Anda di halaman 1dari 11

PENGUATAN NEGARA PADA MASA

PEMERINTAHAN ORDE BARU

1. Pemilu Pada Orde Baru


Orde Baru merupakan masa dimana presiden Soeharto memerintah di Indonesia.
Istilah Orde Baru muncul untuk menggantikan pemerintahan yang lama, Demokrasi
Terpimpin yang penuh dengan penyimpangan. Orde Baru berupaya untuk melaksanakan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Akan tetapi pada kenyataannya, sama saja dengan
Demokrasi Terpimpin, Orde Baru juga muncul berbagai macam penyimpangan.

Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak
enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada masa Orde Baru untuk memilih anggota DPR/MPR dan
DPRD. Pemilihan presiden dilakukan dengan sistem perwakilan di Parlemen.

Pemilu 1971.

Pemilu ini merupakan pemilu pertama pasca Orde Baru muncul menggantikan
Demokrasi Terpimpin. Seharunya pemilu dilaksanakan pada tahun 1968, dikarenakan
berbagai alasan akhirnya ditunda. Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan
pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai
peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.

Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu
sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776
pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100
orang diangkat. Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu,

1) Partai Golongan Karya (236 kursi),


2) Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi),
3) Partai Muslimin Indonesia (24 kusi),
4) Partai Nasional Indonesia (20 kursi),
5) Partai Kristen Indonesia (7 kursi),
6) Partai Katolik (3 kursi),
7) Partai Islam Perti (2 kursi),
8) Partai IPKI (tak satu kursipun).
9) Partai Syariat Islam Indonesia (10 kursi)
10) Partai Musyawarah Rakyat Banyak (tak satu kursipun)
Pemilu 1977.

Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU


No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga
ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Pemungutan suara
Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam
Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750
pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Hasil dari Pemilu
1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk
PPP dan 29 kursi untuk PDI.

Pemilu 1982.

Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara
Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di
Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar
berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.

Pemilu 1987.

Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987
adalah: PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan
pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari
kabah menjadi bintang. Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi
299 kursi. PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI
sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.

Pemilu 1992.

Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada
waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot
dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16
persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan
yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282,
atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61
pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Yang berhasil menaikkan
perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil
meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56
kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32
kursinya di DPR RI.
Pemilu 1997.

Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya: Golkar memperoleh suara
mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi. PPP
mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal
ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI
Megawati Soekarno Putri.

Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu
diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu
mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut
sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR.
Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama
enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa
catatan.

Hasilnya pemilu pada masa Orde baru, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan
PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi
pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat
kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar
adalah birokrasi sipil dan militer
2. Pemasyarakatan P4
3. Pembangunan Nasional Pada Masa Orde Baru
Setelah pemerintahan Orde Baru berdiri, dicanangkan berbagai konsepsi dan
aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah
utama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah membentuk Kabinet
Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 pada 6 Juni 1968.

Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet


Pembangunan, yang berisi:
a. menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya
pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum
(Pemilu);
b. menyusun dan merencanakan Repelita;
c. melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
d. mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G
30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap
Pancasila dan UUD 1945;
e. melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di
pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Pada masa kepemimpinan Soeharto, Soeharto mempunyai program pembangunan


jangka pendek yang disebut Pelita (pembangunan lima tahun). Selama masa
kepemimpinannya soeharto mampu menjalankan program pembangunan pelita hingga
mencapai pelita VI dan telah menjadi program pembangunan jangka panjang. Dari pelita I
hingga VI ada pelita yang menekankan program pembangunannya pada Trilogi
Pembangunan yaitu di pelita III.

Pelita yang dimaksud adalah :


Pelita I (1 April 69 31 Maret 74) : Menekankan pada pembangunan bidang pertanian.
Pelita II (1 April 74 31 Maret 79) : Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan
prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelita III (1 April 79 31 Maret 84) : Menekankan pada Trilogi Pembangunan.
Pelita IV (1 April 84 31 Maret 89) : Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
Pelita V ( 1 April 89 31 Maret 94) : Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
Pelita VI (1 April 94 31 Maret 1999) : Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor
bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

Trilogi pembangunan adalah wacana pembangunan nasional yang dicanangkan oleh


pemerintah orde baru di indonesia sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi,
dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Isi Trilogi pembangunan adalah
sebagai berikut :
a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
b) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
c) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis

Unsur-unsur dalam Trilogi pembangunan adalah :


a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
Berarti bahwa pembangunan itu harus dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah
tanah air, serta hasil-hasilnya harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat secara adil dan
merata. Adil dan merata mengandung arti bahwa setiap warga negara harus menerima
hasil-hasil pembangunan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan bagi yang mampu
berperan lebih, harus menerima hasilnya sesuai dengan dharma baktinya kepada
bangsa dan negara.
b) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi mengandung arti bahwa
1) Pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari angka laju pertumbuhan penduduk
2) Upaya mengejar pertumbuhan ekonomi harus tetap memperhatikan keadilan
keadilan dan pemeataan.
3) Harus tetap dijaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dengan bidang-
bidang pembangunan lainnya
c) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan itu :
1) Terdapat kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman,
tentram, tertib yang tercipta karena berlakunya aturan yang di sepakati bersama
2) Dalam kondisi stabilitas nasional terdapat iklim yang mndorong berkembangnya
kreativitas masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.

Trilogi pembangunan yang di canangkan oleh presiden Soeharto ini berhasil


meningkatkan pertumbuhan indonesia dari minus 2,25% pada tahun 1963 menjadi naik
tajam sebesar 12% pada tahun 1969 atau setahun setelah dirinya ditunjuk sebagai
pejabat presiden. Selama periode tahun 1967-1997, pertumbuhan ekonomi indonesia
dapat ditingkatkan dan di pertahankan rata-rata 72% pertahun. Namun demikian, meski
Trilogi pembangunan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perancanaan trilogi
pembangunan ini menuai kontroversi karena pada pelaksanaannya mengakibatkan hal-
hal berikut :
a) Pelaksanaan stabilitas politik menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah
peraturan yang mengakibatkan pengendalian pers dan pengendalian aksi
mahasiswa.
b) Dalam hal procedural diterbitkan undang-undang tentang organisasi masa dan
undang-undang partai politik pertumbuhan ekonomi menghasilkan penanaman modal
asing yang mengakibatkan utang luar negri.
c) Serbuan para insvestor asing ini kemudian melambat ketika terjadi jatuhnya harga
minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan regulasi
(liberalisasi) pada tahun 1983-1988. Tampa disadari, kebijakan penarikan insvestor
yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang Indonesia yang mengatur arus
modal menjadi yang sangat liberal di lingkungan internasional. Namun kebijakan
yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian di kalangan petani. Dalam
pemerataan hasil, pelaksanaannya membuka jalur-jalur distributive seperti kredit
usaha tani dan mitra pengusaha besar dan kecil.
4. Dwi Fungsi ABRI
Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan
bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan
kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan
untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato
Soeharto. Soeharto mengatakan bahwa sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat
pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya
sebagai kekuatan sosial, politik.
Sedangkan dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah fungsi.
Yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. ABRI sebagai pelaksana tugas keamanan
Negara juga kemanunggalannya dengan rakyat yang lebih di kenal dengan ABRI masuk desa
maka dapat di kategorikan ABRI sebagai dinamisator sedangkan sebagai stabilisator dalam
kehidupan bangsa dan negara. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua
fungsinya dalam tindakan-tindakan berikut ini:

1) ABRI sebagai dinamisator :


a) Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika
masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-
kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing,
menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam
pembangunan. Dalam halini dapat di contohkan dalam amnunggal desa yang lebh di
kenal dengan ABRI masuk desa, abri masuk desa ini membantu segala hal yang yang
berkaitan dengan pembanguna desa dalam rangk mengabdi kepada masyarakat.
b) Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut
merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas
serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-
rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI
dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
c) Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan
dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan
disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada
Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat
berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
d) Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang
maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha
modernisasi.
2) ABRI sebagai stabilisator :
a) Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika
masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat,
membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan sosial.
b) Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan
suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari
budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
c) Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam
menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada
kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai
kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat
waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang
diutamakan.
d) Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak
dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-
giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social
yang sangat cepat.

Hubungan antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde
Baru,
1) Munculnya partai golkar kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer,
yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI.
Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar)
2) Munculnya Partai Persatuan Pembangunan lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973
yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai
tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
3) Munculnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) PDI juga merupakan partai yang terbentuk
pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat
nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak
dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini
kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan
bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP,
PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.

Dampak negatife dari dwi fungsi ABRI,


1) Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon,
Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang dikaryakan,
2) Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri
pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga
keberadaan Golkar sebagai partai politik yang berkuasa pada waktu itu,
3) ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan
menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
4) Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat
terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga
masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan
alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan
inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai
petinggi di wilayahnya tersebut,
5) Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan
bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat
penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah
ABRI mengatur masyarakat, dan
6) Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat
terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-
repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.
5. Program Bantuan Luar Negeri

Program bantuan luar negeri Indonesia yaitu dengan memlalui lembaga IGGI
(International Governmental Group for Indonesia). IGG didirikan pada tahun 1967, tujuannya
memberikan kredit jangka panjang dengan bunga ringan kepada Indonesia untuk biaya
pembangunan. Anggota IGGI terdiri atas 2 kelompok,

a) Negara-negara kreditor, seperti Inggris, Prancis, Belgia, Itali, Swiss, Jepang, Belanda,
Jerman Barat, Australia, Slandia Baru, Amerika Serikat dan Kanada
b) Badan keuangan dunia baik internasional maupun regional, seperti Bank Dunia (Word
Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter
Internasional (International Monetary Fund), dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)

Bantuan dari IGGi yang digunakan untuk pembangunan proyek-proyek produktif dan
kesejahteraan social itu, antara lain sebagai berikut.

a) Bantuan teknik
Umumnya tidak diterima dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk bantuan tenaga ahli,
peralatan laboratorium, dan penelitian
b) Grant
Digunakan untuk biaya berbagai macam keperluan pembangunan, misalnya untuk
membeli kapal angkutan laut
c) Devisa Kredit dan Bantuan Pangan
Digunakan untuk biaya impor barang modal, bahan baku, dan bahan makanan
d) Bantuan Protek
Digunakan untuk biaya pembangunan preyek listrik, pembangunan telekomunikasi,
pengairan, pendidikan, kesehatan (program KB), dan prasarana lainnya.
e) Bantuan program
Digunakan untuk biaya penyusunan program pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai