Anda di halaman 1dari 2

Putusan Mahkama Konstitusi Terhadap Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan

Sebagaimana diketahui bahwa sejak diundangkannya Undang- Undang No. 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 29 Tahun 2003
pada tanggal 25 Maret 2003, maka hukum positif di bidang ketenagakerjaan yang sebelumnya
didasarkan kepada Kepmen No. 150/MEN/2000 beralih dengan dasar hierarki peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi kemunculan undang-undang ini tidaklah murni
mendapatkan apresiasi yang merata dari seluruh kalangan atau pihak-pihak yang terlibat dalam
bidang ketenagakerjaan, khususnya dari kalangan buruh yang menganggap bahwa kemunculan
UU No. 13/2003 merupakan produk perundangan yang syarat akan kepentingan politis dan
sebagai nilai tawar pemerintah terhadap pihak luar yang menginginkan dan mengatur
perekonomian Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan secara Liberal (Liberalism).

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Hak Uji Materiel Undang-Undang


No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka
berikut beberapa hal yang menjadi keputusannya:

1. Khusus Pasal 137 tentang Mogok Kerja dan Pasal 138 (1) tentang mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja dengan tidak melanggar hukum; Maka,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, mogok kerja dengan
tidak melanggar hukum dan mengajak rekan pekerja/buruh merupakan hak
fundamental pekerja/buruh yang diatur dalam Standar Perburuhan Internasional.
(Status pasal-pasal tersebut tetap diberlakukan).
2. Khusus Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama".
Frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama inilah yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (Status Pasal ini
diberlakukan dengan pengecualian pada frasa dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama saja yang tidak berlaku).
3. Khusus Pasal 158 dap 158 (1) tentang PHK akibat melakukan kesalahan berat. Maka,
sepanjang mengenai anak kalimat (isi pasal termaksud) dan (didasari oleh pengaduan
pengusaha), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, PHK yang
dilakukan sepihak oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan
kesalahan berat tanpa due process of law dari Lembaga Penyelesaian PHI, dianggap
melanggar asas presumption of innocence (Praduga Tak Bersalah). Untuk hal
tersebut, maka perlu adanya pelaporan dari pihak pengusaha atas adanya dugaan
pelanggaran pidana untuk dibuktikan secara hukum acara material (KUAHP) uang
akan membuktikan apakah kesalahan tersebut melanggar atau tidak terkait aspek
pidana yang merupakan pengejawatahan dari kesalahan berat (status pasal dan ayat
ini tetap diberlakukan hingga didapati hasil penyidik pihak yang berwajib bahwa
seorang karyawan tersebut terbukti bersalah atau tidak).
4. Khusus Pasal 159 dengan jelas dinyatakan tidak berlaku lagi, apabila telah dinyatakan
bersalah oleh pihak yang berwajib (Kepolisian). (Status Pasal ini dinyatakan tidak
berlaku).
5. Khusus Pasal 160 (1) tentang pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib karena
melakukan tindak pidana (ditambahkan pada anak kalimat dengan: bukan atas
pengaduan pihak pengusaha). Maka, dinyatakan tetap berlaku yakni pengusaha tidak
wajib membayar upah pekerja/buruh, melainkan hanya berkewajiban memberikan
santunan kepada keluarga pekerja/buruh sesuai ketentuan Pasal 160 (1) huruf a-d.
(status pasal tetap berlaku sepanjang bukan atas pengaduan pengusaha).
6. Khusus Pasal 170 dan Pasal 171 sepanjang menyangkut Pasal 158 (1) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, PHK dengan kesalahan berat tetap
dapat dilakukan pengusaha dengan tetap perlu memintakan izin permohonan PHK
kepada instansi terkait atau mengadukan permasalahan tindak pidana pelanggaran
kepada pihak yang berwajib untuk kemudian mendapatkan penetapan status bersalah
baru kemudian dapat dilakukan PHK. (status Pasal- Pasal ini tetap berlaku sepanjang
tidak menyangkut Pasal 158 (1).
7. Khusus Pasal 96, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-
X/2013 tanggal 19 September 2013 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal ini
menghapuskan masa kedaluwarsa terhadap tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh
dan segala upah yang timbul karena adanya hubungan kerja sejak timbulnya hak terse
but. Artinya, tidak lagi terdapat masa kedaluwarsa selama 2 tahun. 100 tahun pun
buruh menuntut hak atas upahnya dan lain-lain se- bagaimana termaksud, maka akan
tetap dapat diproses. (Status Pasal ini dihapuskan).

Anda mungkin juga menyukai