Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ARTIKEL

TENTANG
“H&M SAMPAI NIKE TERANCAM DIBOIKOT DI CINA KARENA PROTES
KERJA PAKSA DI XINJIANG”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1 :

CANDRA RIOKING 1816040045

AFIFA ULYA 1816040046

ALDI REZKI 1816040054

DEFRI SUSENO 1816040055

MAUDI SARAH 1816040056

SHANIA ANDINI 1816040061

RONI SAPUTRA 1816040074

DOSEN PENGAJAR :

Fajri Hidayat

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH B


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN IMAN BONJOL PADANG
1441H/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’Alamin, Segala Puji dan syukur saya ucapkan atas Kehadirat
Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat, kurunia, serta taufik hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan Tugas Makalah Artikel yang berjudul “H&M Sampai Nike Terancam
diboikot di Cina karena Protes Kerja Paksa di Xinjiang” Dengan sebatas kemampuan dan
pegetahuan yang dimiliki.

Saya menyadari bahwa tugas ini memiliki kekurangan kekurangan dan jauh dari apa
yang Bapak dan saya harapkan. Untuk itu saya berharap Kritik dan saran dari Bapak agar
makalah ini ada perbaikan di masa datang, karena tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Lubuk Basung, 13 April 2021

Penyusun

Kelompok 1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Kerja paksa adalah melakukan pekerjaan di bawah ancaman sanksi atau
hukuman di mana pekerja tidak memiliki kebebasan untuk menyepakati pelaksanaan
pekerjaan atau dengan kata lain pekerjaan yang tidak dilakukan dengan suka rela.
Contoh sanksi hukuman dapat mencakup ancaman kekerasan , atau pembayaran upah
ditunda. Penyitaan atau penahan Dokumen pribadi pekerja seperti akta kelahiran,
Ijazah sekolah atau Kartu tanda Penduduk juga dapat dikategorikan ancaman kerja
paksa karena pekerja mungkin tidak bebas untuk meninggalkan pekerjaan mereka
atau untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia telah diatur tentang kebebasan individu untuk memilih pekerjaannya
sehingga dengan adanya pengesahan Undang-Undang tersebut tidak ada yang boleh
melanggarnya.
Indonesia telah mengesahkan dua konvensi ILO mengenai larangan kerja
paksa yaitu konvensi kerja paksa No. 29 tahun 1930 (K29), dan konvensi
penghapusan kerja paksa No. 15 tahun 1957 (K150). Memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan kehendak mereka dengan
ancaman hukuman dapat menjadi tanda dari kerja paksa. Meskipun paksaan untuk
bekerja dilakukan waktu saat kerja biasa atau kerja lembur.
Boikot atau pemulauan adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli,
atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi sebagai wujud protes atau
sebagai suatu bentuk pemaksaan. Kata ini berasal dari serapan bahasa Inggris boycott
yang mulai digunakan sejak "Perang Tanah" di Irlandia pada sekitar 1880 dan berasal
dari nama Charles Boycott, seorang agen lahan (estate agent) untuk tuan tanah Earl
Erne. Boikot juga bisa diartikan sebagai penolakan kerja sama. Berdasarkan hal
tersebut, didalam makalah ini kita akan membahas tentang”H&M sampai Nike
Terancam Diboikot di Cina karena Protes Kerja Paksa di xinjiang”.
1.1 Rumusan Masalah

1. Apa penyebab H&M, Nike, Adidas menghadapi terancam boikot di cina?


2. Bagaimana terjadinya tuduhan kerja paksa untuk memproduksi kapas di Xinjiang?
3. Bagaimana hubungan dari artikel tersebut dengan etika bisnis?

1.2 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui penyebab H&M, Nike, Adidas menghadapi terancam boikot di
cina
2. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya tuduhan kerja paksa untuk memproduksi
kapas di Xinjiang
3. Buntuk mengetahui bagaimana hubungan dari artikel tersebut dengan etika bisnis
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

Tentang Artikel: H&M sampai Nike terancam Diboikot di Cina Karena Protes Kerja
Paksa di Xinjiang.

Penulis: Eka Yudha Saputra.

Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1445987/hm-sampai-nike-terancam-
diboikot-di cina-karena-protes-kerja-paksa-di-xinjiang

2.1 Pembahasan Artikel

H&M, Nike, Adidas, dan merek pakaian besar Barat lainnya menghadapi boikot di
Cina karena memprotes penggunaan tenaga kerja paksa untuk memproduksi kapas di
Xinjiang. H&M dan Nike mengatakan beberapa bulan yang lalu bahwa mereka prihatin
dengan tuduhan bahwa kerja paksa telah digunakan untuk memproduksi kapas di Xinjiang.
H&M multinasional Swedia, pengecer pakaian terbesar kedua di dunia, telah ditarik dari
toko-toko e-commerce besar di Cina, dan seorang selebriti terkemuka telah memutuskan
hubungan dengan merek tersebut. Nike dan Adidas, di antara merek lain, juga menghadapi
kritik keras, Reuters melaporkan, 25 Maret 2021. Warganet Cina mendesak pemerintah
memblokir merek asing itu karena mencemari nama Cina, setelah pengguna internet
menemukan pernyataan yang mereka buat di masa lalu perihal Xinjiang.

Dikutip dari CNN, kemarahan itu muncul setelah sebuah kelompok yang terkait
dengan Partai Komunis Cina yang berkuasa mengunggah pernyataan dari H&M tentang
Xinjiang di situs media sosial Cina, Weibo. Dalam pernyataan yang dirilis pada September,
H&M mengatakan bahwa mereka "sangat prihatin" atas laporan kerja paksa dalam produksi
kapas di Xinjiang. Tidak jelas mengapa pernyataan H&M kembali ke mata publik, tetapi
insiden ini bertepatakan ketika ketegangan diplomatik antara Cina dan Barat telah meningkat.
Dalam unggahan media sosial yang viral tentang H&M, Liga Pemuda Komunis Cina
mengecam sikap perusahaan tersebut. "Menyebarkan desas-desus untuk memboikot kapas
Xinjiang, sambil mencoba mencari untung di Cina? Angan-angan!" kata unggahan itu,
dikutip dari CNN.
Komentar tersebut memicu banjir kritik yang ditujukan pada H&M dari pengguna
media sosial Cina, termasuk tagar viral yang dibaca lebih dari 1 miliar kali: "Saya
mendukung kapas Xinjiang”. "Pakaian H&M adalah kain compang-camping," kata salah satu
komentar Weibo yang paling disukai. "Mereka tidak pantas mendapatkan kapas Xinjiang
kami!" Pada Kamis pagi, Nike dan H&M masing-masing kehilangan dua duta merek Cina
mereka. Dilaporkan ABC News, aktor Cina Huang Xuan mengumumkan bahwa dia
memutuskan hubungannya dengan H&M dan mengatakan bahwa dia "dengan tegas
menentang segala upaya untuk mendiskreditkan negara." Sementara idola pop Wang Yibo
menyusul langkah Huang dan memutuskan hubungannya dengan Nike pada hari Kamis.

Awal pekan ini, Cina membantah tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh
pejabatnya di wilayah barat Xinjiang setelah Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, dan
Kanada menjatuhkan sanksi kepada para pejabat. Beijing membalas dengan sanksi
pembalasan terhadap anggota parlemen, akademisi, dan institusi Eropa. Beberapa pengguna
internet di Cina mengatakan mereka akan berhenti membeli Nike dan akan mendukung
merek lokal seperti Li Ning dan Anta, sementara yang lain mengatakan kepada Adidas untuk
meninggalkan Cina. Saham Anta Sports Products Ltd dan Li Ning Co melonjak, sementara
saham Adidas, Inditex dan H&M turun ketika pasar Eropa dibuka pada hari Kamis, menurut
laporan Reuters. Tabloid pemerintah Cina, Global Times, mengatakan Inditex Spanyol,
pemilik Zara, telah "diam-diam menghapus" pernyataan di Xinjiang dari situs web berbahasa
Inggris dan Spanyol. Inditex tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters.

Pengguna internet Cina juga menargetkan Better Cotton Initiative (BCI), sebuah
kelompok yang mempromosikan produksi kapas berkelanjutan yang mengatakan pada
Oktober mereka menangguhkan persetujuan kapas yang bersumber dari Xinjiang untuk
musim 2020-2021, dengan alasan masalah hak asasi manusia. Anggota BCI termasuk Nike,
Adidas, H&M, dan Fast Retailing Jepang. "Jika Anda memboikot kapas Xinjiang, kami akan
memboikot Anda. Entah Adidas keluar dari BCI, atau keluar dari Cina," tulis seorang
pengguna internet. Nike, Adidas dan BCI tidak menanggapi permintaan komentar.

H&M mengatakan pada hari Rabu bahwa mereka menghormati konsumen Cina dan
berkomitmen untuk investasi dan pengembangan jangka panjang di Cina. Tetapi pada Kamis
pagi, H&M tidak ada di beberapa peta pencari lokasi toko Cina. Pencarian toko H&M di
Baidu Maps tidak membuahkan hasil. Toko resmi pengecer di Alibaba's Tmall, sebuah
platform e-niaga, tidak dapat diakses.
Pasar Cina yang besar dan menguntungkan semakin penting bagi merek internasional
karena ritel di tempat lain di dunia masih terpukul oleh pembatasan virus corona.
Perdagangan Cina pulih dan berkembang pesat di sebagian besar tahun 2020 setelah berhasil
mengendalikan pandemi di dalam perbatasannya sendiri. Kuartal terakhir saja, pendapatan
Nike di Greater China melebihi pendapatannya di AS dan Kanada lebih dari US$ 3 juta (Rp
43 miliar) meskipun penjualan yang kuat di dalam negeri, ABC News melaporkan.

Pada briefing media harian di kementerian luar negeri Cina, juru bicara Hua
Chunying, ketika ditanya tentang H&M, menunjukkan foto orang kulit hitam Amerika
sedang memetik kapas. "Ini terjadi di AS ketika budak kulit hitam dipaksa untuk memetik
kapas di ladang," katanya. Hua kemudian mengangkat foto kedua ladang kapas di Xinjiang.
"Lebih dari 40% kapas di Xinjiang dipanen dengan mesin, jadi dugaan kerja paksa tidak ada,"
kata Hua. People's Daily, surat kabar utama Partai Komunis Cina, meluncurkan kampanye
media sosial untuk mendukung kapas yang bersumber dari Xinjiang. Gambar "Saya
mendukung kapas Xinjiang" yang diunggah oleh surat kabar di mikroblog Weibo yang mirip
Twitter telah menarik sekitar 2,2 juta suka.

Pengecer Jepang Muji, yang dimiliki oleh Ryohin Keikaku Co, mengatakan kepada
Global Times bahwa mereka menggunakan kapas Xinjiang, mendapat pujian dari pengguna
internet Cina, yang memuji "naluri bertahan hidup" perusahaan. Ryohin Keikaku baru-baru
ini melakukan uji tuntas untuk pabrik Xinjiang, yang memiliki hubungan tidak langsung
melalui rantai pasokannya, dan juga menugaskan kelompok audit independen untuk
melakukan audit di tempat, tetapi tidak menemukan masalah yang signifikan, kata
perusahaan itu kepada Reuters pada Kamis. Cina memproduksi 22% pasokan kapas dunia
dan lebih dari 80% kapas Cina berasal dari Xinjiang, ekspor terbesar di kawasan itu, menurut
laporan ABC News.Kelompok hak asasi manusia telah berulang kali menuduh Beijing
menahan Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di wilayah tersebut di kamp
"pendidikan ulang" dan menggunakan mereka sebagai pekerja paksa, yang mereka klaim
sebagai bagian dari teknologi global dan rantai pasokan ritel, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Sanksi baru-baru ini dari Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Uni Eropa atas
Xinjiang telah memicu ketegangan baru dari pemerintah Cina, yang menyebut kamp tersebut
sebagai "pusat pelatihan kejuruan" yang dirancang untuk memerangi kemiskinan dan
ekstremisme agama.
3.1 H ubungan Artikel Dengan Etika Bisnis

Pada saat sekarang ini perkembangan bisnis sangatlah pesat, bisnis itu sendiri bisa
memberikan dampak positif maupun negatif bagi pelaku bisnis itu sendiri maupun bagi
orang lain. Dampak positif yang bisa kita rasakan yaitu pelaku bisnis itu sendiri akan
mendapatkan keuntungan dari bisnis yang dijalankannya, memenuhi kebutuhan kita
sebagai konsumen, membuka lapangan pekerjaan sehingga mengurangi pengangguran,
membantu membangun perekonomian negara, menambah pendapatan negara melalui
pajak dan sebagainya. Sama-sama kita ketahui bahwasannya dahulu tujuan dari bisnis
intu sendiri adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi hal tersebut tidak
berlaku pada saat ini, bisnis harus mengikuti aturan-aturan yang ada dalam bisnis, yaitu
etika bisnis itu sendiri. Pada saat ini masyarakat lebih haus akan nilai-nilai moral dalam
bisnis itu sendiri, dikarenakan banyaknya kasus penyelewengan perusahaan diberbagai
negara yang telah terjadi.

Dalam kasus diatas membahas bahwasannya merek H&M dan Nike diboikot di Cina
dikarenakan protes mengenai kerja paksa di Xinjiang, menurut mereka upah yang
diberikan tidaklah sebanding, tetapi hal tersebut dibantah oleh pihak cina. Tetapi hal
yang aneh adalah kerja paksa yang dituduhkan oleh merek tersebut merupakan pemasok
dari bahan baku produk mereka. Terlepas dari benar atau tidaknya berita tersebut sangat
banyak kaitannya dengan etika bisnis dan profesi. Jika kerja paksa tersebut benar adanya
maka sangat banyak prinsip-prinsip etika bisnis yang dilanggar dalam kasus tersebut
yaitu:

1. Pelanggaran terhadap kode etik sumber daya manusia. SDM memiliki peran yang
sangat penting dalam sebuah bisnis, tanpa adanya sumber daya manusia maka bisnis
tersebut tidak akan bisa berjalan dan mencapai tujuannya. Oleh karenanya
penghargaan atau penghormatan terhadap SDM sangatlah diperlukan. Dalam kasus
diatas jelas-jelas telah melanggar kode etik SDM yaitu upah adanya kerja paksa yang
dilakukan serta upah yang tidak sesuai.

2. Pelanggaran prinsip keadilan. Dapat dilihat bahwasannya kerja paksa dan pemberian
upah yang tidak sepadan merupakan bentuk ketidakadilan.
3. Pelanggaran prinsip saling menguntungkan. Sebelum memulai bisnis kita harus
memikirkan dampaknya baik bagi kita maupun orang lain. Tidak boleh jika bisnis
kita tersebut hanya memberikan keuntungan bagi kita tetapi melanggar hak atau
merugikan orang lain.

4. Tidak menghormati hak-hak orang lain. Jelas terlihat bahwasannya kasus kerja paksa
tersebut merupakan tindakan yang tidak menghormati hak-hak orang lain.

5. Melanggar prinsip integritas moral. Prinsip ini merupakan prinsip untuk tidak
merugikan dalam segala tindakan dalam bisnis.

Oleh sebab itu dalam berbisnis kita harus bisa mengetahui aturan-aturan dan etika
dalam berbisnis, sehingga bisnis yang kita lakukan dapat memberikan dampak positif
bagi kita maupun masyarakat banyak.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan, penulis dapat menyimpulkan bahwasannya dalam
berbisnis terdapat berbagai macam aturan-aturan dan etika-etika bisnis yang harus
dapat dipatuhi.

3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu agar dalam berbisnis kita bisa mematuhi
prinsip dan etika bisnis yang ada agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

https://dunia.tempo.co/read/1445987/hm-sampai-nike-terancam-diboikot-di-cina-
karena-protes-kerja-paksa-di-xinjiang

Suwarto.2010.Hubungan industrial dalam praktik. Publisher:Asosiasi Hubungan


Industrial Indonesia.237

David Shirley.2012.Panduan Perundang-undangan Ketenagakerjaan. Jakarta: Better


Work Indonesia.
Friedman, M. Consumer Boycotts: Effecting Change through the Marketplace and the
Media. London: Routledge, 1999.
Hoffmann, S., Müller, S. Consumer Boycotts Due to Factory Relocation. Journal of
Business Research, 2009, 62 (2), 239–247.

Anda mungkin juga menyukai