Februari 1966, pemerintah
memutuskan untuk membubarkan KAMI dengan tujuan mengurangi pergerakan mahasiswa.
Tri Tuntutan Rakyat akhirnya menjumpai perwujudannya dengan keluarnya Surat Perintah 11
Maret 1966 (Supersemar) yang membubarkan Partai Komunis Indonesia dan mengamanatkan
perbaikan ekonomi.

RANGKUMAN
1) Tri Tuntutan Rakyat disuarakan oleh massa, terutama mahasiswa dan pelajar, pasca
Pemberontakan G30S PKI.
2) Demonstrasi massa berlangsung di sejumlah tempat untuk mendesak perubahan dalam
pemerintahan.
SURAT PERINTAH SEBELAS
MARET
Bagaimanakah proses penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret? Peristiwa apakah yang
melatarbelakangi penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret? Apakah dampak dari penyerahan
Surat Perintah Sebelas Maret? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui dampak penyerahan mandat melalui
Surat Perintah Sebelas Maret bagi Indonesia.

Penolakan masyarakat terhadap bentuk Demokrasi Terpimpin di Indonesia ditunjukkan melalui


aksi-aksi demonstrasi. Pergerakan massa semakin tidak terbendung setelah terjadinya
instabilitas politik dan keamanan dalam negeri pasca pemberontakan PKI pada tahun 1965.
Upaya Ir. Soekarno untuk meredakan ketegangan dengan melakukan perombakan Kabinet
Dwikora tidak berhasil. Dalam pelantikan Kabinet Dwikora baru atau dikenal dengan istilah
‘Kabinet Seratus Menteri’, terjadi pemberontakan oleh pasukan liar yang mengepung istana.
Sebagai langkah pengamanan, Ir. Soekarno dan Dr. Soebandrio diamankan ke Istana Bogor
dengan menggunakan helikopter.

Situasi pemberontakan tersebut kemudian dilaporkan pada Letjen. Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letjen. Ahmad Yani yang gugur
dalam peristiwa G30S/PKI. Laporan ini ditanggapi dengan mengirimkan utusan ke Istana
Bogor untuk menjumpai Ir. Soekarno dengan membawa pesan bahwa situasi genting telah
terjadi di Jakarta dan pengendalian situasi hanya dapat dikendalikan jika ada surat wewenang
atau kuasa untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar keamanan terjamin. Usulan
tersebut akhirnya disetujui oleh Ir. Soekarno yang menyerahkan surat perintah yang dikenal
dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letjen.
Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu guna pemulihan keamanan dan ketertiban.

Surat perintah tersebut diterima di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966, yang kemudian
langsung dibarengi dengan perumusan konsep untuk pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Konsep dimaksud tertuang dalam Keppres No. 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang
menyatakan pembubaran PKI. Langkah selanjutnya yang diambil oleh Letjen. Soeharto adalah
pada tanggal 18 Maret 1966 dengan mengamankan menteri-menteri yang tergabung dalam
Kabinet Dwikora. Dengan berlakunya Supersemar dimulailah dualisme kepemimpinan di
Indonesia.

Di satu sisi, Letjen. Soeharto memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan, namun
di sisi lainnya Ir. Soekarno masih menjabat sebagai Kepala Negara terpilih. Penyerahan mandat
ini dipertanggung jawabkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya yang berjudul ‘Nawaksara’ di
hadapan Sidang Umum MPRS tanggal 17 Agustus 1966 sebagai surat perintah dan bukan
pengalihan kekuasaan pemerintahan. Pidato dan pertanggungjawaban ini ditolak oleh MPRS
yang lantas menetapkan Ir. Soekarno sebagai Kepala Negara serta Letjen. Soeharto sebagai
Kepala Pemerintahan dan formatur pembentuk kabinet kerja yang baru untuk menggantikan
Kabinet Dwikora. Formasi baru diresmikan pada tanggal 11 Oktober 1966.

Dualisme kepemimpinan tidak berlangsung lama. Pada 12 Maret 1967, Letjen. Soeharto diambil
sumpahnya dan dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan pelantikan
tersebut, maka secara resmi terjadi pergantian pemerintahan dari masa Orde Lama (Demokrasi
Terpimpin) ke pemerintahan yang baru (Orde Baru). Secara umum, Surat Perintah Sebelas
Maret memiliki dampak kepada masyarakat Indonesia sebagai berikut:
1. Peralihan rezim penguasa dan tonggak lahirnya Orde Baru.
2. Kembalinya eksistensi Angkatan Darat di Indonesia melalui Letjen. Soeharto sebagai
pengemban Supersemar dengan kuasa untuk mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk
menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia.
3. Penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 serta awal hubungan baru antar
lembaga negara berdasarkan Trias Politica. Kedudukan Supersemar secara hukum semakin kuat
setelah dilegalkan melalui Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966 Tanggal 21 Juni 1966.

RANGKUMAN
1) Surat Perintah Sebelas Maret memberikan mandat kepada pemegangnya untuk mengambil
tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketertiban.
2) MPRS menetapkan Ir. Soekarno sebagai Kepala Negara serta Letjen. Soeharto sebagai Kepala
Pemerintahan dan formatur pembentuk kabinet kerja yang baru untuk menggantikan Kabinet
Dwikora. Formasi baru diresmikan pada tanggal 11 Oktober 1966.
3) Dualisme kepemimpinan tidak berlangsung lama. Pada 12 Maret 1967, Letjen. Soeharto
diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan
pelantikan tersebut, maka secara resmi terjadi pergantian pemerintahan dari masa Orde Lama
(Demokrasi Terpimpin) ke pemerintahan yang baru (Orde Baru).
▬▬▬ DUALISME
KEPEMIMPINAN
NASIONAL ▬▬▬
Apakah yang mendasari munculnya dualisme kepemimpinan di Indonesia? Bagaimanakah
situasi negara ketika terjadi dualisme kepemimpinan? Bagaimanakah upaya penyelesaian yang
dilakukan? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui peristiwa sejarah yang menyebabkan
dualisme kepemimpinan dalam pemerintahan.

Dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, maka muncullah dualisme kepemimpinan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan pemegang Supersemar memiliki kewenangan untuk melakukan
langkah-langkah politik yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan ketenangan, namun
Ir. Soekarno secara resmi masih menjabat sebagai Presiden RI. Untuk melaksanakan instruksi
dalam Surat Perintah Sebelas Maret, Letjen. Soeharto melakukan beberapa langkah politik
berikut:
• Tanggal 12 Maret 1966, berdasarkan Keputusan Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Mandataris
MPRS/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3 1966 melakukan pembersihan tokoh-tokoh MPRS dan
DPR-GR yang terlibat G30S/PKI serta membentuk pimpinan MPRS dan DPR-GR yang baru.
• Tanggal 18 Maret 1966, melakukan pengamanan lima belas menteri dari Kabinet Dwikora
yang terlibat dalam peristiwa Pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965
• Tanggal 25 Juli 1966, membentuk Kabinet Ampera dengan tujuan utama mewujudkan
stabilitas politik dan ekonomi. Pembentukan kabinet Ampera menggandeng Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Ekonomi dan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri.
Aksi politik ini tidak lantas memadamkan ketegangan di kalangan masyarakat, sebab tuntutan
terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung. Karenanya,
dengan beberapa kali sidang MPRS disepakati perubahan berikut:
1) Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966 menugaskan Letjen. Soeharto untuk membentuk Kabinet
Ampera, sekaligus memerintahkan Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora. Dalam
perkembangannya, Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, namun tetap
dipimpin oleh Ir. Soekarno sebagai Presiden, dengan memberi kekuasaan eksekutif kepada
Letjen. Soeharto untuk melakukan penyempurnaan Kabinet Ampera.
2) Meminta pertanggungjawaban Ir. Soekarno sebagai Presiden RI/Mandataris MPRS di
hadapan Sidang Umum IV MPRS Tahun 1966 mengenai pemberontakan G-30-S/PKI serta
kemunduran ekonomi. Namun, pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi
judul ‘Nawaksara’ ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan
MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden
Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Walaupun kemudian Presiden Soekarno
memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertanggal 10 Januari 1967 yang diberi nama
‘Pelengkap Nawaksara’, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan. Setelah membahas surat
Presiden tersebut, pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam
memenuhi kewajiban konstitusional.
3) Sidang Istimewa MPRS 7-12 Maret 1967, merumuskan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967
yang berisi:
• Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno.
• Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai
UUD 1945.
• Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar sebagai Pejabat
Presiden hingga terpilihnya Presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang
Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, menetapkan pelantikan Jenderal Soeharto oleh Ketua MPRS
Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.

Keputusan ini mendapatkan dukungan yang luas dari berbagai unsur masyarakat. Mereka
membentuk kesatuan aksi yang disebut Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung
G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara. Kesatuan aksi kemudian
dikenal dengan sebutan Angkatan 66 yang terdiri atas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia,
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI),
serta Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI).

RANGKUMAN
1) Surat Perintah Sebelas Maret menimbulkan kerancuan atau dualisme kepemimpinan di
pemerintahan.
2) Letjen. Soeharto mendesak Sidang MPRS untuk menyelesaikan dualisme kepemimpinan di
Indonesia.
STABILISASI POLITIK DAN
KEAMANAN SEBAGAI
DASAR PEMBANGUNAN
Apakah program kerja pemerintahan Orde Baru di awal kepemimpinannya? Bagaimanakah
langkah pelaksanaan yang ditempuh? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui langkah penyelamatan yang diambil
pemerintahan Orde Baru.

Runtuhnya Orde Lama yang dipimpin oleh Ir. Soekarno memberikan harapan baru kepada
masyarakat Indonesia kepada pemerintahan Soeharto yang disebut ‘Orde Baru’. Beberapa target
awal pemerintahan Orde Baru di awal pemerintahan adalah:
• Melakukan pembaharuan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
• Meningkatkan stabilitas nasional untuk mempercepat proses pembangunan.
• Menetapkan Demokrasi Pancasila untuk pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
• Melaksanakan Pemilihan Umum secara teratur dan menata lembaga-lembaga negara.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah melaksanakan beberapa hal berikut:


1) POLITIK
a) Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet pertama yang terbentuk pasca keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret dinamakan
Kabinet Ampera. Namun setelah sidang MPRS tahun 1968 yang menetapkan Soeharto sebagai
Presiden untuk masa jabatan lima tahun pertamanya, dibentuklah Kabinet Pembangunan
dengan tugasnya yang disebut Pancakrida, yaitu:
• Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi.
• Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun.
• Pelaksanaan Pemilihan Umum.
• Membersihkan sisa-sisa PKI dari Indonesia.
• Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
b) Pembubaran PKI
Sebagai pengemban Surat Perintah Sebelas Maret, Soeharto mendorong MPRS untuk
mengeluarkan keputusan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diatur dalam TAP
MPRS No. IX/1966 sekaligus menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Pada
tanggal 8 Maret 1966, dilakukan pengamanan terhadap 15 orang menteri yang dianggap terlibat
dalam Gerakan 30 September 1965.
c) Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan menganut sistem
pemerintahan berdasarkan Trias Politica dengan tiga bentuk pemisahan kekuasaan di
pemerintahan yaitu Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif.
d) Pengelompokan Partai Politik.
Setelah dilaksanakannya Pemilihan Umum pada tahun 1971, dilakukan penyederhanaan jumlah
partai dengan menggabungkan sejumlah partai yang memiliki persamaan program. Hasil
penggabungan tersebut menghasilkan tiga partai politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan,
Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya.
e) Memasyarakatkan P4.
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Soeharto mengemukakan gagasan untuk pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yaitu Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan dimaksud
kemudian diresmikan sebagai Ketetapan MPR dalam Sidang Umum tahun 1978. Gagasan ini
dimaksudkan untuk mendukung program Orde Baru yaitu pelaksanaan Pancasila dan UUD
1945.
f) Kembali Aktif di Organisasi Internasional
Setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru, pemerintahan Indonesia kembali menjalin
hubungan baik dengan negara-negara tetangga. Di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Indonesia kembali bergabung menjadi anggota pada 28 Desember 1966. Dengan tergabung
kembali di PBB, Indonesia mendapatkan keuntungan strategis di berbagai bidang, termasuk
ketika turut menjadi pelopor untuk berdirinya ASEAN bersama dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya.
2) KEAMANAN DAN PERTAHANAN
a) Peran ABRI
Untuk menciptakan stabilitas di Indonesia, pemerintah memberikan peran ganda kepada
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai benteng pertahanan dan keamanan,
sekaligus sebagai kendali sosial di masyarakat. Fungsi ini dikenal dengan sebutan ‘Dwifungsi
ABRI’. Dalam pemerintahan, ABRI memiliki jatah kursi dengan pengangkatan di MPR/DPR
dan DPRD.
b) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
Politik konfrontatif yang dijalankan Indonesia semasa Demokrasi Terpimpin telah
mengakibatkan hubungan buruk dengan negara-negara tetangga, terutama di Asia Tenggara.
Melalui Menteri Luar Negeri, Adam Malik, pemerintah melakukan pembicaraan untuk menjalin
hubungan diplomatik kembali dengan Malaysia dan Singapura.

RANGKUMAN
1) Era pemerintahan Orde Baru berhadapan dengan instabilitas politik dan keamanan di
Indonesia.
2) Dengan target yang terukur, pemerintah melaksanakan beberapa program kerja untuk
memulihkan stabilitas politik dan keamanan.
STABILISASI
PENYERAGAMAN ERA ORDE
BARU
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru senantiasa berupaya
menciptakan stabilitas. Bagaimanakah pelaksanaan stabilisasi penyeragaman di Era Orde Baru?
Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai stabilisasi
penyeragaman di Era Orde Baru.

Depolitisasi parpol dan ormas dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara
penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi
konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan
ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan
Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan
kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan
Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.

Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan
bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai
janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita, yaitu:
1) Takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;
2) Mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang;
3) Mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi;
4) Demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah;
5) Suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978
rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR,
pemerintah membentuk Komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr.
Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan
Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi
pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.

Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi


Pancasila, sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut, maka opini rakyat akan
mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan
suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian,
sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.

Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol (organisasi sosial politik)
yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai
dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal ini
disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim
ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang
tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.

Kemudian, pada 19 Januari 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan UU No.3
tahun 1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila
sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah
mengeluarkan UU No.8 tahun 1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi
sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka.

RANGKUMAN
1) Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara
penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila.
2) Pada 19 Januari 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang
No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila
sebagai asas tunggal mereka.
PENERAPAN DWI FUNGSI
ABRI
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru senantiasa berupaya
menciptakan stabilitas. Bagaimanakah penerapan Dwi Fungsi ABRI di Era Orde Baru? Berikut
penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai Dwi Fungsi
ABRI di Era Orde Baru.

Konsep Dwifungsi ABRI dapat dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI,
untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab
perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam (pertahanan keamanan) negara maupun
di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.” Bertolak dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa
tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan
hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai
kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat
yang bersama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan
pembangunan nasional.

Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua
fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang
politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer
Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang
politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada
tahun 1968.

Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang
mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di
DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak
seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka
bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat
nasional bertanggung jawab langsung kepada Panglima ABRI. Selain itu, para anggota ABRI
juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar
serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta
sampai ke daerah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).

Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya
bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan
partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Keterlibatan
ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar
disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya, pada Munas I Golkar
di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan
Pengurus Pusat. Hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II, jabatan ketua Golkar
dipegang oleh anggota ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer
pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di
bawah kendali militer.

Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif.
Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap
memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun,
keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka
mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap
eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya
Pembangunan dalam proses kerja DPR serta adanya perangkataturan kerja DPR yang dalam
batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara
otonom.

Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah
dalam formulasi kebijakan oleh MPR. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak
didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari:
• Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon,
Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”.
• Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada
waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan
Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu.
• ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan
berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

RANGKUMAN
1) Konsep Dwifungsi ABRI dapat dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian
ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung
jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam (pertahanan keamanan) negara
maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
2) Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki
dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang
politik.
REHABILITASI EKONOMI
ORDE BARU
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru senantiasa berupaya
membenahi berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara.
Bagaimanakah berlangsungnya rehabilitasi ekonomi di Era Orde Baru? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai rehabilitasi
ekonomi di Era Orde Baru.

Stabilisasi polkam (politik dan keamanan) sangatlah diperlukan untuk pembangunan ekonomi
bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwariskan Orde Lama adalah sangat buruk.
Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya.
Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga
tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember
1965, seluruhnya berjumlah US $2.358 juta. Dengan perincian negara-negara yang memberikan
hutang pada masa Orde Lama ialah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $
587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.

Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS
No.XXIII/1966 yang isinya, antara lain, mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan
ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik.
Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa
hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat. Bertolak dari kenyataan ekonomi
seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi
adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi, yakni dengan menyusun APBN (Anggaran
Pendapatan Belanja Negara) berimbang.

Sejalan dengan kebijakan itu, pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang
luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun
pembangunan ekonomi berikutnya. Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri
itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan
tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club), untuk merundingkan hutang-piutang negara,
serta ke London, Inggris (London Club) guna merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai
bukti keseriusan dan itikad baik, pemerintah Orde Baru, sebelum pertemuan Paris Club, telah
mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran
ganti rugi sebesar US $ 165 juta terhadap beberapa perusahaan Belanda yang dinasionalisasi
oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan
untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh
pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.

Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru
memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan UU
PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang
akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak
memusuhi investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya,
aktivitas asing dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin
membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal asing, selayaknya mereka didorong dan
dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan
investasi asing, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah
memiliki uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.

Upaya lain adalah menerbitkan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Satu hal dari UU PMDN adalah adanya klausal yang menarik yang menyebutkan
bahwa dalam penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus
menguasai 51% sahamnya. Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN
pada tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas
menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan
Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres no.286/1968 badan itu berubah menjadi
Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil
positif. Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80%
(1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada tahun-tahun
berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% atau lebih rendah.

RANGKUMAN
1) Stabilisasi polkam (politik dan keamanan) sangatlah diperlukan untuk pembangunan
ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwariskan Orde Lama adalah sangat
buruk.
2) Pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus
mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi
berikutnya.
KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN ORDE
BARU
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru senantiasa berupaya
melakukan pembangunan dalam berbagai sektor. Bagaimanakah kebijakan pembangunan di
Era Orde Baru? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai kebijakan
pembangunan di Era Orde Baru.

Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan
atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan
tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil, untuk melaksanakan
amanat masyarakat, maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan
melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang
memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.

Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun
1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN
merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang
kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita
yang berisi program-program konkrit yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun.
Repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek
dan jangka panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I
(1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan
segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa
Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).

Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang
terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu:
1) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat;
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan
3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan pembangunan
tidak akan bermakna apabila tak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu,
sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan
Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yakni:
a) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan
perumahan;
b) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
c) Pemerataan pembagian pendapatan;
d) Pemerataan kesempatan kerja;
e) Pemerataan kesempatan berusaha;
f) Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda
dan kaum wanita;
g) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
h) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur


Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam
rencana pembangunan yang dibuat oleh Presiden Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan
landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di
sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses
pembaharuan sektor pertanian. Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor
pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
pembangunan dalam tahapan berikutnya.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, pembangunan pendidikan mengalami kemajuan


yang sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru,
yaitu pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib
belajar dan pembentukan kelompok belajar atau Kejar. Semuanya itu bertujuan untuk
memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang
penduduknya berpenghasilan rendah.

Pada masa Orde Baru dilaksanakan pula program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk
yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk
Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi
1,6%.Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan
peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang dilaksanakan
oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

RANGKUMAN
1) Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan
atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2) Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil,
untuk melaksanakan amanat masyarakat, maka pemerintah mencanangkan pembangunan
nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan
Jangka Panjang.
INTEGRASI TIMOR-TIMUR
Integrasi Timor-Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlangsung bertahap.
Bagaimanakah proses integrasi Timor-Timur? Berikut penjelasannya.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai proses
integrasi Timor-Timur.

Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik
internasional saat itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara
dimana terjadi perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika
Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet). Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada
tahun 1975, berdasarkan Teori Domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan
Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya
pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang
bisa menyebabkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.

Kemenangan komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak langsung juga membuat khawatir
para elit Indonesia (khususnya pihak militer). Pada saat bersamaan, di wilayah koloni Portugis
(Timor-Timur) yang berbatasan secara langsung dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik.
Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah baru
Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola. Ia telah melakukan perubahan dan
berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan
dekolonisasi. Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan
yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu adalah:
• Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin
merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara
bagian dari Portugal.
• Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner
KemerdekaanTimor-Timur) yang radikal –komunis dan ingin segera merdeka.
• Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat
Timor) yang ingin bergabung dengan Indonesia.
Selain itu, terdapat dua partai kecil, yaitu Kota dan Trabalista. Ketiga partai besar tersebut
saling bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara. Pada tanggal 31 Agustus 1974,
Ketua Umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung
dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat
di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis
dan etnis maupun geografis. Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah
tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu mendapat respons yang cukup positif dari para elit
politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya memang merasa
khawatir jika Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis.
Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja keinginan
Apodeti.
Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari
para pendukung “Proklamasi Balibo”, yang terdiri atas UDT bersama Apodeti, Kota, dan
Trabalista. Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan
pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei
1976, DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik
Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor-
Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.

Atas keinginan bergabung rakyat Timor-Timur dan permintaan bantuan yang diajukan,
pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer
ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis
berdiri di Timor-Timur. Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan,
pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor-Timur ke
dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Penyatuan Timor-Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
pembentukan Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap
MPR nomor IV/MPR/1978. Timor-Timur pun secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia.

RANGKUMAN
1) Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik
internasional saat itu, yaitu perang dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara
saat itu terjadi perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika
Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet).
2) Indonesia menjalankan proses pengesahan Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan
mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor-Timur.
Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978. Timor-Timur
punsecara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai