Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak
enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada masa Orde Baru untuk memilih anggota DPR/MPR dan
DPRD. Pemilihan presiden dilakukan dengan sistem perwakilan di Parlemen.
Pemilu 1971.
Pemilu ini merupakan pemilu pertama pasca Orde Baru muncul menggantikan
Demokrasi Terpimpin. Seharunya pemilu dilaksanakan pada tahun 1968, dikarenakan
berbagai alasan akhirnya ditunda. Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan
pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai
peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu
sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776
pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100
orang diangkat. Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu,
Pemilu 1982.
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara
Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di
Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar
berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
Pemilu 1987.
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987
adalah: PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan
pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari
kabah menjadi bintang. Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi
299 kursi. PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI
sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
Pemilu 1992.
Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada
waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot
dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16
persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan
yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282,
atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61
pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Yang berhasil menaikkan
perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil
meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56
kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32
kursinya di DPR RI.
Pemilu 1997.
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya: Golkar memperoleh suara
mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi. PPP
mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal
ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI
Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu
diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu
mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut
sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR.
Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama
enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa
catatan.
Hasilnya pemilu pada masa Orde baru, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan
PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi
pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat
kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar
adalah birokrasi sipil dan militer
2. Pemasyarakatan P4
3. Pembangunan Nasional Pada Masa Orde Baru
Setelah pemerintahan Orde Baru berdiri, dicanangkan berbagai konsepsi dan
aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah
utama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah membentuk Kabinet
Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 pada 6 Juni 1968.
Hubungan antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde
Baru,
1) Munculnya partai golkar kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer,
yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI.
Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar)
2) Munculnya Partai Persatuan Pembangunan lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973
yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai
tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
3) Munculnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) PDI juga merupakan partai yang terbentuk
pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat
nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak
dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini
kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan
bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP,
PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Program bantuan luar negeri Indonesia yaitu dengan memlalui lembaga IGGI
(International Governmental Group for Indonesia). IGG didirikan pada tahun 1967, tujuannya
memberikan kredit jangka panjang dengan bunga ringan kepada Indonesia untuk biaya
pembangunan. Anggota IGGI terdiri atas 2 kelompok,
a) Negara-negara kreditor, seperti Inggris, Prancis, Belgia, Itali, Swiss, Jepang, Belanda,
Jerman Barat, Australia, Slandia Baru, Amerika Serikat dan Kanada
b) Badan keuangan dunia baik internasional maupun regional, seperti Bank Dunia (Word
Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter
Internasional (International Monetary Fund), dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
Bantuan dari IGGi yang digunakan untuk pembangunan proyek-proyek produktif dan
kesejahteraan social itu, antara lain sebagai berikut.
a) Bantuan teknik
Umumnya tidak diterima dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk bantuan tenaga ahli,
peralatan laboratorium, dan penelitian
b) Grant
Digunakan untuk biaya berbagai macam keperluan pembangunan, misalnya untuk
membeli kapal angkutan laut
c) Devisa Kredit dan Bantuan Pangan
Digunakan untuk biaya impor barang modal, bahan baku, dan bahan makanan
d) Bantuan Protek
Digunakan untuk biaya pembangunan preyek listrik, pembangunan telekomunikasi,
pengairan, pendidikan, kesehatan (program KB), dan prasarana lainnya.
e) Bantuan program
Digunakan untuk biaya penyusunan program pembangunan.