Anda di halaman 1dari 13

Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.

Syamsudin

Korupsi dalam Perspektif Budaya


Hukum
M.Syamsudin
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Abstract
In the perspective of legal culture corruption denotes a behavior that contradicts to
values and norms either those of honesty, social, religion or the law. But, the emerging
of the corruption itself is influenced by individual and collective need and demand, and
also iit is supported by social culture environment that inherited the corruption
tradition. Besides, legal culture of the government dose not justify law and pays priority
over social status, economy, and that of politics of corruptor. The internal legal cultutre
of law enforcement itself does not support to solve the corruption that shows the
corruption in the process of court. Departing from this phenomenon it is clearly that
corruption is regarded as society culture that difficult to solve, instead the corruption
can be proved legally but it can be regarded as other meaning for instance
commission, kompensation, reward, insentive, return fee and so on.
Kaywords: Corruption, Law UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Enforcement, Legal Culture Pemberantasan Tindak Pidana

T ulisan ini berangkat dari keprihatinan Korupsi 1


yang di beberapa negara seperti
dan kegelisahan yang mendalam Hongkong dan Singapura berhasil
terhadap masalah besar yang sedang mengikis korupsi dan menjadi ujung
dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini tombak gerakan pemberantasan korupsi.
yaitu “korupsi”. Menurut Suharko (2005), Di lain pihak sudah ada beberapa
ditinjau dari berbagai segi seperti legal peraturan pemerintah dengan operasinal
perundangundangan, kebijakan, dan pemberantasan korupsi. Jadi secara
institusi untuk pemberantasan korupsi, teoritis sebenarnya hampir tidak ada
Indonesia telah memiliki kelengkapan alasan bagi peningkatan dan perluasan
yang memadai, bahkan nyaris sempurna praktik korupsi di Indonesia (Suharko,
untuk melakukan pemberantasan korupsi 2005).
secara sistematis. Indonesia telah Namun demikian, sejumlah fakta
memiliki TAP MPR Nomor XI/MPR/ 1998 mutakhir menunjukkan tendensi yang
tentang Penyelenggaraan Negara yang sebaliknya, praktik korupsi semakin
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) dan UU No. 28 Tahun 1 Meskipun menurut Putusan Mahkamah
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Konstitusi Republik Indonesia keberadaan
yang Bersih daan Bebas KKN. Dari Pengadilan TIPIKOR yang diatur berdasarkan
ketentuan itu lahir pula UU No. 31 Tahun Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2003 dianggap
inkonstitusional dan memberi kesempatan
1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang kepada pembentuk UU untuk membentuk UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tipikor secara khusus.

183
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

meluas, vulgar dan merajalela. yang berkedudukan di Hongkong yang


Perkembangan praktek korupsi dari memantau tingkat risiko investasi di
tahun ke tahun semakin meningkat, baik negara-negara Asia. Dari tahun
dari segi kuantitas atau jumlah kerugian 1998 sampai 2000, Indonesia pada
keuangan negara maupun dari segi peringkat pertama Negara terkorup di
kualitas yang semakin sistematis, Asia, dan pada tahun 2001 turun menjadi
canggih serta lingkupnya sesudah peringkat ke-2 setelah Vietnam dan pada
semakin meluas dalam seluruh aspek Tahun 2005, menempati urutan pertama.
masyarakat. Dilihat dari segi penegakan hukum,
Berdasarkan laporan lembaga penanganan kasus korupsi di Indonesia
Transparansi Internasional (TI) yang masih menunjukkan suatu yang
selalu menerbitkan hasil survei Coruption mengecewakan masyarakat.
Perception Index sejak tahun 1998, Berdasarkan hasil survei yang dilakukan
Indonesia selalu berada di deretan atas oleh Indonesia Corruption Watch (ICW)
negara-negara terkorup di dunia. Pada menunjukkan bahwa Pengadilan Umum
tahun 1998, Indonesia pada peringkat ke- dipersepsi publik sebagai lembaga yang
6 setelah Kamerun, Paraguay, Honduras, masih berpihak pada pelaku korupsi.
Tanzania, dan Nigeria. Pada tahun 1999, Selama tahun 2006, ICW mencatat
Indonesia berada pada peringkat ke-3 terdapat 117 terdakwa korupsi yang
setelah Kamerun dan Negria. Pada tahun diputus bebas oleh pengadilan Umum
2000, Indonesia pada peringkat ke-5 dari 362 terdakwa korupsi yang diajukan
setelah Negria, Yugoslavia, Ukraina dan ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
Azarbaijan. Pada tahun 2001, Indonesia dan Mahkamah Agung.2
pada peringkat ke-4 setelah Bangladesh, Kasus pembebasan pelaku korupsi
Nigeria, dan Uganda. Meskipun pada terjadi di hampir semua pengadilan baik
tahun 2004 nilai indeks persepsi korupsi di pusat (Jakarta) maupun di daerah-
(IPK) Indonesia mengalami peningkatan, daerah. Di daerah misalnya, bebasnya
yakni 1,9 menjadi 2,0 namun itu tidak sebanyak 22 anggota Dewan Perwakilan
signifikan karena tetap saja Indonesia Rakyat Daerah (DPRD) Bali dalam kasus
menduduki posisi sebagai negara korupsi Anggaran Pendapatan Belanja
peringkat ke-5 terkorup dari 146 negara Daerah (APBD) Rp 57,1 milliar. Di Garut
yang disurvei. Bahkan posisi itu
sebenarnya lebih buruk dari tahun 2 Hal senada juga ditunjukkan oleh hasil
sebelumnya karena negara yang disurvei survei Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP)
untuk tahun 2004 berjumlah lebih banyak Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
(146 negara). Pada tahun 2003 In- bekerjasama dengan Kemitraan menunjukkan
donesia menduduki posisi ke-6 terburuk bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga
pemegang kekuasaan kehakiman rendah dan
dari 136 negara yang disurvei (Kompas, tidak percaya pada lembaga pengadilan,
2004). meskipun tidak spesifik pada pemberantasan
Tingginya tingkat korupsi di korupsi. Responden terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS), anggota Dewan
Indonesia juga dicatat oleh Political
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Lembaga
Economy and Risk Consultancy Ltd. Swadaya Masyarakat (LSM), pengusaha,
(PERC), sebuah lembaga independen pegawai swasta, wartawan, dan dosen yang
didata dari 10 provinsi di Indonesia;

184
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

terdapat 16 mantan anggota DPRD Garut pada tahun 1998 dinyatakan bahwa
periode 1999-2004 dibebaskan setelah penyuapan di Peradilan Indonesia adalah
dinyatakan tidak bersalah dan tidak yang paling tinggi di negara-negara
melawan hukum. Di Pengadilan Negeri seperti Ukraina, Venezuela, Rusia,
Jakarta Selatan yang diputus bebas Kolombia, Mesir,
misalnya kasus korupsi kredit macet Yordania, Turki, dan lain-lain (Lubis,
Bank Mandiri Rp 160 milliar dengan 1998).
terdakwa mantan Dirut E.C.W. Neloe dan Beberapa isu yang mengindikasikan
dua mantan direksi Bank Mandir, Kasus terjadinya praktek Korupsi Kolusi
korupsi penyimpanan penggunaan dana Nepotisme (KKN) di lembaga peradilan
Bulog Rp 169 milliar dengan terdakwa pernah diungkapkan antara lain oleh Adi
Nurdin Khalid; Kasus korupsi dana Andojo Soetjipto yang membongkar
Jamsostek Rp1,8 milliar dengan kasus kolusi di Mahkamah Agung dalam
terdakwa Muchtar Pakpahan. Lain halnya kasus Gandhi Memorial School
dengan kasus korupsi yang ditangani (Yasonna, 1996). Ditambahkan pula
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dugaan KKN dua orang Hakim Agung
(Tipikor), belum ada pelaku korupsi yang yang masih aktif dan seorang Hakim
diputus bebas (Jawa Pos, 2007). Agung purna tugas yang disangka telah
Gambaran lemahnya perlakuan menerima suap bernilai puluhan juta
terhadap koruptor di Indonesia, juga rupiah berdasarkan laporan yang masuk
ditunjukkan oleh banyaknya pelaku dari saksi pelapor sebagai korbannya
korupsi yang telah memadai menjadi (Erman, 2006).
terdakwa diputus bebas atau lepas dari
jeratan hukum. Kalaupun sebagian dari Batasan Pengertian Korupsi
mereka dipidana, akan tetapi jumlahnya Secara umum korupsi didefinisikan
relatif kecil dan sanksi yang dijatuhkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan
terhadap pelaku korupsi relatif sangat untuk kepentingan pribadi. Robert
ringan, tidak sesuai dengan perbuatan Klitgaard (2002), merumuskan pengertian
yang dilakukan (Ronny, 2006). Fakta- umum korupsi dalam rumus:
fakta tersebut mengundang
ketidakpuasan dan keraguan masyarakat
terhadap kinerja pengadilan dalam C = M+D-A
menangani kasus korupsi (Kompas
Dari rumus tersebut dapat dijelaskan
2004).
bahwa, Korupsi (C=Corruption) adalah
Ketidakpercayaan masyarakat fungsi dari Monopoli (M=Monopoly)
terhadap lembaga peradilan di Indonesia ditambah kewenangan (D=Discretion)
mengakibatkan merosotnya wibawa dikurangi
hukum dan lembaga peradilan dewasa Akuntabilitas (A=Acuntability). Jadi
ini. Bahkan isu korupsi juga sudah korupsi dapat terjadi apabila ada
memasuki lembaga peradilan itu sendiri. monopoli kekuasaan di tengah
Berdasarkan laporan tentang ketidakjelasan aturan dan kewenangan,
Bureaucratic and JudiciaryBribery yang akan tetapi tidak ada mekanisme
pernah dibuat oleh Daniel Kaufmann

185
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

akuntabilitas atau pertanggungjawaban politisi. Termasuk kategori politisi adalah


kepada publik (Robert, 2002). pejabat publik, seperti pemimpin
William J.Chambliss, birokrasi, pemimpin peradilan dan
mengemukakan bahwa dalam korupsi komandan polisi. Dengan demikian
terlibat banyak pihak yang disebutnya korupsi di sektor bisnis atau korupsi
sebagai cabal atau jejaring korupsi. Ia keuangan (financial corruption) seperti
melihat bahwa korupsi merupakan bagian manipulasi laporan keuangan, manipulasi
integral dari setiap birokrasi yang audit, tidak termasuk kategori korupsi
bertemu dengan kepentingan segelintir politik. Kecuali aktivitas korupsi tersebut
pengusaha, penegak hukum, dan politisi melibatkan pejabat publik (Paul, 1977).
yang sulit dibongkar. Jejaring korupsi itu Syed Husein Alatas (1987),
melibatkan para elit di pusat kekuasaan: berdasarkan hasil penelitiannya di Asia,
pucuk pimpinan eksekutif, elit partai terutama di Malaysia dan Indonesia
politik, petinggi lembaga peradilan dan mengemukakan tujuh kategori korupsi,
kalangan bisnis. Korupsi merupakan yaitu: (1) Korupsi transaktif yaitu uang
bagian dari sistem itu sendiri, oleh karena yang menunjukkan adanya kesepakatan
itu bukan pekerjaan mudah untuk timbal balik antara pihak yang memberi
memberantas korupsi karena aparat dan menerima keuntungan bersama.
penegak hukum sering berada pada Kedua pihak samasama aktif dalam
situasi yang dilematis. Korupsi bukanlah menjalankan perbuatan tersebut; (2)
kejahatan di luar sistem, oleh karena itu Korupsi pemerasan yaitu jenis korupsi
jejaring korupsi sangat sulit diterobos dari dimana pihak pemberi dipaksa untuk
dalam karena kolusi antara pengusaha menyuap demi mencegah kerugian yang
dengan politisi dan aparat penegak mengancam dirinya, kepentingannya,
hukum. Jejaring korupsi juga sulit atau orang-orang dan hal-hal yang
diterobos dari luar, karena aparat dihargainya. Korupsi yang dilakukan oleh
penegak hukum dapat menyediakan Polisi lalu lintas termasuk jenis korupsi
penjahat kelas teri yang siap dikorbankan pemerasan;
untuk melindungi pelaku sesungguhnya (3) Korupsi investif yaitu pemberian
yang berada dalam jejaring tersebut barang atau jasa tanpa ada pertalian
(William, 2002). langsung dengan keuntungan tertentu,
Paul Heywood (1977), selain keuntungan yang diharapkan akan
mendefinisikan korupsi politik dengan diperoleh pada masa mendatang. Bentuk
penekanan pada ruang publik sebagai korupsi seperti ini dilakukan oleh yang
“corrupt activities which takeplace either memberi uang bulanan secara rutin
wholly within the public sphare or at kepada hakim. Harapannya kelak ketika
interface between the public and private kasusnya masuk ke pengadilan, hakim
spare –such as when politicians or yang telah digajinya langsung menangani
functianories use their privileged acces to perkaranya; (4) Korupsi perkerabatan
resources (in whatever form) (nepotisme) yaitu penunjukan secara
illigetimately to benefit themselves or tidak sah terhadap teman atau saudara
others”. Dari batasan tersebut korupsi untuk memegang suatu jabatan, atau
politik dibatasi oleh kriteria pelaku, yaitu tindakan pengutamaan dalam segala
bentuk yang bertentangan dengan norma

186
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

atau peraturan yang berlaku; (5) Korupsi dengan hukuman mati; (3) Money politics
defensif. Korupsi ini dilakukan oleh sebagai pemberian (berupa uang atau
korban korupsi pemerasan. Dengan benda lain) untuk mempengaruhi dan
demikian orang yang diperas melakukan atau menyelewengkan keputusan yang
korupsi untuk menyelamatkan adil dan obyektif dalam pandangan
kepentingannya. Korupsi seperti ini syariat merupakan suap
sering dilakukan oleh keluarga terdakwa (risywah) yang dilaknat Allah, baik yang
yang tidak ingin terdakwa ditahan atau memberi (rasyi), yang menerima
diproses lebih lanjut; (6) Korupsi otogenik (murtasyi), maupun yang menjadi
yaitu korupsi yang dilakukan oleh perantara (raaisyi) (Gatra, 2002).
seorang diri karena mempunyai
kesempatan untuk memperoleh Faktor Penyebab Korupsi
keuntungan dari sesuatu yang Selo Sumardjan mengatakan bahwa
diketahuinya sendiri. Panitera pengadilan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah
kerap melakukan korupsi seperti ini dalam satu nafas karena ketiganya
dalam administrasi pendaftaran perkara. melanggar kaidah-kaidah kejujuran dan
Ketidakjelasan tarif pendaftaran norma hukum. Adapaun faktor sosial
membuatnya leluasa menentukan harga pendukung KKN adalah : (1) Desintegrasi
yang harus dibayar oleh pengacara; (7) (anomie) sosial karena perubahan sosial
Korupsi dukungan yaitu dukungan terlalu cepat sejak revolusi nasional, dan
terhadap korupsi yang ada atau melemahnya batas milik negara dan milik
penciptaan suasana yang kondusif untuk pribadi; (2) Fokus budaya bergeser, nilai
dilakukaknnya korupsi. Korupsi ini utama orientasi sosial beralih menjadi
dilakukan oleh elit di lembaga peradilan orientasi harta, kaya tanpa harta (sugih
yang tidak mempunyai kemauan politik tanpo bondho) menjadi kaya dengan
untuk menindak tegas bawahannya harta; (3) Pembangunan ekonomi
(Hussein, 1987). menjadi panglima pembangunan bukan
Fatwa Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pembangunan sosial atau budaya; (4)
pada Munas Alim Ulama dari kalangan Penyalahgunan kekuasaan negara
NU di Asrama Haji Pondok Gede, sebagai short cut mengumpulkan harta;
Agustus 2002 mengemukakan hal-hal (5) Paternalisme, korupsi tingkat tinggi,
sebagai berikut : (1) Dalam pandangan menurun, menyebar, meresap dalam
syariat, korupsi merupakan penghianatan kehidupan masyarakat. Bodoh kalau
berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. tidak menggunakan kesempatan menjadi
Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, kaya (aji mumpung); (6) Pranata-pranata
korupsi dapat dikategorikan sebagai sosial kontrol tidak efektif lagi.
pencurian (sariqah), perampokan (nahb);
(2) Pengembalian uang korupsi tidak Evi Hartanti menyebutkan faktor-
menggugurkan hukuman. Karena faktor penyebab terjadinya korupsi
tuntutan hukuman merupakan hak Allah, dikarenakan lemahnya pendidikan agama
sementara pengembalian uang korupsi dan etika, kolonialisme, kurangnya
ke negara merupakan hak masyarakat pendidikan, kemiskinan, tidak adanya
(hak adamiy). Hukuman yang layak untuk sanksi yang keras, kelangkaan
koruptor adalah potong tangan sampai lingkungan yang subur untuk pelaku anti

187
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

korupsi, struktur pemerintahan, penghilangan data atau berkas


perubahan radikal, dan keadaan pengadilan, perubahan dengan sengaja
masyarakat. Namun demikian faktor yang berkas pengadilan, pemanfaatan
paling penting dalam dinamika korupsi kepentingan umum untuk kepentingan
adalah keadaan moral dan intelektual pribadi, sikap tunduk kepada campur
para pemimpin masyarakat tangan luar dalam memutuskan perkara
(Hartanti, 2006). karena adanya tekanan, ancaman,
Menurut Luhut M. Pangaribuan nepotisme, conflict of interest, kompromi
(2002), perilaku koruptif yang terjadi pada dengan pembela advocat), pertimbangan
hampir semua penegak hukum, bukan keliru dalam mutasi, promosi dan
karena moral yang rendah namun pensiun, prasangka memperlambat
sebagai akibat terjadinya demoralisasi proses peradilan, dan tunduk kepada
dari para penegak hukum itu sendiri. kemauan pemerintah dan partai politik
Akibatnya, menerima uang secara tidak (Putu, 2001).
halal, menurut persepsi mereka, Akibat adanya korupsi di pengadilan,
bukanlah sesuatu yang aneh lagi, akan maka sudah dapat dipastikan sebagaian
tetapi menjadi suatu keharusan untuk besar atau bahkan seluruhnya, produk
mereka lakukan. Setidaknya terdapat lembaga peradilan tidak mencerminkan
empat hal faktor penyebab yang dapat rasa keadilan dan kepastian hukum,
dikemukakan dari perilaku koruptif dari karena disinyalir terjadi “main mata” di
para penegak hukum yaitu : (1) antara aparat penegak hukum dengan
Kesejahteraan atau gaji rendah, akan para pihak pencari keadilan. Permainan
tetapi life style-nya tinggi; (2) Adanya seperti itu semakin memperburuk bahkan
ketidakpercayaan timbal balik di antara mempercepat proses pembusukan
penegak hukum itu sendiri; (3) Akibat lembaga peradilan yang pada gilirannya
pola korupsi yang terjadi pada masa akan menumbuhkan sikap antipati
Orde Baru; (4) Tidak adanya standar kepercayaan masyarakat kepada
profesi bagi advokat (Luhut, 2002). lembaga peradilan. Kemudian yang
Berdasarkan rekomendasi para terjadi adalah munculnya serta tumbuh
pakar hukum Center for The suburnya berbagai tindakan main hakim
Independence of Judge and Lawyer sendiri di masyarakat dalam
(CIJL) pada konferensi dua tahunan (17- menyelesaikan sengketa.
22 September 2000) di Amsterdam,
disimpulkan bahwa judicial coruption Perspektif Budaya Hukum
terjadi karena tindakan-tindakan yang Istilah budaya hukum pertama-tama
menyebabkan ketidakmandirian lembaga dikemukakan oleh Friedman untuk
peradilan dan institusi hukum (polisi, menyebut kekuatan-kekuatan sosial
jaksa, advokat dan hakim). Khususnya (social forces) yang mempengaruhi
jika hakim atau pengadilan mencari atau bekerjanya hukum di masyarakat, yang
menerima berbagai macam keuntungan berupa elemenelemen nilai dan sikap
atau janji berdasarkan penyalahgunaan masyarakat berhubungan dengan
kekuasaan kehakiman atau perbuatan institusi hukum. Dikemukakan oleh
lainnya, seperti suap, pemalsuan, Friedman bahwa:

188
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

Social forces are constantly at work polisi, jaksa hakim dalam menjalankan
on the law -destroying here, renewing tugasnya, sedangkan budaya hukum
there; inigorating here, deadening there; eksternal merupakan budaya hukum
choosing what parts of “law” will oprerate, masyarakat pada umumnya, misalnya
which part will not, what subtitute, bagaimana sikap dan pengetahuan
detours, and bypasses will spring up; masyarakat terhadap ketentuan
what changes will take place openly or perpajakan, perceraian dan sebagainya.
secretly. For want of a better term, we Ia juga membedakan budaya hukum
can call some of these forces the legal tradisional dan budaya hukum modern.
culture. It is the element of social attitude Dengan adanya pelbagai sistem hukum
and value (Lawrence, 1975). dalam suatu komunitas politik tunggal
maka disebut pluralisme hukum.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa
Pluralisme hukum dapat berbentuk
istilah budaya hukum mengacu pada
horizontal atau vertikal. Pada yang
pengetahuan publik, sikap dan pola
horisontal masingmasing subsistem atau
perilaku masyarakat berkaitan dengan
sub-budaya mempunyai kekuatan hukum
sistem hukum.
sama, sedangkan yang vertikal kekuatan
The term legal culture has been hukumnya berbeda-beda.
loosly used to discribe a number of
Menurut Friedman, budaya hukum
related phenomena. It refers to public menunjuk pada dua hal yaitu : (1) unsur
knowlege of and attitudes and behavior adatistiadat yang organis berkaitan
patterns toward the legal system. Do dengan kebudayaan secara menyeluruh;
people feel and act as if courts are fair ? dan (2) unsur nilai dan sikap sosial. Lebih
When are they willing to use courts ? lanjut dikatakan bahwa sistem hukum
What part of the law do they consider yang terdiri dari struktur dan subtansi,
legitimate ? What do they know about the bukanlah merupakan mesin yang
law in general ? These attitudes differ bekerja. Apabila kedua unsur itu
from person to person, but one can also berfungsi dalam masukan dan keluaran
speak of the legal culture of a country or proses hukum, maka kekuatan-kekuatan
a group, if there are patterns that sosial tertentu berpengaruh terhadapnya.
distinguish it from the culture of the Kekuatankekuatan sosial itu merupakan
countries or groups (Lawrence, 1975). variabel tersendiri yang disebut ‘budaya
Friedman, menelaah budaya hukum hukum’. Variabel itu berproses
dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa bersamaan dengan kebudayaan sebagai
budaya hukum nasional yang dibedakan suatu variasi, yang kemungkinan variabel
dari sub-budaya hukum yang tersebut menentang, melemahkan, atau
berpengaruh secara positif atau negatif memperkuat sistem hukum (Lawrence,
terhadap hukum nasional. Ia juga 1975).
membedakan budaya hukum internal dan Friedman melihat bahwa hukum itu
budaya hukum eksternal. Budaya hukum tidak layak hanya dibicarakan dari segi
internal merupakan budaya hukum warga struktur dan subtansinya saja, melainkan
masyarakat yang melaksanakan juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan
tugastugas hukum secara khusus, seperti (demands) yang berasal dari

189
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

kepentingankepentingan (interests) individual maupun kelompok serta


individu dan kelompok masyarakat ketika didukung oleh lingkungan sosial-budaya
berhadapan dengan institusi hukum. yang mewarisi tradisi korup. Di samping
Kepentingankepentingan dan tuntutan- itu budaya hukum elit penguasa tidak
tuntutan tersebut merupakan kekuatan- menghargai kedaulatan hukum, akan
kekuatan sosial (social forces) yang tetapi lebih mementingkan status sosial,
tercemin dalam sikap dan nilai-nilai yang ekonomi dan politik para koruptor.
ada di masyarakat. Unsur kekuatan- Budaya hukum internal penegakan
kekuatan sosial tersebut disebut oleh hukum sendiri juga tidak mendukung
Friedman sebagai budaya hukum (legal pemberantasan korupsi, yang ditunjukkan
culture) (Satjipto, 1980). Tuntutantuntutan dengan adanya praktek korupsi dalam
tersebut datangnya dari masyarakat atau proses peradilan (judicial corruption).
para pemakai jasa hukum dan Berdasarkan hasil penelitan yang
menghendaki suatu penyelesaian atau pernah dilakukan oleh Wasingatu
pemilihan cara-cara penyelesaian dari Zakiyah dkk, korupsi juga terjadi di
alternatif-alternatif penyelesaian. seluruh lembaga peradilan, mulai dari
Pemilihan tersebut akan didasarkan pada Pengadilan Negeri sampai Mahkamah
pengaruh faktor orientasi, pandangan, Agung. Korupsi tersebut melibatkan
perasaan, sikap dan perilaku seseorang hampir seluruh pelaku di peradilan
dalam masyarakat terhadap hukum. seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara
Faktor-faktor tersebut didasarkan pada dan panitera. Selain itu pihak luar
besarnya pengaruh dorongan peradilan juga menjadi bagian dari
kepentingan, ide, sikap, keinginan, praktek korupsi seperti calo perkara.
harapan, dan pendapat orang tentang Karena korupsi terjadi secara meluas di
hukum. Jika ia memilih pengadilan, hal pengadilan, publik lalu menjulukinya
tersebut disebabkan karena yang dengan istilah mafia peradilan. Mafia
bersangkutan mempunyai persepsi positif peradilan lebih berkonotasi pada praktek
tentang pengadilan dan dipengaruhi oleh korupsi antara hakim, pengacara, dan
faktor-faktor pendorong tersebut (Satjipto, jaksa, serta pihakpihak lain di peradilan,
1991). yaitu merujuk pada konspirasi untuk
Jika konsep budaya hukum ini memenangkan salah satu pihak tertentu.
dipergunakan untuk melihat penanganan Karena bertahun-tahun praktek
korupsi, maka akan nampak bahwa korupsi dibiarkan, akhirnya korupsi
makna korupsi itu sendiri akan sangat peradilan menjadi sistemik. Disebut
ditentukan oleh nilai-nilai yang ada dibalik demikian karena mafia peradilan menjadi
korupsi itu sendiri. Dari berbagai bagian dari sistem peradilan itu sendiri.
pengertian korupsi yang telah Praktek mafia peradilan seakan-akan
dikemukakan di muka, nampak bahwa menjadi sebuah kebiasaan yang wajar
korupsi merupakan suatu perbuatan yang dan natural di lingkungan peradilan. Calo-
bertentangan dengan nilai-nilai dan calo perkara di peradilan aman
norma-norma kejujuran, sosial, agama beroperasi di depan hakim, panitera,
dan hukum. Namun demikian munculnya jaksa dan polisi. Hasil penelitian tersebut
korupsi itu sendiri sangat dipengaruhi berhasil mengungkap bahwa sekitar 300
oleh tuntutan-tuntutan kebutuhan responden yang menjadi sumber data

190
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

penelitian, mengakui terjadinya korupsi di yang demikian sudah dianggap sebagai


pengadilan. budaya bangsa (Sahlan, 2005).
Berdasarkan temuan pola-pola Dalam perspektif demikian, kalaupun
korupsi, mafia peradilan terjadi pada pada akhirnya dapat dibuktikan
setiap tahapan beracara, baik pada legalitasnya, korupsi sebenarnya
peradilan perdata, pidana dan niaga. bukanlah korupsi, melainkan mempunyai
Pada tahap penyelidikan dan penyidikan makna lain seperti komisi, kompensasi,
dalam peradilan pidana, sebagai contoh, hadiah, insentif, return fee, tali asih,
jikalau ada uang, tersangka tidak harus asuransi, jasa keringat, dan istilah-istilah
mendekam di tahanan. Bahkan kalau lain yang berkonotasi serupa (Sugiharto,
negosiasi lancar, tersangka dapat bebas 2005).
begitu saja. Hal yang sama juga terjadi di Menurut pengalaman Sahlan Said
Kejaksaan.Pasal-pasal meringankan (mantan hakim), ia sering menyaksikan
yang dikenakan dalam tuntutan jaksa perilaku judicial corruption itu dilakukan
dianggap sebagai sebuah kebaikan yang oleh rekan-rekan seprofesinya, terutama
harus dihargai dengan uang. Demikian di terhadap kasus-kasus yang dianggap
kalangan hakim, vonis yang dijatuhkan “basah” seperti kasus korupsi. Misalnya
bisa ditawar dengan imbalan uang dan pada waktu menangani kasus korupsi di
fasilitas (Zakiyah, 2002). Banyumas, di mana terdakwa adalah
Dari penglihatan inilah, maka seorang pemborong yang disinyalir kasus
nampak bahwa ada sebagian kalangan ini melibatlan pejabat-pejabat daerah.
yang berpendapat bahwa korupsi sudah Putusan majelis hakim pada waktu itu
menjadi budaya bagi masyarakat membebaskan terdakwa, tetapi ia
Indonesia sebagai salah satu anggota majelis
(Sutandiyo, 2000). Korupsi hampir terjadi berbeda pendapat dengan 2 hakim
di setiap tingkatan dan aspek kehidupan lainnya, karena menurutnya terdakwa
masyarakat, mulai dari mengurus Ijin terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Mendirikan Bangunan (IMB), proyek Putusan tersebut sempat membuat
pengadaan di instansi-instansi berang Jaksa Penuntut Umum (JPU)
pemerintah sampai proses penegakan yang mengindikasikan adanya KKN.
hukum. Tanpa disadari, korupsi muncul Setelah timbul kontroversi, 2 hakim
dari kebiasaan yang dianggap lumrah tersebut diperiksa oleh Ketua Pengadilan
dan wajar oleh masyarakat umum, Tinggi Semarang (Sahlan, 2005).
seperti memberi hadiah kepada pejabat/ Kasus lainnya adalah perkara
pegawai negeri atau keluarganya sebagai korupsi Jogja Expo Center (JEC) yang
imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan terdakwanya adalah seorang anggota
itu dipandang lumrah dilakukan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan (DPRD) Tingkat I Yogyakarta. Majelis
ini lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi hakim menyatakan bahwa terdakwa
yang nyata (KPK, 2006). Praktik korupsi terbukti bersalah melakukan korupsi
sudah sedemikian hebatnya mewarnai dengan cara menyalahgunakan
keseharian bangsa Indonesia. Dalam jabatannya untuk meminta uang
ungkapan M. Hatta, korupsi pada situasi Tunjangan Hari raya (THR). Pada kasus

191
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

ini terdapat perlakuan diskriminatif yakni menerima uang suap, akhirnya hakim
beberapa orang yang mestinya tersebut diadili dan dijatuhi pidana
berpotensi untuk menjadi terdakwa penjara serta diberhentikan dengan tidak
ternyata tidak diajukan ke pengadilan, hormat dari jabatannya sebagai hakim.
sehingga terkesan hanya ada 1 terdakwa
“martil” yang diajukan ke pengadilan Solusi: Dibutuhkan Penegak Hukum
pada kasus yang sarat dengan muatan Progresif
politis tersebut. Pada waktu itu Kejaksaan Keterpurukan penegakan hukum
Tinggi menyatakan tidak ada terdakwa dalam menangani masalah korupsi yang
lain. Padahal sebelumnya sudah ada digambarkan di atas pada puncaknya
beberapa nama yang disidik dan tidak telah membawa bangsa Indonesia
pernah dikeluarkan SP3 (Surat Perintah terjatuh pada keadaan krisis hukum.
Penghentian Penyidikan) oleh jaksa Krisis adalah keadaan tidak normal oleh
(Sahlan, 2005). karena berbagai institusi yang telah
Menurut Yosanna H.Laoly, bagi dinormakan untuk menata prosesproses
sebagian besar praktisi hukum, dugaan dalam masyarakat tidak mampu lagi
adanya kolusi bahkan korupsi di menjalankan fungsinya secara tepat.
lingkungan peradilan bukan suatu yang Hukum kehilangan kepercayaan dan
aneh atau mengejutkan. Sudah bukan pamor untuk mewujudkan nilai keadilan
rahasia lagi di kalangan pengacara, yang harus diberikan. Ia tidak lagi berada
mereka tidak hanya bergantung pada pada posisi otoritatif untuk menata dan
logika hukum saja untuk memenangkan mengendalikan proses-proses ekonomi,
perkara, akan tetapi juga bergantung sosial, politik dsb, melainkan difungsikan
pada pendekatan-pendekatan non- sebagai alat untuk kepentingan
hukum. Pendekatan-pendekatan ini justru kekuasaan. Hukum tidak lagi bekerja
dianggap lebih penting (Yasona, 1996). secara otentik. Dampak dari
Kasus pemalsuan putusan Mahkamah ketidakpercayaan pada penegakan
Agung juga menjadi bukti adanya praktek hukum tersebut, sebagian rakyat
KKN di lingkungan peradilan. Bukti kemudian melakukan tindakan
konkrit KKN yang terjadi di lembaga penyelesaian sendiri, yang salah satu
peradilan yang dilakukan oleh hakim bentuknya adalah perbuatan main hakim
terjadi pada saat akhir tahun 1970-an sendiri (eigenrichting). Situasi sosial
hingga awal tahun 1980-an ketika digelar menjadi anomis dan setiap orang bebas
operasi tertib pusat (obtibpus). Pada saat membuat tafsiran, melakukan dan
itu banyak hakim yang kena jaring memutuskan tindakan sendiri. Satjipto
operasi karena tertangkap basah Rahardjo menggambarkan sistuasi ini
menerima uang suap di kantornya sebagai Era Hukum Rakyat (Satjipto,
(Yasona, 1996). Ada juga kasus seorang 2002).
hakim meminta uang suap kepada Dalam situasi krisis atau tidak normal
seorang nyonya sebesar 50 juta rupiah ini dibutuhkan pula cara-cara
untuk memenangkan perkaranya penyelesaian hukum yang tidak normal
(Husein, 1987). Bahkan pada dekade itu atau cara yang di luar kebiasaan (extra-
pernah ada seorang hakim pria senior ordinary) akan tetapi masih dalam koridor
yang karena terbukti meminta dan

192
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

atau kerangka dari tujuan hukum pikiran dan pendapat yang berkembang
tersebut. Cara yang luar biasa ini bukan itu antara lain berkaitan dengan
berarti bertindak anarkis, akan tetapi ketidakmandirian serta merosotnya
berwatak progresif. Berpikir luar biasa martabat pribadi dari para hakim. Oleh
pada intinya adalah tidak membaca karena itu yang harus diperbaiki adalah
undang-undang seperti orang mengeja kemandirian serta pribadi para hakimnya.
sebuah teks, akan tetapi mencari dan Penegak hukum, terutama hakim harus
mengungkap makna dari undang-undang berpikiran progresif (Kompas, 2002) dan
tersebut. Akibat mencari makna itu, lalu berani menafsirkan atau menemukan
berani bertindak rule-breaking. Berpikir hukum agar mampu menjawab semua
luar biasa ini harus dimulai dari kalangan persoalan yang datang ke hadapan para
komunitas hukum seperti hakim, jaksa, hakim sehingga putusan yang dihasilkan
advokat, polisi dan akademisi (Satjipto, memenuhi rasa keadilan masyarakat
2006). (Charles, 2006).l
Rule-breaking membutuhkan
berbagai pendekatan cara penyelesaian Daftar Pustaka
hukum yang holistik dan bahkan ekstra Azizy, Q. 2006. “Menggagas Ilmu Hukum
legal untuk menggali makna hukum. Indonesia”, dalam Buku :
Pengalaman penyelesaian hukum yang Menggagas Hukum Progressif
hanya mengandalkan pendekatan Indonesia, Penyunting : Ahmad
yuridis-formal yang bersifat linier hanya Gunawan dan Muammar
menambah deretan kekecewaan para Ramadhan, Yogyakarta: Pusataka
pencari keadilan. Sudah saatnya para Pelajar;
akademisi dan praktisi hukum berani
mentransformasikan diri untuk mencari Alatas, S.H. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab,
pendekatan dan cara berpikir alternatif dan Fungsi. Jakarta : LP3ES;
untuk menyelesaikan berbagai persoalan
hukum yang kian rumit dan kompleks. Chambliss, W.J. t.t. Corruption,
Berbagai pendekatan yang ada bukan Bureaucracy and Power, in
saatnya lagi dipertentangkan dan Chambliss (ed). Sociologcal
dipersalahkan, akan tetapi justru saling Reading in the comflict
melengkapi kekurangankekurangan yang perspective;
ada dengan kelebihan masing-masing.
Para lawyer harus bersikap terbuka Friedman, L. M. 1975. The Legal
dengan perkembangan yang terjadi dan System : A Social Science
tak perlu menutup diri. Bukankah ilmu Perspektive, New York : Russel
pengetahuan itu dinamis dan tak pernah Sage Fondation;
berhenti dengan inovasi-inovasi (Satjipto,
2006). Firdaus, M.Y. 2007. “ Pandemik Korupsi
Terhadap hal yang demikian juga dan Mentalitas Birokrasi”. Opini
telah banyak pikiran dan pendapat dari Radar
para ahli tentang bagaimana jalan Jogja, 27 Januari 2007;
memperbaikinya. Di antara banyak

193
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

Gunawan, A & R, Muammar (Ed). Nitibaskara, Tb.R. R. 2006. Tegakkan


Menggagas Hukum Progresif Hukum Gunakan Hukum. Jakarta :
Indonesia. Kompas;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Nirwono dan Priyono, AE.(ed). 1990.
Hartanti, E. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Hukum dan Politik di
Jakarta : Sinar Grafika Indonesia, Kesinambungan dan
Perubahan, Jakarta : LP3ES.
Heywood, P. 1977. “Political Corruption:
Poblem and Perspectives” Political Puspokusumo, RM.T. 1999. “ Fungsi
Studies, Vol.45 No.3, Special Ombudsman dalam Negara
Issue; Demokrasi”, Makalah pada
Seminar tentang Fungsi
Himawan, C. 2006. Hukum sebagai Ombudsman dalam Negara
Panglima. Editor Abu Sunda. Demokrasi, BPHN, 23-24 Agustus
Jakarta: Kompas. 1999;

Klitgaard, R. 2002. Penuntun Putra, H.S. A. 2002. “Korupsi di


Pemberantasan Korupsi dalam Indonesia: Budaya atau Politik
Pemerintah Daerah. Terj. Masri Makna” dalam Wacana, Insis
Maris. Jakarta : YOI. Press, Edisi 14, Tahun
III,
Laoly, Y. H. 1996. “Kolusi: Fenomene
atau Penyakit Koronis”, dalam Rahardjo, S.2006. Membedah Hukum
Aldentua Siringoringo dan Tumpal Progresif. Joni Emirzon, dkk (ed).
Sihite, (Ed). Jakarta : Kompas:
Menyingkap Kabut
Peradilanperadilan Kita –Menyoal ______.2006. “Pemberantasan Korupsi
Kolusi di Mahkamah Agung. Progresif”. Makalah disampaikan
Jakarta: Pustaka Forum Adil pada diskusi Peran Komisi Yudisial
Sejahtera; dalam Pemberantasan Mafia
Peradilan di Indonesia. FH
Lev, D. S. 1990. Hukum dan Politik di Unissula / Kp2KKN Semarang 1
Indonesia, Kesinambungan Pebruari, 2006;
dan
Perubahan, terjemahan Nirwono ______. 2006. “Hukum Progresif,
dan AE Priyono, Jakarta : LP3ES; Kesinambungan, Merobohkan, dan
Membangun”, Jurnal Hukum
Lubis, T. M. 1998. “Reformasi Hukum Progresif Volume: 2 Nomor 1/April
Anti Korupsi” Makalah disampaikan 2006;
dalam
Konferensi Menuju Indonesia yang ______. “Hukum Progresif sebagai Dasar
Bebas Korupsi, Depok, September Pembangunan Ilmu Hukum
1998; Indonesia”. Dalam Buku :

194
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

Menggagas Hukum Progressif Sugiharto, T. 2005. “Mengebor Sumur


Indonesia, Penyunting : Ahmad Tanpa Dasar” Jurnal Demokrasi,
Gunawan dan Muammar Volume II/ N0.7/Januari 2005.
Ramadhan, Pusataka
Pelajar, Yogyakarta; Soekanto, S. et. al. 1994. Antropologi
Hukum, Proses Pengembangan
______. 1991. Ilmu Hukum, Cetakan III, Ilmu
Bandung : PT Citra Aditya Bakti; Hukum Adat, Jakarta : CV Rajawali;
Suharko. 2005. “Pemberantasan Korupsi,
______. 2003. “Budaya Hukum Menuju Grand Strategy Anti Korupsi
Indonesia” dalam Sisi-sisi lain dari untuk Indonesia” Jurnal Demokrasi,
Hukum di Indonesia. Karolus Volume II/N0.7/Januari 2005;
Kopong Medan dan Frans J.
Rengka (Ed). Jakarta : Penerbit Zakiyah, W, et.all. 2002. Menyingkap
Kompas; Tabir Mafia Peradilan. Jakarta :
ICW;
Said, S. 2005. “Penegakan Hukum Anti
Korupsi”. Jurnal Demokrasi, Wignjosoebroto, S. Kompas, 4
Volume II/N0.7/Januari 2005; September 2000.

Siringoringo, A dan Sihite, T.(tt) (Ed). Jawa Pos, 8 Januari 2007;


Menyingkap Kabut
Peradilanperadilan Kita –Menyoal Jawa Pos, 19 Pebruari 2007;
Kolusi di Mahkamah Agung.
Jakarta : Pustaka Forum Adil Radar Jogja, 27 Januari 2007;
Sejahtera;
Kompas, 15 Juli 2002;
Suparman, E. 2006. “Asal Usul serta
Landasan Pengembangan Ilmu Kompas, 12 Nopember 2002;
Hukum Indonesia”, dalam buku :
Menggagas Hukum Progressif Kompas, 28 April 2003;
Indonesia, Penyunting : Ahmad
Gunawan dan Muammar Kompas, 12 Pebruari 2004;
Ramadhan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar; Kompas, 3 Pebruari 2004;

Gatra, 10 Agustus 2002;

rrr

195

Anda mungkin juga menyukai