Anda di halaman 1dari 3

Analisis Berdasarkan Prinsip Dasar Filosofis, Sosiologis, Antropologis, Psikologis, Pedagogis

Belantara Sekolah Dasar Kita

spacer.gif

Oleh: Ki Supriyoko

INI kisah sedih tentang sekolah dasar (SD) kita. Sekarang ini, ketika (konon) bangsa Indonesia sudah
memasuki era siberkomunikasi, ternyata lebih separuh ruang kelas SD kita dalam kondisi rusak,
rusak ringan sampai berat.

Sebagaimana diberitakan Kompas (23/1), Sekretaris Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Depdiknas Sungkowo menginformasikan, sebanyak 535.825 dari sekitar 900.000 ruang kelas SD di
Tanah Air dalam kondisi rusak. Ditambahkan, penyebab kerusakan ruang kelas itu karena termakan
usia, bencana alam, serta adanya aksi perusakan dan pembakaran di daerah konflik. Diakui, ruang
kelas yang kondisinya rusak sudah cukup berumur, gedung dibangun tahun 1970 sampai dengan
1980-an saat pemerintah menggalakkan pembangunan SD Inpres.

Berita itu sungguh menyedihkan. Bagaimanapun, sebagai pendidikan dasar, SD adalah fondasi
pendidikan nasional. Bagaimana mungkin diperoleh pendidikan bermutu bila bila ruang kelas SD-nya
rusak, bagaimana SDM kita berkualitas bila pendidikannya tidak bermutu, bagaimana dapat bersaing
dengan bangsa lain kalau SDM-nya tidak berkualitas?

Masalah klasik

Berita tentang rusaknya sebagian ruang kelas SD itu sebenarnya bukan berita baru. Rusaknya ruang
kelas dan gedung SD merupakan masalah klasik yang kasatmata. Manakala kita terjun ke daerah,
utamanya daerah remote, dan melewati beberapa lokasi gedung SD hampir dapat dipastikan kita
akan menyaksikan pemandangan sekolah yang mengalami kerusakan. Lebih banyak sekolah yang
rusak daripada yang kondisinya baik.

Harus jujur diakui, ada beberapa SD yang kondisinya baik dan bersih, tetapi ada banyak SD yang
kondisinya rusak, misalnya genteng pecah, pintu keropos, tiang miring, tembok retak. Kerusakan itu
lebih lengkap bila dipadukan dengan lingkungan yang kotor. Rusak dan kotor adalah kombinasi
sempurna guna "menunjang" buruknya proses pendidikan.

Apabila kita mengacu data resmi Depdiknas dalam Indonesia Educational Statistics in Brief
2000/2001, jumlah SD di Indonesia mencapai 148.964 dan menampung 25.697.810 siswa. Dari
jumlah itu, ada 888.638 ruang kelas dengan kondisi sebagai berikut: sebanyak 370.187 atau 42
persen ruang kelas berkondisi baik, 314.315 atau 35 persen berkondisi rusak ringan, dan sebanyak
204.136 atau 23 persen berkondisi rusak berat.

Dari angka-angka itu tergambar jelas kondisi fisik SD kita memang benar-benar mengerikan. Menjadi
lebih menarik manakala kita melihatnya dari satu daerah ke daerah lain di negeri yang gemah ripah
loh jinawi ini. Ilustrasi nyata di Provinsi Lampung, ternyata hanya ada 26 persen dari 28.482 ruang
kelas SD yang kondisinya baik, sedangkan 74 persen lainnya dalam kondisi rusak. Sementara di NTT
37 persen dari 30.305 ruang kelas SD dalam kondisi rusak berat.

Belajar dalam ruang yang kondisinya rusak berat tentu penuh risiko. Bayangkan, dalam ruang kelas
yang berisi 30-an siswa SD, tiba-tiba terjadi "kecelakaan" atap gedung runtuh, atau tembok roboh
dan menimpa siswa yang sedang belajar.

Terlepas apakah peristiwa seperti ini bisa dikategorikan force majeure atau tidak, korban pasti
berjatuhan. Bila sudah begitu kita tidak segera mencari solusi atau melakukan antisipasi, tetapi lebih
sibuk mencari kambing hitam permasalahan. Seandainya tidak terjadi "kecelakaan" seperti itu,
proses belajar mengajar dalam suasana psikologis siswa dan guru yang terganggu karena berpikir
tentang kondisi gedung yang setiap saat bisa roboh, maka optimalisasi prestasi belajar sangat sulit
dicapai.

Dalam banyak kasus, saat beberapa gedung SD roboh di malam hari atau di luar jam belajar,
biasanya masyarakat setempat justru bersyukur. Mengapa? Karena gedung roboh saat anak-anak
sedang tidak belajar di ruang kelas sehingga tidak ada korban. Kalau sudah roboh, pemerintah baru
memberi perhatian.

Perlu prioritas

Rusaknya sebagian besar ruang kelas SD sebenarnya merupakan salah satu masalah besar yang
dihadapi SD kita kini. Di luar itu masih ada masalah besar lain seperti rendahnya kualitas guru,
rendahnya etos didik siswa, rendahnya motivasi belajar siswa, tidak optimalnya kreativitas guru, dan
sebagainya.

Soal kualitas guru, misalnya. Sebagaimana ruang kelas SD yang sebagian besar dalam kondisi rusak,
maka sebagian besar kualitas guru juga dalam kondisi memprihatinkan. Bila kualitas diukur dengan
kepemilikan ijazah misalnya, dalam hal ini ijazah minimal diploma dua (D2) sebagaimana yang
disyaratkan, ternyata dari 1.128.475 guru SD hanya 520.530 guru atau 46 persen yang memenuhi
persyaratan. Itu berarti ada banyak guru SD yang tidak memenuhi persyaratan akademik. Itu juga
berarti sebagian besar guru SD kita tidak berkualitas.
Dari sisi etos didik siswa juga demikian. Etos didik siswa kita rendah. Sampai saat ini masih banyak
siswa SD yang dalam belajarnya belum berorientasi kepada kualitas. Mereka sekolah sekadar
memenuhi tuntutan "kepantasan sosial" (social norm) dan belum pada tuntutan mutu (achievement
oriented). Keadaan seperti ini menjadi bagian masalah besar yang dihadapi SD kita.

Rusaknya ruang kelas, rendahnya kualitas guru, dan rendahnya etos didik siswa hanya bagian dari
masalah besar itu. Di luar itu masih banyak masalah besar lain yang belum teridentifikasi secara rinci.
Sebagaimana hutan belantara yang belum semua jenis binatang buasnya diketahui secara faktual,
persoalan di belantara SD kita pun belum semuanya teridentifikasi secara mendetail.

Demi melihat realitas seperti itu, kiranya kita dapat memahami bila sampai sekarang mutu
pendidikan dasar kita amat memprihatinkan. Kita realistis saja, bagaimana mungkin mutu
pendidikan di SD dapat diraih secara maksimal bila ruang kelasnya rusak berat. Bagaimana kualitas
SD bisa dioptimalkan bila kebanyakan guru tidak berkualitas? Bagaimana mutu SD dapat dibangun
bila etos didik siswanya rendah? Karena itu sudah saatnya pengembangan SD kita harus
memperoleh prioritas dalam pengelolaan pendidikan nasional. Konkretnya, pengelolaan pendidikan
nasional sudah saatnya lebih difokuskan ke SD.

Bahwa pendidikan di SLTP hingga PT itu penting, tentu tidak dimungkiri. Namun, kekhususan
manajemen di SD yang bersifat "tuntas", dituntun dari atas, mengharuskan pemerintah memberi
perhatian khusus bagi pengembangan SD. Tanpa ada perhatian khusus, tidak mungkin
pengembangan SD dapat berjalan normal. Apakah peran masyarakat dalam hal ini tidak penting?
Tentu amat penting, namun kita juga harus realistis, masyarakat kita adalah masyarakat miskin
dengan etos didik rendah. Dengan demikian bisa dimaklumi bila kebanyakan anggota masyarakat
kita tidak peduli kepada SD daripada yang memedulikannya.

Dalam sebuah bangunan rumah, SD ibarat fondasinya. Bila fondasi rumah itu tidak kokoh, sebaik apa
pun bangunan di atasnya akan mudah roboh. Dan… kenyataannya fondasi rumah pendidikan kita
memang tidak kokoh.

Ki Supriyoko Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Wakil Presiden Pan-
Pacific Association of Private Education (PAPE) Bermarkas di Tokyo, Jepang

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0402/06/opini/836665.htm

Anda mungkin juga menyukai