Anda di halaman 1dari 8

KEPERAWATAN HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :

GABRIELLA RACHEL CAROLINE SOETANTO (1933007)

MARIA VERAWATI (1933008)

S1 ILMU KEPERAWATAN

Dosen Pengampu : Ns. Sri Indayati, M.Kep

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS

2020/2021
ASPEK PSIKO,SOSIAL,KULTURAL DAN SPIRITUAL KLIEN HIV/AIDS

a. Aspek Psikologis
Pada dasarnya, HIV AIDS merupakan suatu penyakit menular yang sangat
berbahaya karena menyerang sistem imun seseorang, dikarenakan oleh karena adanya
penyakit ini, maka seseorang akan merasa kecewa akan penyakit yang dialaminya.
Penyebab dari adanya HIV AIDS ini disebabkan oleh adanya perilaku seks bebas,
penggunaan jarum suntik bekas pasien HIV lainnya, dan lain-lain.
Pada umumnya, ketika seseorang mengalami HIV AIDS mereka akan merasa
putus asa. Mereka cenderung akan merasa sedih dan tidak tau harus berbuat apa karena
mereka merasa bahwa diri mereka tidak bisa melakukan apa apa lagi. Mereka hanya bisa
berbaring di tempat tidur. Pasien terkadang merasa kuat, dan terkadang bisa merasa down
dalam aspek psikologisnya. Selain itu, pasien merasa takut bahwa penyakitnya ini malah
akan membuatnya meninggal. Dan oleh karena adanya keputusasaan tersebut, maka
pasien memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Hal ini disebabkan oleh karena pasien merasa tidak ada guna bagi mereka untuk
hidup dalam keadaan yang demikian. Pasien umumnya cenderung mengekspresikan rasa
kecewanya dalam bentuk tangisan, teriakan, putus asa, tidak mau bicara, kurang
semangat dalam menjalani hidupnya.
Selain itu, pasien ada yang berkeinginan untuk menggunakan narkoba kembali
sebagai pelarian, dan menganggap bahwa hidup ini tidak berarti lagi. Namun, setelah
pasien mengalami HIV dalam waktu yang cukup lama dan ada dukungan dari keluarga,
maka pasien akan merasa lebih membaik dan mau menerima kembali keadaannya, serta
mendapat motivasi untuk hidup lebih baik lagi kedepannya.

b. Aspek Sosial
Perubahan yang terjadi dalam aspek sosial adalah proses penerimaan keluarga.
Keluarga pasien biasanya cenderung memberikan ekspresi dan respon marah, karena
tidak percaya akan apa yang terjadi pada anggota keluarganya. Mereka juga
menunjukkan perilaku tidak menerima akan keadaan tersebut. Mereka tidak terima akan
status yang mereka miliki. Para keluarga pasien pun juga ikut merasakan kesedihan dan
kekecewaan, bahkan ada dari antara mereka yang merasa ingin mati saja karena tidak
kuat dengan keadaan keluarganya yang seperti itu.
Setelah pasien mengidap HIV dalam waktu yang cukup lama, maka ada pula
perubahan pada aspek sosial yang dilakukan oleh para keluarga pasien. Mereka
cenderung akan menerima keadaannya. Mereka ingin menjadi support system bagi
keluarganya. Mereka tidak ingin keluarga mereka menjadi patah semangat dan memiliki
keinginan untuk bunuh diri. Keluarga pasien juga akan mulai menumbuhkan perasaan
ikhlas atas penyakit yang di derita oleh keluarganya.
Selain perubahan respon pada keluarga, ada pula perubahan respon pada
masyarakat. Perubahan tersebut adalah, adanya tindakan menarik diri. Oleh karena
adanya rasa malu tersebut, pasien dan keluarganya juga akan menarik diri dari
masyarakat luas. Hal ini dikarenakan, pola pikir masyarakat yang berubah setelah
mengetahui bahwa pasien tersebut mengidap HIV.
Selain itu, dukungan dan penerimaan juga sangat membantu pasien dalam proses
Healing. Pasien juga mendapatkan dukungan yang besar dari petugas ODHA. Petugas
ODHA juga memberikan semangat bagi pasien agar pasien tidak merasa putus asa dan
kecewa.

c. Aspek Kultural
Berdasarkan aspek kultural yang ada, menyatakan bahwa perilaku seksual yang
salah akan memberikan pandangan negatif pula terhadap suatu kultur atau budaya di
suatu daerah. Dimana ada beberapa budaya tradisional yang kembali meluruskan jalan
bagi perilaku seksual yang salah. Di beberapa daerah mengatakan bahwa Apabila ada
seseorang yang memiliki anak perempuan maka anak tersebut adalah aset dari keluarga.
Namun dalam cara pandang budaya tertentu ini mereka menganggap bahwa akan baik
bagi mereka ketika anak mereka menjadi Pekerja Seks Komersial di luar negeri karena
akan meningkatkan status sosial dan derajat mereka. Sedangkan hal ini merupakan inti
dari permasalahan HIV AIDS yang terjadi dalam bidang budaya dan adat seperti ini
seharusnya lebih baik dihapuskan karena walaupun seseorang yang melakukan hubungan
seks bebas hanya demi mendapatkan uang, maka HIV AIDS pun akan menyebar juga
dengan sangat cepat.
Namun ada beberapa budaya tertentu yang mengatakan bahwa perilaku seks
bebas ini merupakan perilaku yang salah karena tidak sesuai dengan norma dan adat
budaya yang berlaku disuatu daerah. Mereka merasa bahwa perilaku seks bebas ini
merupakan perilaku yang tidak bermoral dan tidak pantas untuk dilakukan karena sangat
berbanding terbalik dengan peraturan yang ada dalam suatu budaya tertentu. Respon yang
diberikan oleh para masyarakat budaya kurang lebih akan sama seperti aspek sosial di
atas karena beberapa orang akan menjauhi menjaga jarak dan tidak mau untuk melakukan
hubungan antar masyarakat atau antar budaya dengan orang yang mengidap HIV maupun
keluarganya.
Hal ini tergantung dari cara pandang setiap budaya di mana ada budaya yang
mengizinkan adanya seks bebas dan ada juga budaya yang melarang adanya seks bebas.
Di balik semua itu HIV AIDS tetap menjadi penyakit yang yang diakibatkan oleh adanya
seks bebas tersebut.

d. Aspek Spiritual
Berdasarkan aspek spiritualnya orang yang mengidap HIV AIDS awalnya
memiliki hubungan yang jauh dari agama. Sehingga mereka tidak bisa menaati aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh agama dan juga hal-hal yang dilanggar oleh Tuhan .
Namun ketika hal ini sudah terjadi maka mereka akan memiliki sikap ketabahan hati
untuk menerima segala penyakit yang dialami karena mereka menyadari bahwa hal
tersebut terjadi oleh karena tingkah laku dan perilaku mereka. Perawat juga dapat
memberikan semangat dan juga memberikan contoh nyata melalui kutipan kitab suci atau
kutipan orang bijak sebagai pencerahan bagi orang tersebut, dan perawat juga harus
mampu untuk bisa menjelaskan bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada
umatnya melebihi dari kemampuannya.
Perawat akan meyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti
mengandung hikmah yang penting bagi kehidupannya. Ketika masalah HIV AIDS telah
terjadi dalam diri seseorang penderitanya, maka mereka cenderung akan ingin lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara berdoa bersyukur meminta maaf dan juga
bertobat.
Maka dari itu aspek spiritual pun menjadi sistem pendukung bagi seseorang untuk
dapat mensyukuri hidupnya dan melakukan banyak hal-hal baik kedepannya serta
menyadari bahwa suatu kesalahan yang diperbuat di masa lalu tidak harus diulangi di
kedepannya

e. Stigma pada ODHA

Jumlah kasus penularan HIV di Indonesia cenderung mengalami kenaikan dari


tahun 2010 sampai bulan Desember 2015. Pada tahun 2010 jumlah kasus HIV di
Indonesia yang dilaporkan sebanyak 21.591 orang dan pada tahun 2015 tercatat sebanyak
30.935 orang. Penderita AIDS di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 7.418 orang
kemudian meningkat menjadi 11.682 orang pada tahun 2013 dan kemudian menurun
menjadi 6.373 orang pada tahun 2015. Provinsi yang memiliki jumlah kumulatif kasus
HIV terbanyak di Indonesia dari April 1987 sampai dengan Maret 2016 adalah DKI
Jakarta sebanyak 40.500 orang.

Stigma Masyarakat
Stigma masyarakat merupakan perasaan bahwa seseorang atau kelompok merasa
mereka lebih unggul dari yang lain dan menyebabkan seseorang atau kelompok lain
dikucilkan secara sosial yang pada akhirnya mengarah kepada terjadinya ketimpangan
sosial. Stigma masyarakat terhadap ODHA dipengaruhi beberapa anggapan seperti,
penyakit yang tidak dapat dicegah atau dikendalikan, penyakit akibat dari “orang yang
tidak bermoral”, dan penyakit yang mudah menular kepada orang lain. Stigma ini
mencerminkan bias kelas sosial yang mendalam.
Penyakit ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan menjadi pembenaran untuk
ketidakadilan sosial. ODHA sering diberi label sebagai 'yang lain'. Ia adalah ras yang
lain, manusia yang lain, atau kelompok yang lain. Stigma dari masyarakat tercermin dari
persepsi perlakuan negatif berupa penghindaran, penghinaan, penolakan dalam pergaulan
sosial, dan kehilangan pekerjaan. Perlakuan negatif muncul dari ketakutan tertular,
dimana seseorang merasa tidak nyaman pada saat kontak langsung dengan ODHA
maupun dengan benda-benda yang digunakan oleh ODHA.
Stigma merupakan atribut, perilaku, atau reputasi sosial yang mendiskreditkan
dengan cara tertentu. Menurut Corrigan dan Kleinlein, stigma memiliki dua pemahaman
sudut pandang, yaitu stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri (self stigma). Stigma
masyarakat terjadi ketika masyarakat umum setuju dengan stereotipe buruk seseorang
(misal, penyakit mental, pecandu, dll) dan Self Stigma adalah konsekuensi dari orang
yang distigmakan menerapkan stigma untuk diri mereka sendiri.
Pecandu narkoba suntik yang terinfeksi HIV memiliki beban ganda stigma dalam
hubungan sosial di masyarakat. Pecandu narkoba termasuk orang atau kelompok
penyandang stigma sebelum terkena HIV/AIDS dan stigma tersebut meningkat pada saat
mereka terkena penyakit. Stigma sebagai pecandu cenderung disifatkan sebagai orang
yang “tercela” dan “berbahaya”.Infeksi virus HIV karena sifatnya yang menular dan
belum ditemukan obatnya sering dianggap sebagai penyakit yang mengerikan.
Pandangan ini mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap orang yang positif
terinfeksi virus HIV. Akibatnya ODHA sering dikucilkan dan dijauhi dalam pergaulan di
masyarakat. Lebih lanjut, stigma mempengaruhi kehidupan ODHA dengan menimbulkan
depresi dan kecemasan, rasa sedih, rasa bersalah, dan perasaan kurang bernilai. Selain itu
stigma dapat menurunkan kualitas hidup, membatasi akses dan penggunaan layanan
kesehatan, dan mengurangi kepatuhan terhadap antiretroviral (ARV)
Stigma yang diterima oleh ODHA pecandu narkoba suntik di Jakarta terdiri dari
stigma dari masyarakat dan self stigma. Stigma dari masyarakat bisa berasal dari keluarga
terdekat, teman dan tetangga, serta dari petugas kesehatan. Stigma masyarakat yang
diterima ODHA pecandu narkoba suntik di Jakarta berupa diskriminasi, perlakuan yang
merendahkan, perlakuan kasar, dan pembiaran baik di dalam keluarga, lingkungan sosial
maupun pelayanan kesehatan.
Self stigma berupa perasaan takut terhadap kondisi diri sendiri dan takut terhadap
penerimaan masyarakat, serta internalisasi stigma masyarakat atau mengganggap bahwa
cap negatif masyarakat terhadap mereka adalah benar. Kedua jenis stigma ini
mempengaruhi upaya ODHA pecandu narkoba suntik di Jakarta untuk mencari
pengobatan atas infeksi HIV yang diderita serta pengobatan atas adiksi narkoba. ODHA
pecandu narkoba yang merasa terstigma akan mengurangi kemungkinan untuk mencari
pengobatan, bagi yang telah menjalani pengobatan mungkin akan memilih mengakhiri
pengobatan, dan mungkin akan mengurangi kepercayaan diri mereka untuk menolak
adiksi narkoba.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, R., Sumartini, S., & Sulastri, A. (2018). Gambaran Perubahan Psikososial dan
Sistem Pendukung pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Rumah Cemara
Gegerkalong Bandung. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia 4(1), 77-85

Handayani, S., Ardani, I. 2017. Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
sebagai Hambatan Pencarian Pengobatan:Studi Kasus pada Pecandu Narkoba Suntik di
Jakarta.Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 45 No.2. 81 – 88.

Setiawan,G.2021.Gambaran Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang


HIV/AIDS. Jurnal Syntax, Vol 3 No.1, Hal 120 - 129

Anda mungkin juga menyukai