Anda di halaman 1dari 3

Balita 

adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling hebat dalam
tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5 tahun (Mitayani, 2010). Balita merupakan salah
satu kelompok umur yang rawan mengalami gangguan kesehatan dan gizi. Karena pada masa
ini kebutuhan yang diperlukan mereka semakin meningkat (Alamsyah et al., 2017).
Masalah gizi pada anak balita sangat berbeda sifatnya dengan orang dewasa karena
masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenali (Sari et al., 2017). Masalah gizi yang dapat
terjadi pada balita adalah tidak seimbangnya antara jumlah asupan makan atau zat gizi yang
diperoleh dari makanan dengan kebutuhan gizi yang dianjurkan pada balita. (Puspasari &
Andriani, 2017). Gizi adalah komponen kimia yang terdapat dalam zat makanan yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk perkembangan dan pertumbuhan (Sari et al., 2017).
Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat (Sari et al., 2017). Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam
pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak (Sari et
al., 2017). Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui dan diperhatikan oleh
orang tua maupun pemerintah (Wulandari & Prasetyo, 2018). Jika gizi balita kurang mencukupi
maka balita akan mengalami gizi buruk yang mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki saat anak beranjak dewasa, kurang gizi pada masa emas ini bersifat irreversible (tidak
dapat pulih) (Badrul et al., 2019).
Pengukuran status gizi balita dapat diukur dengan menggunakan standar antropemetri.
Pengukuran antropemetri secara umum berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). (Irfiani & Rani,
2018). Antropometri banyak digunakan untuk mengukur status gizi anak dikarenakan prosedur
yang digunakan sangat sederhana dan aman, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli,
menghasilkan data yang tepat dan akurat serta dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat
gizi di masa lampau. Parameter yang sering digunakan yaitu umur, berat badan, tinggi badan,
dan jenis kelamin (Sari et al., 2017).
Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun UNICEF menyoroti isu anak, pangan, dan gizi.
Didapatkan sepertiga anak balita masih mengalami malnutrisi yaitu stunting, wasting, ataupun
berat badan berlebih, sementara dua pertiganya berisiko menderita malnutrisi. (unicef) Status
Anak Dunia 2019
Indonesia telah mengalami kemajuan dalam mencapai target stunting, tetapi 30,8% anak
di bawah usia 5 tahun masih terkena dampaknya, lebih tinggi dari rata-rata kawasan Asia
(21,8%). Indonesia juga telah mencapai beberapa kemajuan dalam mencapai target kurus, tetapi
10,2% anak di bawah usia 5 tahun masih terkena dampaknya, lebih tinggi dari rata-rata kawasan
Asia (9,1%). (global nutrition report)
Masalah gizi buruk saat ini masih menjadi masalah nasional karena masih terjadi
dibeberapa wilayah di Indonesia (Wulandari & Prasetyo, 2018). Hasil Pemantauan Status Gizi
(PSG) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2017, yaitu persentase gizi
buruk pada balita usia 0-59 bulan sebesar 3,8% dan persentase gizi kurang sebesar 14,0%. Hal
tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang
diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa persentase gizi buruk pada
balita usia 0-59 bulan di Indonesia adalah 3,9%, sedangkan persentase gizi kurang adalah 13,8%.
Untuk persentase balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2018
adalah
11,5% dan 19,3%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sangat pendek sebesar
9,8% dan balita pendek sebesar 19,8%. Persentase balita sangat kurus dan kurus usia 0-59 bulan
di Indonesia tahun 2018 adalah 3,5% dan 6,7%. Kondisi ini cenderung mengalami kenaikan jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dimana persentase balita sangat kurus sebesar 2,8% dan
kurus sebesar 6,7%. (profil kesehatan Indonesia 2019)
Menurut Hasil Riskesdas tahun 2018 presentase status gizi pada balita usia 0-59 bulan
Provinsi Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut: gizi buruk 5,5 %, gizi kurang 16,3 %,
sangat pendek 12,7 %, pendek 21,3%, sangat kurus 4,0 %, kurus 9,9%. (Riskesdas, 2018)
Dari 13 kabupaten dan 1 kota yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten
Kotawaringin Timur menduduki peringkat ketiga untuk persentase tertinggi status gizi kurang
dan balita pendek serta menduduki peringkat keempat untuk persentase balita kurus pada balita
usia 0-59 bulan tahun 2019, adapun persentase tersebut adalah 18,8 % gizi kurang, 27,1 % balita
pendek, dan 10,2 % balita kurus. (Profil Kesehatan Kalteng, 2019).
Jika diamati dengan seksama Kabupaten Kotawaringin Timur masuk dalam 4 besar
dalam kategoori masalah status gizi yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah, hal ini perlu
diperhatikan oleh semua pihak termasuk tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam
memberikan pelayanan. Seperti halnya Puskemas yang memiliki peran sangat penting dalam
memantau tumbuh kembang serta status gizi pada balita melalui penimbangan berat badan dan
ukur tinggi badan, hal ini dikarenakan puskesmas mempunyai tugas pokok untuk melakukan
pendataan dan penilaian status gizi pada balita, jika hasil pendataan tersebut terdapat masalah
status gizi maka tenaga kesehatan akan cepat memberikan solusi agar status gizi pada balita
menjadi lebih baik.
Dari data yang diperoleh tahun 2018 di puskesmas ketapang 2 Kabupaten Kotawaringin
Timur terdapat 81 balita yang ditimbang serta diukur tinggi badan dan didapatkan hasil
pravelensi anak balita yang mengalami gizi kurang sebanyak 10 balita (12%), balita pendek
terdapat 19 balita (23%), dan balita kurus terdapat 3 balita diukur (4%). (Profil Kesehatan Kotim,
2019). Oleh sebab itu peneliti tertarik menemukan alasan meneliti di puskesmas ketapang 2
Kabupaten Kotawaringin Timur dengan judul “Gambaran Status Gizi Pada Balita Usia 12-59
Bulan Di Puskesmas Ketapang 2 Kabupaten Kotawaringin Timur”

Mitayani, 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai