Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN CEREBROVASCULER ACCIDENT BLEEDING

(CVA BLEEDING)

Nama : Sindi Ayu Atika

NIM : P17221171008

I. DEFINISI

Cerebrovaskuler Accident (CVA) bleeding atau stroke hemoragik adalah


rupturnya pembuluh otak yang mengakibatkan akumulasi darah dan penekanan di
sekitar jaringan otak. Ada dua tipe stroke hemoragik yaitu intracerebral hemoragik atau
subarachnoid hemoragik. Pecahnya pembuluh darah di otak disebabkan oleh aneurisme
(menurunnya elastisitas pembuluh darah) dan arteriovenous malformations (AVMs)
(terbentuknya sekelompok pembuluh darah abnormal terbentuk yang mengakibatkan
salah satu dari pembuluh darah tersebut mudah ruptur) (American Heart Association,
2015).
Stroke hemoragik adalah perdarahan spontan di dalam otak. Penyebab utamanya
adalah hipertensi kronik dan adanya degenerasi pembuluh darah cerebral. Perdarahan
dapat terjadi di dalam otak dan ruang subaraknoid karena ruptur dari arteri atau ruptur
dari aneurisma (Tubagus Vonny, Ali Haji R., Parinding Novita, 2015)
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak. (Smeltzer dan Bare 2002 dalam Arif Mutaqin) Stroke Hemoragik
merupakan perdarahan intrakranial atau intraserebri meliputi perdarahan di dalam ruang
subarakhnoid atau di dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena
aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan
darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan
pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan sehingga terjadi infark otak, edema dan mungkin herniasi otak. Penyebab
perdarahan otak yang paling umum terjadi yaitu aneurisma berry (biasanya defek
kongenital), aneurisme fusiformis dari aterosklerosis, aneurisma mikotik dari vaskulitis
nekrose dan emboli sepsis, malformasi arteriovena (terjadi hubungan persambungan
pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena), ruptur arteriol
serebri (akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan degenerasi pembuluh
darah) (Mutaqin Arrif, 2008)

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stroke


hemoragik (CVA bleeding) merupakan pecahnya pembuluh darah otak yang
mengakibatkan peningkatan volume cairan/darah dalam ruang yang terbatas
(intrakranial) yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, sehingga
berdampak pada rusaknya neuron bagian otak yang cedera tersebut dapat menurunkan
kemampuan motorik sensorik.

II. PATOFISIOLOGI

a. Etiologi

Stroke hemoragik merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan


subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi
saat istirahat, Kesadaran klien umunya menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu :

a. Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan
TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi
sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons dan serebelum.
b. Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM.
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Wilisi dan
cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak. Pecahnya arteri dan
keluarnya ke ruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebral
yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik, afasia dan lain-lain)
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subaraknoid
mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya
struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula
dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya.
Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subaraknoid
dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini
dapat mengakibatkan disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan
lain-lain) (Mutaqin Arrif, 2008)
b. Tanda dan Gejala

Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang terkena
dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering terjadi
diantaranya adanya kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Tanda
dan gejala ini biasanya terjadi secara mendadak , fokal dan mengenai satu sisi (Kariasa,
2009)
Geoffrey et al (2008) dalam Kariasa (2009) bahwa sebagian besar pasien paska
serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penhlihatan, gangguan bicara
dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien paska serangan
stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas, ketakutan danmenarik
diri dari kehidupan sosial.
Gejala perdarahan subaraknoid antara lain :

1. Nyeri kepala mendadak-intensitas maksimal dalam waktu segera atau menit


dan berlangsung selama beberapa jam sampai hari.
2. Tanda rangsang meningeal- mual muntah, fotofobia, kaku kuduk.
3. Penurunan kesadaran sementara (50 % kasus SAH) atau menetap.
4. Serangan epileptik pada 6 % kasus SAH.
5. Defisit neurologis fokal berupa disfasia, hemiparesis, hemihipestesia
6. Kematian mendadak terjadi pada 10 % kasus SAH.

Tabel 5.1 Derajat SAH


Derajat SAH menurut Hunt Hess

Derajat Manifestasi Klinis

1 Asimtomatik atau nyeri kepala dan kaku kuduk yang ringan.

2 Nyeri kepala yang sedang sampai berat, kaku kuduk dan tidak
ada defisit neurologis kecuali pada saraf kranial

3 Bingung, penurunan kesadaran, defisit fokal ringan

4 Stupor, hemiparesis ringan sampai dengan berat, deserebrasi,

5 Gangguan fungsi vegetatif


Koma dalam, deserebrasi, moribund appearance

(Dewanto George dkk, 2007)

(Dewanto George dkk, 2007)


Gejala Klinis Intraserebral Subaraknoid Stroke
(PIS) Nonhemoragik
(SNH)
1. Gejala defisit berat ringan berat/ringan
fokal
2. Awitan (onset) menit/jam 1-2 menit pelan (jam/hari)
3. Nyeri kepala hebat sangat hebat ringan/tidak ada
4. Muntah pada sering sering Tidak, kecuali
awalnya lesi di batang
otak
5. hipertensi hampir selalu Biasanya tidak sering
6. kaku kuduk jarang Biasa ada tidak ada
7. kesadaran biasa hilang Bisa hilang dapat hilang
sebentar
8. hemiparesis sering sejak awal tidak ada sering sejak awal
awal
9. deviasi mata bisa ada jarang mungkin ada
10. likuor sering berdarah berdarah jernih
(Dewanto George dkk, 2007)

Pathway Stroke hemoragik:


Peningkatan
tekanan sistemik
Gangguan perfusi jaringan
serebral (otak)
Aneurisma
Vasospasme
Arteri serebral
Perdarahan
Arakhnoid/ventrikel
otak Iskemik/infark

Defisit neurologi
Hematoma serebral

Hemisfer Kanan Hemisfer Kiri


Peningkatan TIK/
serebral
Hemiparase/plegi Hemiparase/plegi
kiri kanan
Penurunan
Kesadaran

Penekanan saluran Defisit Hambatan


pernafasan perawatan diri Mobilitas fisik

Bersihan jalan
nafas tidak
efektif

Area Brocca

Hambatan komunikasi
verbal

Risiko jatuh
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Angiografi Serebri
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan
arterovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisme
atau malformasi vaskular

2. Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid atau perdarahan pada intrakranial.
Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan
likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-
hari pertama.

3. CT SCAN
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel atau menyebar ke
permukaan otak (Mutaqin Arrif. 2008).

4. Tes laboratorium : tes faal koagulasi, darah lengkap.

IV. PENATALAKSANAAN

Manajemen stroke hemoragik pertama-tama ditujukan langsung pada


penanganan A (airway), B (breathing), C (Circulation), D (Detection of focal
neurological deficit)

Terapi perdarahan Intraserebral adalah sebagai berikut :


a. Terapi Medik
- Jalan nafas dan oksigenasi dengan target pCO2 30-35 mmHg
- Kontrol tekanan darah. Penatalaksanaan tekanan darah tinggi sama seperti
stroke iskemik dengan syarat :
 Tekanan darah diturunkan bila tekanan sistolik > 180 mmHg atau
tekanan diastolik > 105 mmHG
 Pada fase akut tekanan darah tinggi, tekanan darah tidak boleh
diturunkan lebih dari 20 %
- Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial
 Tindakan pengobatan pertama adalah osmoterapi, tapi tidak boleh
digunakan sebagai profilaksis. Manitol 20 % 1 g/kg dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan 0,25-0,5 g/kg/ 4 jam dalam 20 menit. Untuk
mempertahankan gradien osmotik, furosemid ( 10 mg dalam 2-8 jam)
dapat diberikan secara terus menerus bersama dengan osmoterapi
 Hiperventilasi dengan sasapan pCO2 35 mmHg
 Pengaturan cairan
b. Terapi Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan
- Pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm yang secara neurologis
memburuk atau yang mengalami kompresi batang otak dan hidrosefalus
akibat obstruksi ventrikuler.
- Perdarahan intraserebral dengan lesi struktural seperti aneurisma, malformasi
arteriovena, atau angioma kavernosa dapat diangkat jika keadaan pasien
stabil.
- Pasien usia muda dengan perdarahan lobus yang sedang atau besar yang
secara klinis memburuk
Indikasi terapi konservatif medikamentosa :
- Pasien dengan perdarahan kecil (< 10 cm3) atau defisit neurologi yang
minimal
- Pasien dengan GCS kurang dari sama dengan 4, kecuali dengan perdarahan
serebelar disertai kompresi batang otak, dapat menjadi kandidat untuk
pembedahan darurat dalam situasi klinis tertentu (Dewanto George dkk.
2007)
V. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada klien dengan


kegawatdarutan stroke antara lain:

a. Primary Survey

Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain :

1) Airway maintenance

Menurut Thygerson (2011), tindakan pertama kali yang harus

dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak

pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan

nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan

nafas pasien terbuka. Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pasien

yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi.

Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah

pada kondisi pasien tidak sadar. Perlu diperhatikan dalam pengkajian

airway pada pasien antara lain :

a) Kepatenan jalan nafas pasien.

b) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara

lain:

(1) Adanya snoring atau gurgling

(2) Agitasi (hipoksia)

(3) Penggunaan otot bantu pernafasan

(4) Sianosis
c) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian

atas dan potensial penyebab obstruksi

d) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas

pasien terbuka.

e) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas

pasien sesuai indikasi :

(1) Chin lift/jaw thrust

(2) Lakukan suction (jika tersedia)

(3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal

Mask Airway

(4) Lakukan intubasi

2) Breathing dan oxygenation

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada kasus stroke

mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat stroke) atau

oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas. Pedoman konsensus

mengharuskan monitoring saturasi O2 dan mempertahankannya di

atas 95% (94-98%). Pada pasien stroke yang mengalami gangguan

pengendalian respiratorik atau peningkatan TIK, kadang diperlukan

untuk melakukan ventilasi

3) Circulation

Wilkinson & Skinner (2000), shock didefinisikan sebagai

tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Diagnosis

shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,


hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan

penurunan produksi urin. Pengkajian circulation menurut Muttaqin

(2008) pada klien stroke biasanya didapatkan renjatan (syok)

hipovolemik, tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan bisa

terdapat hipertensi massif dengan TD >200 mmHg.

4) Disability - pemeriksaan neurologis.

Menurut Muttaqin (2008), tingkat kesadaran klien dan

respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk

membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.

Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar

pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah

mengalami koma, maka penilaian GCS sangat penting untung

menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk

pemantauan pemberian asuhan.

b. Secondary Assessment

Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai

stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah

mulai membaik.

1) Anamnesis

Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009),

anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari

pasien dan keluarga:


A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,

makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti

sedang menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau

penyalahgunaan obat).

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit

yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,

dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian).

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera

(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).

2) Pemeriksaan fisik

a) Kulit kepala

Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya

pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.

b) Mata

Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana refleks

cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis,

adanya ikterus, apakah konjungtivanya anemis atau tidak.

c) Hidung

Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan

penciuman.

d) Telinga
Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya pendengaran.

e) Mulut

Inspeksi pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban.

f) Toraks

Inspeksi: peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan

otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.

Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien

dengan tingkat kesadaran compos mentis.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan

keredupan.

Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien

stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak

didapatkan bunyi nafas tambahan pada klien dengan tingkat

kesadaran compos mentis.

g) Abdomen

Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.

Auskultasi : bising usus.

Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).

Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,

hepatomegali, splenomegali.

h) Ektremitas
Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi harus

diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari periksa adanya

clubbing finger serta hitung berapa detik kapiler refill (pada

pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik).

3) Pengkajian Nervus Kranial menurut Muttaqin (2008).

a) Syaraf Olfaktorius

Biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

b) Syaraf Optikus

Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer

diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-

spasial sering terlihat pada klien dengan hemiplegi kiri. Klien

mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena

ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

c) Syaraf Okulomotorius Trokealis dan Abdusen

Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-otot

okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat

unilateral di sisi yang sakit.

d) Syaraf Trigeminalis

Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan paralisi saraf

trigeminus, didapatkan penurunan koordinasi gerakan

mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan

kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoidus internus dan eksternus.


e) Syaraf Fasialis

Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris, otot

wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

f) Syaraf Vestibulokoklear

Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

g) Syaraf Glosofaringeus dan Vagus

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

h) Syaraf Asesorius Spinal

Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i) Saraf Hipoglossus

Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra

pengecapan normal.

1. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL


a. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran
darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial.
b. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot
facial atau oral.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
d. Deficit perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi.
e. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan
dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi.
f. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kesadaran.

2. RENCANA ASUHAN
Diagnosa 1 : Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial.
NOC :
1. Circulation status
2. Tissue Prefusion : cerebral
Kriteria Hasil :
1. mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
a. Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan
b. Tidak ada ortostatikhipertensi
c. Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15
mmHg)
2. mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
a. berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
b. menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
c. memproses informasi
d. membuat keputusan dengan benar
e. menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran
mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter
NIC :
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi

Diagnosa 2: Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol


otot facial atau oral
NOC
1. Anxiety self control
2. Coping
3. Sensory function : hearing & vision
4. Fear self control
Kriteria hasil :
1. Komunikasi : penerimaan, interpretasi, dan ekspresi pesan lisan, tulisan, dan non
verbal meningkat.
2. Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara) : ekspresif pesan verbal dan atau non
verbal yang bermakna.
3. Komunikasi resptif (kesulitan mendengar) : penerimaan komunikasi dan
interpretasi pesan verbal dan/atau non verbal.
4. Gerakan terkoordinasi : mampu mengkoordinasi gerakan dalam menggunakan
isyarat
5. Pengolahan informasi : klien mampu untuk memperoleh, mengatur, dan
menggunakan informasi
6. Mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan terhadap ketidakmapuan
berbicara
7. Mampu manajemen kemampuan fisik yang dimiliki
8. Mampu mengkomunikasikan kebutuha dengan lingkungan.
NIC
Communication Enhancement : Speech Deficit.
1. Gunakan penerjemah, jika diperlukan
2. Beri satu kalimat simple setiap bertemu, jika diperlukan
3. Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlah dan untuk mengulangi
permintaan
4. Berikan pujian positif

Diagnosa 3: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuscular
NOC :
1. Joint Movement : Active
2. Mobility Level
3. Self care : ADLs
4. Transfer performance
Kriteria hasil:
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
4. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC :
Exercise therapy : ambulation
1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs
- Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
- Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
Diagnosa 4 : Deficit perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegi
NOC:
1. Activity Intolerance
2. Mobility: Physical impaired
3. Self Care Deficit Hygiene
4. Sensory perpeption, Auditory disturbed
Kriteria Hasil:
1. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari (makan, berpakaian, kebersihan,
toileting, ambulasi)
2. Kebersihan diri pasien terpenuhi.
3. Mengungkapkan secara verbal kepuasan tentang kebersihan tubuh dan hygiene
oral.
4. Klien terbebas dari bau badan
NIC:
Self-Care Assistance: Bathing/Hygiene
1. Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
2. Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan.
3. Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
4. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
5. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
6. Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
7. Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
8. Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan
diri sehari hari.

Diagnosa 5 : Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang


berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi.
NOC:
1. Respiratory status : Ventilation
2. Respiratory status : Airway patency
3. Aspiration Control
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.
NIC :
Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning.
2. Berikan O2  1-2liter/mnt, metode dengan pemasangan nasal kanul.
3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam (bagi anak usia diatas 5)
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Berikan bronkodilator 
9. Monitor status hemodinamik
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11. Berikan antibiotik
12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
13. Monitor respirasi dan status O2
14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
15. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : O2, Suction,
Inhalasi.

Diagnosa 6 : Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kesadaran


NOC
1. Trauma Risk For
2. Injury Risk for
Kriteria Hasil :
1. Keseimbangan
2. Gerakan terkoordinasi : kemampuan otot untuk bekerja sama secara volunteer
untuk melakukan geraka yang bertujuan
3. Prilaku pencegahan jatuh
4. Tidak ada kejadian jatuh
NIC
Fall Prevention
1. Mengidentifikasi faktor resiko pasien terjadinya jatuh
2. kaji kemampuan mobilitas pasien
3. Monitor tanda – tanda vital
4. Bantu pasien dalam berjalan atau mobilisasi
5. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
6. Berikan alat Bantu jika diperlukan
7. Libatkan keluarga dalam membatu pasien mobilisasi.
VI. SUMBER BUKU

Tubagus Vonny, Ali Haji R., Parinding Novita. 2015. Gambaran Hasil
Pemeriksaan CT Scan Kepala Pada Penderita Stroke Hemoragik Di
Bagian Radiologi FK UNSRAT/SMF Radiologi Blu RSUP Prof.Dr.R.D.
Kandou Manado. Jurnal e-Clinic Volume 3 Nomor 1 Januari- April 2015.

Mutaqin Arrif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Salemba Medika. Jakarta. Online : https://books.google.co.id/books?id=
American Heart Association. 2015. Hemorrhagic Strokes (Bleeds) Update 22 Juni
2015(Onlinehttp://www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/Typesof
Stroke/HemorrhagicBleeds/Hemorrhagic-Strokes-
Bleeds_UCM_310940_Article.jsp Diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 pukul
23.05 WIB )

8UIIJRjz95AC&pg=PA237&lpg=PA237&dq=stroke+hemoragik+adalah&source=bl&ots=
_luggnGo4U&sig=RCZkfhxS99KEAnnjABuLRNTfrt4&hl=en&sa=X&redir_esc=y#
v=onepage&q=stroke%20hemoragik%20adalah&f=false. Diakses tanggal 24
Agustus 2015 pukul 23.30 WIB.

Anggiamurni Lulu. 2010. Hubungan Volume dan Letak Lesi Hematom Dengan
Kecepatan Pemulihan Fungsi Motorik Penderita Stroke Hemoragik Berdasarkan
Kategori Skala Orgogozo. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan
Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang.

Dewanto George dkk. 2007. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kariasa. 2009. Persepsi Pasien Paska Serangan Stroke Terhadap Kualitas Hidupnya
Dalam Perspektif Asuhan Keperawatan. Tesis Magister Ilmu Keperawatan
Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Depok.

Anda mungkin juga menyukai