Word Refrat

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi ( juga disebut ‘kejang ayan’ ) ditandai dengan aktivitas berlebihan yang tidak
terkendali dari sebagian atau seluruh system saraf pusat. Orang dari sebagian atau seluruh
system saraf pusat. Orang yang mempunyai faktor predisposisi timbulnya epilepsi akan
mendapat serangan bila nilai basal dari eksitabilitas system saraf (atau bagian yang peka
terhadap keadaan epileptic ) meningkat diatas nilai ambang kritisnya. Selama besarnya
eksitabilitas tetap dijaga dibawah nilai ambang ini, maka serangan epilepsi tidak akan terjadi.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan
dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa
rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus
epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa,
para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di
Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang
lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut
World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsy. Epilepsi sukar untuk dikendalikan secara medis atau pharmacoresistant, sebab
mayoritas pasien dengan epilepsi adalah bersifat menentang. Epilepsi merupakan gangguan
susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell)
yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok
besar
sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila
proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan
di dalam eksitasi aferen, di inhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated
ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk
ion-ion menerobos membran neuron.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. definisi
Epilepsy didefinisikan sebagai suatau keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsy berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tampa provokasi. Sedangkan
yang dimaksud dengan bangkitan epilepsy adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh
aktifitas listrik yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak.

2.2. epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsy menyerang
70 juta dari penduduk dunia. Epilepsy dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa
batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsy masih tinggi terutama di Negara
berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut
tergolong tinggi dibandingkan dengan Negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi
berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun. Angka prevalensi penderita
epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penderita epilepsi. Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000
per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%.
Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan
anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.

2.3. etiologi
1. idiopatik :
Biasanya berupa epilepsy dengan serangan kejang umum, penyebabnya tidak
diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsy mempunyai inteligensi normal dan
hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetic.
2. kriptogenik :
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi
yang berhubungan dengan epilepsy tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di
otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma west, sindroma lenox
gastaut dan epilepsy mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. simptomatik :
Pada simptomatik terdapat lesi structural di otak yang mendasari, contohnya
oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan
kengential, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah di otak, toksik
(alcohol, obat), gangguan metabolic dan kelainan neurodegeneratif.

2.4. klasifikasi
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
 Serangan parsial
 Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
 Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
 Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik
 Serangan umum
- Absens / lena / petit mal
- Mioklonik
- Tonik
- Klonik
- Atonik
- Tonik-klonik
 Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).

2.5. patofisiologi
Otak terdiri dari sekian banyak sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil
kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine,
serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy
belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya
selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang
normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini
dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih
besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah
yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan
epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan
konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang
mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan
oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan
impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi
sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan
peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :
 Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
 Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
 Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan
listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus
pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan
mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi
serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus
epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi
yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti
hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya
eksitasi selesadimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia
basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike
and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap
berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena
kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi
bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu
(hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls dapat
berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan
disebut status epileptikus.

2.6. pathogenesis
 Pathogenesis serangan umum
Pada epilepsy bangkitan kejang umum, kenaikan depolarisasi
membrane berasal dari neuron-neuron yang berada di daerah garis
tengah otak. Secara bersamaan dan dalam waktu yang singkat keadaan
depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial
aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauh badan sel dan
menyebar keseluruh bagian korteks lainnya.
Serangan umum ini terbagi menjadi :
- Absens / lena / petit mal
Pada bangkitan absans terjadi kehilangan kesadaran dalam
waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan dan
seluruh aktivitas. Bangkitan absans ini terjadi secara tiba-tiba
tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan ini sering juga
dijumpai kejang mioklonik pada mata dan otot muka,
beberapa tonus otot yang hilang serta automatisme. Jika fase
awal dan akhir dari bangkita ini tidak dapat dibedakan atau
pada saat fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala
otonom, maka digunakan terminology kejang atipikal. Kejang
atipikal ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental
seperti syndrome lennox-gastaut
- Klonik
Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan
berulang pada otot, dapat bilateral maupun unilateral.
Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron ataupun asinkron.
Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil
pada otot muka, lengan atau tungkai sampai gerakan massif
bilateral pada kepala, extremitas dan dada.
- Atonik
Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot
yang terjadi secara tiba-tiba karena hilangnya seluruh tonus
otot, para penderita akan jatuh sehingga sering terjadi cedera.
 Kejang parsial
Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area
tertentu pada korteks. Secara eksperimental telah dipastikan bahwa
timbulnya focus epilepsy disebabkan oleh proses “kindling” yaitu
akibat dari stimulus yang subkonvusif pada beberapa struktur otak dan
menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifata elektroensefalografi
seizure yang berarti sel neuron yang tadinya normal menjadi bersifat
epilepsy dan jika terus menerus dilakukan perangsangan berulang akan
menimbulkan kejang.
Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang
fokal ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari satu area dari korteks
lalu menyebar keseluruh korteks serebri yang menhasilkan kejang
tonik klonik
Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari
lokasi lesi epileptogenik, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila
lesi yang mengalami gangguan adalah gyrus presentral. Gangguan yang
mungkin terjadi jika lesi epileptogenik berada di daerah gyrus
presentral dapat berupa kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah
dan tungkai kontralateral dari lesi serta kejang sensori fokal berupa
perasaan tidak menyenangkan, nyeri ringan sampai rasa panas pada
wajah dan extremitas kontralateral dari lesi. Lesi epileptogenik yang
terjadi di daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi
lobus temporal seperti memori, daya pembau, dan pengecap.
2.7. diagnosis
Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama
dengan faktor penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan
keterampilan khusus untuk dapat menggali dan menemukan data yang relevan.
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik 
dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami
penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama
dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis
juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan obat-obatan tertentu.
2. Pemeriksaan fisik umum & neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Rekaman eeg sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur dengan
stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus
bangkitan. Bila eeg pertama menunjukkan hasil normal sedangkan
persangkaan epilepsy sangat tinggi, maka dapat dilakukan eeg ulang
dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan
khusus.
Indikasi pemeriksaan eeg:
- Membantu meneggakan diagnosis epilepsy
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam pemberhentian OAE
- Membantu dalam menentukan letak focus
- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan
bangkitan sebelumnya)
b. Pemeriksaan pencitraan otak
Indikasi :
- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan
struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi dengan bangkitan parsial
- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
- Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic resonance imaging (mri) merupakan prosedur
pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan
lebih spesifik dibanding dengan computed tomography scan (ct-
scan). Mri dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemerikasaan mri
diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan
terapi pembedahan.
c. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
magnesium), kadar gula, fungsi hati (sgot, sgpt, gamma gt, alkali
fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas indikasi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi
ssp.
- Pemeriksaan cairan dilakukan atas indikasi misalnya ada
kelainan metabolik bawaan.

2.8. diagnosis banding


Kejang parsial simplek, dimulai dengan muatan listrik di bagian otak 
tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita
mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung
kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang
mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan
bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis
anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat
menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada  penderita yang
mengalami kelainan psikis bisa mengalami dejavu (merasa pernah megalami
perasaan seperti sekarang di masa yang lalu.
Kejang parsial (psikomotor) kompleks, dimulai dengan hilangnya
kontak    penderita dengan lingkungan sekitarn ungan sekitarnya selama 1-2
menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya
dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang
tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan yang
orang lain katakan dan menolak bantuan.
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai
dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan
listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh
daerah mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal
di daerah otak yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan
fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh
terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan
kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di
seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan
hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa
mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah.
Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.
Kejang petit mal, dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum
usia 5 tahun. Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grandmal.
Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot atau otot
wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan
respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun
menyentak-nyentak.
Status epileptikus, merupakan kejang yang paling serius, dimana
kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat,
tidak mampu bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam
otaknya menyebar  luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan
jantung dan otak yang menetap dan penderita biasa meninggal.
Spasme Infatil adalah serangan berupa fleksi atau ekstensi satu
kelompok, akut atau lebih secara mendadak, biasanya terjadi berturutan dan
sering disertai dengan teriakan. Satu an teriakan. Satu dari 3.000 anak dari
3.000 anak terkena serangan ini gan ini dan 90% dan 90% diantaranya terjadi
antara usia 3-12 bulan. West Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis
yaitu simptomat yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis simptomatik
disebabkan karena abkan karena ada kelainan neurologis sebelumny logis
sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak diketahui  penyebabnya.
Gejala Kejang Berdasarkan Sisi Otak Yang Terkena
• Lobus frontalis Kedutan pada otot tertentu
• Lobus oksipitalis Halusinasi kilauan cahaya
• Lobus parietalis Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu
• Lobus temporalis Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks
misalnya berjalan berputar-putar 
• Lobus temporalis anterior Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium bibir
mencium
• Lobus temporalis anterior sebelah dalam Halusinasi bau, baik yg menyenangkan
maupun yg tidak menyenangkan

2.9. Pengobatan
Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara
spontan, tanpa faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan
kejang yang tidak dapat diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan
kerusakan pada otak, dapat pula menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan
inilah yang membuat pentingnya pemberian antikonvulsan pada pasien epilepsi.
Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan
epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan anti epilepsi
sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain.
Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:
1. Mencegah timbulnya letup nya letupan depol an depolarisasi eksesif pada neuron
epil ron epileptik  dalam fokus epileptic
2. Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus
epilepsi. Bagian terbesar anti epilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan
terakhir ini.
Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik,
Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik
otak, terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.
Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi
mempunyai rumus dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu
golongan hidantoin, barbiturate, lain yaitu golongan hidantoin, barbiturate, oksazol
oksazolidindion dan suksinimid. Akhir- idindion dan suksinimid. Akhirakhir ini
karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam  pengobatan
epilepsi, obatan epilepsi, karbamazepin untuk bangkita untuk bangkitan parsial
sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan
lena maupun  bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik klonik.
Golongan obat anti epilepsi :
1. Hidantion
obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan  pencegahan
kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik
sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat
dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium
(Na + ) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na +
kedalam membran sel
berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-
menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis
pemeli /hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/h haraan 20 mg/kg/hari tiap 6 ari
tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah
depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan
penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk.
Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi
adalah gingival  hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga
mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia.
2. Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-
klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini.   Na mun, efek
sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan   perilaku pada anak-
anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama
fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk  menurunkan konduktan Na
dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung
terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan
durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap
klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan
meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan
fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis  pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari.
Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan
fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan,
mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat
menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan
kulit, dan Stevens-Johnson  syndrome.
3. Deoksibarbiturat
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon
mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang  primidon
hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh
primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan
feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal.
Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi antara
sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk lain adalah pusing,
mengantuk, kehilangan keseimban , kehilangan keseimbangan,  perubahan
perilaku, kemerahan dikulit, dan  perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan
impoten impotensi
4. Iminostilben
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na + , yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis
pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak   usia
6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400- 800 mg.
Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,
goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek
samping tersebut akan efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia.
5. Suksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+
tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai
oleh ion ntarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan
pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis
etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20
mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia
lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan
etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid
yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan,
goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.
6. Asam valpoat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi
sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post
sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal
kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang
sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah,
anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin
ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan
kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan.
7. 7. Benzodiazepine
Benzoidiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis
GABA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi
pembukaan reseptor GABA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5
mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg
0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada
penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran,  pusing,
depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.
8. Obat epilepsi lain
a. Gabapeptin
b. Lamotrigin
c. Levitirasetam
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,
interaksi antarobat epilepsi.

Obat anti epilepsi (OAE) pilihan sesuai dengan jenis bangkitan

epilepsi

OAE dapat dihentikan pada keadaan:


 Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
 Gambaran EEG normal.
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangkA WAKTU 3-6 bulan.
 Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
 Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingkat pelayanan
sekunder/tersier.

2.10. Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung klasifikasi epilepsi yang dideritanya,
sedangkan serangan epilepsi dapat berulang, tergantung control terapi dari
pasien.
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang
terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-
neuron secara paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi
secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya
mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996.
2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Edisi ke-20. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018; p. 2.
3. Panduan praktik klinis. Edisi ke-1. Jakarta: penerbit Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia, 2017; p. 199-203.
4. PERDOSSI., 2016.Panduan Praktik Klinis Neurologi . Himpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.
5. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF
Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran
No. 157, 2007.

Anda mungkin juga menyukai