Anda di halaman 1dari 16

PENJELASAN TENTANG IJITIHAD

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 5

 SITI MUJADILAH
 MESY ARIANDHINI MUAFA
 HASRINA

UNIVERSITAS MUHAMMADIKYAH MAKASSAR

Tugas AIK kelompok 5 Ijtihad i


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................1
1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................2
2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................3
2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................5
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................6
2.5 Syarat Ber-ijtihad...........................................................................................................8
BAB III Penutup................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14

Tugas AIK kelompok 5 Ijtihad ii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah
tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut
tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam
(Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan
melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil
adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum.
Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode
ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan).
Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari
pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-
Sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang :
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja hasil dari ijtihad?
1.3 Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad


Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan
dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran
dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau
hadits. Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah
penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai
berikut:
a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada
peranan nalar,
b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi, dan
c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan
yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan
sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-
Quran dan As-Sunnah.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement.
Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu
mencakup dua pengertian:
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan
secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu.
Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum
yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran
diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur
secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan
ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits.
Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada
berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara
yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat
Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang
paham Al-Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.
2.2 Dasar Hukum Ijtihad
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-
nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
(QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan
kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an
dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa
diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah
ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan
diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka
untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus
melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :
“Dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S.
Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah
mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar
Hukum Islam, hlm 163)
ِ ‫ان َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َو‬
)‫ (بخارى و مسلم‬.ٌ‫احد‬ ِ ‫اب فَلَهُ اَ ْج َر‬
َ ‫ص‬ ْ ‫اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا‬
َ َ ‫اجتَ َه َد فَا‬
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim)
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:
‫س ْو ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَنْ يَ ْب َع َث ُم َعا ًذا الِ َي ا ْليَ َم ِن‬
ُ ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنَّ َر‬ ْ َ‫س ِّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ أ‬
ِ ‫ص َحا‬ ٍ َ ‫عَنْ أُنا‬
:‫ب هللا؟ َقا َل‬ ِ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬ َ ‫ض إِ َذاع ََر‬
َ َ‫ض لَ َك ق‬ ِ ‫ َكيْفَ تَ ْق‬:‫قَا َل‬
.‫ اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َواَل آلُ ْو‬:‫ب هللاِ؟ قَا َل‬ ِ ‫س ْو ِل هللاِ َواَل فِي ِكتَا‬ُ ‫سنَّ ِة َر‬ُ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي‬:‫ قَا َل‬.ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ِ‫فَب‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
‫ (رواه‬ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ضي َر‬ َ ‫س ْو ِل هللاِ لَ َّما يَ ْر‬
ُ ‫س ْو َل َر‬ َ َّ‫ي َوف‬
ُ ‫ق َر‬ ْ ‫ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذ‬:‫ص ْد َرهُ َوقَا َل‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫ض َر َب َر‬ َ َ‫ف‬
.)‫ابوداود‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-
Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-
Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad
dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan
tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
2.3 Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-
ketentuan berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada
suatu ijtihad pun adalah relatif,
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi
tidak berlaku pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni).
Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
dan
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,
akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi
ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara
lain sebagai berikut:
1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang
belum diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-
Sunnah, karena ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi):
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persmaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-
Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab
(illat).
2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam
dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk
saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma
tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok
bumi termasuk para ulamanya.
3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih
sayang, dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi
(analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh
dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum.
Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua
persoalan yang sama-sama kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih
ringan keburukannya. Beberapa definisi istisan:
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar,
b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara
lisan olehnya,
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang
banyak,
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara
yang ada sebelumnya.
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu
persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai
dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah,
istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai
dalil Al-Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah
mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil
yang secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh
masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya
suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut
tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-
Hadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga
terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum
yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga
teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan
suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang
bisa mengubahnya.
7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu
persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu
kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang
menetapkan hukum tersebut.
9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam
pandangan mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang
sama (ayat dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).
2.5 Syarat ber-ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan
mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan
tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam
tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan
menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya
bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan
tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun
mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak
semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang
memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab,
jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep,
akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika
semua orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun
akan membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk
dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertama ini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah
Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan
syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani,
cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-
Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia
mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi
seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu
masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum
yang menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,
seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip
beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah
satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus
hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia
mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui
rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat
hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya,
sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah).
Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya
mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan
tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).
Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai
dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan
pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad.
Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka
ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid
merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan
persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.
Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari
al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut al-Syaukani-
seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna,
sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-
lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas
(khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-
beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani
dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu
tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu
tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah
ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat
pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah
menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits
adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari
dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian,
sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan
tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat
melakukan ijtihad.
Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih
penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui
tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh
jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an
dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara
itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat,
terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai
syarat ijtihad :
1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu
bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad,
tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
3. Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul
fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang
usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-
sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-
istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-
istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh
penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik
yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul
fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang
telah disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul,
mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat
dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan
tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-
syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena
dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat
mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting
untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad
hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-
Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah
mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di
tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya
diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan
dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih
yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah
memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli
fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga
melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang
tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad
berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’,
istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih
mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.

Anda mungkin juga menyukai