Millennial di
Tempat Kerja
Sebagai sebuah industri yang dinamis dan lekat dengan kebaruan, sebagian besar orang
yang bekerja di startup adalah millennial (generasi yang lahir pada rentang tahun 1980 –
2000). Bagaimanapun, menangani para karyawan dari generasi tersebut bukanlah perkara
mudah
Millenial mencari sosok bos hebat yang bisa mendorong dan memberi tantangan dengan
cara tepat. Mereka juga menginginkan fleksibilitas karena tidak ingin merasa terikat
dengan meja kerja di kantor.
Lalu, bagaimana sebenarnya pola pikir generasi ini? Apa yang menggugah minat mereka?
Bagaimana seharusnya memperlakukan mereka?
Akui saja, penilaian kerja akan punah. Jika ada waktu terbaik untuk meninggalkannya, itu
adalah sekarang. Kamu mungkin akan bisa menangani millennial dengan sukses tanpa
adanya penilaian kerja. Terdengar radikal, tapi ini perlu.
Ini bisa dilakukan dengan memetakan nilai dan arah perusahaan sesuai dengan visi yang
lebih besar. Tanamkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam bisnis kamu. Dan
usahakan untuk benar-benar menjalankannya, bukan sekadar hanya dijadikan
penghias portofolio perusahaan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajer bisa ikut mengembangkan atau malah
menghancurkan sebuah perusahaan. Banyak karyawan yang keluar dari pekerjaan karena
mempunyai bos buruk. Oleh karena itu, para manajer harus dilatih bekerja sama
dengan millennial, bukannya malah merasa terancam oleh mereka.
Dalam kasus ini, seorang manajer yang baik perlu beradaptasi dengan teknologi baru serta
menyediakan waktu dan pikirannya bagi karyawan millennial mereka.
Ini adalah masa depan yang mungkin terdengar sangat cerah dan ideal. Bisa saja para
pemimpin millennial benar-benar akan menjadi influencer bahkan di luar urusan
perusahaan. Sebuah contoh non-millennial yang menggambarkan fenomena ini adalah
program Lean In yang dikembangkan oleh COO Facebook, Sheryl Sandberg.
Millennial memandang dunia secara berbeda dan ingin menciptakan dunia yang berbeda
bagi generasi berikutnya. Oleh karena itu, memahami mereka seiring perubahan dan
pertumbuhan yang cepat ini bisa membantu perusahaan memaksimalkan potensi mereka
baik ketika masih menjadi staf maupun manajer.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah
diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Lina Noviandari dan diedit oleh Iqbal Kurniawan.
Sumber gambar: Pixabay)
3. Penuhi janji "Janji yang dibuat oleh atasan atau HRD selama proses
wawancara menciptakan ekspektasi," kata Bill Pelster, Managing Partner
untuk Bersin by Deloitte. Strategi yang lebih baik, menurut Pelster, adalah
menegaskan kembali ekspektasi milenial kepada perusahaan selama
proses wawancara. Lalu, selama masa kerja, usahakan untuk membangun
komunikasi tatap muka agar karyawan bisa melihat konteks dan tanda-
tanda visual dengan jelas.
Perlu diingat bahwa tips ini tidak hanya berlaku untuk kaum millennial,
melainkan semua generasi. Semua orang dari generasi apapun ingin
memiliki kesempatan untuk merasa bahwa mereka sudah terlibat dalam
suatu hal besar. Tidak hanya menyenangkan karyawan, cara ini
memaksimalkan potensi tim Anda dengan memanfaatkan antusiasme dan
bakat masing-masing orang.
2. Fleksibilitas
Tidak ada orang yang bekerja dengan cara yang sama persis. Pimpin tim
Anda dengan menghargai setiap kontribusi dan hasil yang sudah
dikerjakan oleh setiap karyawan.
Sebaliknya, jangan pernah memaksakan karyawan untuk mengikuti cara
kerja Anda dan coba untuk bersikap fleksibel terhadap karyawan dengan
perilaku dan cara kerja mereka masing-masing.
3. Bersikap Suportif
Kesimpulan
Karyawan millennial tidak akan betah bekerja di perusahaan dengan peraturan yang terlalu strict. Peraturan yang kaku membuat
mereka merasa terkekang. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan Anda menetapkan peraturan yang lebih santai terhadap
karyawan millennial Anda.
Millennials juga tidak suka didikte atau menghadapi pemimpin yang hanya mengandalkan power atau wewenang. Mereka
menginginkan sosok pemimpin yang bisa menginspirasi, mudah diajak berdiskusi, dan bisa memotivasi mereka.
Millennials cenderung kurang semangat dalam bekerja bila mereka tidak mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas pencapaian
mereka. Pengakuan dari manajer atau atasan mereka dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan pencapaian mereka di
proyek yang akan datang. Berikan juga apresiasi yang sepadan dengan usaha dan keberhasilan mereka.
Beri Mereka Kesempatan untuk Berkembang
Karena millennials menyukai tantangan, mereka ingin diberi kesempatan untuk mencoba pengalaman baru.
Karyawan millennialcenderung lebih menyukai target-target jangka pendek ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu,
sebaiknya Anda memberikan proyek jangka pendek secara rutin untuk menggali potensi mereka dan Anda pun bisa
menyediakan training yang bisa membantu memperkaya skillmereka.
Karyawan millennial cenderung menganggap penerapan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore sebagai konsep yang kuno.
Kini penerapan jam kerja seperti itu sudah mulai ditinggalkan oleh beberapa startupdi Indonesia.
Karyawan millennial lebih menyukai jam kerja yang dapat disesuaikan dengan aktivitas mereka di luar kantor. Sebagai contoh;
salah satu perusahaan startup di Indonesia membebaskan waktu kedatangan karyawannya, asalkan mereka tetap menghabiskan 8
jam di kantor.
Izinkan Mereka untuk Menyampaikan Pendapat
Millennials tidak hanya ingin mendengarkan kritik dan saran, tetapi juga didengar pendapatnya. Saat Anda melakukan evaluasi,
sebaiknya Anda tidak melakukannya secara satu arah, tetapi dua arah. Ketahui kendala apa saja yang mereka hadapi, apa yang
kira-kira bisa memotivasi mereka, dan izinkan mereka memberi saran untuk perusahaan Anda juga.
Anda perlu memahami bahwa generasi millennial tidak bisa dipisahkan dari teknologi. Millennials akan lebih kesulitan bekerja
secara manual, mereka lebih suka berkomunikasi dan bekerja mengandalkan teknologi yang dianggap lebih praktis.
Oleh karena itu, pertimbangkan untuk melibatkan lebih banyak teknologi dalam manajemen karyawan Anda. Berikan karyawan
Anda kemudahan dalam mengelola berbagai pekerjaan dengan bantuan solusi otomatis, misalnya; mencatat kehadiran, jam kerja,
pengeluaran, mengisi survey dan formulir evaluasi, mengecek gaji, dan lain-lain.
Semoga dengan membaca ketujuh tips di atas, Anda dapat lebih siap dalam menghadapi karyawan millennial di tempat kerja
Anda.
Bagaimana Millennial Mengubah Persepsi
Tempat Kerja di Masa Depan
Ikhtisar
Setelah generasi baby boomer dan generasi X bertahun-tahun menguasai dunia kerja, kini sebuah
generasi baru hadir untuk mengubah tatanan kaku bentukan generasi sebelumnya — untuk kehidupan
yang lebih baik. Generasi Y — atau yang biasa disebut millennial — adalah kelompok usia produktif
yang lahir antara periode 1980 hingga 2000. Di dunia profesional sendiri, millennial terus mengalami
peningkatan jumlah yang signifikan — terutama di ranah perusahaan rintisan/startup.
Diperkirakan pada tahun 2025, tiga perempat dari seluruh profesi yang ada di dunia akan diisi
oleh mereka yang berasal dari generasi millennial.Pertanyaannya adalah:
Apakah bisnis dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan mereka di tempat kerja? Apa saja yang
sebenarnya mereka harapkan dari tempat kerja mereka?
Pada artikel kali ini, saya akan membahas tentang beberapa hal yang akan berubah di dunia kerja
ketika millennial turut berperan serta di dalam bisnis. Siapkah bisnismu menghadapi perubahan
drastis yang akan hadir?
Sumber: Pexels
Sebagai generasi yang besar dengan teknologi, millennial paham betul bahwa teknologi dapat
membantu mereka untuk meningkatkan kualitas kerja. Dengan teknologi, setiap pekerja dapat saling
terhubung tanpa terbatas ruang dan waktu — ini berkat pemanfaatan teknologi mobile yang terus
berkembang pesat.
Aplikasi seperti Slack dan LINE menjadi bagian yang tidak terpisahkan di kalangan
pekerja millennial Tech in Asia Indonesia. Dengan bantuan kedua tool tersebut, kami memiliki
kemampuan untuk berkolaborasi satu sama lain tanpa perlu repot bertukar dokumen secara manual
antar departemen yang berkaitan.
Sumber: Pexels
Berbeda dengan generasi sebelumnya — yang tak sabar menunggu jam lima sore untuk bergegas
antre di mesin absen dan pulang — millennial tidak ingin kantor mereka terasa seperti sebuah
tempat yang tidak menyenangkan. Mereka menginginkan lingkungan kerja layaknya rumah
mereka sendiri — di mana mereka bisa makan, minum, bekerja, bermain, dan beristirahat sesuka hati
mereka.
Millennial tahu betul bahwa mereka akan menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyelesaikan
pekerjaan mereka. Karena itu, mereka akan berusaha untuk membangun sebuah suasana kerja yang
menyenangkan.
Jangan heran jika kamu melihat seorang millennial yang tiba-tiba tidur di tengah jam kerja, atau
bermain video game seusai melakukan sprint dengan tim mereka. Hal ini semata-mata mereka
lakukan agar produktivitas mereka tetap terjaga.
Untuk mendapatkan perhatian para millennial, kamu juga dapat menghadirkan keseruan di tempat
kerja dengan berbagai fasilitas, antara lain:
Snack bar gratis
Cuti tak terbatas
Kesempatan untuk bekerja secara remote
Fasilitas gym
Gaming room
Team dinner untuk seluruh anggota tim
Tentu saja fasilitas di atas harus hadir dengan syarat dan ketentuan yang jelas agar tidak terjadi
penyalahgunaan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sumber: Pexels
Bagi generasi millennial, pengembangan diri adalah salah satu hal utama yang mereka kejar di dalam
sebuah organisasi. Kini semakin banyak pekerja millennial yang memilih untuk bekerja sambil
kuliah atau menjalankan berbagai pelatihan dari perusahaan ketimbang hanya menghabiskan waktu
mereka di kampus untuk belajar.
Sebelum nantinya para millennial ini memilih untuk berkarier, terlebih dahulu mereka akan
memaksimalkan potensi diri agar yakin atas jenjang karier yang mereka ambil. Proses pengembangan
diri inilah yang akan membantu para millennial untuk berproses dalam membentuk kepribadian serta
kepemimpinan — yang nantinya akan berguna bagi mereka ketika akan memimpin sebuah tim atau
perusahaan.
,
Namun tidak hanya memberikan kesempatan, pelaku bisnis juga harus memberikan mereka pelatihan
tentang kepemimpinan serta pengembangan diri lainnya. Juga, berikan mereka berbagai buku dan
berbagai materi pembelajaran lainnya yang dapat membantu mereka untuk memaksimalkan potensi
yang mereka miliki.
Sumber: Pexels
Dulu, pengambilan keputusan di dalam perusahaan biasanya tidak melibatkan staf. Adapun
penyebabnya adalah seseorang atau sekelompok direksi yang berada di hierarki tertinggi organisasi
— dan pekerja tidak memiliki cukup otoritas untuk mengajukan keberatan atau saran lainnya. Kini,
para millennial menginginkan sebuah tempat kerja yang transparan, di mana setiap hal yang terjadi di
perusahaan harus mereka ketahui — termasuk juga ketika perusahaan sedang memutuskan sesuatu.
Transparansi adalah salah satu hal yang dicari oleh pada millennialdari diri pemimpin mereka
— jadi tidak heran apabila transparansi adalah hal terdepan yang mereka lakukan ketika
para millennial ini menjadi seorang pemimpin.
Di Tech in Asia Indonesia sendiri, transparansi adalah salah satu bagian dari kultur perusahaan.
Semua karyawan, baik leader maupun team player, akan saling menyampaikan berbagai gagasan
mereka di sesi khusus sharing kami yang kami namakan Coffee Hour dan Office Hour.
Lewat sesi tersebut, kami akan sama-sama menyampaikan keluh kesah serta apa saja yang dapat
kami lakukan untuk mengembangkan bisnis secara bersama-sama. Selain itu, setiap keputusan yang
diambil oleh perusahaan biasanya diputuskan berdasarkan data serta kebulatan suara dari tiap
karyawannya. Penerapan transparansi dalam bisnis juga akan meningkatkan rasa percaya dari
pekerja — karena mereka yakin telah bekerja dengan perusahaan yang memiliki integritas.
Hilangnya hierarki dari organisasi tradisional
Sumber: Pexels
,
Jadi idealnya, seorang pemimpin di sebuah perusahaan harus berfungsi layaknya seorang pelatih atau
mentor, bukannya menjadi seseorang yang hanya menyuruh tanpa memberikan arahan tentang cara
penyelesaiannya. Sebagai seorang mentor, pimpinan akan memandu para millennial untuk
menyelesaikan pekerjaan mereka serta memaksimalkan potensi yang mereka miliki.
Pada kebanyakan perusahaan yang didominasi oleh para millennial sebagai pekerjanya, mungkin kita
tidak akan menduga bahwa salah satu dari mereka adalah CEO atau pekerja C-Level lainnya. Ini
karena millennial tidak terlalu peduli dengan hierarki yang ada di dalam organisasi tradisional.
Penghapusan hierarki ini sangat memudahkan para millennial untuk saling berkolaborasi tanpa perlu
segan akan bekerja dengan para manajer, leader,atau pekerja yang lebih senior.
Di tempat kerja yang pekerjanya didominasi oleh kaum millennial seperti Tech in Asia Indonesia,
kami bekerja dengan pekerja lainnya layaknya seorang teman — yang tidak pernah merasa canggung
atau harus mengikuti instruksi tertentu yang sifatnya kaku dan mengikat.
Semua dapat berpartisipasi untuk mengambil keputusan. Setiap orang memiliki porsinya untuk
membangun perusahaan secara bersama-sama. Walau begitu, struktur organisasi perusahaan tetaplah
ada — hanya saja penerapannya tidak sekaku korporasi.
Kehadiran para millennial di tempat kerja membawa warna tersendiri bagi perusahaan. Bagi bisnis
yang siap, millennial dapat menjadi sebuah aset tersendiri bagi perusahaan — berkat talenta serta
pribadi mereka yang dinamis terhadap segala perubahan yang ada.
Terlepas dari fungsinya untuk melepas stres, ternyata permainan dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas pekerja serta mendapatkan pengguna untuk produk yang kamu
buat. Metode ini dinamakan gamification, yaitu proses menggunakan mekanisme atau aturan
yang ada di dalam permainan pada aktivitas atau konteks non-permainan.
Bisnis dapat memanfaatkan elemen tantangan sebagai salah satu unsur gamification guna
menyelesaikan permasalahan spesifik.
Selain itu, bisnis juga dapat memanfaatkan elemen tantangan sebagai salah satu
unsur gamification guna menyelesaikan permasalahan spesifik. Dengan menantang para karyawan
dalam sebuah permasalahan, kamu akan mendapatkan solusi secara aktif dari mereka.
Hal yang paling menarik dari gamification adalah caranya untuk dapat menarik perhatian pengguna.
Metode ini membuka jalan untuk perusahaan dan pengguna agar dapat saling berinteraksi
dengan cara baru.
GO-POINTS dari GO-JEK adalah salah satu contohnya. GO-POINTS bekerja ketika pengguna
menggunakan saldo GO-PAY mereka ketika menggunakan jasa GO-JEK. Dari setiap transaksi yang
berhasil, pengguna akan mendapatkan token yang akan diundi untuk mendapatkan poin. Poin ini
nantinya akan ditukar dengan berbagai penawaran menarik seperti diskon atau voucer.
BACA JUGA
GO-POINTS juga memanfaatkan game mini untuk meningkatkan interaksi pengguna
Upaya ini dilakukan oleh GO-JEK untuk memicu pengguna agar lebih sering menggunakan GO-
POINTS. Pengguna yang tadinya lebih banyak bertransaksi dengan tunai, kini dapat menggunakan
jasa dompet online GO-PAY yang dimiliki oleh GO-JEK.
Permainan dapat membantumu memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Salah satu
contohnya adalah alternate reality games (ARG). ARG akan mengajak peserta untuk ikut andil
mengantisipasi berbagai masalah atau situasi yang ada di masa depan. Salah satu contohnya
adalah World Without Oil yang dibuat oleh Ken Eklund.
Gamification akan memacu kemampuan berpikir kreatif, kerja sama tim, dan penyelesaian
masalah dalam bawah waktu yang ketat.
Sumber: Pexels
BACA JUGA
Memotivasi karyawan juga diperlukan kala perusahaan mengalami masa sulit
Target juga memotivasi karyawan mereka dengan Checkout Game. Permainan ini dibuat khusus
untuk para kasir yang berpotensi bosan atas pekerjaan yang monoton. Mereka membuat sebuah
sistem yang mengukur seberapa cepat seorang kasir untuk menangani sebuah transaksi.
Tujuan permainan ini adalah untuk memberikan kasir sebuah perasaan bangga atas apa yang mereka
lakukan, walaupun hal tersebut terkesan repetitif.
Sumber: Pexels
Hingga kini, permainan masih dianggap menjadi salah satu cara terbaik untuk memicu inovasi dan
kreativitas. Tetapi bagaimana cara untuk dapat memanfaatkannya dengan optimal? Ada tiga cara
untuk memanfaatkan game dalam memancing inovasi:
Dengan memanfaatkan game ini, DWP berhasil menghemat hingga US$16 juta (sekitar Rp220
miliar) dalam sembilan bulan, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk upaya mereka.
Sebuah konsultan IT bernama NTT Data memiliki sebuah game simulasi yang mereka namakan Go
Leadership. Game ini akan menguji para konsultan dengan memberikan mereka tantangan yang sulit
dan berbagai skenario.
Dalam permainan, kamu akan menghadapi berbagai macam karakteristik klien serta situasi yang
harus kamu selesaikan. Di sinilah kreativitas dari konsultan akan diuji untuk dapat berpikir out-of-
the-box dalam menyelesaikan masalah.
Bermain bukan hanya untuk anak-anak. Bermain dapat meringankan kadar stres yang mencegahmu
untuk dapat berpikir kreatif. Inilah mengapa kamu dapat menemukan berbagai wahana hiburan
seperti console game, meja biliar, dan permainan lain di hampir semua perusahaan sukses di Silicon
Valley.
Google bahkan menggunakan dua puluh persen dari total waktu kerja karyawannya untuk
mengembangkan sendiri proyek kreatif mereka. Melalui proses inilah Gmail dapat tercipta.
Gamification dalam perekrutan dapat menghemat biaya serta menarik kandidat yang ideal bagi
perusahaan. Biro intelijen dan keamanan Inggris, GCHQ membuat sebuah situs web misterius yang
berisi pesan terenkripsi di CanYouCrackIt.co.uk. Situs ini digunakan sebagai bagian dari proses
perekrutan karyawan dan mata-mata.
Kandidat harus memecahkan kode tersebut dan mengetahui isi pesan tersembunyi agar dapat
melanjutkan proses perekrutan. Dengan permainan ini, GCHQ akan mendapatkan seorang kandidat
yang benar-benar kompeten.
Gamification juga dapat menjadi alternatif pelatihan yang menarik untuk diikuti karyawan. Daiichi
Sankyo, sebuah perusahaan farmasi besar di Jepang, melakukan hal ini dengan merancang
sebuah game pembasmi hama.
Gamification juga dapat menjadi alternatif pelatihan yang menarik untuk diikuti karyawan.
Permainan ini didesain untuk mengajarkan karyawan tentang detail penanganan seorang pasien
diabetes—yang sudah pasti membosankan. Setiap kali mereka membasmi hama, mereka akan
diberikan berbagai fakta tentang produk untuk dihafal. Ini akan mereka gunakan sebagai poin untuk
menukar amunisi.
Ini tentu jauh lebih baik dari hanya sekadar menghafal berbagai diktat pelatihan yang menggunung.
Manusia dapat termotivasi dengan game. Game dapat menawarkan lebih dari hanya pelepas penat.
Untuk itu, perusahaan harus lebih banyak mengimplementasi gamification untuk tetap saling
bersaing di kancah bisnis global.
Sumber: Blinkist