Disusun oleh
Kelas : B
Fakultas Hukum
Universitas Pancasila
2019/2020
I. Pengantar
Pada tahun 1998 dan 2011, lebih dari 120 orang dibawa ke pengadilan dengan
tuduhan criminal menghina agama berdasarkan Undang-Undang Penodaan Agama di
Indonesia. Terdakwa dalam kasus ini adalah pemimpin dan pengikut kelompok
agama minoritas dan sekte yang dianggap “menyimpang” atau “ortodoks”, serta
sejumlah besar orang beragama Kristen. Kasus-kasus ini telah menimbulkan
kekhawatiran bahwa Undang-Undang Penodaan Agama diterapkan dan ditafsirkan
dengan cara yang mengkriminalkan perbedaan agama dan melanggar hak
konstitusional untuk kebebasan beragama, yang telah mendorong seruan untuk
peninjauan dan reformasi hukum.
Pada tahun 2010, sebuah koalisi organisasi non pemerintah mengajukan permohonan
peninjauan kembali dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, di mana ia berpendapat
bahwa Undang-Undang Penodaan Agama melanggar hak untuk kebebasan beragama
sebagaimana diatur dalam pasal 28E dan 29 Konstitusi.
Kasus ini penting karena ini pertama kalinya Mahkamah Konstitusi mendengar dari
begitu banyak pemimpin agama tentang hubungan antara hukum dan agama di
Indonesia. Kasus ini membahas tentang hubungan antar Negara dan Komunitas
agama, dan sejauh mana Negara mengizinkan 6 agama yang diakui – Islam,
Protestan, Katolik, Budha, dan Konfusianisme untuk mendefinisikan dan menegaskan
kontrol atas komunitas dan ajaran mereka.
Artikel ini memberikan studi mendalam tentang kasus untuk uji materi UU Penistaan
di Mahkamah Konstitusi Indonesia.
Mempertanyakan bagaimana hubungan antara Negara dan agama diartikulasikan dan
ditafsirkan, dan bagaimana pembatasan yang diizinkan pada kebebasan beragama
dibingkai dan dibenarkan oleh pihak yang terlibat kasus ini.
Artikel ini dimulai dengan menganalisis secara kritis tindak pidana penghinaan
terhadap agama dalam konteks Indonesia dan merefleksikan implementasikan melalui
Badan Koordinasi Pemantauan Keyakinan Mistik (Bakor Pakem). Ini memberikan
gambaran singkat tentang penggunaan UU Penodaan Agama sebagai bagian dari latar
belakang kontekstual yang diperlukan, dan menggambarkan aplikasi yang sering
kontroversial melalui kasus Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sebuah sekte Islam. Kemudian
menyoroti argumen utama dari para pemohon yang meminta peninjauan kembali
terhadap UU Penodaan Agama pada tahun 2009, yang berpusat pada tema-tema
kebebasan beragama, batasan yang diizinkan untuk hak itu dan aturan hukum. Ini
mengarah ke analisis berbagai suara yang didengar oleh pengadilan, baik pengajuan
lisan dan tertulis, dibuat ke pengadilan oleh pejabat pemerintah, oraganisasi islam,
minoritas agama dan organisasi non-pemerintah.
Saya akan menunjukan bahwa mereka yang mendukung mencirikan Indonesia
sebagai Negara religious yang melindungi interpretasi “Ortodoks” dari 6 agama
dengan memungkinkan Negara membatasi kebebasan beragama untuk kepentingan
ketertiban beragama untuk kepentingan ketertiban umum dan nilai-nilai agama.
Mereka yang menentang UU Penodaan Agama lebih fokus pada kebutuhan
pemisahan agama dan Negara, dan kebutuhan Negara demokratis untuk memfasilitasi
keragaman agama dan melindungi agama minoritas.
Akhirnya, saya beralih ke keputusan dan alasan pengadilan untuk menegakkan
Hukum Penodaan Agama. Saya berpendapat bahwa meskipun pengadilan
menekankan pendekatan khas Indonesia, pengadilan gagal mengartikulasikan tes
yang jelas untuk menentukan alasan yang memungkinkan Negara membatasi
komunitas agama. Keputusan pengadilan memang menunjukkan, bahwa kepentingan
“Ketertiban Umum” dan “Nilai-nilai Agama” adalah pertimbangan yang relevan
dalam mendukung UU Penodaan Agama dalam kasus ini.
Pasal 2 (1) menetapkan bahwa Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri dapat mengeluarkan dekrit bersama untuk memperingatkan seseorang telah
melanggar pasal 1 dengan mempromosikan ajaran yang menyimpang. Jika
pelanggaran dilakukan oleh suatu organisasi atau aliran kepercayaan (kepercayaan
mistis), presiden memiliki wewenang untuk melarang kelompok tersebut atas
rekomendasi dari 3 otoritas yang terdaftar diatas. Jika orang/organisasi terus
bertindak melanggar pasal 1, maka pasal 3 menyatakan bahwa mereka dapat
dipenjara selama maksimal 5 tahun.
Pernyataan tertulis atau verbal yang objektif dan menghindari penggunaan kata-kata
atau frasa ofensif tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana berdasarkan artikel ini.
Penjelasaan tersebut menjustifikasi keparahan hukuman dengan menyatakan bahwa
pelaku telah mengganggu komunitas agama dan dianggap telah mengkhianati
ideology Negara, pancasila, dan elemen pertamanya yaitu Keyakinan pada Satu
Tuhan.
Ketentuan ini mencerminkan fakta bahwa dalam islam tidak adaa kesepakatan umum
tentang “penistaan agama”. Dalam islam ada beberapa istilah yang relevan termasuk
riddah (kemurtadan); sabb Allah dan sabb al-Rasul (penistaan); zandaqah (bid’ah);
nifaq (kemunafikan); dan kufur (ketidakpercayaan), meskipun sedikit perbedaan yang
dibuat antara istilah-istilah ini dalam praktiknya. Hukuman tradisional islam untuk
kemurtadan adalah kematian, beberapa sarjana berpendapat bahwa tidak ada otoritas
Al-Quran untuk hukuman ini. Hanya kelompok islam garis keras di Indonesia yang
akan setuju dengan hukuman tradisional. Sikap-sikap ini sebagian tercermin dalam
semakin banyaknya kasus yang dibawa ke pengadilan, UU Penodaan Agama
mengartikulasikan keprihatinan pemerintah pada tahun1965 tentang perlunya
menanggapi ancaman kepercayaan mistis dan komunis (yang dianggap ateis) dan
kebutuhan yang berkelanjutan untuk memenuhi tuntutan para pemimpin agama islam
ke penerapan UU Penodaan Agama segera.
Bagian III DEWAN KOORDINASI: MENGENDALIKAN KEYAKINAN DEVIANT
menyelidiki suatu kelompok dan melaporkan kembali temuan mereka kepada Koordinasi
nasional. Dewan, seperti yang terjadi dalam kasus Ahmadiyah, sebuah sekte Islam. Sejak
didirikan pada akhir 1980-an, Badan Koordinasi menyelidiki keyakinan dan aktivitas berbagai
kelompok agama, “menyimpang” kelompok dan kepercayaan mistis, khususnya mereka yang
dituduh menghina Islam. Sekali masalah diidentifikasi, Dewan Koordinasi dapat meminta
pendapat dari Kementerian Agama ,dari dewan agama nasional yang relevan dan dari Forum
Konferensi Eksekutif Regional. Berdasarkan rekomendasinya dan investigasi, Dewan Koordinasi
kemudian mempertimbangkan untuk mengambil tindakan terhadap kelompok tersebut untuk
mencegah gangguan ke masyarakat. Salah satu hasil yang mungkin dari proses investigasi adalah
Koordinasi. Dewan dapat merekomendasikan agar Jaksa Agung melarang kelompok tertentu.
Beberapa pedoman telah dikeluarkan untuk menentukan kapan suatu kelompok dapat dilarang.
Sebagai contoh, pada tahun 1969, Jaksa Agung menyatakan bahwa kegiatan suatu aliran dapat
dilarang jika itu mengganggu kerukunan antaragama; menentang hukum; mengganggu
ketertiban umum dan keamanan; bertentangan dengan kebijakan pemerintah; atau jika ada bukti
yang melindungi kegiatan atau mantan anggota Partai Komunis Indonesia.44 Pada akhirnya,
namun, keputusan untuk melarang suatu kelompok tetap pada kebijaksanaan Jaksa Umum.
Di bawah Orde Baru, setidaknya 29 agama minoritas dilaporkan dilarang di tingkat nasional.
Misalnya, pada tahun 1976, ajaran kepercayaan Manunggal, yang saat itu dipimpin oleh
Herucokro, berlokasi di desa Sejiwan, Sulawesi Tengah Jawa, dilarang oleh Jaksa Agung karena
pengikut “Manunggal” mengklaim bahwa tidak ada Tuhan, sehingga menantang prinsip
Pancasila Percaya pada Allah Yang Mahakuasa. Pada tahun yang sama, kegiatan Saksi-Saksi
Yehuwa adalah dilarang, terutama karena praktik proselitisasi dari pintu ke pintu, yang dianggap
sebagai ancaman oleh beberapa pemimpin agama Muslim.Pada tahun 1984, sebuah kelompok
dianggap "menyimpang" oleh agama Kristen arus utama, aliran Children of God, adalah
dilarang, antara alasan lain, untuk memungkinkan hubungan bebas antara pria dan wanita. Sejak
1998, beberapa larangan ini telah dibatalkan.49 Meskipun lebih dari 50 larangan masih
dikeluarkan antara 1998 dan 2009, semuanya sudah ada di tingkat regional. Ini menunjukkan
bahwa pemerintah pusat enggan untuk melarang kelompok agama pasca-1998, mungkin karena
tekanan untuk menegakkannya kewajiban internasional dan domestik tentang kebebasan
beragama. Nasional pemerintah, bagaimanapun, belum mencegah pemerintah daerah atau
pemerintah daerah dan komite-komite seperti konferensi eksekutif tingkat kabupaten / kota51
dari penerbitan larangan semacam itu.Baru-baru ini menjadi masalah bagi Ahmadiyah, sebuah
sekte Islam yang kegiatannya dilarang oleh sejumlah pemerintah daerah. Menurut Abdul
Rahman Masud, dari Departemen Agama, yang terdekat adalah pemerintah pusat telah
mempertanyakan keputusan pemerintah daerah untuk melarang grup adalah pada tahun 2008
ketika Gubernur Sumatera Utara dipanggil ke Jakarta tentang keputusannya untuk melarang
Ahmadiyah di provinsi tersebut. Dia ditanya atas dasar bahwa pemerintah daerah tidak memiliki
kekuatan untuk melarang "menyimpang" kelompok. Secara keseluruhan, meskipun Bakor Pakem
tidak memiliki fitur menonjol di Internet
Kasus Penistaan Agama di Mahkamah Konstitusi, 55 tahun adalah aktor penting di Indonesia
investigasi yang mengarah ke tuduhan kriminal penistaan karena memiliki mandat untuk
memantau apa yang disebut kelompok "menyimpang" dan dapat dibuat rekomendasi kepada
Jaksa Agung dalam hal ini.
Bagian IV. Pandangan Makro dan Mikro Dari Kasus Penistaan Agama.
Dalam pandangan Makro, dalam kasus penistaan agama, Sejak 1998, setidaknya ada 47
kasus, atau 120 orang terpidana, di bawah Undang-Undang Penistaan sejak 1998. ( didalam
kasus Kasus Pengadilan Penistaan Agama ) . Dan telah di total kasus penistaan sejak tahun 1996
– 1998 ( orde baru ), kemudian sampai tahun 2011 terdapat 47 kasus. Kasus dalam penistaan
agama tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa, Jumlah kasus pengadilan terbesar telah muncul di
provinsi Jawa Barat, diikuti oleh Jakarta, Jawa Tengah, dan kemudian Jawa Timur. Karena
terdapat 31 kasus di pulau Jawa, dan kemudian Jawa Barat yang menjadi terbanyak memiliki
kasus dengan 12 kasus. Karena Jawa Barat terdapat sebuah kelompok bernama Darul Islam,
sebuah kelompok Islam radikal yang mempromosikan ideologi negara Islam Indonesia. Karena
berdasarkan temuan Robin Bush, bahwa pemerintah daerah yang telah mengeluarkan jumlah
terbesar dari peraturan berbasis Islam terletak di daerah-daerah yang dulunya adalah benteng
pertahanan Darul Islam. Ini menunjukkan bahwa daerah-daerah yang memiliki sejarah Islam
garis keras juga lebih mungkin untuk melihat kasus-kasus penodaan terhadap minoritas agama di
pengadilan. Selain lokasi, identitas agama yang diakui sendiri oleh terdakwa juga penting.
Mayoritas terdakwa telah mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen, meskipun ini
sebagian karena satu kasus khusus di mana 41 orang Kristen dihukum. Setelah itu identitas
dari terdakwa kemudian di data, dan di dapati sebanyak 120 kasus berdasarkan identitas agama
yang dianut oleh terdakwa. Dan kemudian di proses hukum berdasarkan Pasal 156 a, Undang –
undang tentang permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut
di Indonesia.
Dalam Pandangan Mikro, kita meneliti studi kasus dalam penistaan agama yaitu “ Al-
Qiyadah Al-Islamiyah ‘’. Al-Qiyadah Al-Islamiyah, merupakan yang merupakan organisasi
keagamaan berbasis di Indonesia yang mengklaim didasarkan pada ajaran Islam. Memilki jumlah
anggota 45.000 pengikut, dan dibentuk secara resmi pada tahun 2001. Alasan kelompok ini
ditentang atau menistakan agama islam adalah,
Menggunakan Syahadat yang berbeda tidak sesuai dengan syahadat yang sudah diajarkan dalam
agama Islam. Diajarkan oleh Ahmad Mushaddeq, seorang pemimpin dalam organisasi tersebut.
Selain itu dia mengajarkan bahwa tidak wajib sholat lima kali sehari, membayar zakat (zakat),
atau melakukan ziarah ke Mekah (haji), bertentangan dengan kepercayaan Islam. Dan mengaku
mendapat wahyu dari Tuhan. Ini bertentangan dengan kepercayaan ortodoks bahwa Nabi
Muhammad adalah nabi terakhir dalam Islam. Oktober 2007, organisasi itu dilarang dalam fatwa
MUI.Fatwa MUI tidak mengikat secara hukum atau tidak memiliki pengakuan hukum. Fatwa
tersebut menuduh bahwa kelompok itu “menyimpang” karena menggunakan kredo lain, percaya
pada seorang nabi setelah Muhammad, dan tidak berdoa, berpuasa atau membayar zakat. Mereka
mendesak kelompok itu untuk "bertobat" dan "kembali ke Islam", dan meminta pemerintah
untuk melarang kelompok itu. Terdapat juga fatwa regional dari cabang – cabang dewan ulama
Indonesia, dari Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Bandung. Fatwa Yogyakarta berjalan lebih jauh
dari fatwa nasional dan mengklaim, bahwa buku “Ruhul Qudus yang turun untuk Al-Masih Al-
Maw'ud” yang diterbitkan pada 10 Februari 2007 adalah buku suci mereka, yang diajarkan
kelompok bahwa Muhammad sama dengan Yesus dan hanya "orang bodoh" yang berdoa
menghadap ke Mekah. Itu menyerukan pemerintah untuk menutup tempat ibadah mereka,
melarang buku itu, dan menghukum pengikut di bawah Hukum Penistaan.
Pada November 2007, setelah diselidiki oleh Kementerian Agama dan Badan Koordinasi
Nasional untuk Pemantauan Keyakinan Mistik, Jaksa Agung melarang kelompok itu mengutip
fatwa Dewan Ulama Indonesia dan laporan pertemuan Pakem. Kelompok ini juga dilarang oleh
Jaksa Penuntut Umum di tingkat daerah di provinsi-provinsi seperti Yogyakarta dan Sumatera
Barat. Organisasi hak asasi manusia telah mendokumentasikan oposisi dan ancaman terhadap
kelompok tersebut oleh para pemimpin dan organisasi Islam garis keras seperti Hizbut Tahrir
dan KPSI. Kelompok garis keras dan pemimpin Islam inilah yang melaporkan kelompok tersebut
ke polisi karena penistaan agama.
Pada tanggal 20 Oktober 2009, sebuah kasus tentang Hukum Penodaan Agama diajukan ke
Mahkamah Konstitusi.81 Aplikasi semacam itu telah dimungkinkan sejak tahun 2003,
ketika Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya pengadilan di Indonesia yang memiliki
wewenang untuk menerima permohonan peninjauan kembali undang-undang (undang-undang)
ditetapkan oleh badan legislatif yang dianggap tidak konstitusional.82 Ini berarti
bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan aplikasi yang menantang
konstitusionalitas hukum nasional dengan Konstitusi Indonesia. Kekuatan
Mahkamah Konstitusi ditetapkan pada tahun 2002 sesuai dengan pasal 24C yang ketiga
amandemen Undang-Undang Dasar Indonesia.83 Pada tahun 2003, undang-undang ini
ditetapkan oleh Undang-Undang
24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Amicus Brief dari Becket Fund for Liberty Religius
sehubungan dengan permintaan pengadilan
ulasan UU No. 1 / PNPS / 1965 tentang Pencegahan Penganiayaan Agama dan / atau Penistaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2010) pada
tanggal 19.
81 Lihat Permintaan ke Mahkamah Konstitusi untuk Melakukan Peninjauan Kembali atas
Hukum Penodaan Agama
1965, tertanggal 20 Oktober 2009; Daftar Bukti untuk Penggugat dalam permintaan Peninjauan
Kembali
UU Penodaan Agama 1965, tertanggal 20 Oktober 2009; Daftar Ahli untuk Penggugat dalam
permintaan
untuk Peninjauan Kembali Hukum Penodaan Agama 1965, tanggal 20 Oktober 2009.
82 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, seni. 3A dan 10 (1) (A). 83 Untuk analisis
mendalam tentang Mahkamah Konstitusi Indonesia dan proses peradilan
mengulas dalam dua tahun pertama operasinya, lihat Simon Butt, Peninjauan Kembali di
Indonesia: Antara
Hukum Perdata dan Akuntabilitas: Studi Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2005 (Tesis PhD,
University of Melbourne, 2007).
84 Undang-undang ini baru-baru ini diamandemen oleh UU 8/2011 tentang Amandemen UU
24/2003 tentang UU No.
Mahkamah Konstitusi. 85 Menurut UU 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman: lihat Tim
Lindsey, “Konstitusi Indonesia
Reformasi: Kekacauan Menuju Demokrasi ”(2002) 6 S.J.I.C.L.244 at 260-261 Pelamar dalam
kasus ini terdiri dari beberapa bantuan hukum dan hak asasi manusia
kelompok, termasuk Imparsial, 86 ELSAM, 87 PBHI, 88 DEMOS, 89 Setara Institute,
dan Yayasan Desantara, dipimpin oleh Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Para pelamar
menyusun argumen mereka di sekitar empat ketentuan dalam
Hukum Penistaan Saya akan membahas tiga argumen umum yang bisa dilihat itu
berkaitan dengan beberapa ketentuan utama Konstitusi.
A. Kebebasan Beragama: Artikel 28E dan 29
Pertama, para pemohon berargumen bahwa ketentuan Undang-Undang Penodaan Agama
bertentangan
hak atas kebebasan beragama.92 Para pemohon mengutip pasal 29 (2), yang merupakan
ketentuan asli tentang kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945,
yang menyatakan bahwa “Negara menjamin semua orang kebebasan beribadah, masing-masing
menurut keyakinannya sendiri ”. Hukum Penistaan bukanlah batasan yang diizinkan pada
hak kebebasan beragama.
Dalam pengajuan mereka ke pengadilan, mereka membahas panjang lebar tentang
prinsip-prinsip forum internum, kebebasan internal agama dan kepercayaan yang tidak dapat
dibatasi, dan forum externum, manifestasi eksternal agama
atau kepercayaan yang dapat dibatasi oleh Negara dengan alasan yang sempit. Mereka
menekankan bahwa forum internum adalah hak yang tidak dapat dicabut, yaitu Negara tidak
diizinkan membatasi forum internum, kebebasan berpikir pribadi atau internal,hati nurani,
agama, dan kepercayaan. Mereka mencatat bahwa pasal 18 (3) dari ICCPR memungkinkan
Negara untuk membatasi hak kebebasan beragama dengan alasan keselamatan, ketertiban,
kesehatan masyarakat atau moral. Namun mereka berpendapat bahwa Hukum Penistaan adalah
hal yang tidak diizinkan pembatasan hak karena membatasi kebebasan beragama hingga enam
agama. C. Kepastian dan Peraturan Hukum: Artikel 1 (3) dan 28D (1) Selain kebebasan
beragama dan batas-batasnya, para pemohon berpendapat bahwa Hukum Penistaan tidak
konsisten dengan aturan hukum (negara hukum) sebagaimana diatur dalam pasal 1 (3)
Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum ” Muhammad di
masa lalu dan belum dituntut di bawah Penghujatan Hukum. Menurutnya, penerapan Hukum
Penistaan bagi mereka yang ada di media merupakan pembatasan kebebasan pers, dan karena
itu ia menyamakan Hukum Penistaan terhadap "gigi yang longgar yang perlu dihilangkan".
Namun, tidak jelas mengapa kelima kasus ini dipilih dari semua kasus yang telah masuk ke
pengadilan sejak tahun 1998, kecuali kenyataan bahwa semua terdakwa
diwakili oleh Bantuan Hukum Indonesia.118 Pelamar juga disebut sebagai menyaksikan
seorang anggota kepercayaan mistis yang telah mengalami diskriminasi, meskipun dia belum
dituntut berdasarkan Hukum Penistaan. Saksi,Sardy, menjelaskan bahwa ia telah melamar
menjadi anggota Indonesia Angkatan Bersenjata Nasional (dulu dikenal sebagai ABRI,
sekarang dikenal sebagai TNI) tetapi dulu ditolak karena dia adalah anggota dari kepercayaan
mistis dan tidak mengidentifikasi dengan salah satu dari enam agama resmi.119 Namun, tidak
jelas bagaimana hubungan contoh ini untuk penggunaan atau penyalahgunaan Hukum
Penodaan Agama, kecuali untuk menyoroti realitas yang lebih luas diskriminasi dalam
kehidupan sehari-hari terhadap mereka yang tidak mematuhi satu dari enam agama yang diakui
oleh Negara di Indonesia.
Ada berbagai macam penyerahan yang dilakukan ke pengadilan yang mendukung penuh UU
Penodaan Agama. Ini termasuk pengajuan dan bukti ahli yang diberikan oleh Menteri Agama,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Direktur Jenderal Islam, Protestan dan Katolik,
serta staf lain dari Kementerian Agama. Perwakilan pemerintah ini menunjukkan minat yang
kuat dalam mempertahankan posisi Negara saat ini, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Penistaan.
Sejumlah pemimpin dari organisasi Islam seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan
Dewan Dakwah Islam Indonesia juga menyatakan dukungan kuat untuk Hukum Penistaan.
Pengajuan demi mempertahankan Hukum Penistaan juga dibuat oleh kelompok Islam radikal
atau garis keras, itu adalah, kelompok-kelompok yang mendukung penggunaan kekerasan untuk
memperkenalkan hukum Islam atau pembentukan Negara Islam. Ini termasuk Hizbut Tahrir
Indonesia dan Front Pembela Islam
Argumen yang dibuat oleh mereka yang mendukung Hukum Penistaan dapat diidentifikasi dan
diklasifikasikan ke dalam lima kategori atau posisi tentang hubungan antara Negara dan agama
sebagai berikut :
Referensi yang sering dibuat oleh pejabat pemerintah ke Indonesia sebagai negara
berdasarkan Pancasila, elemen pertama adalah "Percaya pada Tuhan Yang Mahakuasa".
Selain itu, beberapa Islamis radikal mengajukan banding ke Pancasila. Sebagai contoh,
menurut pendapat Dewan Dakwah Islam Indonesia, Indonesia didasarkan pada Pancasila
dan karenanya :
bukan negara Islam, bukan negara Kristen, bukan negara Hindu, bukan negara Buddha,
bukan negara Konfusianisme, dan bukan negara agama bukan negara sekuler melainkan
negara yang beragama (negara beragama) dan sebuah negara yang harus melindungi
mereka yang mengikuti agama.
Sejarah perdebatan tentang perbedaan antara agama dan kepercayaan juga relevan dengan
masalah penistaan karena banyak dari mereka yang dituduh berdasarkan Undang-Undang
Penistaan dicap sebagai “aliran kepercayaan” (kepercayaan mistis) atau “aliran sesat”
(kepercayaan menyimpang). Perbedaan sewenang-wenang antara agama dan keyakinan
mistis, dan antara ajaran "benar" dan "menyimpang", terus diperkuat oleh Kementerian
Agama, dan tetap menjadi dasar diskriminasi di Indonesia.
Perbedaan seperti itu menuntut para pemimpin agama untuk menentukan apakah suatu
ajaran itu menyimpang atau tidak, dan ini adalah bagaimana Majelis Ulama Indonesia
menggambarkan dirinya dalam kasus ini. Dewan menggambarkan perannya dengan cara
ini: "Ulama sebagai pewaris (pewaris) Nabi memiliki peran dan tanggung jawab penting
untuk membimbing komunitas Muslim" dan memainkan "peran aktif dalam menjaga
prinsip-prinsip Islam dan melindungi komunitas Muslim dari kesalahan." ajaran atau
kelompok yang menyimpang
Ia juga berpendapat bahwa umat Islam memiliki "hak" untuk tidak menghujat agama
mereka dan oleh karena itu Undang-Undang Penghujatan adalah pembatasan yang
diijinkan atas hak kebebasan beragama, merujuk pada pasal 28J (2) Konstitusi.
Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia, juga menentang
argumen pemohon dengan alasan bahwa "kebebasan beragama bukanlah kebebasan tanpa
batas"
Majelis Ulama Indonesia menekankan bahwa Hukum Penistaan tidak pernah digunakan
untuk menghukum Muslim Syiah (mayoritas Muslim Indonesia adalah Muslim Sunni)
atau Muslim yang mematuhi sekolah hukum Islam lainnya (mazhab), tetapi hanya
terhadap keyakinan menyimpang yang menghina Islam. Oleh karena itu ia berusaha
untuk membedakan antara perbedaan dalam mazhab hukum Islam yang berbeda, yang
tidak tunduk pada tuduhan penyimpangan, dan ajaran sekte di luar mazhab hukum ini,
yang dianggap menyimpang. Ini juga secara terbuka menghukum pelamar untuk argumen
mereka, yang menurut pendapatnya mempromosikan interpretasi Islam yang salah, dan
merekomendasikan bahwa mereka perlu mempelajari ajaran Islam lebih lanjut
Submisi yang dibuat oleh kelompok-kelompok Islam lain juga berfokus pada kebutuhan
untuk mencegah orang dari menghujat Islam, meskipun ini biasanya dibenarkan
berdasarkan agama daripada alasan hukum atau hak. Misalnya, Persis mengklaim bahwa
Hukum Penistaan diperlukan karena kebutuhan untuk mencegah kelompok menjiplak
atau menyalahgunakan ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits. Tuduhan semacam itu telah
diajukan terhadap kelompok-kelompok termasuk Ahmadiyah, Lia Eden dan Ahmad
Mushaddeq, seperti yang dibahas sebelumnya.
Bagian VII PENGAJUAN TERHADAP HUKUM PENGHUJATAN
Sebagian besar penyerahan terhadap Hukum Penghujatan, yaitu, untuk menghapuskan hukum,
dibuat oleh minoritas agama atau mereka yang akan mengidentifikasi diri mereka sebagai
Muslim liberal atau progresif. Minoritas agama berjumlah lebih dari sepuluh persen dari populasi
di Indonesia. Menurut Departemen Agama, pada tahun 2009, populasi adalah 88,7% Muslim,
5,7% Protestan, 3,02% Katolik, 1,7% Hindu,% Buddha, 0,09% Konfusianisme dan 0,11%
«lainnya» . Saya akan mengidentifikasi beberapa argumen umum tentang bagaimana Negara dan
agama harus berinteraksi di Indonesia, meskipun saya perhatikan bahwa tidak semua agama
minoritas mengajukan pengajuan ke pengadilan. Contoh ini penting karena telah ada sejarah
oposisi terhadap Dewan Protestan nasional menyatakan pendapat yang sama tentang keragaman
agama dan kesulitan interpretasi. Itu menyoroti fakta bahwa apa yang berarti «menghina agama»
tidak jelas dan telah secara luas ditafsirkan dan disalahgunakan. Dewan Protestan nasional juga
mempertanyakan apakah Negara memiliki hak untuk menentukan ajaran agama dan mendesak
pemerintah untuk lebih proaktif terhadap main hakim sendiri. kekerasan, yaitu, untuk mencegah
serangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap «menyimpang». Ini menekankan
perbedaan denominasi dan ajaran dalam agama Kristen, yang diklaimnya bukan penistaan
agama. Yang mengejutkan, tidak ada satu pun submisi yang dibuat oleh orang-orang Kristen dan
Muslim menyebutkan sejumlah besar orang Kristen yang telah dihukum karena menghina Islam
di Indonesia. Kedua, pengajuan yang dibuat oleh minoritas agama, seperti dewan Katolik
nasional, menekankan bahwa Undang-Undang Penistaan adalah pelanggaran hak untuk
kebebasan beragama karena itu memungkinkan mayoritas agama untuk secara efektif
mengkriminalkan ajaran agama minoritas. Mereka yang mendukung menghapuskan UU
Penodaan Agama berpendapat bahwa peran Negara adalah untuk melindungi dan tidak
mengkriminalkan minoritas. Orde Baru, banyak orang yang mengikuti kepercayaan mistis
dicurigai sebagai komunis dan anggota Partai Komunis Indonesia yang terlarang. Menurut
Kongres, banyak penganut kepercayaan mistis dibunuh atau dipenjara karena mereka dicurigai
sebagai komunis.
Negara agama, menyiratkan bahwa ada pemisahan antara keduanya. Hukum, sebagaimana
dibahas di atas, yang menekankan bahwa Indonesia adalah negara agama. Luthfi melanjutkan
untuk mengilustrasikan argumennya dengan beberapa contoh. Dia mencatat bahwa ketika nabi
Muhammad menyatakan dirinya sebagai seorang nabi, masyarakat di Mekah tidak menerima dia
dan menganggap dia «gila». Dia menyamakan Lia Eden dengan Nabi Muhammad, yaitu, bahwa
dia telah menyatakan dirinya sebagai namun pemimpin agama pada umumnya dipandang
sebagai pemimpin sebuah sekte karena praktik dan ajarannya yang tidak konvensional. Dia juga
menyebutkan Imam Ahmad bin Hambl yang dipenjara karena kepercayaannya, meskipun ia
sekarang diakui sebagai pendiri mazhab hukum Hanbali. Ini adalah upaya untuk menunjukkan
bahwa tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam telah dipenjara secara tidak adil di masa lalu
ketika negara-negara melibatkan diri dalam masalah agama, dan bahwa hukum yang
memungkinkan hal ini berlanjut harus dibatalkan.
Peradilan sangat berhati-hati dalam menangani kasus sensitif ini. Meskipun dinyatakan bahwa
UU Penistaan adalah konstitusional, tetap diakui bahwa ada kebutuhan untuk mereformasi dan
memperjelas UU Penistaan, tetapi menekankan bahwa ini adalah peran legislatif dan bukan
pengadilan. Harus diingat bahwa penghakiman diturunkan setelah serangkaian sidang pengadilan
yang dihadiri oleh sejumlah besar pejabat pemerintah, perwakilan dari banyak organisasi Islam,
dan kehadiran kelompok Islam radikal yang sering vokal dan mengganggu.
Keputusan pengadilan menggambarkan konfigurasi agama dan negara di Indonesia yang unik
dan khas. Pengadilan menggambarkan agama sebagai hal yang "sakral" dan "sensitif". Dicatat
bahwa "praktik agama di Indonesia berbeda dengan negara lain". Hal ini menjelaskan bahwa
Indonesia adalah negara dengan kepercayaan pada Tuhan dan bukan negara ateis. Indonesia
adalah kompromi antara negara sekuler dan negara Islam. Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia
mengizinkan hubungan timbal balik antara negara dan agama yang memungkinkan negara untuk
mengatur kegiatan masyarakat religius, sementara pada saat yang sama memastikan bahwa
agama yang diakui memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan negara. Pesan
keputusan ini dikirim ke negara lain, khususnya negara Barat, bahwa Indonesia memiliki
keunikan tradisi keagamaan dan negara lain tidak boleh campur tangan.
Bagian dari respon Indonesia yang dipegang pengadilan, adalah bahwa negara tidak mengakui
aetheisme atau hak untuk tidak memiliki agama. Keputusan pengadilan oleh karena itu selangkah
mundur bagi mereka yang menganjurkan hak untuk tidak memiliki agama, dengan tegas
pengadilan menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan kampanye untuk "kebebasan untuk tidak
memiliki agama" di Indonesia, dan bahwa fitur ini membedakan hukum Indonesia dari hukum
Barat.
Selain itu, bagian dari respon Indonesia termasuk kekuatan negara untuk mengatur masalah
agama, seperti pendidikan agama di sekolah negeri. Pengadilan menegaskan bahwa setiap anak
di Indonesia mempunyai hak untuk pendidikan agama baik di sekolah negeri maupun swasta.
Dalam keputusannya, para hakim membandingkan sistem pendidikan agama Indonesia dengan
situasi di Amerika Serikat. Pengadilan menyatakan sejak tahun 1960-an, Amerika telah melarang
ajaran agama di sekolah umum karena dianggap tidak konstitusional, dan terhadap hak untuk
kebebasan beragama dan hak untuk tidak memiliki agama. Pengadilan terus menekankan bahwa
hal ini tidak terjadi di Indonesia, melainkan bahwa di Indonesia setiap siswa memiliki hak untuk
pendidikan agama dalam agama nya, selama itu adalah salah satu dari enam agama yang diakui,
baik di sekolah umum atau swasta. Oleh karena itu, keputusan ini merupakan penegasan yang
signifikan dari keputusan pemerintah untuk menegakkan kelas pendidikan agama yang terpisah
bagi para penganut enam agama yang diakui di semua sekolah melalui UU 20/2003 tentang
pendidikan nasional.
Dalam pasal 28J (2) Konstitusi membatasi hak kebebasan beragama, berbeda dengan pasal 18 (3)
dari Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pernyataan ini sangat penting, karena
menunjukkan batas-batas pendekatan “hak asasi manusia” yang hanya didasarkan pada hukum
internasional di Indonesia. Hanya ada dua alasan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28J (2)
Konstitusi, yang mungkin menjadi dasar keputusan pengadilan, meskipun tidak secara eksplisit
dibahas dengan cara ini. Yang pertama adalah dasar "ketertiban umum". Keterbatasan
“ketertiban umum” didefinisikan secara luas untuk mencakup masalah keamanan nasional. Dari
awal persidangan, para hakim menyatakan keprihatinan bahwa "kekacauan" akan meletus jika
UU Penodaan Agama dibatalkan. Pengadilan setuju bahwa Negara memiliki hak untuk campur
tangan atau menafsirkan keyakinan atau keyakinan suatu kelompok dan melarang ajaran agama
itu untuk kepentingan ketertiban umum.
Landasan kedua yang secara implisit digunakan pengadilan untuk mengesahkan UU Penistaan
adalah “nilai-nilai agama”, yang hanya ditemukan dalam pasal 28J (2) Konstitusi dan bukan
dalam pasal 18 (3) dari ICCPR. Pengadilan menyatakan bahwa “pembatasan hak asasi manusia
berdasarkan pertimbangan nilai-nilai agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J (2) UUD
1945 adalah salah satu pertimbangan untuk membatasi hak asasi manusia”. Keterbatasan
berdasarkan "nilai-nilai agama" tampaknya telah menjadi pusat tanggapan pengadilan terhadap
pertanyaan apakah pengakuan enam agama resmi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
kelompok agama yang bukan agama resmi. Pengadilan menolak gagasan bahwa penyebutan
hanya enam agama sebagaimana diatur dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama
mendiskriminasi agama dan kepercayaan lain. Pengadilan beralasan bahwa meskipun enam
agama ini secara resmi didukung oleh Negara, ini tidak menghalangi atau melarang seseorang
untuk mempraktikkan agama atau kepercayaan lain, dan karena itu tidak merupakan
diskriminasi. Ini menyiratkan bahwa "nilai-nilai agama" dari enam agama yang diakui yang
dilindungi oleh Undang-Undang Penodaan Agama dibenarkan oleh pembatasan ini. Oleh karena
itu, kategori ini berbeda dari "nilai-nilai moral" dan, sejauh ini masalahnya, bertentangan dengan
batasan yang diizinkan tentang kebebasan beragama yang diakui oleh hukum internasional.
Pengadilan juga harus menangani beberapa persoalan teknis yang menyangkut keabsahan hukum
hukum penodaan agama sebagai tanggapan atas pengajuan pemohon bahwa UU penodaan agama
itu bukan bentuk hukum yang sah. Pengadilan memeriksa apakah kekuasaan yang diberikan
berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Penodaan Agama kepada Menteri Agama, Menteri Dalam
Negeri dan Jaksa Agung untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama untuk memperingatkan
suatu kelompok adalah sah sebagai hukum di Indonesia. Pengadilan membenarkan bahwa
meskipun Keputusan Bersama tidak disebutkan dalam hierarki hukum hukum di Indonesia,
sebagaimana diatur dalam pasal 7 (1) UU 10/2004 tentang Pembuatan Undang-Undang, ini tidak
membuatnya tidak sah tetapi hanya bersifat subordinasi untuk hukum yang lebih tinggi. Yang
terakhir dipertimbangkan oleh pengadilan terkait dengan masalah kebebasan berbicara. Dalam
mempertimbangkan apakah tindak pidana penodaan agama memungkinkan kriminalisasi
kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi dengan agama dan kepercayaan, pengadilan
menegaskan bahwa tujuan Undang-Undang Penodaan Agama bukan untuk membatasi hak, tetapi
alih-alih melindungi hak-hak umat beragama agar tidak dilanggar. Namun, perlindungan ini
tidak bisa dihindari dengan mengorbankan mereka yang dianggap menyimpang.
Ada satu perbedaan pendapat dalam kasus ini oleh satu-satunya hakim wanita Kristen di bangku
hakim, Hakim Maria Farida. Dalam putusan singkat sembilan halaman, Hakim Farida berselisih
atas dasar bahwa penerapan UU Penodaan Agama telah mengakibatkan pelanggaran hak atas
kebebasan beragama dalam beberapa kasus. Dia mencapai kesimpulan ini dengan terlebih dahulu
menelusuri sejarah Hukum Penodaan Agama, dan mencatat bahwa itu adalah instrumen hukum
yang sah yang dijadikan hukum oleh UU 5/1969. Dia kemudian menetapkan amandemen
Konstitusi tentang hak asasi manusia, dan hukum yang mengakui kebebasan beragama, seperti
dibahas di atas. Dia menemukan bahwa penyebutan hanya enam agama yang diakui dalam
Penjelasan Undang-Undang Penghujatan mengecualikan aliran (kepercayaan mistis) merupakan
diskriminasi. Dalam praktiknya, perlindungan hanya diberikan kepada pengikut dari enam
agama. Dia juga menyiratkan bahwa Undang-Undang Penistaan merupakan campur tangan
negara dalam ikut campur dalam agama.
Dr Melissa Crouch, seorang ahli dalam hukum penistaan agama Indonesia dari Universitas
NSW, mengatakan hukum penistaan agama telah "dipersenjatai" dalam beberapa tahun terakhir.
"Ini disebut 'efek Ahok', penggunaan hukum penistaan untuk menargetkan lawan politik,"
katanya.
Pembebasan Ahok adalah pengingat apa yang bisa terjadi. Dia pernah menjadi jokowi Jokowi
(julukan untuk Widodo) sebagai calon wakil presiden dan wakil gubernur. Jika semuanya
berjalan dengan baik, dia bisa menjadi wakil presiden. Ada semacam peluang yang terlewatkan.
untuk memiliki minoritas Kristen Cina [di jabatan tinggi]. "
Ahok saat ini ditahan di penjara Mako Brimob, sebuah penjara dengan keamanan tinggi yang
biasanya digunakan untuk para terpidana teroris.
Mantan gubernur bahkan telah meminta ratusan ribu pendukungnya untuk tidak lagi
memanggilnya dengan nama Tionghoa Hakka-nya, Ahok, melainkan memanggilnya "BTP" -
singkatan dari nama lengkapnya, Basuki Tjahaja Purnama - ketika dia dibebaskan.
IX. KESIMPULAN
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Penodaan Agama itu sah dan tidak
melanggar hak konstitusional atas kebebasan beragama. Ini berarti bahwa pemerintah
mempertahankan kewenangannya untuk melarang kelompok yang dianggapnya "menyimpang”.
Keputusan pengadilan berusaha keras untuk membingkai ulang hak atas kebebasan beragama
dalam konteks sosial dan historis Indonesia, dan untuk membenarkan pembatasan atas hak ini.
Tentu saja semua Negara menegaskan hak untuk membatasi kebebasan beragama sampai batas
tertentu, pertanyaannya adalah seberapa jauh. Ini masih belum jelas di Indonesia, karena
pengadilan tidak mengartikulasikan prinsip-prinsip yang jelas untuk menentukan kapan tindakan
Negara untuk membatasi kebebasan beragama seseorang akan diizinkan atau tidak. Hasil dari
kasus ini menunjukkan bahwa pengadilan telah mengijinkan penafsiran luas tentang batasan
yang sah atas kebebasan beragama. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Penistaan adalah
kompromi antara Negara dan para pemimpin agama, yang memungkinkan Negara untuk
membatasi kegiatan keagamaan dengan alasan "ketertiban umum" atau "nilai-nilai agama",
sementara juga mendelegasikan beberapa kekuatan kepada para pemimpin agama untuk
bertindak sebagai penjaga gerbang untuk mendefinisikan interpretasi "benar" dari agama mereka.
Kasus ini juga mencerminkan pergulatan antara visi yang saling bersaing tentang hubungan
antara hukum dan agama di Indonesia. Mengingat keragaman agama dan pluralisme masyarakat
Indonesia, ketegangan antara hukum dan agama ini kemungkinan akan tetap menjadi sumber
perdebatan, negosiasi, dan kontestasi di masa depan.