Anda di halaman 1dari 30

5 Tip Memperlakukan Generasi 

Millennial di
Tempat Kerja

Sebagai sebuah industri yang dinamis dan lekat dengan kebaruan, sebagian besar orang
yang bekerja di startup adalah millennial (generasi yang lahir pada rentang tahun 1980 –
2000). Bagaimanapun, menangani para karyawan dari generasi tersebut bukanlah perkara
mudah
Millenial mencari sosok bos hebat yang bisa mendorong dan memberi tantangan dengan
cara tepat. Mereka juga menginginkan fleksibilitas karena tidak ingin merasa terikat
dengan meja kerja di kantor.

Menurut pencipta istilah  millenial, istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan sebuah


generasi yang berbeda dari generasi sebelumnya: generasi yang dibesarkan dengan cara
berbeda, dalam keadaan berbeda, dan memiliki tujuan, ambisi, serta motivasi yang berbeda
pula.

Sudah banyak penelitian dilakukan untuk memahami generasi


ini. Millennialakan mengambil alih lapangan pekerjaan, banyak di antaranya bahkan sudah
menduduki manajemen level menengah dan senior di berbagai industri.

Lalu, bagaimana sebenarnya pola pikir generasi ini? Apa yang menggugah minat mereka?
Bagaimana seharusnya memperlakukan mereka?

Buat mereka betah

Untuk bisa memperlakukan millennial dengan baik, kita harus paham bahwa mereka


sangat cinta media sosial. Mereka selalu  online dan sangat eksis serta narsis di berbagai
jejaring sosial. Jadi, sebuah lingkungan kerja yang bisa meniru aspek sosial yang
bebas akan sangat menarik bagi millenial.

Kantor berkonsep open office atau tanpa sekat, serta lingkungan kerja kolaboratif bisa


menjadi solusinya. Jika startup kamu tidak mampu menyediakan tipe lingkungan kerja atau
kultur seperti itu, maka kemungkinan besar millennial akan keluar dengan cepat.

Perusahaan seperti Apple, Google, dan Facebook bisa dibilang ahlinya menyediakan


lingkungan kerja yang bisa memfasilitasi dan memanfaatkanenergi dan semangat
para millennial. Cara lainnya adalah dengan menyediakan lingkungan kerja yang
mendorong interaksi antar karyawan, dan tidak struktural dalam hal pelaporan.

Singkirkan penilaian kerja (performance appraisal)

Alasannya adalah karena millenial  membenci  performance appraisal, dan pada dasarnya


hal tersebut tidak berfungsi. Penilaian kerja sebenarnya tidak meningkatkan performa kerja.
Malah banyak yang performanya turun karena mengalami demotivasi setelah dikritik dalam
penilaian kerjanya.

Akui saja, penilaian kerja akan punah. Jika ada waktu terbaik untuk meninggalkannya, itu
adalah sekarang. Kamu mungkin akan bisa menangani millennial dengan sukses tanpa
adanya penilaian kerja. Terdengar radikal, tapi ini perlu.

Bagaimanapun, dibutuhkan keberanian untuk melakukannya. Jika perusahaanmu cukup


besar, maka kemungkinan besar ide ini akan ditentang. Penilaian kerja adalah cara yang
keliru untuk menilai performa.
Untungnya mulai banyak perusahaan yang meninggalkannya. Perusahaan-perusahaan
seperti Adobe, General Electric, dan Accenture sudah tidak menerapkan penilaian kerja.
Sekitar 6 persen perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 500 juga tidak lagi
menerapkannya. Mungkin ini adalah waktu bagi startup kamu untuk melakukan hal yang
sama?

Beri mereka visi

Ini mungkin terdengar klise, namun sebenarnya memang terbukti. Millennialpeduli pada hal-


hal yang berdampak bagi masyarakat, dan itu menjadi motivasi besar mereka.

Ini bisa dilakukan dengan memetakan nilai dan arah perusahaan sesuai dengan visi yang
lebih besar. Tanamkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam bisnis kamu. Dan
usahakan untuk benar-benar menjalankannya, bukan sekadar hanya dijadikan
penghias portofolio perusahaan.

Beberapa perusahaan yang memiliki program CSR bagus di antaranya adalah Google,


Disney, BMW, dan Microsoft. Perusahaan-perusahaan tersebut bisa meningkatkan motivasi
dan engagement karyawannya karena program-program CSR mereka.

Pasangkan dengan manajer yang bisa membimbing mereka

Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajer bisa ikut mengembangkan atau malah
menghancurkan sebuah perusahaan. Banyak karyawan yang keluar dari pekerjaan karena
mempunyai bos buruk. Oleh karena itu, para manajer harus dilatih bekerja sama
dengan millennial, bukannya malah merasa terancam oleh mereka.

Millennial suka dibimbing oleh mentor, namun program bimbingan ini harus dilakukan


dengan benar. Beberapa cara metode bimbingan yang bisa diterapkan: reverse
mentoring (karyawan senior dipasangkan dan dibimbing oleh karyawan junior pada topik-
topik terkini seperti teknologi dan sosial media), instruksikan eksekutif senior untuk
membimbing staf junior, dan sertakan millennial pada keanggotaan organisasi
eksternal untuk membantu mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan mereka.

Meski millennial cenderung tertarik dengan teknologi dan menyerap banyak informasi digital


setiap harinya, mereka lebih menghargai interaksi tatap muka daripada interaksi yang
hanya melalui teknologi.

Cornerstone OnDemand merilis sebuah survei tentang pandangan orang mengenai


penggunaan teknologi di tempat kerja. Beberapa penemuan dari survei tersebut:

 60 persen millennial lebih memilih berkolaborasi secara langsung dibanding


secara online (34 persen) atau melalui telepon maupun video (6 persen).
 38 persen millennial mengatakan mereka telah mengalami ”technology overload”,
dan 41 persen mengalami ”information overload”.
 66 persen mengatakan mereka mau menggunakan teknologi wearableuntuk
membantu menyelesaikan pekerjaan, sementara 34 persen lainnya tidak mau.

Dalam kasus ini, seorang manajer yang baik perlu beradaptasi dengan teknologi baru serta
menyediakan waktu dan pikirannya bagi karyawan millennial mereka.

Persiapkan mereka menjadi pemimpin

Generasi millennial akan menjadi para pemimpin perusahaan masa depan,


bahkan sebagian sudah. Menarik untuk mengetahui bakal menjadi pemimpin seperti
apakah mereka? Bagaimana kita bisa secara efektif melakukan kaderisasi pada generasi
ini? Jawabannya adalah dengan memahami kekuatan terbesar mereka: yakni
kemampuan memengaruhi orang banyak.

Banyak sekali anak muda zaman sekarang yang aktif dalam berbagai


saluran blogging maupun YouTube, dan jumlahnya terus naik. Dengan kemajuan teknologi,
para millennial lebih mudah masuk ke dalam ranah ini dibanding generasi sebelumnya.

Sementara CEO tahun 90-an biasanya merupakan pemimpin


yang karismatik, millennial nantinya akan menjadi pemimpin bijaksana dan dengan
kemampuan memengaruhi alami. Mereka akan bekerja untuk membentuk opini tentang isu-
isu yang mereka pedulikan. Mereka akan memimpin perusahaan dengan rasa kepemilikan,
etika, dan transparansi yang lebih baik.

Ini adalah masa depan yang mungkin terdengar sangat cerah dan ideal. Bisa saja para
pemimpin millennial benar-benar akan menjadi influencer bahkan di luar urusan
perusahaan. Sebuah contoh non-millennial yang menggambarkan fenomena ini adalah
program Lean In yang dikembangkan oleh COO Facebook, Sheryl Sandberg.

Millennial memandang dunia secara berbeda dan ingin menciptakan dunia yang berbeda
bagi generasi berikutnya. Oleh karena itu, memahami mereka seiring perubahan dan
pertumbuhan yang cepat ini bisa membantu perusahaan memaksimalkan potensi mereka
baik ketika masih menjadi staf maupun manajer.

Dan tentu saja, jangan lupa untuk memberikan mereka kesempatan berlibur.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah
diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Lina Noviandari dan diedit oleh Iqbal Kurniawan.
Sumber gambar: Pixabay)

3 Cara Terbaik Berkomunikasi dengan Generasi Milenial


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Cara Terbaik Berkomunikasi dengan Generasi
Milenial", https://lifestyle.kompas.com/read/2017/04/10/170612820/3.cara.terbaik.berkomunikasi.dengan.generasi.milenial. 
Penulis : Shierine Wangsa Wibawa
KOMPAS.com -- Kini, generasi milenial (kelahiran 1980-1995)
mendominasi bursa tenaga kerja dan keberadaan mereka mengubah
bagaimana kebanyakan pekerjaan harus beroperasi bila tidak ingin
ditingalkan oleh karyawannya. Berikut adalah tiga cara terbaik untuk
berkomunikasi dengan generasi milenial:

1. Tekankan kerja sama Pavel Vosk, seorang konsultan manajemen yang


berfokus pada milenial, berkata bahwa milenial mempunyai sifat yang
mudah bosan, agak arogan, dan tidak mementingkan pekerjaan atau
perusahaannya. Namun, mereka sangat memedulikan kerjasama. "Aku
akan menanyakan perasaan mereka bila menjadi orang lain dan
menekankan bahwa tindakan tersebut melukai bukan aku, tetapi rekan-
rekan kerjanya," katanya.

2. Dengarkan mereka Anda mungkin telah merasa telah mendengarkan


pendapat karyawan milenial, tetapi seberapa sering Anda menanggapi
mereka dengan "Ya, tapi...?" Kulhan, Founder dan CEO dari konsultasi
Business Improv, menyarankan tanggapan tersebut menjadi "Ya, dan...".
Hal ini terdengar remeh, tetapi kata "tapi" menegasikan, membatasi, dan
menurunkan moral karyawan yang ingin berkolaborasi dengan Anda.

3. Penuhi janji "Janji yang dibuat oleh atasan atau HRD selama proses
wawancara menciptakan ekspektasi," kata Bill Pelster, Managing Partner
untuk Bersin by Deloitte. Strategi yang lebih baik, menurut Pelster, adalah
menegaskan kembali ekspektasi milenial kepada perusahaan selama
proses wawancara. Lalu, selama masa kerja, usahakan untuk membangun
komunikasi tatap muka agar karyawan bisa melihat konteks dan tanda-
tanda visual dengan jelas.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Cara Terbaik


Berkomunikasi dengan Generasi
Milenial", https://lifestyle.kompas.com/read/2017/04/10/170612820/3.cara.t
erbaik.berkomunikasi.dengan.generasi.milenial. 
Penulis : Shierine Wangsa Wibawa

5 Tips Memimpin Karyawan Generasi Millennial


Pada setiap periodenya muncul generasi baru di dunia ini. Seiring dengan
pertambahan generasi, tumbuh pula serangkaian mentalitas, harapan, dan
tantangan baru.
Dalam dunia kerja, salah satu tugas seorang manajer dan pemilik
perusahaan adalah menjawab tantangan yang melibatkan pemahaman
dan reaksi terhadap keadaan yang akan selalu berubah. Seorang
pemimpin harus memastikan pekerjaannya bisa membawa kesuksesan
bagi perusahaan.
Di sisi lain, tantangan tersendiri bagi generasi millennial adalah sebuah
harapan kerja yang lebih bernilai dengan cara yang realistis.. Para
generasi millennial ingin terlibat dalam proyek besar, menguji mental
mereka dan menjadi bagian dari suatu pencapaian besar.
Untuk menyeimbangkan semua hal itu, pastikan bahwa Anda sebagai
seorang pemimpin memahami cara memimpin karyawan yang berasal dari
generasi millennial saat ini:

1. Memberikan Kesempatan untuk Aspek Kepemilikan

Generasi millennial tak ragu dalam mengungkapkan hak ataupun keinginan


mereka di tempat kerja. Mereka mendambakan kesempatan untuk menjadi
bagian dari sesuatu yang penting dan berarti.
Kenali karyawan Anda dan juga kekuatan mereka. Biarkan mereka
memanfaatkan kekuatan tersebut dengan cara yang lebih signifikan. Hal ini
bukan berarti memberi mereka wewenang penuh atas sebuah proyek
besar, namun mendelegasikan tugas penting kepada pekerja yang lebih
muda. Cara ini merupakan “investasi” yang akan membantu untuk
meningkatkan semangat dan produktivitas mereka.

Baca juga:  Ingin Jadi Pemimpin yang Baik, Lakukan 7 Hal Ini

Perlu diingat bahwa tips ini tidak hanya berlaku untuk kaum millennial,
melainkan semua generasi. Semua orang dari generasi apapun ingin
memiliki kesempatan untuk merasa bahwa mereka sudah terlibat dalam
suatu hal besar. Tidak hanya menyenangkan karyawan, cara ini
memaksimalkan potensi tim Anda dengan memanfaatkan antusiasme dan
bakat masing-masing orang.

2. Fleksibilitas

Tidak ada orang yang bekerja dengan cara yang sama persis. Pimpin tim
Anda dengan menghargai setiap kontribusi dan hasil yang sudah
dikerjakan oleh setiap karyawan.
Sebaliknya, jangan pernah memaksakan karyawan untuk mengikuti cara
kerja Anda dan coba untuk bersikap fleksibel terhadap karyawan dengan
perilaku dan cara kerja mereka masing-masing.

3. Bersikap Suportif

Pahami kebutuhan karyawan akan kepastian dan berikan feedback


mengenai pekerjaan mereka. Coba adakan pertemuan dengan mereka
satu per satu untuk memberikan dukungan dan mengenali keahlian
mereka. Hal seperti ini memberikan kepercayaan diri, dan juga membantu
agar mereka bekerja dengan lebih baik lagi.
Metode ini bekerja tidak hanya karena kebutuhan spesifik karyawan
generasi millennial, namun karena kebutuhan universal semua karyawan
untuk merasa bahwa pekerjaan mereka penting.

4. Tawarkan Pelatihan Pengembangan Diri

Karyawan dari generasi millennial lebih cenderung berpendidikan tinggi,


namun pengusaha enggan menawarkan pelatihan pengembangan
profesional. Lokakarya dan kursus pengembangan dapat mengajarkan
keterampilan kerja yang penting sambil mengatasi kekurangan mereka
dalam prosesnya.

Baca juga:  7 Cara Menjadi Pemimpin yang Baik di Perusahaan

Selanjutnya, keuntungan dari karyawan yang terampil dan berpengetahuan


adalah peningkatan produktivitas dan kreativitas.
5. Jangan Ikut Mencap Jelek

Salah satu anggapan atau kritik mengenai generasi millennial adalah


mereka memiliki kualitas yang berbeda dan negatif yang harus diatasi.
Namun, pada intinya, para pekerja muda menginginkan hal yang sama
seperti yang dilakukan pekerja lain yaitu kesempatan untuk menghasilkan
uang dengan melakukan sesuatu yang berarti bagi perusahaan.
Hindari anggapan itu dan fokus pada kualitas, kualifikasi dan pengetahuan
yang dimiliki karyawan Anda. Dengan begitu Anda bisa memanfaatkan
kelebihan yang ada untuk kepentingan perusahaan.

Kesimpulan

Generasi baru memang membawa tantangan tersendiri, namun juga


membawa aset unik yang tidak boleh diabaikan. Berikan mereka
kesempatan untuk merasa sebagai investasi perusahaan.
Terapkan model manajemen dan gaya kepemimpinan yang menghargai
efisiensi dan kontribusi serta tetap fleksibel dalam tugas-tugas mereka.
Sebagai pemimpin tim yang baik, Anda harus menjadi kekuatan positif bagi
mereka dan menawarkan kesempatan untuk tumbuh sebagai seorang
karyawan yang baik.
Sumber:
WhenIWork: 5 Tips For Managing Millennials

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat


Kerja
9 April 2018   11:12 Diperbarui: 25 Juni 2018   09:16  571  0 0
7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Banyak perusahaan menganggap bahwa karyawan millennial (atau millennials) adalah


karyawan yang memiliki kompetensi dan kapasitas tinggi yang dapat melakukan banyak
hal (multitasking), penuh semangat, dan juga kreatif. Meskipun karakteristik tersebut
mungkin memang melekat pada karyawan millennial,  namun mereka juga dikenal
sebagai orang-orang yang mencintai kebebasan,  asertif, cepat bosan, dan selalu
mencari tantangan baru.

Perusahaan, khususnya startup, memerlukan pendekatan khusus dalam menghadapi


karyawan dengan karakter kompleks seperti yang dimiliki oleh millennials. Berikut ini
adalah tujuh trik jitu dalam menghadapi karyawan millennial di tempat kerja.
1. Ciptakan Suasana Kerja yang Menyenangkan

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Karena kebanyakan millennials berjiwa bebas dan suka


berinteraksi di jejaring sosial, sebaiknya Anda  membuat konsep
kantor dengan suasana santai yang memudahkan
karyawan millennial untuk saling berinteraksi, misalnya
menyediakan open office atau kantor tanpa sekat-sekat. Konsep
kantor seperti ini kini telah banyak dipakai oleh berbagai
perusahaan startup di Indonesia.
Selain  itu, sediakan beberapa fasilitas yang bisa membuat
mereka lebih merasa  betah berada di kantor, misalnya ruang
beristirahat, snack atau minuman gratis. Biarkan suasana di
kantor Anda hidup, misalnya dengan  mengizinkan mereka
memasang musik ketika sedang tidak ada rapat, agar mereka
lebih semangat dalam bekerja.

2. Jangan Terlalu Kaku Menyangkut Peraturan


7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Karyawan millennial tidak akan betah bekerja di perusahaan dengan peraturan yang terlalu strict. Peraturan yang kaku membuat
mereka merasa terkekang. Oleh karena itu,  sebaiknya perusahaan Anda menetapkan peraturan yang lebih santai  terhadap
karyawan millennial Anda.
Millennials juga tidak suka didikte atau menghadapi pemimpin yang hanya mengandalkan power atau wewenang. Mereka
menginginkan sosok pemimpin yang bisa menginspirasi, mudah diajak berdiskusi, dan bisa memotivasi mereka.

Beri Mereka Pengakuan dan Apresiasi

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Millennials cenderung  kurang semangat dalam bekerja bila mereka tidak mendapatkan pengakuan  dan apresiasi atas pencapaian
mereka. Pengakuan dari manajer atau atasan  mereka dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan pencapaian mereka di
proyek yang akan datang. Berikan juga apresiasi yang sepadan dengan  usaha dan keberhasilan mereka.
Beri Mereka Kesempatan untuk Berkembang

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Karena millennials menyukai tantangan, mereka ingin diberi kesempatan untuk mencoba pengalaman baru.
Karyawan millennialcenderung  lebih menyukai target-target jangka pendek ketimbang jangka panjang.  Oleh karena itu,
sebaiknya Anda memberikan proyek jangka pendek secara  rutin untuk menggali potensi mereka dan Anda pun bisa
menyediakan training yang bisa membantu memperkaya skillmereka.

Buat Waktu Kerja yang Fleksibel

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Karyawan millennial cenderung menganggap penerapan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 5  sore sebagai konsep yang kuno.
Kini penerapan jam kerja seperti itu  sudah mulai ditinggalkan oleh beberapa startupdi Indonesia. 
Karyawan millennial lebih menyukai jam kerja yang dapat disesuaikan dengan aktivitas mereka di luar kantor. Sebagai contoh;
salah satu perusahaan startup di Indonesia membebaskan waktu kedatangan karyawannya, asalkan mereka tetap menghabiskan 8
jam di kantor.
Izinkan Mereka untuk Menyampaikan Pendapat

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Millennials tidak  hanya ingin mendengarkan kritik dan saran, tetapi juga didengar  pendapatnya. Saat Anda melakukan evaluasi,
sebaiknya Anda tidak  melakukannya secara satu arah, tetapi dua arah. Ketahui kendala apa saja  yang mereka hadapi, apa yang
kira-kira bisa memotivasi mereka, dan  izinkan mereka memberi saran untuk perusahaan Anda juga.

Hubungkan Mereka dengan Teknologi

7 Trik Jitu Menghadapi Karyawan Millennial di Tempat Kerja

Anda perlu memahami bahwa generasi millennial tidak bisa dipisahkan dari teknologi. Millennials akan lebih kesulitan bekerja
secara manual, mereka lebih suka  berkomunikasi dan bekerja mengandalkan teknologi yang dianggap lebih  praktis. 
Oleh karena itu, pertimbangkan untuk melibatkan lebih banyak  teknologi dalam manajemen karyawan Anda. Berikan karyawan
Anda kemudahan dalam mengelola berbagai pekerjaan dengan bantuan solusi otomatis, misalnya; mencatat kehadiran, jam kerja,
pengeluaran, mengisi survey dan formulir evaluasi, mengecek gaji, dan lain-lain.
Semoga dengan membaca ketujuh tips di atas, Anda dapat lebih siap dalam menghadapi karyawan millennial di tempat kerja
Anda. 

Bagaimana Millennial Mengubah Persepsi
Tempat Kerja di Masa Depan

Ikhtisar

 Dengan “kemalasannya” millennial terdorong untuk mencari solusi yang memudahkan


kehidupan mereka, dan banyak orang di sekitarnya.
 Millennial tidak lagi mendobrak batasan ruang kerja yang kaku dan hierarki dalam
pengembilan keputusan perusahaan.
 Sebagai generasi yang berpotensi membawa perubahan, millennial harus diberikan
kesempatan untuk mengembangkan diri di tempat bekerjanya, dengan pendampingan mentor,
bukan sekadar bos.

Setelah generasi baby boomer dan generasi X bertahun-tahun menguasai dunia kerja, kini sebuah
generasi baru hadir untuk mengubah tatanan kaku bentukan generasi sebelumnya — untuk kehidupan
yang lebih baik. Generasi Y — atau yang biasa disebut millennial — adalah kelompok usia produktif
yang lahir antara periode 1980 hingga 2000. Di dunia profesional sendiri, millennial terus mengalami
peningkatan jumlah yang signifikan — terutama di ranah perusahaan rintisan/startup.

Diperkirakan pada tahun 2025, tiga perempat dari seluruh profesi yang ada di dunia akan diisi
oleh mereka yang berasal dari generasi millennial.Pertanyaannya adalah:

Apakah bisnis dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan mereka di tempat kerja? Apa saja yang
sebenarnya mereka harapkan dari tempat kerja mereka?
Pada artikel kali ini, saya akan membahas tentang beberapa hal yang akan berubah di dunia kerja
ketika millennial turut berperan serta di dalam bisnis. Siapkah bisnismu menghadapi perubahan
drastis yang akan hadir?

Pemanfaatan teknologi dalam peningkatan kualitas kerja

Sumber:  Pexels

Sebagai generasi yang besar dengan teknologi, millennial paham betul bahwa teknologi dapat
membantu mereka untuk meningkatkan kualitas kerja. Dengan teknologi, setiap pekerja dapat saling
terhubung tanpa terbatas ruang dan waktu — ini berkat pemanfaatan teknologi mobile yang terus
berkembang pesat.

Aplikasi seperti Slack dan LINE menjadi bagian yang tidak terpisahkan di kalangan
pekerja millennial Tech in Asia Indonesia. Dengan bantuan kedua tool tersebut, kami memiliki
kemampuan untuk berkolaborasi satu sama lain tanpa perlu repot bertukar dokumen secara manual
antar departemen yang berkaitan.

Kita juga patut berterima kasih pada “kemalasan” para millennial, karena mungkin hal


tersebutlah yang memicu mereka untuk menciptakan sebuah solusi untuk menyelesaikan
pekerjaan secara lebih cepat, mudah, dan hemat. Bayangkan sebuah pekerjaan yang harusnya baru
selesai selama berhari-hari, kini bisa rampung dalam waktu beberapa jam saja.

Di beberapa perusahaan, proses wawancara menggunakan layanan streaming video juga sudah


menjadi hal yang lumrah, karena mungkin saja perusahaan tidak memiliki waktu dan tempat yang
cocok untuk melakukan wawancara. Di sisi lain, sistem seperti ini juga menjadi alternatif yang tepat
guna serta hemat biaya untuk menyaring kandidat pekerja.
Tempat kerja yang lebih menyenangkan

Sumber:  Pexels

Berbeda dengan generasi sebelumnya — yang tak sabar menunggu jam lima sore untuk bergegas
antre di mesin absen dan pulang — millennial tidak ingin kantor mereka terasa seperti sebuah
tempat yang tidak menyenangkan. Mereka menginginkan lingkungan kerja layaknya rumah
mereka sendiri — di mana mereka bisa makan, minum, bekerja, bermain, dan beristirahat sesuka hati
mereka.

Millennial tahu betul bahwa mereka akan menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyelesaikan
pekerjaan mereka. Karena itu, mereka akan berusaha untuk membangun sebuah suasana kerja yang
menyenangkan.

Jangan heran jika kamu melihat seorang millennial yang tiba-tiba tidur di tengah jam kerja, atau
bermain video game seusai melakukan sprint dengan tim mereka. Hal ini semata-mata mereka
lakukan agar produktivitas mereka tetap terjaga.

Untuk mendapatkan perhatian para millennial, kamu juga dapat menghadirkan keseruan di tempat
kerja dengan berbagai fasilitas, antara lain:

 Snack bar gratis
 Cuti tak terbatas
 Kesempatan untuk bekerja secara remote
 Fasilitas gym
 Gaming room
 Team dinner untuk seluruh anggota tim

Tentu saja fasilitas di atas harus hadir dengan syarat dan ketentuan yang jelas agar tidak terjadi
penyalahgunaan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pengembangan diri menjadi hal utama

Sumber:  Pexels

Bagi generasi millennial, pengembangan diri adalah salah satu hal utama yang mereka kejar di dalam
sebuah organisasi. Kini semakin banyak pekerja millennial yang memilih untuk bekerja sambil
kuliah atau menjalankan berbagai pelatihan dari perusahaan ketimbang hanya menghabiskan waktu
mereka di kampus untuk belajar.

Sebelum nantinya para millennial ini memilih untuk berkarier, terlebih dahulu mereka akan
memaksimalkan potensi diri agar yakin atas jenjang karier yang mereka ambil. Proses pengembangan
diri inilah yang akan membantu para millennial untuk berproses dalam membentuk kepribadian serta
kepemimpinan — yang nantinya akan berguna bagi mereka ketika akan memimpin sebuah tim atau
perusahaan.

Berikan kesempatan bagi generasi Y untuk mengembangkan diri mereka di


perusahaan tempat mereka bekerja.

 ,
Namun tidak hanya memberikan kesempatan, pelaku bisnis juga harus memberikan mereka pelatihan
tentang kepemimpinan serta pengembangan diri lainnya. Juga, berikan mereka berbagai buku dan
berbagai materi pembelajaran lainnya yang dapat membantu mereka untuk memaksimalkan potensi
yang mereka miliki.

Transparansi di lingkungan kerja millennial

Sumber:  Pexels

Dulu, pengambilan keputusan di dalam perusahaan biasanya tidak melibatkan staf. Adapun
penyebabnya adalah seseorang atau sekelompok direksi yang berada di hierarki tertinggi organisasi
— dan pekerja tidak memiliki cukup otoritas untuk mengajukan keberatan atau saran lainnya. Kini,
para millennial menginginkan sebuah tempat kerja yang transparan, di mana setiap hal yang terjadi di
perusahaan harus mereka ketahui — termasuk juga ketika perusahaan sedang memutuskan sesuatu.

Transparansi adalah salah satu hal yang dicari oleh pada millennialdari diri pemimpin mereka
— jadi tidak heran apabila transparansi adalah hal terdepan yang mereka lakukan ketika
para millennial ini menjadi seorang pemimpin.

Di Tech in Asia Indonesia sendiri, transparansi adalah salah satu bagian dari kultur perusahaan.
Semua karyawan, baik leader maupun team player, akan saling menyampaikan berbagai gagasan
mereka di sesi khusus sharing kami yang kami namakan Coffee Hour dan Office Hour.

Lewat sesi tersebut, kami akan sama-sama menyampaikan keluh kesah serta apa saja yang dapat
kami lakukan untuk mengembangkan bisnis secara bersama-sama. Selain itu, setiap keputusan yang
diambil oleh perusahaan biasanya diputuskan berdasarkan data serta kebulatan suara dari tiap
karyawannya. Penerapan transparansi dalam bisnis juga akan meningkatkan rasa percaya dari
pekerja — karena mereka yakin telah bekerja dengan perusahaan yang memiliki integritas.
Hilangnya hierarki dari organisasi tradisional

Sumber:  Pexels

Millennial membutuhkan seorang mentor, bukan bos.

 ,

Jadi idealnya, seorang pemimpin di sebuah perusahaan harus berfungsi layaknya seorang pelatih atau
mentor, bukannya menjadi seseorang yang hanya menyuruh tanpa memberikan arahan tentang cara
penyelesaiannya. Sebagai seorang mentor, pimpinan akan memandu para millennial untuk
menyelesaikan pekerjaan mereka serta memaksimalkan potensi yang mereka miliki.

Pada kebanyakan perusahaan yang didominasi oleh para millennial sebagai pekerjanya, mungkin kita
tidak akan menduga bahwa salah satu dari mereka adalah CEO atau pekerja C-Level lainnya. Ini
karena millennial tidak terlalu peduli dengan hierarki yang ada di dalam organisasi tradisional.

Penghapusan hierarki ini sangat memudahkan para millennial untuk saling berkolaborasi tanpa perlu
segan akan bekerja dengan para manajer, leader,atau pekerja yang lebih senior.

Di tempat kerja yang pekerjanya didominasi oleh kaum millennial seperti Tech in Asia Indonesia,
kami bekerja dengan pekerja lainnya layaknya seorang teman — yang tidak pernah merasa canggung
atau harus mengikuti instruksi tertentu yang sifatnya kaku dan mengikat.

Semua dapat berpartisipasi untuk mengambil keputusan. Setiap orang memiliki porsinya untuk
membangun perusahaan secara bersama-sama. Walau begitu, struktur organisasi perusahaan tetaplah
ada — hanya saja penerapannya tidak sekaku korporasi.
Kehadiran para millennial di tempat kerja membawa warna tersendiri bagi perusahaan. Bagi bisnis
yang siap, millennial dapat menjadi sebuah aset tersendiri bagi perusahaan — berkat talenta serta
pribadi mereka yang dinamis terhadap segala perubahan yang ada.

(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto; Sumber gambar: Pexels)

5 Manfaat Penerapan Gamificationdi dalam


Perusahaanmu

 John Patrick Manuwu5:00 PM on Apr 6, 2018





o 54
o
o
o
o
Jenis permainan seperti apa yang menjadi favorit kamu? Apakah board game? video game? atau
permainan tradisional seperti galasin dan petak umpet?

Terlepas dari fungsinya untuk melepas stres, ternyata permainan dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas pekerja serta mendapatkan pengguna untuk produk yang kamu
buat. Metode ini dinamakan gamification, yaitu proses menggunakan mekanisme atau aturan
yang ada di dalam permainan pada aktivitas atau konteks non-permainan.
Bisnis dapat memanfaatkan elemen tantangan sebagai salah satu unsur gamification guna
menyelesaikan permasalahan spesifik.

Gamification bekerja dengan menggunakan elemen-elemen yang ada di dalam permainan, seperti


poin, badge, leaderboard, dan achievement. Elemen-elemen inilah yang akan memancing pengguna
untuk saling berinteraksi satu sama lain dan bersaing untuk menjadi yang terdepan.

Selain itu, bisnis juga dapat memanfaatkan elemen tantangan sebagai salah satu
unsur gamification guna menyelesaikan permasalahan spesifik. Dengan menantang para karyawan
dalam sebuah permasalahan, kamu akan mendapatkan solusi secara aktif dari mereka.

Jangkau pengguna dengan cara baru

Jangkau pengguna baru dengan memanfaatkan permainan | Sumber: Pexels

Hal yang paling menarik dari gamification adalah caranya untuk dapat menarik perhatian pengguna.
Metode ini membuka jalan untuk perusahaan dan pengguna agar dapat saling berinteraksi
dengan cara baru.
GO-POINTS dari GO-JEK adalah salah satu contohnya. GO-POINTS bekerja ketika pengguna
menggunakan saldo GO-PAY mereka ketika menggunakan jasa GO-JEK. Dari setiap transaksi yang
berhasil, pengguna akan mendapatkan token yang akan diundi untuk mendapatkan poin. Poin ini
nantinya akan ditukar dengan berbagai penawaran menarik seperti diskon atau voucer.

BACA JUGA
GO-POINTS juga memanfaatkan game mini untuk meningkatkan interaksi pengguna

GO-POINTS memanfaatkan elemen reward dalam bisnisnya. Semakin sering pengguna


menggunakan GO-PAY dalam bertransaksi, semakin besar pula kesempatan mereka untuk
memperoleh berbagai hadiah dan penawaran dari GO-JEK. Selain itu, terdapat
elemen leaderboard, yang memicu pengguna untuk mendapatkan sebanyak mungkin poin agar
berada di puncak klasemen.

Upaya ini dilakukan oleh GO-JEK untuk memicu pengguna agar lebih sering menggunakan GO-
POINTS. Pengguna yang tadinya lebih banyak bertransaksi dengan tunai, kini dapat menggunakan
jasa dompet online GO-PAY yang dimiliki oleh GO-JEK.

Gamification membantu bisnis dalam merancang strategi


Sumber: Pixabay

Jadi bagaimana gamification dapat menghadirkan perubahan positif di dalam perusahaan? Langkah


pertama yang dapat kamu lakukan adalah dengan cara mengimplementasikannya pada strategi
yang kamu miliki. Permainan dapat menarik perhatian karyawan yang bekerja denganmu, sama
seperti ketika permainan menarik perhatian pengguna.

Permainan dapat membantumu memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Salah satu
contohnya adalah alternate reality games (ARG). ARG akan mengajak peserta untuk ikut andil
mengantisipasi berbagai masalah atau situasi yang ada di masa depan. Salah satu contohnya
adalah World Without Oil yang dibuat oleh Ken Eklund.

Gamification akan memacu kemampuan berpikir kreatif, kerja sama tim, dan penyelesaian
masalah dalam bawah waktu yang ketat.

Selain itu, permainan juga dapat membantumu merencanakan berbagai skenario. Dalam


permainan ini, peserta akan melalui beberapa langkah untuk mengetahui apa yang akan mereka
lakukan pada kondisi tertentu.
Hal ini akan berguna, terutama pada beberapa skenario penting seperti
negosiasi. Permainan semacam ini dilakukan oleh tentara Amerika Serikat untuk melatih kemampuan
negosiasi.

Gamification juga dapat digunakan sebagai wahana brainstorming—yang populer dengan


sebutan gamestorming. Perkenalkan sebuah permasalahan ke beberapa grup peserta, kemudian
berikan waktu untuk mereka menuliskan solusi dari permasalahan tersebut. Ini akan memacu
kemampuan berpikir kreatif, kerja sama tim, dan penyelesaian masalah dalam bawah waktu yang
ketat.

Cara yang menyenangkan untuk memberikan motivasi

Sumber: Pexels

Dengan menerapkan gamification pada caramu mengelola sumber daya manusia, kamu dapat


memotivasi dan meningkatkan performa mereka. Sebuah hal yang membosankan bagi pekerja
bahkan dapat kamu bumbui dengan sedikit permainan agar mereka tertarik untuk
melakukannya. Nike dan Target adalah perusahaan yang telah menerapkan permainan untuk
memotivasi karyawan masing-masing.
Nike menerapkan gamification pada perusahaan dengan mengadakan Ekin—yang jika dibalik adalah
Nike. Ekin adalah sebuah program untuk mengajak para karyawan mengenal sejarah Nike sejak awal
didirikan. Tujuan utama dari Ekin adalah agar untuk membuat karyawan mencintai brand yang
mereka kerjakan, yakni Nike, agar mereka dapat meneruskan kecintaan ini kepada konsumen.

BACA JUGA
Memotivasi karyawan juga diperlukan kala perusahaan mengalami masa sulit
Target juga memotivasi karyawan mereka dengan Checkout Game. Permainan ini dibuat khusus
untuk para kasir yang berpotensi bosan atas pekerjaan yang monoton. Mereka membuat sebuah
sistem yang mengukur seberapa cepat seorang kasir untuk menangani sebuah transaksi.

Tujuan permainan ini adalah untuk memberikan kasir sebuah perasaan bangga atas apa yang mereka
lakukan, walaupun hal tersebut terkesan repetitif.

Picu inovasi dengan permainan

Sumber: Pexels

Hingga kini, permainan masih dianggap menjadi salah satu cara terbaik untuk memicu inovasi dan
kreativitas. Tetapi bagaimana cara untuk dapat memanfaatkannya dengan optimal? Ada tiga cara
untuk memanfaatkan game dalam memancing inovasi:

 Manfaatkan permainan untuk menghasilkan feedback atau ide.


Department for Work and Pensions (DWP) di Inggris menggunakan sebuah permainan bernama Idea
Street. Permainan ini memungkinkan manajemen dapat melihat proposal seperti apa yang memiliki
nilai tertinggi di mata karyawan.

Dengan memanfaatkan game ini, DWP berhasil menghemat hingga US$16 juta (sekitar Rp220
miliar) dalam sembilan bulan, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk upaya mereka.

 Simulasi untuk memancing kreativitas.

Sebuah konsultan IT bernama NTT Data memiliki sebuah game simulasi yang mereka namakan Go
Leadership. Game ini akan menguji para konsultan dengan memberikan mereka tantangan yang sulit
dan berbagai skenario.

Dalam permainan, kamu akan menghadapi berbagai macam karakteristik klien serta situasi yang
harus kamu selesaikan. Di sinilah kreativitas dari konsultan akan diuji untuk dapat berpikir out-of-
the-box dalam menyelesaikan masalah.

 Biarkan karyawan bermain.

Bermain bukan hanya untuk anak-anak. Bermain dapat meringankan kadar stres yang mencegahmu
untuk dapat berpikir kreatif. Inilah mengapa kamu dapat menemukan berbagai wahana hiburan
seperti console game, meja biliar, dan permainan lain di hampir semua perusahaan sukses di Silicon
Valley.

Google bahkan menggunakan dua puluh persen dari total waktu kerja karyawannya untuk
mengembangkan sendiri proyek kreatif mereka. Melalui proses inilah Gmail dapat tercipta.

Mempermudah proses perekrutan dan pelatihan


Sumber: Pixabay

Gamification dalam perekrutan dapat menghemat biaya serta menarik kandidat yang ideal bagi
perusahaan. Biro intelijen dan keamanan Inggris, GCHQ membuat sebuah situs web misterius yang
berisi pesan terenkripsi di CanYouCrackIt.co.uk. Situs ini digunakan sebagai bagian dari proses
perekrutan karyawan dan mata-mata.

Kandidat harus memecahkan kode tersebut dan mengetahui isi pesan tersembunyi agar dapat
melanjutkan proses perekrutan. Dengan permainan ini, GCHQ akan mendapatkan seorang kandidat
yang benar-benar kompeten.

Gamification juga dapat menjadi alternatif pelatihan yang menarik untuk diikuti karyawan. Daiichi
Sankyo, sebuah perusahaan farmasi besar di Jepang, melakukan hal ini dengan merancang
sebuah game pembasmi hama.
Gamification juga dapat menjadi alternatif pelatihan yang menarik untuk diikuti karyawan.

Permainan ini didesain untuk mengajarkan karyawan tentang detail penanganan seorang pasien
diabetes—yang sudah pasti membosankan. Setiap kali mereka membasmi hama, mereka akan
diberikan berbagai fakta tentang produk untuk dihafal. Ini akan mereka gunakan sebagai poin untuk
menukar amunisi.

Ini tentu jauh lebih baik dari hanya sekadar menghafal berbagai diktat pelatihan yang menggunung.

Manusia dapat termotivasi dengan game. Game dapat menawarkan lebih dari hanya pelepas penat.
Untuk itu, perusahaan harus lebih banyak mengimplementasi gamification untuk tetap saling
bersaing di kancah bisnis global.

Gamification akan membantu perusahaan dari mulai perancangan strategi hingga mempermudah


proses perekrutan dan pelatihan.

Sumber: Blinkist

(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)

Anda mungkin juga menyukai