Syamsudin
Abstract
In the perspective of legal culture corruption denotes a behavior that contradicts to
values and norms either those of honesty, social, religion or the law. But, the emerging
of the corruption itself is influenced by individual and collective need and demand, and
also iit is supported by social culture environment that inherited the corruption
tradition. Besides, legal culture of the government dose not justify law and pays priority
over social status, economy, and that of politics of corruptor. The internal legal cultutre
of law enforcement itself does not support to solve the corruption that shows the
corruption in the process of court. Departing from this phenomenon it is clearly that
corruption is regarded as society culture that difficult to solve, instead the corruption
can be proved legally but it can be regarded as other meaning for instance
commission, kompensation, reward, insentive, return fee and so on.
Kaywords: Corruption, Law UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Enforcement, Legal Culture Pemberantasan Tindak Pidana
183
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007
184
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin
terdapat 16 mantan anggota DPRD Garut pada tahun 1998 dinyatakan bahwa
periode 1999-2004 dibebaskan setelah penyuapan di Peradilan Indonesia adalah
dinyatakan tidak bersalah dan tidak yang paling tinggi di negara-negara
melawan hukum. Di Pengadilan Negeri seperti Ukraina, Venezuela, Rusia,
Jakarta Selatan yang diputus bebas Kolombia, Mesir,
misalnya kasus korupsi kredit macet Yordania, Turki, dan lain-lain (Lubis,
Bank Mandiri Rp 160 milliar dengan 1998).
terdakwa mantan Dirut E.C.W. Neloe dan Beberapa isu yang mengindikasikan
dua mantan direksi Bank Mandir, Kasus terjadinya praktek Korupsi Kolusi
korupsi penyimpanan penggunaan dana Nepotisme (KKN) di lembaga peradilan
Bulog Rp 169 milliar dengan terdakwa pernah diungkapkan antara lain oleh Adi
Nurdin Khalid; Kasus korupsi dana Andojo Soetjipto yang membongkar
Jamsostek Rp1,8 milliar dengan kasus kolusi di Mahkamah Agung dalam
terdakwa Muchtar Pakpahan. Lain halnya kasus Gandhi Memorial School
dengan kasus korupsi yang ditangani (Yasonna, 1996). Ditambahkan pula
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dugaan KKN dua orang Hakim Agung
(Tipikor), belum ada pelaku korupsi yang yang masih aktif dan seorang Hakim
diputus bebas (Jawa Pos, 2007). Agung purna tugas yang disangka telah
Gambaran lemahnya perlakuan menerima suap bernilai puluhan juta
terhadap koruptor di Indonesia, juga rupiah berdasarkan laporan yang masuk
ditunjukkan oleh banyaknya pelaku dari saksi pelapor sebagai korbannya
korupsi yang telah memadai menjadi (Erman, 2006).
terdakwa diputus bebas atau lepas dari
jeratan hukum. Kalaupun sebagian dari Batasan Pengertian Korupsi
mereka dipidana, akan tetapi jumlahnya Secara umum korupsi didefinisikan
relatif kecil dan sanksi yang dijatuhkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan
terhadap pelaku korupsi relatif sangat untuk kepentingan pribadi. Robert
ringan, tidak sesuai dengan perbuatan Klitgaard (2002), merumuskan pengertian
yang dilakukan (Ronny, 2006). Fakta- umum korupsi dalam rumus:
fakta tersebut mengundang
ketidakpuasan dan keraguan masyarakat
terhadap kinerja pengadilan dalam C = M+D-A
menangani kasus korupsi (Kompas
Dari rumus tersebut dapat dijelaskan
2004).
bahwa, Korupsi (C=Corruption) adalah
Ketidakpercayaan masyarakat fungsi dari Monopoli (M=Monopoly)
terhadap lembaga peradilan di Indonesia ditambah kewenangan (D=Discretion)
mengakibatkan merosotnya wibawa dikurangi
hukum dan lembaga peradilan dewasa Akuntabilitas (A=Acuntability). Jadi
ini. Bahkan isu korupsi juga sudah korupsi dapat terjadi apabila ada
memasuki lembaga peradilan itu sendiri. monopoli kekuasaan di tengah
Berdasarkan laporan tentang ketidakjelasan aturan dan kewenangan,
Bureaucratic and JudiciaryBribery yang akan tetapi tidak ada mekanisme
pernah dibuat oleh Daniel Kaufmann
185
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007
186
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin
atau peraturan yang berlaku; (5) Korupsi dengan hukuman mati; (3) Money politics
defensif. Korupsi ini dilakukan oleh sebagai pemberian (berupa uang atau
korban korupsi pemerasan. Dengan benda lain) untuk mempengaruhi dan
demikian orang yang diperas melakukan atau menyelewengkan keputusan yang
korupsi untuk menyelamatkan adil dan obyektif dalam pandangan
kepentingannya. Korupsi seperti ini syariat merupakan suap
sering dilakukan oleh keluarga terdakwa (risywah) yang dilaknat Allah, baik yang
yang tidak ingin terdakwa ditahan atau memberi (rasyi), yang menerima
diproses lebih lanjut; (6) Korupsi otogenik (murtasyi), maupun yang menjadi
yaitu korupsi yang dilakukan oleh perantara (raaisyi) (Gatra, 2002).
seorang diri karena mempunyai
kesempatan untuk memperoleh Faktor Penyebab Korupsi
keuntungan dari sesuatu yang Selo Sumardjan mengatakan bahwa
diketahuinya sendiri. Panitera pengadilan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah
kerap melakukan korupsi seperti ini dalam satu nafas karena ketiganya
dalam administrasi pendaftaran perkara. melanggar kaidah-kaidah kejujuran dan
Ketidakjelasan tarif pendaftaran norma hukum. Adapaun faktor sosial
membuatnya leluasa menentukan harga pendukung KKN adalah : (1) Desintegrasi
yang harus dibayar oleh pengacara; (7) (anomie) sosial karena perubahan sosial
Korupsi dukungan yaitu dukungan terlalu cepat sejak revolusi nasional, dan
terhadap korupsi yang ada atau melemahnya batas milik negara dan milik
penciptaan suasana yang kondusif untuk pribadi; (2) Fokus budaya bergeser, nilai
dilakukaknnya korupsi. Korupsi ini utama orientasi sosial beralih menjadi
dilakukan oleh elit di lembaga peradilan orientasi harta, kaya tanpa harta (sugih
yang tidak mempunyai kemauan politik tanpo bondho) menjadi kaya dengan
untuk menindak tegas bawahannya harta; (3) Pembangunan ekonomi
(Hussein, 1987). menjadi panglima pembangunan bukan
Fatwa Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pembangunan sosial atau budaya; (4)
pada Munas Alim Ulama dari kalangan Penyalahgunan kekuasaan negara
NU di Asrama Haji Pondok Gede, sebagai short cut mengumpulkan harta;
Agustus 2002 mengemukakan hal-hal (5) Paternalisme, korupsi tingkat tinggi,
sebagai berikut : (1) Dalam pandangan menurun, menyebar, meresap dalam
syariat, korupsi merupakan penghianatan kehidupan masyarakat. Bodoh kalau
berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. tidak menggunakan kesempatan menjadi
Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, kaya (aji mumpung); (6) Pranata-pranata
korupsi dapat dikategorikan sebagai sosial kontrol tidak efektif lagi.
pencurian (sariqah), perampokan (nahb);
(2) Pengembalian uang korupsi tidak Evi Hartanti menyebutkan faktor-
menggugurkan hukuman. Karena faktor penyebab terjadinya korupsi
tuntutan hukuman merupakan hak Allah, dikarenakan lemahnya pendidikan agama
sementara pengembalian uang korupsi dan etika, kolonialisme, kurangnya
ke negara merupakan hak masyarakat pendidikan, kemiskinan, tidak adanya
(hak adamiy). Hukuman yang layak untuk sanksi yang keras, kelangkaan
koruptor adalah potong tangan sampai lingkungan yang subur untuk pelaku anti
187
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007
188
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin
Social forces are constantly at work polisi, jaksa hakim dalam menjalankan
on the law -destroying here, renewing tugasnya, sedangkan budaya hukum
there; inigorating here, deadening there; eksternal merupakan budaya hukum
choosing what parts of “law” will oprerate, masyarakat pada umumnya, misalnya
which part will not, what subtitute, bagaimana sikap dan pengetahuan
detours, and bypasses will spring up; masyarakat terhadap ketentuan
what changes will take place openly or perpajakan, perceraian dan sebagainya.
secretly. For want of a better term, we Ia juga membedakan budaya hukum
can call some of these forces the legal tradisional dan budaya hukum modern.
culture. It is the element of social attitude Dengan adanya pelbagai sistem hukum
and value (Lawrence, 1975). dalam suatu komunitas politik tunggal
maka disebut pluralisme hukum.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa
Pluralisme hukum dapat berbentuk
istilah budaya hukum mengacu pada
horizontal atau vertikal. Pada yang
pengetahuan publik, sikap dan pola
horisontal masingmasing subsistem atau
perilaku masyarakat berkaitan dengan
sub-budaya mempunyai kekuatan hukum
sistem hukum.
sama, sedangkan yang vertikal kekuatan
The term legal culture has been hukumnya berbeda-beda.
loosly used to discribe a number of
Menurut Friedman, budaya hukum
related phenomena. It refers to public menunjuk pada dua hal yaitu : (1) unsur
knowlege of and attitudes and behavior adatistiadat yang organis berkaitan
patterns toward the legal system. Do dengan kebudayaan secara menyeluruh;
people feel and act as if courts are fair ? dan (2) unsur nilai dan sikap sosial. Lebih
When are they willing to use courts ? lanjut dikatakan bahwa sistem hukum
What part of the law do they consider yang terdiri dari struktur dan subtansi,
legitimate ? What do they know about the bukanlah merupakan mesin yang
law in general ? These attitudes differ bekerja. Apabila kedua unsur itu
from person to person, but one can also berfungsi dalam masukan dan keluaran
speak of the legal culture of a country or proses hukum, maka kekuatan-kekuatan
a group, if there are patterns that sosial tertentu berpengaruh terhadapnya.
distinguish it from the culture of the Kekuatankekuatan sosial itu merupakan
countries or groups (Lawrence, 1975). variabel tersendiri yang disebut ‘budaya
Friedman, menelaah budaya hukum hukum’. Variabel itu berproses
dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa bersamaan dengan kebudayaan sebagai
budaya hukum nasional yang dibedakan suatu variasi, yang kemungkinan variabel
dari sub-budaya hukum yang tersebut menentang, melemahkan, atau
berpengaruh secara positif atau negatif memperkuat sistem hukum (Lawrence,
terhadap hukum nasional. Ia juga 1975).
membedakan budaya hukum internal dan Friedman melihat bahwa hukum itu
budaya hukum eksternal. Budaya hukum tidak layak hanya dibicarakan dari segi
internal merupakan budaya hukum warga struktur dan subtansinya saja, melainkan
masyarakat yang melaksanakan juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan
tugastugas hukum secara khusus, seperti (demands) yang berasal dari
189
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007
190
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin
191
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007
ini terdapat perlakuan diskriminatif yakni menerima uang suap, akhirnya hakim
beberapa orang yang mestinya tersebut diadili dan dijatuhi pidana
berpotensi untuk menjadi terdakwa penjara serta diberhentikan dengan tidak
ternyata tidak diajukan ke pengadilan, hormat dari jabatannya sebagai hakim.
sehingga terkesan hanya ada 1 terdakwa
“martil” yang diajukan ke pengadilan Solusi: Dibutuhkan Penegak Hukum
pada kasus yang sarat dengan muatan Progresif
politis tersebut. Pada waktu itu Kejaksaan Keterpurukan penegakan hukum
Tinggi menyatakan tidak ada terdakwa dalam menangani masalah korupsi yang
lain. Padahal sebelumnya sudah ada digambarkan di atas pada puncaknya
beberapa nama yang disidik dan tidak telah membawa bangsa Indonesia
pernah dikeluarkan SP3 (Surat Perintah terjatuh pada keadaan krisis hukum.
Penghentian Penyidikan) oleh jaksa Krisis adalah keadaan tidak normal oleh
(Sahlan, 2005). karena berbagai institusi yang telah
Menurut Yosanna H.Laoly, bagi dinormakan untuk menata prosesproses
sebagian besar praktisi hukum, dugaan dalam masyarakat tidak mampu lagi
adanya kolusi bahkan korupsi di menjalankan fungsinya secara tepat.
lingkungan peradilan bukan suatu yang Hukum kehilangan kepercayaan dan
aneh atau mengejutkan. Sudah bukan pamor untuk mewujudkan nilai keadilan
rahasia lagi di kalangan pengacara, yang harus diberikan. Ia tidak lagi berada
mereka tidak hanya bergantung pada pada posisi otoritatif untuk menata dan
logika hukum saja untuk memenangkan mengendalikan proses-proses ekonomi,
perkara, akan tetapi juga bergantung sosial, politik dsb, melainkan difungsikan
pada pendekatan-pendekatan non- sebagai alat untuk kepentingan
hukum. Pendekatan-pendekatan ini justru kekuasaan. Hukum tidak lagi bekerja
dianggap lebih penting (Yasona, 1996). secara otentik. Dampak dari
Kasus pemalsuan putusan Mahkamah ketidakpercayaan pada penegakan
Agung juga menjadi bukti adanya praktek hukum tersebut, sebagian rakyat
KKN di lingkungan peradilan. Bukti kemudian melakukan tindakan
konkrit KKN yang terjadi di lembaga penyelesaian sendiri, yang salah satu
peradilan yang dilakukan oleh hakim bentuknya adalah perbuatan main hakim
terjadi pada saat akhir tahun 1970-an sendiri (eigenrichting). Situasi sosial
hingga awal tahun 1980-an ketika digelar menjadi anomis dan setiap orang bebas
operasi tertib pusat (obtibpus). Pada saat membuat tafsiran, melakukan dan
itu banyak hakim yang kena jaring memutuskan tindakan sendiri. Satjipto
operasi karena tertangkap basah Rahardjo menggambarkan sistuasi ini
menerima uang suap di kantornya sebagai Era Hukum Rakyat (Satjipto,
(Yasona, 1996). Ada juga kasus seorang 2002).
hakim meminta uang suap kepada Dalam situasi krisis atau tidak normal
seorang nyonya sebesar 50 juta rupiah ini dibutuhkan pula cara-cara
untuk memenangkan perkaranya penyelesaian hukum yang tidak normal
(Husein, 1987). Bahkan pada dekade itu atau cara yang di luar kebiasaan (extra-
pernah ada seorang hakim pria senior ordinary) akan tetapi masih dalam koridor
yang karena terbukti meminta dan
192
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin
atau kerangka dari tujuan hukum pikiran dan pendapat yang berkembang
tersebut. Cara yang luar biasa ini bukan itu antara lain berkaitan dengan
berarti bertindak anarkis, akan tetapi ketidakmandirian serta merosotnya
berwatak progresif. Berpikir luar biasa martabat pribadi dari para hakim. Oleh
pada intinya adalah tidak membaca karena itu yang harus diperbaiki adalah
undang-undang seperti orang mengeja kemandirian serta pribadi para hakimnya.
sebuah teks, akan tetapi mencari dan Penegak hukum, terutama hakim harus
mengungkap makna dari undang-undang berpikiran progresif (Kompas, 2002) dan
tersebut. Akibat mencari makna itu, lalu berani menafsirkan atau menemukan
berani bertindak rule-breaking. Berpikir hukum agar mampu menjawab semua
luar biasa ini harus dimulai dari kalangan persoalan yang datang ke hadapan para
komunitas hukum seperti hakim, jaksa, hakim sehingga putusan yang dihasilkan
advokat, polisi dan akademisi (Satjipto, memenuhi rasa keadilan masyarakat
2006). (Charles, 2006).l
Rule-breaking membutuhkan
berbagai pendekatan cara penyelesaian Daftar Pustaka
hukum yang holistik dan bahkan ekstra Azizy, Q. 2006. “Menggagas Ilmu Hukum
legal untuk menggali makna hukum. Indonesia”, dalam Buku :
Pengalaman penyelesaian hukum yang Menggagas Hukum Progressif
hanya mengandalkan pendekatan Indonesia, Penyunting : Ahmad
yuridis-formal yang bersifat linier hanya Gunawan dan Muammar
menambah deretan kekecewaan para Ramadhan, Yogyakarta: Pusataka
pencari keadilan. Sudah saatnya para Pelajar;
akademisi dan praktisi hukum berani
mentransformasikan diri untuk mencari Alatas, S.H. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab,
pendekatan dan cara berpikir alternatif dan Fungsi. Jakarta : LP3ES;
untuk menyelesaikan berbagai persoalan
hukum yang kian rumit dan kompleks. Chambliss, W.J. t.t. Corruption,
Berbagai pendekatan yang ada bukan Bureaucracy and Power, in
saatnya lagi dipertentangkan dan Chambliss (ed). Sociologcal
dipersalahkan, akan tetapi justru saling Reading in the comflict
melengkapi kekurangankekurangan yang perspective;
ada dengan kelebihan masing-masing.
Para lawyer harus bersikap terbuka Friedman, L. M. 1975. The Legal
dengan perkembangan yang terjadi dan System : A Social Science
tak perlu menutup diri. Bukankah ilmu Perspektive, New York : Russel
pengetahuan itu dinamis dan tak pernah Sage Fondation;
berhenti dengan inovasi-inovasi (Satjipto,
2006). Firdaus, M.Y. 2007. “ Pandemik Korupsi
Terhadap hal yang demikian juga dan Mentalitas Birokrasi”. Opini
telah banyak pikiran dan pendapat dari Radar
para ahli tentang bagaimana jalan Jogja, 27 Januari 2007;
memperbaikinya. Di antara banyak
193
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007
194
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin
rrr
195