Anda di halaman 1dari 23

Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa Pandemi COVID-19

Kategori: Politik Nasional Dibuat: 12 Mei 2020


Ditulis oleh Prof. Dr. Firman Noor Dilihat: 2569

Membicarakan masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah setidaknya pada dua hal,
yakni penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Dalam hal pelemahan demokrasi, ada
dua model atau varian. Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian
resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai
“post-democracy”.

Artikel ini tidak akan membahas masalah penguatan demokrasi, mengingat tidak ada tanda-tanda
mengarah ke situ. Namun penulis juga tidak akan membahas masalah kembali ke kondisi
otoriter, karena secara objektif kondisi politik saat ini tidak mengarah ke sana. Kondisi politik
kita lebih pas dilihat tengah bergerak ke bentuk model post-democracy. Inilah hakikat situasi
politik kita sebelum pandemi COVID-19 terjadi.

Post-Democracy

Sebelum melangkah lebih lanjut, akan dijelaskan makna post-democracy. Istilah ini dipopulerkan
oleh Colin Crouch seorang sosiolog Inggris yang juga pengamat demokrasi. Dalam kondisi post-
democracy ini, terdapat beberapa kecenderungan. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam dunia
politik bersifat terbatas atau artifisial saja. Hampir semua aspek kehidupan politik ditentukan
oleh elite, khususnya elitenya elite (crème a la crème). Persetujuan pusat atau pimpinan pusat
amat menentukan dan mewarnai segenap kehidupan kader partai dimana pun berada.

Kedua, dalam situasi di atas, partai bukan lagi sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Partai
tidak lagi menjadi alat sebuah basis politik, namun alat kepentingan pemilik partai. Partai
dikelola secara eksklusif (top-down) layaknya “firma politik” dan mengandalkan pendistribusian
material yang cenderung sentralistis, yang mengakibatkan pendiri/penyandang utama dana partai
menjadi pusat segalanya. Visi dan gerak partai lebih ditentukan oleh saran-saran political
advisor yang berorientasi mengakomodir kepentingan elite dan oligarki, ketimbang kepentingan
riil masyarakat akar rumput.

Ketiga, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth)


dalam berpolitik. Hal ini karena pada kondisi post-democracy pertarungan ide tidak diperlukan,
yang terpenting adalah bagaimana membangun pencitraan dan memenangkan emosi pemilih
dengan janji-janji politik yang menggiurkan. Berkembang sebuah kontestasi seputar
meningkatkan citra diri dan menjatuhkan kelompok lawan, yang akhirnya berujung pada
pembodohan dan penurunan kualitas demokrasi. 

Keempat, hal ini beriringan dengan kecenderungan people ignorance. Dalam banyak momen
politik, antusiasme berpolitik masyarakat menurun. Masyarakat juga pada umumnya tidak
memahami duduk persoalan, hanya terpaku pada fenomena permukaan. Hal ini terjadi karena
kepedulian politik yang semakin rendah terutama karena dunia politik telah dianggap tidak
berkenaan langsung dengan mereka, selain karena terlalu banyaknya tipu daya. 

Kelima, sebagai dampak dari itu semua, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses dan
nilai demokrasi. Inilah yang menyebabkan pengelolaan partai menjadi jauh dari hakikat
demokrasi. Begitu pula lembaga-lembaga negara telah menjadi “pelayan oligarki” yang akhirnya
berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat kepada mereka. Hilangnya respek juga
tercermin dari terus terjadinya manipulasi, kecurangan, dan pelanggaran dalam pelaksanaan
pemilu yang berujung pada munculnya pemerintahan yang eksklusif. Sementara itu, redupnya
norma-norma demokrasi menyebabkan mudahnya demokrasi memicu konflik politik atau
terbajak kepentingan sesaat para elite.

Kondisi Demokrasi Indonesia

Beberapa kecenderungan inti post-democracy di atas pada umumnya terjadi di Indonesia. Inilah
yang menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan
oligarki yang sulit ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kondisi
demikian, munculah sebuah demokrasi tanpa demos.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal
reformasi. Tercermin dari berbagai istilah yang diberikan oleh beberapa pemerhati politik
Indonesia, seperti “Delegative Democracy” (Slatter 2004), “Patrimonial Democracy” (Weber
2006), “Patronage Democracy” (Klinken 2009), “Political Cartel” (Ambardi 2009),
“Clientelism” (Aspinal dan Berenschot 2019; Rahmawati 2018), dan “Oligarchy” (Bunte and
Ufen 2009, Hadiz and Robison 2004, Winters, 2011).

Secara spesifik setidaknya ada sebelas karakteristik demokrasi di Indonesia saat ini yang
mencerminkan demokrasi tanpa demos itu. Pertama, lemahnya pelaksanaan checks and
balances. Ini terlihat dari lemahnya peran partai, DPR, kehakiman, dan lain sebagainya di
hadapan eksekutif. Kedua, meredupnya sikap kritis civil society, baik pers, LSM, akademisi, dan
sebagainya sebagai mitra pemerintah; dan pembungkaman kalangan aktivis-kritis. Akibatnya,
demokrasi kita sejatinya tengah tumbuh dalam “tanah yang gersang”.

Ketiga, kepemimpinan nasional tidak membawa pencerahan/pendewasaan berpolitik. Para elite


juga tidak cukup berhasil dalam memelihara soliditas masyarakat, menghindari personifikasi
politik, dan mendorong demokrasi substansial-rasional. Inilah yang akhir-akhir ini menjadi
pendorong berkembangnya pembodohan politik dan manipulasi kepentingan serta pembelahan
politik. Keempat, lemahnya penerapan nilai-nilai demokrasi, baik pada level elite ataupun
masyarakat, seiring dengan meningkatnya oportunisme di kalangan elite dan meredupnya
pendidikan politik serta melemahnya ekonomi masyarakat.

Kelima, penegakan hukum yang tebang pilih. Kedekatan dengan rezim akan membawa
keuntungan tersendiri dalam dunia hukum kita. Selain itu, ada kecenderungan menerabas aturan
yang terlihat pada aturan-aturan kekinian, termasuk omnibus law. Keenam, memudarnya
partisipasi rakyat yang otonom dan genuine. Ini ditandai dengan maraknya politik uang,
manipulasi informasi, dan beroperasinya buzzer secara masif. Ketujuh, pelemahan kebebasan
berekspresi demi stabilitas politik yang ditandai dengan meningkatnya pendekatan keamanan dan
kriminalisasi.

Kedelapan, terjadinya “de-demokratisasi internal” pada lembaga-lembaga politik, terutama partai


yang justru menyuburkan nilai-nilai anti-demokrasi dan meningkatkan personifikasi lembaga
demokrasi. Kesembilan, pelaksaana pemilu dan pilkada yang sarat dengan manipulasi dan politik
uang. Uang demikian bermakna dan menentukan (money talks and decides). Akibat situasi ini,
muncul fenomena yang disebut sebagai “votes without voice”. Kesepuluh, repolitisasi birokrasi
dan aparat untuk kepentingan penguasa, terutama dalam kontestasi elektoral. Kesebelas,
terjadinya diskriminasi politik atas nama SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dan
rasa kedaerahan.

Dengan kesebelas karakteristik itu, tidak mengherankan jika nilai demokrasi Indonesia menjadi
jeblok. Dari hasil studi Economist Intelligence Unit (EIU), dalam dua tahun terakhir ini, di
kawasan Asia Tenggara Indonesia berada di peringkat 3, di bawah Malaysia dan Filipina, dengan
kategori sebagai “flawed democracy” (demokrasi yang cacat).

Tabel 1 

Peringkat Kualitas Demokrasi Indonesia Tahun 2019

Sumber: EIU Index 2019 

Sementara menurut Freedom House, Indonesia sudah masuk negara dalam kategori partly free,
dan status ini sudah berlangsung cukup lama. Secara umum beberapa kajian terkini juga
menyebutkan Indonesia sebagai negara yang tidak murni demokrasi atau demokrasi sebatas
prosedur saja.

Politik Indonesia Tak Lama sebelum Pandemi COVID-19: Tendensi Regresi


Kondisi politik kita tak lama sebelum pandemi COVID-19 dapat dikatakan mengalami turning
point bagi demokrasi. Ini sebenarnya hanya kelanjutan dari situasi yang secara umum tengah
terjadi. Kondisi ini tercermin dari upaya pemerintah menelurkan berbagai kebijakan
kontroversial, yang kemudian ramai disoroti dan dikritisi oleh masyarakat.

Ketiga kebijakan itu adalah (1) Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat demokrasi dikenal
sebagai UU pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang membuka peluang intervensi kepentingan
negara dalam ranah privat; dan (3) RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak
aspeknya lebih memberikan keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau investor ketimbang
pekerja/buruh.

Dua yang pertama telah memicu ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia untuk kembali ke jalan.
Meski kemudian berhasil diredam oleh aparat, sebagian dilakukan dengan menggunakan
kekerasan. Apa yang diperjuangkan pun akhirnya menjadi sia-sia karena baik pemerintah
maupun DPR tetap dengan pendiriannya untuk menetapkan UU tersebut.

Ini juga menjadi sebuah indikasi kuat adanya pelemahan peran mahasiswa sebagai kalangan
muda-kritis yang biasanya selalu diharapkan menjadi agen perubahan. Sementara itu, RUU yang
terakhir telah memicu perlawanan terutama dari kalangan buruh. Kehadiran ketiga UU/RUU
kontroversial itu pada banyak aspeknya jelas tidak aspiratif. Ketiganya tampak jelas lebih
mengakomodir kepentingan para oligarki.

Ketiga kebijakan itu juga sarat dengan upaya melakukan sentralisasi kekuasaan dan intervensi
negara, sehingga ruang publik (bahkan privat) maupun kewenangan pemerintahan daerah
menjadi tereduksi. Tidak itu saja, upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi dalam
pengawasan ketat pemerintah. Padahal pengawasan ketat semacam itu adalah sebuah bencana
untuk pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi berskala masif.

Terbukti KPK mengalami pelambatan dalam soal operasi tangkap tangan (OTT). Di atas itu
semua, tidak saja para koruptor yang merasa lebih nyaman dalam melakukan aksinya, tetapi juga
para oligarki menjadi semakin sulit dibendung. RUU Omnibus Law jelas akan lebih
menguntungkan triple alliance, yakni pengusaha asing, pemerintah, dan pengusaha lokal yang
dalam bekerjanya saling berkelindan dan tak tersentuh (untouchable), yang akhirnya berpotensi
terus memproduksi oligarki baru di tanah air.

Dengan demikian, kondisi terakhir menjelang pandemi COVID-19 pada dasarnya hanya
merupakan kelanjutan dari nuansa post-democracy yang merupakan sebuah kemunduran bagi
kehidupan demokrasi kita. 

Ekosistem Politik Saat COVID-19: Bringing the State Back In

Ekosistem politik saat pandemi ditandai dengan peran pemerintahan yang diperkuat guna
menangani krisis. Dalam setiap krisis ada tendensi penguatan peran penguasa, baik dengan
alasan yang terkait kebencanaan, peperangan, ataupun krisis lainnya. Atas nama memulihkan
krisis, pemerintah dapat melakukan segala sesuatu yang dianggap penting.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah kemudian menjadi cenderung memiliki banyak hak bahkan
privilege, termasuk membuat berbagai aturan yang bersifat restriksi atau diskresi. Aturan khusus
negara dapat memasuki ranah-ranah privat sekalipun. Pemerintah dapat menerapkan itu secara
sepihak. Di banyak negara, aturan lockdown ataupun karantina tidak memerlukan persetujuan
dari masyarakat. Sehingga pada masa krisis dikenal kondisi “More State, Less Private”.

Selain itu, pemerintah juga memiliki hak untuk menggunakan segenap sumber daya yang ada
untuk dapat membawa negara keluar dari kondisi krisis. Ini memungkinkan negara
mengeluarkan pengaturan yang bersifat khas demi pemanfaatan sumber daya semaksimal
mungkin. Di negara kita bahkan dimungkinkan adanya sebuah pelaksanaan kebijakan terkait
pandemi tanpa perlu adanya pengawasan, sejauh itu didasarkan pada “itikad baik” untuk
penyelesaian masalah COVID-19.

Dimungkinkan pula bagi pemerintah untuk mengeluarkan lebih banyak uang dengan skema yang
ditujukan pada upaya-upaya mengatasi dan antisipasi dampak pandemi ini. Di Indonesia
misalnya, pemerintah telah menganggarkan dana sekitar Rp 405 triliun, dari berbagai sumber
keuangan yang tersedia, diperuntukkan untuk tiga persoalan besar, yakni kesehatan, sosial, dan
ekonomi.

Adanya nuansa kedaruratan juga dapat menuntut masyarakat untuk lebih taat. Di beberapa
negara, misalnya, sudah digunakan terminologi “We are at war!” Begitu juga akhirnya di
Indonesia, pemerintah terutama melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sudah
menggunakan istilah perang. Vietnam telah menggunakan istilah ini tak lama setelah adanya
penyebaran virus COVID-19. Makna dari peperangan ini adalah perlunya suatu komando dan
disiplin khas perang, sehingga diharapkan adanya sebuah kepatuhan umum baik masyarakat
maupun internal pemerintah sendiri, agar dapat memenangkan perang itu.

Tidak lama setelah ditetapkannya status Bencana Nasional, Presiden Joko Widodo bahkan
sempat melontarkan wacana “Darurat Sipil” yang mengarah pada bentuk pemerintahan darurat
bernuansa militeristik. Belakangan Letjend. Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19, bahkan sudah menggunakan lagi seragam militernya dalam
menyampaikan pesan-pesan terkait penanganan virus ini, yang secara simbolis menguatkan
kesan perang itu.

Dengan kondisi ini, terasa sekali nuansa penguatan peran dan kedudukan pemerintah atau
negara. Sehingga tampak seolah seperti Bringing the State Back In, sebuah fenomena yang
dibayangkan dalam sebuah buku yang disunting oleh Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer, dan
Theda Skocpol. Meski penguatan peran pemerintah dibutuhkan, menurut Steve Hank dalam
tulisannya Crises Enliven: Totalitarian Temptations (2020), apabila tidak dibatasi atau
berkesudahan situasi ini dapat mengarah pada apa yang disebutnya sebagai “godaan totalitarian”.

Selain itu, menurut Hank tanpa adanya kebijakan yang tepat dan dapat dikontrol dengan efektif,
situasi ini dapat menciptakan oportunis-oportunis atau para pembajak kepentingan yang
membahayakan kepentingan rakyat dan akhirnya eksistensi negara.
Dengan melihat ekosistem politik seperti ini, tampak penguatan peran negara menjadi sesuatu
yang tidak dapat dihindari. Memang situasi ini tidak selalu akan mengarah pada pemusnahan
demokrasi, namun manakala itu tidak sesuai takaran dan periode waktu yang dibatasi, maka akan
berpotensi melanggengkan kekuasaan menuju “godaan totalitarian”. Atau setidaknya, akan
membawa pada pelemahan demokrasi karena adanya tendensi pemerintahan yang terpusat dan
memunculkan para oportunis/oligarki.

Kondisi Politik dan Pemerintahan Era Pandemi

Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan.
Kita pada dasarnya masih akan menghadapi problematika demokrasi yang sama. Beberapa
fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, masih terus lemahnya checks
and balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era Jokowi yang
pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung penguasa.

Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan
kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai merebak. Begitupula saat munculnya
beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika
tidak lancarnya pemberian bantuan sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR
tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis, secara umum nuansa over-protective
parlemen kepada pemerintah masih terasa.

Kedua, konsolidasi civil society yang tetap masih belum maksimal. Secara umum kalangan ini
masih terus bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif. Termasuk adanya gangguan
“perang proxy” yang melibatkan para buzzer untuk saling serang dan juga membungkam kritik
dan mencanangkan satu versi kebenaran. Akibatnya, kalangan civil society tetap memainkan
peran pinggiran dan terabaikan. 

Ketiga, sinergi dan koordinasi internal pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi
ini telah menimbulkan saling silang di jajaran pemerintahan sendiri. Pemusatan kekuasaan dan
birokrasi penentuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi efek dari
situasi yang tidak terkoordinasi dan tidak sinergis itu. Sentralisasi kebijakan ini kerap
dipertanyakan, mengingat PSBB harus dilakukan segera oleh kepala daerah tanpa harus
menunggu keputusan administratif yang memperpanjang rantai birokrasi. Apalagi kenyataannya,
kita sudah terlanjur lambat dalam merespon pandemi ini.

Keempat, munculnya fenomena oportunisme. Pada bulan April 2020, Staf Khusus Milenial
Presiden, yakni Andi Taufan, Adamas Belva, dan Gracia “Billy” Joshapat menjadi sorotan.
Ketiganya secara umum ditengarai telah memanfaatkan posisinya untuk meraih keuntungan
pribadi, yaitu upaya mendapatkan proyek pemerintah terkait pandemi, baik langsung maupun
tidak langsung. Meski ketiganya menolak disebut demikian, namun aroma “kolusi gaya baru”
sulit untuk dinafikan.
Fenomena ini tampaknya sejalan dengan dugaan Hank tentang munculnya kalangan oportunis di
era pandemi. Desakan publik yang demikian kuat, mendorong Andi Taufan dan Adamas Belva
untuk mengundurkan diri. Presiden sendiri tidak menganjurkan itu dan tetap mempertahankan
keberadaan stafsus milenial meski muncul suara-suara untuk membubarkannya.

Kelima, beberapa hal lain yang turut mewarnai kehidupan politik ini adalah perlindungan
terhadap citra pemerintah. Pemerintah tampak melihat kewibawaan di saat krisis harus dijaga,
sayangnya itu dimaknai dengan melakukan pengawasan kepada masyarakat. Tidak
mengherankan jika kepolisian diminta untuk lebih intens dan proaktif dalam melindungi simbol-
simbol negara termasuk presiden.

Begitu pula fenomena tuntutan permintaan minta maaf kepada kalangan kritis, yang sedikit
banyak menunjukkan ketidakarifan penguasa dalam membedakan kritik kebijakan dengan
pencemaran nama baik. Hal ini turut memperlambat pemulihan pelaksanaan dan penghormatan
atas kebebasan berpikir dan upaya membangun opini kritis di tengah masyarakat.

Keenam, munculnya kebijakan bertendensi oligarki, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Beberapa kalangan mengkritik kebijakan ini terutama karena memberikan peluang terjadinya
sebuah mal-adminsitrasi yang tidak bisa diawasi dan bahkan dituntut baik oleh lembaga negara
sendiri, apalagi oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan ini memberikan peluang bagi siapa saja
untuk melakukan pemanfaatan keuangan negara hanya atas dasar itikad baik, yang secara riil
bepotensi menyuburkan praktik kongkalikong. Kedua hal itu sudah cukup untuk menjadi alasan
penolakan kebijakan ini karena berpotensi dimanfaatkan oleh para oligarki.

Dengan berbagai situasi politik dan pemerintahan di atas (dan tentu saja ditambah ekosistem
politik pada masa pandemi), tentu mudah terlihat bahwa esensi politik kita belum mengarah pada
penguatan demokrasi, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi,
restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.

Kesimpulan

Masa depan demokrasi kita tampaknya belum akan pulih dalam waktu dekat. Model post-
democracy akan tetap bercokol dalam kehidupan politik kita. Memang kita tidak akan mengarah
pada model pemerintahan otoriter, namun juga belum akan mengarah pada bentuk pemerintahan
demokrasi tulen. Berbagai indikasi menjelang dan saat terjadinya pandemi COVID-19, tidak
menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada dukungan bagi perbaikan demokrasi.

Jika tidak ada sebuah terobosan politik yang berarti, bisa jadi kualitas demokrasi kita semakin
melorot pasca-pandemi ini. Munculnya berbagai regulasi yang bernuansa sentralisasi kekuasaan,
selain juga karakter demokrasi kita yang mengarah pada post-democracy, dan situasi politik yang
tengah berjalan saat pandemi, menjadi persoalan-persoalan pokok demokrasi kita hari ini. Belum
lagi kondisi kehidupan ekonomi yang makin melemah dan potensi renggangnya kohesi sosial
yang dapat memperburuk situasi.
Di satu sisi kita harus mulai waspada agar resesi dan konflik seperti yang terjadi di Lebanon
ketika rakyat semakin lapar dan frustasi, tidak terjadi di tanah air. Namun pemulihan stabilitas
sosial-politik yang tidak tepat dapat berujung pada restriksi berkepanjangan yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan demokrasi. Sebuah situasi yang menyebabkan pegiat
demokrasi harus melupakan tidur nyenyaknya lebih panjang lagi.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi kalangan civil society untuk bangkit kembali memainkan
peran asasinya dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan demokrasi kita, baik pada masa
pandemi COVID-19 maupun sesudahnya. Kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap
kualitas kehidupan demokrasi harus makin digiatkan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan
konstitusional anak bangsa. (Prof. Dr. Firman Noor) 

DALAM kurun waktu dua bulan terakhir segenap komponen bangsa mulai resah. Selanjutnya,
tercekam rasa takut, lantaran mulai merebaknya wabah corona virus desease 2019 (covid-19).
Keresahan tersebut tentunya sangat manusiawi. Karena, jika pandemi covid-19 tidak ditangani
secara cepat dan tepat, akan berdampak fatal terhadap kematian manusia, dan perekonomian
Indonesia.

Oleh karena itu, wacana publik pun mulai dibanjiri diskursus tentang dua isu tersebut. Sementara
itu, apa pelajaran yang dapat dipetik dari musibah covid-19 terkait praktik demokrasi di
Indonesia, pada khususnya, dan tata kelola negara bangsa, pada umumnya, relatif belum
mendapat perhatian secara seimbang dari para akademisi.

Karakteristik transisi demokrasi

Kendati konsep transisi demokrasi itu sendiri masih terus dalam perdebatan di kalangan para
akademisi, secara prinsipal dapat dikatakan bahwa sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru
pada 1998, Indonesia mulai memasuki periode transisi demokrasi. Terkait dengan hal ini, secara
teoretis dapat dikemukakan sedikitnya ada sepuluh karakteristik utama dari transisi demokrasi.

Pertama, relasi antara negara dan masyarakat, tidak lagi bersifat satu arah, tetapi sudah bersifat
dua arah. Walaupun dibukanya peluang partisipasi masyarakat cenderung belum sepenuhnya
didasarkan pada iktikad untuk memperkuat masyarakat sipil, tetapi, lebih pada kewajiban
memenuhi agenda reformasi.

Kedua, relasi negara dan masyarakat lebih berkarakterkan relasi antarelite, yaitu antara elite
penguasa dan elite masyarakat. Kondisi ini kemudian telah melahirkan praktik demokrasi elitis.

Ketiga, reformasi politik lebih dititikberatkan pada reformasi kelembagaan negara, namun minus
penguatan kapasitas. Kondisi itu berimplikasi pada terjadinya ‘pengekalan’ praktik demokrasi
prosedural.

Keempat, telah terjadi perluasan arena kebebasan sipil, namun minus kualitas. Realitas ini
ditandai, antara lain, masih dominannya ekspresi kebebasan sipil dengan cara-cara kekerasan,
dan adanya tindakan ke kerasan, baik oleh pihak negara maupun masyarakat, dalam meyikapi
ekspresi kebebasan sipil.

Kelima, pemilu berkarakterkan vote minus voice. Maksudnya, pemilu secara rutin dilaksanakan
sebagai ‘ritual politik’ untuk mendapat vote (suara masyarakat) guna melegitimasi kekuasaan
para elite. Namun, pada pascapemilu, sangat muskil memproduksi voice. Lebih buruk lagi, justru
yang dihasilkan adalah political noise.

Keenam, munculnya oligarki partai politik. Kenyataan ini ditunjukkan, antara lain, adanya
sentralisasi kekuasaan dalam tubuh partai politik, proses pengambilan keputusan dimonopoli
segelintir elite partai. Lalu, promosi posisi strategis tidak didasarkan pada sitem merit, dan proses
kaderisasi nyaris tidak berjalan.

Ketujuh, maraknya praktik politik transaksionis, yaitu memperlakukan kekuasaan sebagai


komoditas yang dapat diperjualbelikan. Fenomena ini terjadi hampir pada semua arena politik.
Mulai dari praktik beli suara pada pemilu, sampai dengan beli jabatan untuk posisi-posisi
strategis pada lembaga internal partai politik, maupun pada lembaga negara.

Kedelapan, munculnya realitas dinasti politik, yakni monopoli kekuasaan berdasarkan hubungan
kekeluargaan atau kekerabatan. Tendensi ini terjadi, sangat erat terkait dengan adanya praktik
politik transaksionis dan oligarki partai politik sebagaimana dikemukakan di atas.

Kesembilan, maraknya praktik shadow state, yaitu hadirnya aktor di luar struktur formal
pemerintahan. Namun, dapat mengendalikan dan mengontrol para aktor penyelenggara
pemerintah formal, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Kecenderungan ini terjadi,
juga tidak terlepas dari adanya praktik politik transaksionis, utamanya pada pemilu.

Kesepuluh, hadirnya gerakan counter reform, yaitu suatu gerakan ‘reformasi tandingan’, yang
sejatinya membawa spirit antireformasi, namun dikemas dalam bungkus dan lebel proreformasi.
Gerakan ini relatif sulit untuk dideteksi, namun sangat membahayakan bagi masa depan
demokrasi.
Ujian dan bahaya

Dengan merujuk pada sepuluh karakteristik transisi demokrasi di atas, sedikitnya dapat
diidentifikasi ada enam tantangan demokrasi di Indonesia terkait dengan pandemik covid-19.

Bila dibuat kategorisasi, enam tantangan tersebut dapat dikelompok ke dalam tiga ujian dan tiga
bahaya demokrasi. Pertama, ujian bagi eksistensi dan komintmen terhadap prinsip-prinsip negara
kesatuan. Adanya pandemik covid-19 secara tidak langsung telah menguji apakah prinsip-prinsip
NKRI.

Utamanya, terkait dengan relasi pusat-daerah, memang betul teraktualisasi dan dipatuhi dalam
implementasi kebijakan penanggulangan wabah virus korona, atau hanya imajinasi. Bila betul
ditaati, seharusnya tidak perlu terjadi perbedaan sikap antara pemerintah pusat dan daerah dalam
implementasi kebijakan mengatasi pandemik covid-19.

Dikatakan demikian, karena dalam negara kesatuan, prinsip relasi kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah ialah berbagi kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan seperti pada negara
federal.

Oleh karena itu, otonomi yang dimiliki pemerintah daerah bukanlah otonomi penuh seperti pada
negara federal. Jika pada kenyataannya, pemerintah daerah terkesan merasa memiliki otonomi
penuh, inilah yang perlu dikoreksi untuk diluruskan. Namun, pada sisi lain, pemerintah pusat
sebagai empunya kewenangan, niscaya dituntut ketegasan dan kepastian dalam implementasi
keputusan yang telah diambil.

Inilah sejatinya karakter dari strong state yang memang harus diperlihatkan pemerintah pusat
dalam mengatasi kondisi genting akibat wabah covid-19 yang mencekam saat ini.

Kedua, ujian bagi kapabilitas dan kualitas kepemimpinan pemerintah pusat dan daerah. Sejak
tahun 2004 Indonesia telah menerapkan pilpres langsung, dan mulai tahun 2005 melaksanakan
pilkada langsung. Secara teoretis, pemilu langsung diyakini akan menghasilkan pemimpin
berkualitas, yang pada giliran akan menghadirkan pemerintahan yang akuntabel dan responsif
terhadap tuntutan kepentingan

masyarakat (Smith, 1985; Oyugi, 2000; dan Arghiros, 2001).

Dalam mengikuti logika teoretis ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran wabah
covid-19 secara nyata menyodorkan ujian bagi kapabilitas dan kualitas para pimpinan hasil
pemilu langsung tersebut.

Ketiga, ujian kohesi sosial dan ‘kepatuhan’ terhadap state authority. Satu di antara indikator
penting dari eksisnya legitimasi otoritas negara adalah, adanya dukungan dan kepatuhan warga
negara terhadap berbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah. Dengan demikian, cukup
beralasan jika dukungan dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah
covid-19 juga dapat diartikulasi sebagai bagian dari ujian nyata terhadap eksistensi otoritas
negara.

Keempat, bahaya politisasi covid-19 untuk pencitraan politik jelang Pilpres 2024. Tantangan
demokrasi yang keempat ini terkesan berlebihan, dan cenderung prematur. Namun, sebagai
upaya antisipasi, ia layak dipertimbangkan.

Natur dari pemilu, termasuk pilpres, ialah kontestasi untuk mendapat kekuasaan. Oleh karena itu,
kata Machiavelli, segala cara pun akan dihalalkan, termasuk politisasi musibah covid-19 untuk
pencitraan politik.

Kelima, bahaya politisasi kebijakan pembatasan sosial (social distancing) untuk menekan hak
menyampaikan aspirasi di ruang publik. Seperti diketahui, kebijakan ini, antara lain, melarang
warga masyarakat untuk berkumpul di ruang publik dengan tujuan mencegah penularan covid-
19.

Dengan demikian dapat dipastikan, selama periode pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial,
tidak dimungkin bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi di ruang publik. Oleh karena itu,
agar tidak terjadi ‘dusta di antara kita’, seharus pihak lembaga penyelenggara negara, utamanya
DPR RI, menunda sejumlah agenda pengambilan keputusan penting, yang menghendaki
pelibataan aspirasi publik, selama periode pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial tersebut.

Keenam, bahaya politisasi program bantuan sosial covid-19 untuk mobilisasi dukungan jelang
kontestasi Pilkada serentak 2020. Kekhawatiran ini cukup beralasan, mengingat praktik politik
uang dalam penyelenggaraan pilkada sudah menjadi rahasia umum.

Lebih jauh dari itu, bila disimak sejumlah kasus korupi kepala daerah, utamanya yang ditangani
KPK, juga mengindikasikan adanya keterkaitan dengan penyalahgunaan anggaran negara.
Khususnya, dana bantuan sosial, untuk kepentingan pilkada. Oleh karena itu, bila tidak dikelola
secara ketat dan tepat, tidak kecil kemungkinan kecenderungan yang sama pun akan berlaku
dalam pelaksanaan

program bantuan sosial covid-19.

Akhirnya, penting untuk ditegaskan di sini, uraian singkat di atas bukan sama sekali bermaksud
untuk membangun perspektif pesimistik, tetapi justru sebaliknya. Dengan adanya diskursus
publik seperti ini, diharapkan akan merangsang sensitivitas dari pihak-pihak terkait untuk
melakukan refleksi atas konsep dan praktik demokrasi di Tanah Air sejauh ini. Dengan
demikian, komitmen ‘NKRI harga mati’ dan ‘daulat rakyat’ yang diamanahkan melalui pilpres,
pileg, dan pilkada, tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, tetapi terwujud dalam kenyataan
Wabah Covid-19 dan serangan coronavirus bukan hanya menggoyahkan kesehatan publik, tetapi
juga kesehatan demokrasi. Wabah ini berlangsung tak sampai setahun setelah pelaksanaan
Pemilu 2019. Sebagian warga masih sangat merasakan suasana batin persaingan politik yang
tajam, khususnya dalam pemilihan presiden.

Terlepas dari baik-buruknya suasana persaingan sebelum, ketika, dan setelah pemilihan itu
hingga kini, ada kepercayaan warga terhadap demokrasi (-elektoral). Karena itu, di tengah wabah
yang menggila ini, kepemimpinan politik hasil pemilu merupakan pertaruhan besar terhadap
kesehatan demokrasi kita.

Jika kepemimpinan politik hasil proses demokrasi mampu dengan baik mengatasi serangan
wabah, maka terbukti demokrasi memang memberi manfaat besar bagi warga. Jika itu yang
terjadi, demokrasi kita ke depan akan semakin sehat.

Sebaliknya, jika kepemimpinan politik saat ini gagal menangani dengan baik wabah ini, bukan
tidak mungkin warga kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi yang melahirkan
kepemimpinan politik. Itulah bahaya yang mengancam kesehatan demokrasi kita.

Celakanya, bagi kebanyakan warga dan pelaku politik, demokrasi memang dimaknai sebatas
sistem elektoral belaka. Itu sebabnya, dari pemilu ke pemilu, dan rentang waktu di antara pemilu,
kita pernah lepas dari persoalan persaingan politik elektoral.
Demokrasi seakan-akan menjebak kita dalam situasi yang mengharuskan kita berada di salah
satu dari dua posisi: mendukung atau melawan kepemimpinan politik hasil pemilu. Akibatnya,
kompleksitas demokrasi yang luas sebagai sistem politik yang membuka peluang partisipasi
politik warga untuk membukukan kesejahteraan publik tereduksi menjadi hanya persoalan
dukung dan lawan itu. Tak heran, karena itu, tak banyak pula yang bisa dilakukan warga untuk
menyikapi langkah-langkah yang diambil oleh kepemimpinan politik untuk menghadapi wabah:
mendukungnya, atau menentangnya. Tak soal bagi banyak pendukung untuk tetap membela
segala kebijakan yang diambil, terlepas apakah kebijakan itu "baik" atau "buruk".

Begitu juga sebaliknya. Tak soal bagi banyak penentang untuk selalu mengecam segala
kebijakan yang diambil, terlepas apakah kebijakan itu "baik" atau "buruk". Akibatnya,
kepemimpinan politik tak pernah dapat merumuskan dan menjalankan kebijakan publik secara
efektif. Selalu saja ada dukungan palsu, dan selalu saja ada penentang asal-asalan. Itu sebabnya
demokrasi elektoral cenderung merusak hakikat partisipasi politik dan kontrol publik yang
demokratis.

Dampak dari kecenderungan itu sangat kita rasakan saat kita menghadapi wabah ini. Di satu sisi
ada kepercayaan berlebih terhadap kepemimpinan politik Jokowi, di sisi lain muncul
ketidakpercayaan yang juga berlebih. Akibatnya, ruang kebijakan penanganan wabah tak pernah
lepas dari kebisingan perseteruan politik yang menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan yang
lebih rasional untuk mengatasi wabah yang sedang dihadapi.

Saya khawatir, dari sini kita sedang melangkah menuju demokrasi yang sakit sebelum akhirnya
mati.
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia hingga saat ini tak dapat diprediksi
keberlangsungannya. Di satu sisi, negara dihadapkan pada kehidupan demokrasi yang tetap
berjalan demi menjaga keberlangsungan kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, sikap optimisme menjalankan demokrasi menjadi pilihan di tengah wabah
seperti ini. Hal itu pula yang ditekankan Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar pada
Diskusi online yang digagas Badan Saksi Nasional DPP Partai Golkar, Kamis (21/05/2020).
(Baca juga: Kasus Corona di Indonesia Bertambah 634 Orang, Total 20.796 Pasien)

"Bangsa ini memang harus bangkit, bagaimana menjalankan demokrasi ditengah wabah pandemi
COVID-19," ujar Bahtiar.

Diakuinya, wabah COVID-19 yang melanda global memiliki tantangan khusus yang belum
pernah dialami penyelenggara pemilu di belahan dunia manapun. "Memang seluruh dunia itu
trial dan error, kita belajar dari yang sukses dan dari yang gagal, dan semua negara termasuk
penyelenggara Pemilu di seluruh dunia belum punya pengalaman menghadapi pemilu atau
pilkada dalam situasi wabah, oleh karena itu memang pertama kali kita menjadi saksi sejarah
dunia, jadi kita sama-sama belajar," tuturnya.
Kenapa ada negara yang sedikit warganya terinfeksi virus Corona (Covid-19). Namun juga ada
negara yang banyak penderitanya? Kenapa pula ada pemimpin pemerintahan yang dianggap
responsif dan cakap dalam menangani Covid-19, namun ada pula pemimpin yang dianggap
lemot dan kikuk dalam menghadapi pandemi Covid-19? Inilah sejumlah perspektif lain yang
mencoba mencermati Covid-19 dikaitkan dengan isu Demokrasi di hampir semua negara di
dunia.

Berdasarkan data Worldometers awal Mei 2020, Amerika Serikat tercatat menjadi negara
tertinggi penderita kasus Covid-19 di dunia dengan 1.129.059 kasus. Diikuti Spanyol dengan
242.988 kasus, Italia 207.428 kasus, Inggris 178.685 kasus, Perancis 167.346 kasus, Jerman
164.077 kasus, Turki 122.392 kasus, Rusia 114.431 kasus, Iran 95.646 kasus dan Brazil dengan
92.109 kasus. Dari 10 negara dengan penderita kasus Covid-19 terbesar tersebut, dua diantaranya
berasal dari Asia. Sementara Cina sebagai negara awal merebaknya pandemi Covid-19, tidak
masuk dalam 10 besar.

Di tingkat negara-negara Asean, dilansir data dari laman Worldometers, hingga Minggu
(3/5/2020) terdapat lima negara dengan jumlah kasus cukup tinggi Covid-19. Peringkatnya
Singapura dengan jumlah kasus tertinggi dengan 18.205 kasus. Disusul kemudian Indonesia
dengan 11.192 kasus, Filipina dengan 9.233 kasus, Malaysia 6.298 kasus, Thailand 2.969 kasus,
Vietnam 270 kasus, Myanmar 151 kasus, Brunei 138 kasus, Kamboja 122 kasus, dan Laos 19
kasus.
baca juga:

Rebranding Pilkada Serentak 2020

Kontroversi RUU HIP

New Normal dan Mengerucutnya Oligarki

Diskon Perdana hingga Rp70juta Srimaya Commercial Summarecon[PR]

Manakala kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat pendidikan, harapan hidup, pendapatan per
kapita, kemajuan teknologi dan sebagainya, Covid-19 ini tampaknya tidak kenal bulu memangsa
para korbannya. Buktinya Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Inggris atau Singapura yang
dimasukkan dalam negara-negara maju, penduduknya banyak terpapar virus Corona. Pun
demikian dalam kasus Asean, Singapura sebagai kampiun negara paling maju di kawasan ini
tidak luput dari terjangan Covid-19.

Dimensi Demokrasi

Mengacu kepada indeks Demokrasi (2019) yang bersumber dari The Economist Intellegence
Unit (EIU), 23 Januari 2020, saat ini tengah terjadi resesi Demokrasi global. Jika pada tahun
sebelumnya masih berada di level 5,44, tahun ini melorot ke level 5,48. Indeks Demokrasi 2019
merupakan terburuk sejak mulai dirilis pada 2006. Dalam situasi resesi Demokrasi, Norwegia
menjadi negara dengan indeks Demokrasi tertinggi dunia dengan skor 9,87 dari skala 0 hingga
10. Disusul Islandia dan Swedia dengan skor 9,58 dan 9,39.

Jika data indeks Demokrasi ini digunakan untuk menjelaskan fenomena Covid-19, maka
sejumlah negara yang mempunyai sejarah Demokrasi panjang dan sukses seperti: Amerika
Serikat, Spanyol, Italia, Perancis, dan beberapa negara lainnya menunjukkan, termasuk ke dalam
negara yang paling banyak terpapar Covid-19. Meskipun belakangan, negara-negara tersebut kini
tidak lagi masuk ke dalam negara dengan indeks Demokrasi terbaik versi EIU.

Sementara Indonesia masih mengacu data EIU, pada 2019 mengalami kenaikan indeks
Demokrasi ketimbang tahun sebelumnya dengan skor 6,48 dengan menempati posisi 64 dari 167
negara di dunia. Sementara pada 2017 dan 2018, mendapat angka 6,39. Skor tersebut
menempatkan Indonesia di peringkat 11 di kategori negara yang masuk kawasan regional Asia
dan Australasia. Indonesia masih berada di atas Thailand dengan indeks Demokrasi 6,32
(peringkat 68 dunia), 12 di regional) dan Singapura dengan 6,02 (peringkat dunia, 15 regional).

Meski demikian, peringkat Indonesia masih kalah dengan negara yang belum lama merdeka
seperti Timor Leste dengan indeks Demokrasi 7,19 (peringkat 41 dunia, 6 di regional), Malaysia
dengan angka 7,16 (peringkat 43 dunia, 7 regional), dan Filipina dengan angka 6,64 (peringkat
54 dunia, 9 di regional).

Jika dicari korelasi antara indeks Demokrasi dengan jumlah pasien Covid-19, bisa dikatakan
tidak ada kaitan langsung. Sebab, peringkat indeks Demokrasi Indonesia yang lebih baik dari
Singapura atau Thailand misalnya, tapi jumlah penderita Covid-19 di Indonesia lebih besar—
meski masih di bawah Singapura. Sebaliknya data mengalami ‘kekalahan’ peringkat indeks
Demokrasi Indonesia dari Timor Leste, Malaysia atau Filipina menunjukkan, jumlah penyandang
Covid-19 di Indonesia juga jauh lebih besar dari ketiga negara tersebut.

Penanganan Covid-19

Sebenarnya yang paling menarik dan relevan dikritisi dalam kontek ini adalah mencermati cara-
cara dari kebanyakan negara dalam merespon dan mengatasi pandemi Covid-19. Dalam kontek
ini, negara dengan Demokrasi penuh (full democracy), setengah Demokrasi (half democracy)
atau bahkan non Demokrasi mempunyai cara berbeda dalam menangani Covid-19—sekalipun
dalam beberapa aspek terjadi kesamaan.

Sebagai contoh adalah Cina. Ketika muncul kasus Covid-19 dengan cepat dan piawai negara ini
menerapkan lockdown di 16 kota. Lalu setelah sejumlah provinsi yang terpapar Covid-19
dianggap pulih sebagaimana terjadi di kota Wuhan dan Hubei, pemerintah Cina melakukan
relaksasi lockdown. Belakangan, negara yang acapkali tidak dimasukkan dalam negara
Demokrasi menerapkan aturan lockdown di kota Jia, Provinsi Henan, setelah kasus tersebut
kembali muncul.

Sementara Amerika Serikat (AS) tidak memberlakukan secara nasional. Contohnya,


sebagaimana dilakukan Presiden AS Donald Trump pada Sabtu malam (28/3/2020), tidak
menerapkan lockdown di kota New York dan sejumlah negara bagian lainnya. Padahal
sebelumnya, Trump bersedia menerapkan lockdown di New York karena wilayah ini merupakan
episentrum wabah Covid-19. Sebagaimana data yang dirilis Worldmeters, AS masuk dalam
peringkat negara yang warganya banyak terpapar Covid-19.

Sebaliknya, Italia, Spanyol, atau Prancis yang dianggap masuk dalam negara Demokrasi dan
menerapkan kebijakan lockdown dengan cara melakukan karantina secara massal terhadap
warganya. Meski demikian dari sisi efektivitasnya, dianggap tidak terlalu berhasil. Buktinya
ketiga negara ini termasuk dalam negara yang banyak warganya terpapar Covid-19.

Kasus Indonesia

Dalam kasus pagebluk Covid-19 di Indonesia, negara ini sudah lama mengklaim dirinya sebagai
negara Demokrasi. Bahkan sering menyebutnya sebagai negara ketiga Demokrasi terbesar di
dunia setelah AS dan India. Namun demikian, dalam hal pandemi Covid-19, Indonesia termasuk
ke dalam kelompok negara paling terpuruk, terutama disimak dari sisi begitu banyaknya jumlah
pasien Covid-19 meninggal dunia.

Berdasarkan data worldmeters.info per 7 Mei 2020, terdapat 30 negara yang yang warganya
meninggal dunia dengan peringkat pertama diduduki AS dengan 74.807 orang, Inggris sebanyak
30.076 orang, Italia sebanyak 29.684 orang, Spanyol sebanyak 25.857 orang, dan Prancis
sebanyak 25.809 orang. Sedangkan Cina asal muasal virus Covid-19 tergolong negara yang kecil
tingkat kematian warganya yakni: 4.633 orang.

Khusus di Asean, jumlah total kasus Covid-19 per 3 Mei terbanyak di Singapura. Disusul
Indonesia, Filipina, Malaysia, Thaland, Vietnam, Myanmar, Brunei, Kamboja, dan Laos. Dari
jumlah tersebut, Indonesia merupakan negara yang paling banyak pasien Covid-19 meninggal
dunia dengan jumlah mencapai 845 orang.

Disusul kemudian Filipina dengan 607 orang, Malaysia 105 orang, Thailand sebanyak 54 orang,
Singapura sebanyak 17 orang, Myanmar sebanyak 6 orang dan Brunei satu orang. Sementara
negara Asean lainnya seperti Vietnam, Kamboja dan Laos nihil kematian. Padahal Vietnam
mempunyai 270 kasus, Kamboja sebanyak 122 kasus dan Laos mempunyai sebanyak 19 kasus.

Hal ini dapat dimaknai bahwa pemerintahan Vietnam, Kamboja atau Laos, mampu mengobati
pasien Covid-19 secara lebih efektif. Meskipun harus dilakukan studi secara lebih mendalam dan
empirik, ketiga negara dengan jumlah kematian pasien Covid-19 mencapai nol persen tersebut
tidak atau belum tentu lebih baik dari Indonesia dari sisi ketersediaan jumlah rumah sakit, tenaga
medis, atau laboratorium.

Populisme Politik

Terkait dengan fenomena begitu maraknya negara yang mengklaim diri sebagai negara
Demokrasi namun banyak terjangkit Covid-19, Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga,
Airlangga Pribadi Kusman memaparkan fakta yang lebih kuat kalau beberapa negara
Demokrasi, baik secara institusional maupun kualitas Demokrasi tidak merosot, yang memiliki
kemampuan terbaik menghadapi Covid-19.

Menurutnya, negara Demokrasi yang dipimpin perempuan dan tidak terpikat rayuan populisme
kanan seperti Selandia Baru, Islandia, Denmark, Australia, Norwegia, dan Taiwan adalah negara-
negara yang mampu menjaga ketahanan sosial menghadapi virus korona dengan korban warga
meninggal terbatas. Adapun negara Demokrasi dengan tingkat kematian terbesar seperti
Amerika Serikat, Brazil, dan Inggris, adalah negara-negara dengan kualitas Demokrasi sedang
terjungkal karena dipimpin oleh kekuatan populis kanan.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika mengacu kepada pengalaman pada praktik dua kali Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terakhir yakni: 2014 dan 2019, fenomena politik
populisme demikian menggejala dalam panggung politik nasional, baik populisme kanan, kiri
atau Islam. Yang ditandai dengan begitu gencarnya isu-isu kerakyatan, wong cilik,
primordialisme, dan sebagainya digunakan sebagai komoditas utama dalam kampanye.

Aktivitas politik seperti ini dilakukan oleh semua kandidat presiden dan Wakil Presiden,
termasuk juga dilakukan oleh calon presiden ketika itu Joko Widodo (Jokowi) yang
memenangkan Pilpres 2014 dan 2019. Yang berbeda hanya soal materi, metode, modus atau
packaging (kemasan). Bahwa yang menang di Pilpres adalah Jokowi, hal tersebut rasional dan
logis saja. Namanya saja kontestasi. Pasti ada yang menang, dan ada yang kalah.

Setengah Hati

Treatment yang dilakukan atau terjadi saat masa kampanye, dengan saat ini ketika menghadapi
pagebluk Covid-19 sangat berbeda. Pemerintahan Presiden Jokowi yang oleh sejumlah kalangan
diklaim sebagai hasil produk Pemilu demokratis 2019, agak sulit jika dianggap begitu berpihak
terhadap isu-isu populisme. Sebab jika isu populisme yang menjadi mainstream utama, mestinya
keberpihakan terhadap kesehatan dan keselamatan nyawa manusia harus lebih tegas dan
diprioritaskan daripada pertimbangan ekonomi atau investasi.

Andaikata hendak menyeimbangkan antara dimensi kesehatan dan kemanusiaan dengan ekonomi
dan bisnis, mestinya terlihat dalam pengaturan maupun implementasinya yang dilakukan secara
konsisten. Yang sekarang ini terjadi, lebih tercermati sebagai kebijakan setengah hati dan
ambigu: antara darurat dengan tidak darurat atau antara lockdown atau tidak lockdown.

Repotnya lagi, implementasi dari kebijakan setengah hati tersebut diwujudkan dengan
munculnya aturan satu dengan lainnya yang menegasikan. Serta banyaknya muncul pernyataan
kontroversial dari penguasa satu dengan lainnya yang justeru mengakibatkan penanganan Covid-
19 masih tidak maksimal dan efektif. Ironisnya lagi, muncul isu dimana kebijakan pemerintah
terkait dengan Covid-19 dikontrol oleh manuver elit politik tertentu yang ditengarai mempunyai
kepentingan ekonomi pribadi dan kelompoknya.

Hakikat Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Prosedur
untuk memperoleh pemerintahan demokratis adalah melalui jalur Pemilu. Bila Pemilu kita
anggap sebagai ujian formalitas kandidat presiden, maka hasil nyatanya dapat disimak pada saat
memerintah. Khususnya ketika menghadapi problem Covid-19 seperti ini. Inilah ujian
substansial, empirik dan faktual sebenarnya yang menguji otentisitas dan kredibilitas dan
akulitas personal sang pemimpin.

Anda mungkin juga menyukai