PENDAHULUAN
1
Dalam World Health Organinization(WHO)Global leprosy update 2014
terdeteksikasus kusta baru sebanyak 213.899(3,78) per 10000 penduduk. Data
statistik diterima dari 121 negara dari 5 wilayah WHO. Indonesia sebagai salah
satu negara dengan penyumbang kasus kusta terbanyak berada di urutan ketiga
dengan jumlah kasus baru tahun 2014 sebanyak 17.025. Sedangkan diurutan
pertama India sebanyak 125.785 kasus kusta baru dan diurutan kedua Brazil
sebanyak 31.064 kasus.[2]
Pada tahun 2014 dilaporkan 17.025 kasus baru di Indonesi, kusta dengan
83,5% kasus diantaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Jumlah kasus baru
kusta terbanyak di Provinsi Jawa Timur dengan 4.116 kasus lalu diikuti Jawa
Barat dengan 1.917 kasus.Sedangkan Indonesia bagian timur seperti Sulawesi
Selatan dan Papua juga mempunyai jumlah kasus baru yang tinggi. Di Provinsi
Sumatera Utara tercatat 176 kasus kusta baru.[3]
Dikarenakan kasus kusta mempunyai angka kejadian yang masih tinggi di
masyarakat, dan sifatnya yang menular, sehingga perlu dilakukan pelaporan kasus
kusta untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mencegah dan
mengatasinya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
adalah Mycobecterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai lini pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Penyakit ini sering disebut sebagai lepra, atau morbus Hansen.1
2.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan
masih belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu
melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua
adalah secara inhalaasii, sebab M. leprae dapat hidup beberapa hari dalam
droplet.1
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun,
umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Faktor-faktor yang bperlu
dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman penyebab, cara penularan,
keadaan social ekonomi, dan lingkungan, varian genetic yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinana
adanya reservoir di luar manusia.1
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat di urin.
Sputum dapat benyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktur
respiratorius. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang
dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan 11,39% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali.1
Kusta merupakan penyakit yag menyeramkan dan ditakuti oleh karena
terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kustabukan menderita
3
karena penyakitnya saja, tetapi juga kerena dikucilkan masyarakat
sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah
dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan adanya kerusakan yang
berulang-ulang pada daerah anastesik disertai paralisis atrofi otot.1
2.3 Etiologi
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai
sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial. M.leprae
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um, tahan asam dan alkohol
serta merupakan bakteri gram-positif.1
2.4 Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepart berhasil menginokulasikan M.leprae pada
kaki mencit, dan berkembang baik disektar tempat suntikan, dari berbagai
macam specimen, bentuk lesi maupun Negara asal penderita, ternyata
tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah
minimum M.leprae yang disuntikkan dan kalau melampaui jumlah
maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.1
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti
iradiasi 900 r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan
mengasilkan granuloma penuh kuman terutama bagian tubuh yan grelatif
dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor. Kuman tersebut
selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu prostulat
Koch, meskipun belum sepenuhnya dapat diketahui.1
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah sebab penderita yang memiliki kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, karena
respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma
setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
4
sebab itu penyakit kusta dapat digolongkan sebagai penyakit imunologik.
Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensiitas infeksinya.1
5
baik akan tampak gambaran klinis kea rah tuberkuloid, sebaiknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.1
6
(TT) TUBERCULOID TE (I)
(BT)
Lesi
- Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrate infiltrat; infiltrat
saja
- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak jelas
BTA Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif
- Lesi Kulit negative 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau negatif
7
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe dan bentuk, yaitu :[1]
TT : Tuberkuloid polar (bentuk yang stabil)
Ti : Tuberkuloid indefinite (bentuk yang labil)
BT : Borderline tuberkuloid(bentuk yang labil)
BB : Mid borderline(bentuk yang labil)
BL : Borderline lepromatous(bentuk yang labil)
Li : Lepromatosa indefinite(bentuk yang labil)
LL : Lepromatosa polar (bentuk yang stabil)
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+
sedangkan pausibasilar adalah tipe I (indeterminate), TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.[1]
8
sisi di kanan. Begitu pula dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada
beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya diambil. Sebagaimana
lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi,
lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum,
kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil
tinta, dan sebagainya.[1]
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menunjang
diagnosis kusta ialah :4
1. Pemeriksaan anestesi dengan menggunakan jarum atau air panas
2. Tes keringat dengan menggunakan pensil tinta; pada lesi akan hilang,
sedang pada kulit normal ada bekas tinta (tes Gunawan)
3. Pemeriksaan histopatologi, perlu untuk klasifikasi penyakit
4. Tes lepromin untuk klasifikasi penyakit
5. Pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan indeks bakteriologi (BI)
dan indeks morfologi (MI). pemeriksaan ini penting untuk menilai hasil
pengobatan dan menentukan adanya resistensi pengobatan.
9
Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea vesikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks.
Tipe TT ( makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis, lupus eritomatosus tipe discoid, atau pitiriasis rosea.
Tipe BT, BB, BL (infiltrate merah tidak berbatas tegas) : selulitis,
erisepelas, atau psoriasis.
Tipe LL ( bentuk nodula) : lupus eritomatosus sistemik, dermatomiositis,
atau erupsi obat.4
2.10 Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah
DDS (Diaminodifenil Sufon) kemudian klofazamin, dan rifampisin. DDS
mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952.
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative,
yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.
Untuk mecegah resistensi, pengobatan tuberculosis telah
menggunakan multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk
kustabaru dimulai pada tahun 1971.
Pada saat ini berbagai macam dan cara MDT dan dilaksanakannya
di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan
dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan adalah
resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling
banyak dipakai dan harganya terjangkau. Obat ini sesuai dengan para
penderita yang ada di negaa berkembangg dengan social ekonomi yang
rendah.
Adanya MDT ini adalah sebgai usaha untuk :
a. Mencegah dan mengobati resistensi
b. Memperpendek masa pengobatan
c. Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
10
a. Efek teraupetik obat
b. Efek samping obat
c. Ketersediaan obat
d. Harga obat
e. Kemungkinan penerapannya
Diaminodifenil Sulfon
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps
sensitive (persisten) dan relaps (resisten). Pada relaps sensitive penyakit
kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Secara klinis bakterios-kopik, histopatologik dapat dinyatakan
penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan
bakterioskopik positif kembali.1
Resistensi hanya terjadi pada kusta multi basiler, tetapi tidak paada
pausi basiler oleh karena SIS pemderita PB tinggi dan pengobatannya
relative singkt. Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder.
Resistensi primer terjadi bila orang yang ditularkan oh M.leprae yang telah
resisten dan, dan manifestasinya dapat dalam beberapa tipe (TT, BT,
BB,BL, LL) bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah
masih dapat diobati dengan dosis DDS yang tinggi, sedangkan pada derajat
resistensi yang tinggi DDS tidak dapat digunakan lagi. Resistensi sekunder
terjadi karena :
Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen
kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari
atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh
11
karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada
pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu
atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.1
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.1
Klofazimin
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962. Dosis
sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3
x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamsi sehingga dapat dipakai
pada penanggunagan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg- 300 mg/ hari
namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama
pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.1
Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan
warna kekuningan pada sclera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis
tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaantan penderita. Hal
tersebut disebabkan karea klofazimin adalah zat warna dan dideposit
terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi
bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan.
Efek samping lain yang hanya terjadi pada dosis tinggi, yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.1
Pemberian Multi Drug Treatment (MDT) pada pasien Kusta Multi
Basilar:
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
Diaminodifenil sulfon 100 mg setiap hari
Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, selanjutnya
diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg
setiap minggu
Mula –mula pemberian obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36
bulan dengan syarat bakterioskopis harus negative. Apabila positif,
12
pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negative. Selama
pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan secara
bakterioskopis minimal 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta
multi basiler ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang
relative sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika
dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10
tahun sampai seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut
Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut tanpa
pengobatan setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap
negative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).1
MDT untuk pasien pausi basilar (I,TT,, BT, dengan BTA negarif)
adalah :
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
DDS 100 mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama
pengobatan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal
setiap hari selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.1
13
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan.Penyebab pasti terjadinya reaksi
masih belum jelas. Diperkirakan sejumlah faktor pencetus memegang
peranan penting.6
14
pengobatanyang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan.
3 Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan sampai berat
ringan (sub-febris) atau disertai kelemahan umum
tanpa demam. dan demam tinggi
4 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodus
kulit menjadi meradang kemerahan, lunak dan
(merah), bengkak, nyeri tekan. Biasanya
berkilat, hangat,. pada lengan dan tungkai.
Kadang-kadang hanya Nodus dapat pecah.
pada sebagian lesi. Dapat
timbul bercak baru.
5 Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi.
berupa nyeri saraf dan
atau gangguan fungsi
saraf. Silent neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-)
ekstimitas
7 Peradangan pada Anestesi kornea dan Iritis, iridosiklitis,
mata lagoftalmos karena glaukoma, katarak dll.
keterlibatan N. V dan N
VII
8 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi,
organ lain ginjal, kelenjar getah
bening, dll.
2.12 Kecacatan
Program pemerintah untuk mengendalikan penyakit kusta sudah
berjalan ke arah yang semestinya, namun masalah stigma, diskriminasi dan
kecacatan masih menjadi masalah bagi orang yang mengalami kusta dengan
kecacatan.Beban akibat kecacatan kusta di Indonesia masih tinggi, bukan
hanya fisik yang berdampak pada aktivitas sehari-hari dan partisipasi sosial,
tetapi juga ekonomi dan psikis.Untuk penanganan kusta komprehensif mulai
dari kegiatan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif.Enhance
Global strategy WHO tahun 2011-2015 menyatakan bahwa rehabilitasi
menjadi bagian dari program pengendalian penyakit kusta.[6]
15
Menurut Internasional Classification of Function Disability and
Health (ICF), kecacatan adalah istilah yang dipakai untuk mencakup 3
aspek yaitu kerusakan struktur dan fungsi (impairment), keterbatasan
aktifitas (activity limitation) dan masalah partisipasi (participation
problem). Ketiga aspek ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Yang
dimaksud dengan faktor individu, misalnya usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan. Sedangkan faktor lingkungan adalah kebijakan pemerintah,
masyarakat sekitar, stigma serta kondisi lingkungan.[6]
Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan
atau kaki.Semakin lama waktu sejak saat pertama ditemukan tanda dini
hingga dimulainya pengobatan, semakin besar risikotimbulnya kecacatan
akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. 6
Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung
oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
M.leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering; sedangkan cacat
sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan
saraf, seperti ulkus dan kontraktur.6
Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak.
Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :
a. Infiltrasi langsung M.leprae ke susunan saraf tepidan organ
(misalnya; mata)
b. Melalui reaksi kusta
Secara umum fungsi saraf ada 3 macam, yaitu fungsi motorik
memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensoris memberi sensasi raba, nyeri
dan suhu serta fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar
minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang
terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi ketiganya.[6]
Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya
kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf.
16
Gambar2-2. Gangguan Fungsi Saraf Tepi[6]
2.13 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana
dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.4
BAB III
LAPORAN KASUS
17
Agama : Islam
Bangsa/ Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Desa tugu mulyo, kecamatan Lempuing
Tanggal kunjungan / jam : 22 Agustus 2016/ 11.00 WIB
3.2. Anamnesis
Diperoleh secara autoanamnesa pada tanggal 22 Agustus 2016, pukul 11.00
WIB.
3.2.1 Keluhan utama
Timbul luka kering yang hilang rasa pada telapak kaki kanan dan
kiri sejak 4 hari sebelum rumah sakit.
18
nyeri, dan tidak gatal. Pada permukaan tubuh yang timbul bercak tidak
dirasakan permukaan kulit yang menebal dan pasien mengatakan bahwa
pada kulitnya yang timbul bercak kerap permukaanya kering.
2 bulan yang lalu, pasien merasakan gatal pada sela-sela jari kaki
kanan dan kirinya. Pada tepi kakinya juga timbul bercak-bercak putih. Gatal
dirasakan hilang timbul. Keluhan pada dinding dada dan punggung tidak
membaik. Pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat cetirizine tablet
dimakan 1 kali dalam 1 hari. Setelah meminum obat selama kurang lebih 7
hari pasien mengatakan bahwa gatal pada tepi kakinya menghilang.
1 bulan yang lalu, pasien merasakan bercak keputihan yang timbul
pada tepi kaki menyebar ke permukaan kaki, ia juga mengatakan bercak
pada telapak kakinya hilang rasa atau terasa kebas, sehingga ia berinisiatif
untuk melakukan pengobatan secara tradisional yaitu dengan mengoleskan
arang panas pada telapak kakinya, ia juga kerap menyiramkan air panas
pada telapak kakinya, ia mengatakan bahwa keluhan bercak tidak
menghilang namun bercak berubah menjadi benjolan yang berisi cairan
yang gampang pecah, keluar cairan berwarna kuning jernih. Ia tidak
merasakan sakit pada kakinya.
3 minggu sebelum datang ke poli kulit Rs A Rivai, pasien mengaku
timbul luka pada telapak kaki kiri dan kanan, luka berukuran sebesar uang
logam, luka tidak terasa nyeri, pasien mengaku merasakan kebal pada
telapak kaki kanan dan kiriya. Pasien mengobati luka pada telapak kakinya
dengan cara merendam dengan air hangat namun luka pada telapak kaki
kanan dan kiri belum membaik, luka makin terlihat membesar, bengkak, dan
berair. Pasien tidak memiliki riwayat demam, batuk, dan pilek, pasien juga
menyangkal memiliki riwayat penyakit jantung dan kencing manis. Pasien
mengaku sering merokok 4 batang perhari.
3 hari yang lalu, pasien datang dengan keluhan timbul luka pada
telapak kaki kiri dan kanan, luka tidak berair, pada permukaan luka
dirasakan hilang rasa. Os kemudian berobat ke Puskesmas Teguh Jaya. Saat
di puskesmas pasien mengaku diberikan 3 macam obat tablet, berupa tablet
19
kecil berwarna kuning yang dikonsumsi 1 kali sehari (CTM), dexametasone
tablet 0,5 mg, dan vitamin. Pasien diberikan rujukan ke Rumah Sakit Kusta
Dr. Rivai Abdullah. Setelah mengkonsumsi obat yang berikan di puskesmas
pasien merasakan belum ada perbaikan pada tubuhnya.
20
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,6oC
Berat badan : 56 kg
B. Status Generalisata
Keadaan Spesifik
Kepala : normochepali
Mata : anemia (-/-), sklera ikterik (+/+), lagophthalmus (+/+)
Thorax : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat, oedem (-), claw hand (-), drop hand (-),
drop foot (-)
21
= makula eritem
22
= makula eritem
Tampak makula eritema, multiple, sirkumskrip, bentuk bulat dengan ukuran dari
terbsar sampai yang terkecil 6x4 cm – 3x4cm, konfluens.
23
Pada regio plantar dextra et sinistra tampak ulkus, multipel, sirkumskrip,
bentuk bulat dengan ukuran 2 – 2,5 cm, penyebarannya diskret
= ulkus
24
Pengambilan sampel dilakukan pada lesi aurikula kanan dan kiri, kemudian
pada jari tengah tangan kanan dan kiri, pada punggung dan dada pasien,
pada hari Senin 20 Agustus 2016. Pada pmeriksaan yang dilakukan
didapatkan hasil :
Bakteri indeks (BI)
1. Cuping telinga kanan :2
2. Cuping telinga kiri :2
3. Jari tengah tangan kanan : 1
4. Jari tengah tangan kiri :1
5. Punggung :1
6. Dada :1
25
2. Pemeriksaan Serologi
3.9. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pemberian Multi Drug Treatment (MDT) pada pasien Kusta Multi Basilar:
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
Diaminodifenil sulfon 100 mg setiap hari
Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, selanjutnya
diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg
setiap minggu
Nonmedikamentosa
- Pengobatan pada penyakit kusta multi basiler biasanya diberikan
24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat bakterioskopis
harus negatif. Apabila pada pemeriksaan bakterioskopis masih
didapatkan hasil positif pengobatan harus tetap dilanjutkan sampai
bakterioskopis negative
- Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit kusta ini adalah
penyakit yang menular, apabila terdapat keluarga pasien yang
memiliki keluhan yang serupa hendaknya segera memeriksakan
diri ke dokter untuk mencegah penyebaran penyakit yang
bertambah berat
- Menggunakan sarung tangan dan alas kaki dan berikan pelembab
pada bagian kulit yang kering
- Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan
tempat tinggal, merawat dan membersihkan luka pada telapak kaki
kanan dan kiri secara teratur.
26
3.10. Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
27
BAB IV
ANALISA KASUS
28
Pasien mengaku ada yang menderita keluhan yang serupa di
keluarganya yaitu adik kandung pasien. Keluhan yang sama terjadi pada
adik pasien sebelum pasien.
Pasien tidak tinggal serumah dengan adiknya namun mereka tinggal
bersebelahan.
Berdasarkan anamnesa diatas dapat diketahui bahwa penyakit yang
dideritanya sudah bersifat kronik karena sudah diderita semenjak 1 tahun,
bercak kemerahan pada dinding dada dan punggung adalah makula eritema,
bercak yang dikatakan tidak terasa gatal sendiri dapat mengarahkan keluhan
pada kejadian Morbus Hansen, ptyriasis vesicolor dan psoriasis.
Pada riwayat perjalanan penyakit pada pasien os mengatakan
bahwa pada permukaan bercak kulitnya tidak bersisik meskipun ukuranya
bertambah besar hal ini dapat menandakan bahwa keluhan psoriasis
kemungkian bukanlah penyebab dari becak yang timbul pada dinding dada
dan punggung, os juga mengatakan bahwa pada bercak yang ada pada
permukaan dinding kulitnya kerap terasa kering, keluhan kulit terasa kering
sendiri kemungkinan diakibatkan karena kerusakan pada bagian saraf
otonom, kemungkinan dikarenakan penyakit morbus hansen tetapi masih
diperlukan pemeriksaan tambahan pada pasien.
Berdasarkan anamnesa pada terkait keluhan yang muncul pada
kaki pasien, pasien mengatakan bahwa kakinya hilang rasa pada bagian
permukaan telapak kakinya, dapat dimaknai bahwa permukaan kaki
memang telah kehilangan fungsi saraf tibilalis posterior karena os sudah
tidak merasakan/anestesia pada telapak kakinya, ia juga telah mengalami
gangguan persepsi suhu pada bagian telapak kakinya dikarenakan os
mengatakan bahwa ia merasakan nyaman dengan pengobatan menggunakan
air panas dan arang panas. Dari anamnesa didapati gejalan anamnesa dengan
keluhan berupa anestesi hal ini mengarahkan keluhan pasien adalah seorang
pengidap morbus hansen/kusta.
Pada telapak kaki yang timbul kuka sendiri dapat dimaknai bahwa
kemungkinan luka yang timbul pada kaki pasien sendiri adalah ulkus yang
29
awalnya hanya berupa bercak, kemudian berubah menjadi bulla dan menjadi
ulkus , pada kaki pasien yang dicurigai sebagai pengidap morbus hansen
maka ketika ada luka akan sanat sulit sembuh, hal ini berkaitan dengan
adanya reaksi antara granuloma dan M.leprae sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan sekitar, ini dikenal sebagai deformitas primer.
Dari anamnesa juga didapati bahwa ada penderita kusta yang
pernah melakukan kontak dengan pasien, hal ini dapat dimaknai sebagai
faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan cara penularan, dan faktor resiko
tertular.
Anamnesis
Teori Kasus
- Kelainan kulit pada awalnya - Pasien mengeluh timbul bercak-
hanya berbentuk makula saja, bercak kemerahan pada dinding
infiltrat saja atau keduanya. dada dan punggung serta telapak
kaki.
- Masa tunas sangat bervariasi, - Pasien mengeluh timbul bercak
antara 40 hari sampai dengan 40 pada dinding dada dan punggung
tahun, namun umumnya terjadi sejak 1 tahun yang lalu.
beberapa tahun.
30
akibat infiltrasi granuloma yang
mendesak ke jaringan terdekat ,
misal kulit, tulang-tulang jari.
Jenis efloresiensi yang timbul pada kasus adalah makula eritematosus yang
timbul pada dinding dada dan punggung, pada telapak kaki didapati ulkus
sebagai bentuk lanjutan dari lesi makula eritema.
Status Dermatologis
Teori Kasus
Dapat dihitung dengan kulit sehat jelas Makula eritema, multiple, sirkumskrip,
ada bentuk bulat dengan ukuran dari
terbsar sampai yang terkecil 6x4 cm –
Asimetris 3x4cm, konfluens
Permukaan agak kasar, agak berkilat. Pada regio plantar dextra et sinistra
tampak ulkus, multipel, sirkumskrip,
Bentuk lesi timbul dengan batas agak bentuk bulat dengan ukuran 2 – 2,5
jelas cm, penyebarannya diskret
31
Pengambilan sampel dilakukan pada lesi aurikula kanan dan kiri,
kemudian pada jari tengah tangan kanan dan kiri, pada punggung dan dada
pasien,. Pada pemeriksaan yang dilakukan didapatkan hasil : dengan bakteri
indeks atau BI , Cuping telinga kanan berjumlah dua, Cuping telinga kiri
berjumlah dua, Jari tengah tangan kanan berjumlah satu, Jari tengah tangan
kiri berjumlah satu, Punggung berjumlah satu Dada berjumlah satu.
Maknanya bahwa terdapat 8 bakteri basil tahan asam yang
berbentuk solid pada tubuh pasien sehingga ini menandakan bahwa terdapat
8 bakteri yang hidup yang dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke
orang lain.
Hal ini sesuai dengan diagnosis Kusta dimana untuk pasien
mengeluhkan luka pada kaki yang tidak sembuh dan hilang rasa pada bagian
telapak kaki, ada riwayat kontak dengan penderita kusta sebelumnya. Untuk
efloresensinya juga mendukung dari teori yaitu tampak makula eritema yang
memiliki permukaan kulit yang kering dan kehilangan fungsi persyarafan
sensoris (anestesia).
Selain itu, menurut teori pada pasien dapat didiagnosis skabies
apabila ditemukannya minimal 1 dari 3 tanda cardinal sign kusta, yaitu :
1. Lesi kulit yang mati rasa, bercak hipopigmentasi atau ertematosus,
yang dapat bersifat kurang rasa (hipoestesi) ataupun tidak ada rasa
(anestesia).
2. Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf, gangguan fungsi
saraf berupa sensori (anestesia), motorik (parase/paralisis). Otonom
(kulit kering).
3. Basil Tahan Asam positif
32
kaki pasien didapati hilang rasa atau anestesia Pada pemeriksaan bta
dengan kerokan kulit didapati 8 bakteri solid/hidup, Sehingga ditemukan 3
dari 3 cardinal sign untuk mediagnosis pasien dengan diagnosis Morbus
Hanseen tipe multi basilar
Sesuai dengan teori, penatalaksanaan kasus Morbus Hanseen biasanya
diberikan penatalaksanaan non medikamentosa/umum berupa Menerangkan
kepada pasien bahwa penyakit kusta ini adalah penyakit yang menular,
apabila terdapat keluarga pasien yang memiliki keluhan yang serupa
hendaknya segera memeriksakan diri ke dokter untuk mencegah penyebaran
penyakit yang bertambah berat, menggunakan sarung tangan dan alas kaki
dan berikan pelembab pada bagian kulit yang kering, menerangkan
pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal, merawat
dan membersihkan luka pada telapak kaki kanan dan kiri secara teratur.
Pada terapi medikamentosa pada pasien diberikan obat terapi multi drag
threatment (MDT) dengan tujuan mencegah dan mngobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan dan mempercapat masa rantai penularan.
1. Diaminodifenil sulfon 100 mg setiap hari DDS merupakan terapi anti
kusta pilihan utama pada terapi kusta resistensi biasanya hanya terjadi
pada kasus multi basilar
2. Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan, merupakan obat
yang dikombinasikan dengan DDS dengan tujuan mempercepat dosis
terapi yag diinginkan, tidak boleh diberikan sendirian, dan tidak boleh
diberikan setiap minggu mengingat efek sampingnya.
3. Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, selanjutnya
diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg
setiap minggu, bersifat anti-inflamasi , memiliki efek samping warna
merah kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sclera, apalagi pada
dosisi tinggi
Dengan ada obat batan anti-inflamasi maka pengobataan menjadi
lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika
sudah ada kontraktur dan ulkus kronik maka pronosis menjadi kurang baik.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih. A., I Made Wisnu, dkk. 2010. Kusta. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal : 73-88.
2. World Health Organization. Weekly epidemiological record World Health
Organization. Global leprosy update2014: need for early case detection.
2015; (36): 461-7. (dariwww.who.int/werdiakses pada 20 Agustus 2016)
3. Yudianto, Budijanto D, Hardhana B, et al. Profilkesehatan Indonesia 2014:
Angkaprevalensidanangkapenemuankasusbarukusta (NCDR) tahun 2008-
2014. Jakarta: KementrianKesehatan RI; 2015. 144 p. (daridepkes.go.id
diaksespada 20 Agustus 2016)
4. Siregar. 1991. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC
5. Kartowigno, Sunarto. 2011. Morbus Hansen. Dalam : Sepuluh Besar
Kelompok Penyakit Kulit. Bagian/ Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Halaman :
181.
6. Oentari W, Menaldi SL. Kapita selekta kedokteran I. Ed ke4.Tanto C, et al,
editor. Jakarta: media Aesculapius, 2014. Halaman : 312.
35