NIM : 190510050
Semester : II (Dua)
Kelas :1A
Mata Kuliah : Logika dan Bahasa
Dosen : Anton Moa, Lic. S. Th.
1
Lesta Joseph Sembiring, Mari Mencintai Bahasa Indonesia ([tanpa tempat terbit]: [tanpa penerbit],
[tanpa tahun terbit]), hlm. 4 (Diktat).
2
Saut Pasaribu, Peradaban Barat Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan (Bantul: Kreasi
Wacana, 2012), hlm. 5.
1
Philosophicus, “Die, Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meine Welt”3, (Batas
bahasaku ialah batas duniaku). Beberapa ahli juga mengungkapkan paham yang berbeda
seperti Ernst Cassier, misalnya, menyebut manusia sebagai Animal Simbolicum, yakni mahluk
yang menggunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan lebih luas daripada Homo
Sapiens (mahluk yang berpikir). Hal ini terjadi karena dalam kegiatan berpikirnya manusia
menggunakan simbol.4 Karena itu bahasa dalam kehidupan manusia sangat penting. Tanpa
bahasa boleh dikatakan manusia tidak ada. Seperti pendapat seorang ahli bahasa, Aldous
Huxley, yang menyatakan bahwa, “tanpa bahasa, manusia tidak berbeda dengan anjing dan
monyet”.5
Setelah melihat pemaparan tentang bahasa di atas, apa yang dapat kita gambarkan
sekaitan dengan Hermeneutika “seni memahami”. Bahasa adalah sesuatu yang harus kita
pahami. Bahasa merupakan alat komunikasi tetapi tidak boleh di tafsir secara sembarangan
sebab bisa menimbulkan makna yang salah. Menurut Hebermes, kita tidak dapat menerangkan
hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak mampu membuat interpretasi
atas hal-hal tersebut. Sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis
terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan
pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi
satu.6
Manusia harus senantiasa menafsirkan (membuat interpretasi) karena ia selalu harus
menempatkan diri dalam konteks yang terus berubah. Menurut Schleiermacher, pemahaman
adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali
ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan.7 Pengalaman hermeneutik
melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, linguistik, tindakan dan pengalaman.8 Ketiga jenis
pemahaman ini dikutip Hebermes dari Dilthey yang juga diperdalam dalam tulisan ini
3
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (Translated by D. F. Pears and B. F.
McGuinness), (London: Routledge Classics, 2001), hlm. 115.
4
Ernst Cassier, An Essay on Man (New Heaven, Yale University Press, 1994).
5
Aldous Huxley, “Words and Their Meaning”, The Importance of Language, ed. Max Black (Englewood
Cliffs, N. J: Prentice Hall, 1992), hlm. 5.
6
Kaelan, M.S, Hakekat dan Realitas Bahasa (Yogyakarta: Paradigma, 2017), hlm. 220-221.
7
W. Poespoprodjo, interpretasi (Bandung: Remadja Karya CB Bandung, 1987), hlm. 44.
8
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 223.
2
bahasa. Bahasa tidak hanya digunakan se-enaknya saja tetapi harus juga dipahami dan
dimengerti agar tidak terjadi kesalahpahaman satu sama lain. Untuk lebih memahami apa
sebenarnya memahami “hermeneutika” dan bagaimana seharusnya kita menggunakannya,
penulis akan membahas dan memperbandingkan dua pemikiran dari filsuf yang memberi
perhatian terkait pemaknaan seni memahami dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah perumusan masalah yang dirumuskan untuk menjawab pertanyaan terkait
dengan hermeneutika dan penggunaannya dalam hidup sehari-hari:
1 Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang pemilihan tokoh terkait dengan filsafat bahasa
1.2 Perumusan masalah untuk menjawab pertanyaan terkait dengan hermeneutika
1.3 Tujuan dari penulisan paper
2 Bab II Pemikiran filsuf-filsuf yang dipilih
2.1 Schleiermacher
2.1.1 Biografi Schleiermacher
2.1.2 Hermeneutik Schleiermacher
2.1.3 Lingkaran hermeneutik Schleiermacher
2.2 Wilhelm Dilthey
2.2.1 Biografi Dilthey
2.2.2 Pemikiran filosofis Dilthey
2.2.3 Hermeneutika Dilthey
2.2.4 Tiga konsep kunci hermeneutika Dilthey
3 Bab III Refleksi kritis
3. 1 Perbandingan pemikiran tokoh
3. 2 Relevansi dengan seni memahami zaman sekarang
3. 3 Relevansi bagi penulis selaku calon imam
4 Bab IV Kesimpulan dan penutup
2.1 Schleiermacher
2.1.1 Biografi Schleiermacher
Tokoh ini lahir pada tanggal 21 November 1768 di Breslau, Silesia yang sekarang
masuk wilayah Polandia. Tokoh ini dibesarkan dalam keluarga Protestan. Nama aslinya
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher. Orang tuanya memberinya pendidikan yang baik, dan
dia sendiri menunjukkan bakat yang khusus sebagai pengkotbah, sehingga di kirim ke sebuah
seminari di Barby / Ebe. Dia pun memutusan untuk studi filsafat, teologi dan filologi di
universitas Halle, dan di situ dia untuk pertama kalinya membaca filsafat kritis Kant. Dia
dijuluki seorang raksasa intelektual pada zamannya, ia seorang ahli teolog besar yang
memperjuangkan kemerdekaan agama dari kendali pemerintah dan mengembangkan pola
pendalaman studi teologi sebagaimana terlihat lewat karyanya kurze Darstellung des
Theologischen studiums (1811).
Schleiermacher secara mendalam dipengaruhi Romantisme. Pandangannya yang sangat
di perhitungkan dalam filsafat agama dapat dikembalikan pada pengaruh aliran ini.9
Schleiermacher lebih dikenal sebagai teolog dan pengkotbah daripada filsuf. Meski demikian,
kesibukannya dengan hermeneutik mewarnai karier intelektualnya sejak dia mengajar di Halle
pada tahun 1805 sampai pada hari kematiannya.10 Tulisan-tulisannya tentang hermeneutik
tersebar dalam sketsa-sketsa, aforisme-aforisme dan catatan-catatan kuliah. Menurut asas
terakhirnya, demikian tulisannya suatu kali, “memahami adalah sebuah tugas yang tak pernah
berkesudahan”. Schleiermacher meninggal dunia di Berlin pada tanggal 6 Februari 1834.
9
F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 29.
10
Jean Grondin, Einfundhrung in die philosophische Hermeneutik (Wissenschaftliche: Darmstadt, 1991),
hlm. 88.
4
2.1.2 Hermeneutik Schleiermacher
Istilah “memahami” saya terjemahkan dari istilah Jerman yang berasal dari
Schleiermacher, yaitu “Kunstslehre des Verstehens”.11 Untuk memberi muatan makna yang
sama dengan istilah Jermannya, maka digunakan kata “memahami” bukan “pemahaman”.
Verstehen dan bukan Verstä̈ ndnis. Pemahaman mengacu pada hasil, yaitu sesuatu yang telah
ditangkap, sedangkan memahami mengacu pada proses, yaitu kegiatan menangkap.12
Memahami adalah proses menangkap maksud atau kata-kata yang diucapkan
pembicara. Objek memahami tidak lain daripada bahasa, tetapi bahasa tidak dapat dilepaskan
dari pikiran penuturnya. Hermeneutik Schleiermacher bertolak bukan dari pemahaman
melainkan sebaliknya, situasi yang menjadi titik tolaknya adalah kesalahpahaman sebagaimana
sering terjadi di kalangan manusia. Hermeneutik dapat disebut sebagai “seni” karena dua hal:
pertama, karena bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman
umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya “canggih” dan tidak dapat secara spontan
saja; kedua, karena praktik untuk mengatasi kesalahpahaman umum itu dilakukan menurut
kaidah-kaidah tertentu.13
Sebelum Schleiermacher, ada dua pendahulunya yang merupakan filolog, yakni
peneliti teks-teks kuno yang dalam konteks Eropa adalah warisan Yunani Romawi kuno.
Friedrich Ast adalah tokoh pertama yang baginya tujuan seluruh penelitian filologis adalah
memahami jiwa (Geist) budaya Romawi-Yunani tua. Tata bahasa, data faktual, empiri hanya
sarana untuk menangkap isi suatu karya sebagai suatu kesatuan. Bahasa adalah sarana pertama
penyampaian nilai-nilai rohani. Sedangkan bahasa dikenal strukturnya lewat tata bahasa
(Grammatik), namun menganalisis tata bahasa belum cukup teks. Dibutuhkan suatu prinsip
untuk dapat memahaminya, yakni hermeneutika.14 Tokoh kedua adalah Friedrich August Wolf.
Seperti Ast, Wolf juga membatasi hermeneutik sebagai upaya untuk menangkap makna dalam
teks-teks kuno. Baginya interpretasi adalah sebuah dialog dengan penulis. Agar dapat
menangkap pikiran penulis, penafsir perlu menempatkan diri dalam situasi penulis. Dengan
kata lain, penafsir harus mampu memasuki dunia mental penulis.
Konsepsi mereka telah mencakup implikasi berbagai kemungkinan arah dan nuansa
hermeneutika sebagai suatu keseluruhan. Bahkan pikiran Schleiermacher de facto adalah hasil
komunikasi kritis dengan pikiran kedua ahli filologi tersebut. Hermeneutik Schleiermacher
11
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 31.
12
Nicholas Davey, Gadamers’s philosophical hermeneutics (New York: State University of New York
Press, 2006), hlm. 38.
13
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 34.
14
W. Poespoprodjo, interpretasi (Bandung: Remadja Karya CB Bandung, 1987), hlm. 42.
5
adalah sebuah hermeneutik universal karena, pertama, tidak membatasi diri pada teks-teks
khusus, misalnya teks sastra, kitab suci atau sejarah, melainkan teks pada umumnya, dan kedua
mengandaikan adanya kesamaan hakikat berbagai hermeneutik atas teks-teks khusus itu.
Tujuan hermeneutik menurut Schleiermacher adalah rekonstruksi proses mental dari
pengarang. Pengandaiannya: pemikiran pengarang bahkan keseluruhan dari being-nya bisa
diketahui dari bahasanya.15 Menurut Schleiermacher kita tidak dapat menjelaskan arti suatu
kata sebagaimana dipakai oleh penulis di masa lalu, bahasa dapat mati sehingga maknanya sulit
ditangkap oleh si pembaca. Cara memahami makna bahasa yang dipakai oleh si pengarang
adalah, kita harus mengerti atau memahami bahasa yang dipakai oleh masyarakatnya pada
waktu itu.
Menurut pendapat Heins Kimmerle, terdapat pergeseran pemikiran Schleiermacher dari
konsepsi hermeneutika yang semula berpusat pada bahasa ke hermeneutika yang bersifat
kejiwaan.16 Menurut Schleiemacher teks pada hakikatnya bukanlah suatu ungkapan langsung
proses batin, akan tetapi sesuatu yang terformulasikan melalui bahasa. Oleh karena itu tugas
hermeneutika adalah melintasi keterbatasan bahasa guna mencapai proses batin.17
Schleiermacher berangkat dari analisis karya teks terutama sastra, sehingga bahasa merupakan
persoalan yang fundamental dalam hermeneutika, yang berarti lingkaran-lingkaran
hermeneutika tersebut harus mampu menembus formulasi bahasa.18
15
Biru Kira, Menafsir Dunia (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 28.
16
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 188.
17
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 188.
18
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 189.
19
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 43.
6
Gambar Lingkaran Hermeneutik Schleiermacher
Bab
Buku
Alinea
Gendre
Kalimat
Kultur
Kata
20
Neokantianisme. Aliran filsafat idealisme yang muncul di Jerman pada tahun 1860-an atau abad 19.
Nama aliran ini berasal dari dua kata yaitu, neo yang berarti baru dan Kant yang berarti nama filsuf, Imanuel Kant.
Neokantianisme berarti kembali kepada Kant, yaitu mengembangkan kembali unsur-unsur idealis, metafisis dan
dialektis. [Lihat Wikipedia]
21
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 65.
7
Sumbangan Dilthey yang sangat besar untuk filsafat adalah penyelidikannya tentang
kehidupan. Karya Dilthey disebut sebagai ‘filsafat kehidupan’ atau “Philosophie des
Lebens”.22 Kehidupan yang dimaksud bukan hanya kehidupan biologis saja melainkan seluruh
kehidupan manusiawi yang dialami manusia dengan segala kompleksitasnya. Dilthey adalah
salah satu pemikir yang menentukan jalannya sendiri. Tetapi konsep filosofisnya merupakan
sintesa pemikiran tradisi empiris Inggris dan Prancis.
Tujuan seluruh pemikiran Dilthey adalah mengembangkan metode memperoleh
interpretasi yang secara objektif sah tentang ekspresi kehidupan batin. Dilthey menulis banyak
karya yang mencurahkan perhatiannya pada metode apa yang dia sebut Geisteswissenschaften
(ilmu-ilmu sosial kemanusiaan). Dilthey adalah satu-satunya filsuf yang melihat bahwa
hermeneutik Schleiermacher dapat menjadi dasar untuk semua ilmu-ilmu sosial kemanusiaan.
Hermeneutik Dilthey bersifat temporal dan historis, sekaligus ingin mencari pengetahuan
objektif. Dilthey tutup usia pada tanggal 1 Oktober 1911 di kota Seis am Schlern di wilayah
Tirol Selatan yang sekarang merupakan bagian Italia.
22
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 189.
23
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 190.
8
menurutnya adalah suatu keseluruhan yang tidak mungkin terpisah-pisahkan
karena hidup adalah suatu arus yang senantiasa mencipta nilai baru. Hidup
tidak dapat dideduksikan dari prinsip-prinsip, dan tidak dapat diterangkan
melainkan hanya dapat dipahami. Oleh karena itu menurut Dilthey bahwa
hidup adalah objek yang sebenarnya bahkan satu-satunya objek dalam
filsafat”24
Sebagai seorang empiris, Dilthey menolak setiap bentuk transendentalisme seperti dunia idea
sebagaimana dikemukakan oleh Plato.
24
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 191.
25
B. Kira, Menafsir Dunia…, hlm. 38.
26
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 192.
9
apresiasi dan penentuan sehingga interpretasi secara perlahan-lahan berkembang menjadi
kritik.27 Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika yang dikemukakan oleh Dilthey, nampak
pada kita bahwa bahasa memiliki peranan sentral karena proses dan dimensi hidup manusia
adalah bahasa. Kompleksitas kehidupan manusia dapat dipahami dan diinterpretasi melalui
kacamata bahasa, yang diungkapkan oleh Dilthey bahwa keseluruhan dapat dipahami melalui
bagian-bagiannya, sedangkan bagian-bagiannya dapat dipahami melalui keseluruhannya.28
Bagi Dilthey memahami adalah sebuah metode ilmiah yang berlawanan dengan
menjelaskan. Memahami adalah sebuah kemampuan yang sudah tertanam dan kita intuisikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dan memahami bukanlah kegiatan mengobjek atau mengambil
jarak. Memahami menurut konsep Dilthey berciri kognitif. Jalan pikiran Dilthey mengajak
kembali kepada empiris (pengalaman) dan kepada kenyataan hidup yang beragam.
27
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 193.
28
Kaelan M.S, Hakekat…, hlm. 193.
29
Martinho G. da Silva Gusmão, Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 26.
10
Erlebnis
Konsep pertama berasal dari kata Jerman Erlebnis yang berarti penghayatan. Suatu
penghayatan tidak tercerai berai melainkan membentuk sebuah keutuhan. Contoh yang
diberikan Dilthey adalah penghayatan waktu. Waktu kita alami tidak secara terpenggal-
penggal, melainkan sebagai aliran yang membentuk sebuah kesatuan, sehingga kita memiliki
istilah “perjalanan hidup”.30 Penghayatan merupakan sebuah aliran waktu yang di dalamnya
setiap keadaan berubah sebelum jelas diobjektifkan. Dalam penghayatan kita tidak berada di
luar sebagai pengamat melainkan di dalam sebagai peserta. Penghayatan adalah sesuatu yang
ada sebelum ada perbedaan antara subjek dan objek.31
Konsep kedua juga berasal dari kata Jerman Audruck yang bisa diterjemahkan menjadi
“ungkapan” atau “ekspresi”. Audruck atau ungkapan di sini berarti pengejawantahan diri
manusia dalam bentuk produk-produk kebudayaan. Jika begitu, kita di dalam masyarakat dan
kebudayaan selalu berada diantara dan di dalam hasil ungkapan-ungkapan kehidupan atau
dalam istilah Dilthey “Lebensäuβerungen”.32 Dilthey membedakan dua kelompok ungkapan
kehidupan. Yang pertama adalah idea, yakni konsep, penilaian dan susunan-susunan penilaian
lainnya, sedangkan yang kedua adalah tindakan. Ada hal ketiga yang disebut dengan ungkapan-
ungkapan penghayatan. Dilthey menempatkan karya seni juga pada kategori ketiga ini, karena
karya seni yang agung adalah yang otentik yaitu mengungkapkan kehidupan. Dalam arti ini
hermeneutik Dilthey tidak sekadar menafsirkan teks tertulis, melainkan juga karya seni sebagai
penyingkapan kehidupan.
30
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 83.
31
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 84.
32
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 85.
11
Konsep ketiga yaitu Verstehen. Dalam hal ini Dilthey membedakan dua bentuk
pemahaman: pemahaman elementer dan pemahaman lebih tinggi. Pemahaman elementer
adalah sebuah pemahaman tentang bagaimana menghadapi hal-hal. Pemahaman lebih tinggi
dapat dicirikan sebagai pemahaman tentang apakah hal-hal itu. Pemahaman lebih tinggi terjadi,
misalnya, di dalam pemahaman yang melibatkan penciptaan sebuah cerita, konteks-konteks
religius, sebuah teori ilmiah, atau penciptaan sebuah puisi.33
Pokok gagasan dari tiga konsep Dilthey bisa disimpulkan dengan: peneliti dalam ilmu-
ilmu sosial kemanusiaan memahami (Vestehen) dunia sosial-historis lewat mengalami kembali
(Nacherleben) atau gerak dari ungkapannya (Ausdruck) dalam dokumen, artefack, sistem
simbol, menuju penghayatan (Erlebnis) sebagaimana didekati olehnya, tidak dengan empati
psikologis, melainkan dengan interpretasi atas data dan konteks berdasarkan maknanya.34
33
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 86.
34
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 91.
12
awalnya untuk menulis teks itu. Hermeneutik Schleiermacher dapat membantu pembaca untuk
melampaui makna literal teks dengan memahami konteks produksi teks itu.
Sedangkan Dilthey, bertolak dari pendirian Schleiermacher bahwa untuk memahami
suatu teks kita harus menempatkannya di dalam konteks kehidupan penulisnya, dan konteks
kehidupan terdiri atas masyarakat, kebudayaan dan sejarah. Maka hermeneutik dapat menjadi
dasar proses memahami di dalam ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Dilthey berhasil mendasarkan
ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan pada sebuah metode khas yang berbeda dari metode ilmu-ilmu
alam, yakni Verstehen, sehingga lewat Dilthey, hermeneutik juga berkembang menjadi metode
dalam ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Ilmu-ilmu ini mendekati objeknya yaitu, manusia dan
kebudayaannya, dengan melibatkan diri untuk memahami makna, berbeda dari ilmu-ilmu alam
yang mendekati objeknya, yaitu alam, dengan mengambil jarak untuk menjelaskan secara
kausal. Lingkaran hermeneutik Dilthey sebagai interaksi antara roh obyektif dan individu.
Latarbelakang intelektual Schleiermacher dilatarbelakangi oleh pemikiran
romantisme35 Jerman. Di Berlin Schleiermacher berkenalan dengan kalangan cendikiawan dan
sastrawan Romantik yang mendorong untuk menerjemahkan dialog-dialog Plato. Pengaruh
Romantisme inilah yang membawa minatnya pada hermeneutik. Dilthey sendiri
dilatarbelakangi oleh Lebensphilosophie, Hegel, Mazhab Sejarah. Para penganut
Lebensphilosophie berjuang keras untuk mengedepankan kehidupan batiniah dan pengalaman
manusiawi “pikiran kita tidak dapat bergerak ke balik kehidupan itu sendiri”. Dilatarbelakangi
aliran ini, Dilthey mengembangkan hermeneutiknya untuk melawan citra manusia mekanis
yang disokong oleh positivisme. Di sini hermeneutik tidak lagi dipahami sebagai cara baca
sebuah teks, melainkan sebagai sebuah metode ilmiah.
Kontribusi hermeneutik Schleiermacher mendasarkan pada hermeneutik universal
karena tidak membatasi diri pada teks-teks khusus melainkan teks pada umumnya. Dan
mengandaikan adanya kesamaan hakikat berbagai hermeneutik atas teks-teks khusus itu.
Sedangkan kontribusi Dilthey mengintegrasikan Verstehen ke dalam metode ilmu-ilmu sosial-
kemanusiaan pada sebuah metode khas yang berbeda dari metode ilmu-ilmu alam.
3. 2 Relevansi dengan Seni Memahami Pada Zaman Sekarang
Pada zaman sekarang ini, bahasa menjadi salah satu topik yang menarik banyak
perhatian masyarakat terutama para mahasiswa, karena bahasa memainkan peranan yang
35
Romantisme. Gerakan yang kritis terhadap pencerahan abad ke-18. Para pemikirnya melihat
kemajuan-kemajuan peradaban kapitalis industrial Eropa saat itu sebagai bahaya dan kemerosotan bagi manusia,
maka ahli-ahli gandrung dengan industri, sains dan teknologi, mereka mencoba menggali kembali kebijaksanaan
kuno dalam tradisi, agama, mitos untuk menemukan maknanya bagi masa kini. [Lihat. F. B. Hardiman, Seni
Memahami…, hlm. 19.]
13
mendasar bagi kelancaran studi di tahap lanjutan, baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa
tahun yang lalu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang dianggap “berkelas”. Apabila seseorang
menguasai bahasa Inggris, hal itu menjadi sebuah nilai tambah baginya baik dalam studi
maupun untuk mencari pekerjaan.
Bahasa merupakan alat atau sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan dalam
kehidupannya. Bahasa yang baik adalah bahasa yang sungguh dimengerti dan dipahami oleh
banyak orang. Dalam berbahasa hendaknya tidak hanya mengungkapkan kata-kata atau
ekspresi atau penyaluran bahasa lainnya dengan sembarang tanpa memikirkan arti dan makna
dari setiap bahasa tersebut. Bahasa itu hendaknya sungguh dimengerti dan dipahami. Terlebih
bagi para pelajar yang sangat sering berhadapan dengan bahasa baik lisan maupun tertulis.
Apakah mahasiswa tersebut hanya melihat dan membaca teks-teks yang tertulis tanpa
memahami apa sesungguhnya makna yang tersimpan di dalam bahasa tersebut.
Oleh karena itu, pemikiran Schleiermacher dan Dilthey sangat relevan sebagai bahan
refleksi bagi semua orang terkait dengan pemaknaan dan penggunaan cara memahami dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan oleh Schleiermacher bahwa untuk memahami
makna teks tidak dapat dilepaskan dari konteks penulisan teks itu, khususnya pengalaman
penulis sendiri.36 Jika hanya membaca seperti air lewat, kita akan sulit memahami apa makna
dari tulisan tersebut tetapi jika kita membaca dengan cara empati psikologis atau divinasi, yakni
membayangkan diri seolah-olah penulis teks itu maka kita akan lebih muda untuk memahami
maksud asli penulis teks itu.
Berkaitan dengan pemikiran Dilthey, kita juga perlu memperhatikan bagaimana kita
memahami dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah hanya sekadar berlalu begitu saja atau
apakah kita sungguh memahami. Konstribusi yang ditawarkan oleh Dilthey adalah membuka
wawasan lebih luas bagi hermeneutik modern dalam konteks ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan.
Jika kita ingin memahami dengan baik, terlebih dahulu kita harus membuka wawasan atau
menerima pemikiran atau pendapat baru yang diberikan kepada kita. Jangan menutup pemikiran
bahwa apa yang telah saya ketahui itulah yang benar. Dengan memperhatikan pemikiran kedua
tokoh tersebut cara memahami akan lebih hidup dan gampang bagi kita dan tidak akan
melenceng dari apa yang diharapkan.
3. 3 Relevansi Bagi Penulis Selaku Calon Imam
Menjadi seorang imam adalah sebuah panggilan hidup. Pendidikan sebagai seorang
calon imam juga bukanlah pendidikan yang biasa. Proses pendidikannya menghabiskan waktu
36
F. B. Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 62.
14
yang cukup lama, sekitar 10-11 tahun. Waktu yang cukup panjang ini dimaksudkan agar
seorang calon imam benar-benar terbentuk menjadi pribadi yang berkualitas. Ada aspek-aspek
pembinaan yang diperhatikan selama masa pembinaan di seminari tinggi. Aspek yang terutama
ialah aspek rohani. Namun, aspek yang lain tidak kalah penting, misalnya aspek intelektual.
Dalam aspek ini, para calon imam tidak hanya dilatih untuk menguasai banyak ilmu, tetapi juga
hal yang paling mendasar, yakni pemahaman yang baik dan benar dalam berbahasa. Hal ini
menjadi salah satu aspek yang penting, karena umat akan sangat memperhatikan perkataan atau
bahasa yang digunakan oleh seorang imam, baik dalam pembicaraan sehari-hari, maupun dalam
khotbah.
Melalui pendidikan di bangku perkuliahan juga di rumah bina, seorang calon imam
sangat diharapkan mampu berbahasa dan memahami yang baik. Apa yang ia bicarakan atau apa
yang ia baca hendaknya sungguh-sungguh ia kuasai dan pahami sehingga apa yang ia perbuat
dalam bentuk bahasa sungguh memancarkan dirinya sebagai seorang calon imam atau imam.
Menjadi seorang imam berarti menjadi seorang pemimpin atau figure publick, yang
kemungkinan segala aspek kehidupannya sangat diperhatikan oleh banyak orang. Terutama
seorang imam itu sering sekali dijuluki sebagai bapak kudus atau bapak pembimbing rohani.
Bagi banyak orang perkataan imam itu terkadang dianggap juga sebagai perkataan Tuhan.
Perkataan itu diserap dengan mentah-mentah karena adanya anggapan bahwa apa yang
dikatakan oleh seorang imam itu selalu benar, dengan kata lain bahasa atau kata-kata seorang
imam mencerminkan dirinya sebagai “wakil Kristus” yang hadir bagi umat. Oleh karena itu,
seorang imam mestinya harus mampu mengatur dan menggunakan bahasa yang baik dan tepat
dan sungguh memahami makna kata yang ingin diucapkan kepada banyak orang. Jangan
misalnya karena ada kata yang sangat populer, kemudian digunakan dalam khotbah tanpa
mengetahui bahwa makna kata tersebut kotor, tetapi karena lazim digunakan oleh para kaum
muda dalam komunikasi sehari-hari ia pun menggunakannya pada saat berkhotbah. Jika hal
yang demikian terjadi, pandangan umat terhadap imam tersebut akan bernilai negatif.
Karena pada tulisan ini penulis menggali pemikiran Schleiermacher dan Dilthey tentang
seni memahami, maka penting bagi penulis sebagai calon imam untuk memperhatikan bahasa
dan lebih memahami makna setiap bahasa yang digunakan sebelum melontarkannya. Selain itu
penting juga melihat kondisi wilayah dimana penulis berada, sebab makna atau arti sebuah kata
bisa saja berbeda menurut wilayahnya masing-masing. Dengan begitu, komunikasi yang baik
dan hidup serta bermakna sungguh terjalin dimana pun penulis kelak berkarya.
15
BAB VI KESIMPULAN DAN PENUTUP
Bahasa adalah unsur yang sangat penting bagi hidup manusia. Berkata-kata atau
berkomunikasi menjadikan manusia itu menjadi jati dirinya yang sesungguhnya. Dari cara
berbahasa seseorang kita dapat memprediksikan siapa dia yang sebenarnya. Tanpa bahasa
banyak perkembangan dalam kehidupan manusia yang akan terhambat, bahkan bisa dikatakan
“tanpa bahasa manusia itu hampa atau mati”. Bahasa menjadi slah satu unsur yang paling
penting atau syarat yang memungkinkan bertahannya suatu kebudayaan dalam masyarakat.
Dalam 7 unsur kebudayaan, bahasa menjadi pintu atau hal yang paling utama bagi 6 unsur
lainnya.
Pemahaman akan makna dari bahasa yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah hal yang penting. Orang secara sekilas dapat memahami diri orang lain dari bahasa yang
digunakannya. Bahasa atau perkataan kita adalah cerminan sederhana dari diri kita. Setiap
bahasa yang kita lontarkan hendaknya memiliki makna yang baik dan sungguh kita pahami.
Oleh sebab itulah seni memahami ini sangat penting dalam bahasa. Seni memahami tidak akan
pernah lepas dari bahasa, sebab bahasa yang kita gunakan hendaknya terlebih dahulu harus kita
pahami kemudian digunakan. Apalagi sebagai seorang calon imam, yang tugas utamanya ialah
mewartakan kebenaran dan Cinta Allah bagi manusia, kita mesti menjadikan kebenaran
sebagai bagian sentral dari kehidupan keseharian kita termasuk dalam perkataan kita sehari-
hari.
Semoga dengan pembahasan mengenai pemikiran Schleiermacher dan Dilthey terhadap
hermeneutika “seni memahami”, pemahaman kita tentang hermeneutika semakin mendalam
dan kita menjadi semakin selektif dalam memilih bahasa atau kata-kata, serta kita dapat
menyesuaikan bahasa atau perkataan kita dengan konteks atau situasi yang kita hadapi. Dengan
begitu, perkataan kita menjadi lebih bermakna bagi diri sendiri dan orang lain, serta terjalin
komunikasi yang baik di antara setiap orang.
16
DAFTAR PUSTAKA
Cassier, Ernst. An Essay on Man. New Heaven: Yale University Press, 1994.
Davey, Nicholas. Gadamers’s philosophical hermeneutics. New York: State University of
New York Press, 2006.
Grondin, Jean. Einfundhrung in die philosophische Hermeneutik. Wissenschaftliche:
Darmstadt, 199.
Gusmão, Martinho G. da Silva. Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Huxley, Aldous. “Words and Their Meaning”, The Importance of Language, ed. Max Black.
Englewood Cliffs, N. J: Prentice Hall, 1992.
Kira, Biru. Menafsir Dunia. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Pasaribu, Saut. Peradaban Barat Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan. Bantul:
Kreasi Wacana, 2012.
Poespoprodjo, W. interpretasi. Bandung: Remadja Karya CB Bandung, 1987.
S, Kaelan M. Hakekat dan Realitas Bahasa. Yogyakarta: Paradigma, 2017.
Sembiring, Lesta Joseph. Mari Mencintai Bahasa Indonesia [tanpa tempat terbit]: [tanpa
penerbit], [tanpa tahun terbit].
Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico-Philosophicus (Translated by D. F. Pears and B. F.
McGuinness). London: Routledge Classics, 2001.
17