Pukul 06.30 bel sekolah berdering, aku masuk kelas dan duduk disamping Fawas, temanku, dia tetangga samping rumahku.
Guruku pun masuk kelas, beliau bernama Guru Alim,
usia guru Alim tidak jauh dengan opah Fitri. Guru Alim mengajar Bahasa Indonesia di kelasku, aku sangat menunggu kedatangan beliau selalu, pelajarannya asik dan menyenangkan.
Sekolah ku memiliki lorong, lorong kedua ditempati oleh
Guru Alim dan guru yang lainnya, sedangkan sisanya memiliki rumah di perkampungan terdekat.
Aku tinggal di perkampungan Kalimantan, jarak dari
rumah ke sekolah hampir 1 jam. Jalan perkampungan yang rusak dan tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Satu bulan pertama, kejadian rumahku di Bengkulu
masih membekas lekat di kepalaku. Puing-puing yang masih merah membara, kepulan asap, dan debu hitam tidak bisa kuenyahkan dengan mudah. Termasuk mimpi- mimpi buruk, mengigau, terjaga pada malam hari dengan tubuh yang berkeringat. Tetapi bulan berikutnya , kesibukan belajar ku disekolah menjadi obat yang mujarab. Aku ikut dengan ayahku di Kalimantan untuk bekerja disana, kadang Ayah jarang pulang ke rumah, tapi ada Opah yang selalu menemaniku serta teman tetanggaku lainnya bernama Vani, tak jauh dari rumahku, dia kadang menginap di rumahku sambil menemani tidurku.
Pada suatu hari, ada perlombaan Puisi tingkat Kab/Desa
di Kalimantan, Guru Alim langsung memilihku menjadi perwakilan di sekolah untuk mengikuti lomba puisi.
Aku pun langsung menolaknya, Bimbang dan Aku Takut
dengan orang-orang diluar sana. Tapi, semua teman- temanku mendukungku untuk bisa menjadi juara di perlombaan puisi, Guru Alim pun juga membujukku sepenuh hatinya.
Aku pun mengiyakan, Aku pun berangkat bersama Guru
Alim dan teman-teman ke tempat perlombaan.
Ruangan besar yang disulap menjadi tempat perlombaan.
Seruan tertahan, suara mengaduh, teriakan menyemangati, hingga teriakan bersahut-sahutan memenuhi langit ruangan.
Denyut jantungku berdetak kencang, Guru Alim pun
menyemangatiku dengan memberi pesan “tenang Fit, pasti Kamu Bisa…lawan rasa Tak percaya dirimu!!”
Aku pun menjawab “Baik Guru Alim, aku harus bisa”
Namaku dipanggil Fitri dengan mic yang super keras yang baru ku dengar di ruangan sbesar ini. Aku pun membacakan puisi yang kubuat ini.
Alhamdulilah aku bisa membacakan puisi ini didepan
banyak orang, Aku menatap guru Alim yang tersenyum.
Kami slalu diajarkan mandiri di sekolah ini, menyapu