Anda di halaman 1dari 6

1. Mengapa Kita Belajar Sejarah Filsafat?

Presiden Soekarno pernah berkata: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
jasa para pahlawannya”. Keberadaan kita sekarang hanya ada karena jasa-jasa para pahlawan
yang telah memperjuangkan kemerdekaan demi kita. Tanpa perjuangan para pahlawan yang
merebut kemerdekaan dari belenggu penjajahan, kita tidak dapat menikmati kemerdekaan
sebagai bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Soekarno sedang berbicara makna sejarah secara
tidak langsung. Soekarno adalah tokoh nasional yang sangat menekankan pentingnya sejarah
dengan semboyannya “Jasmerah” (Jangan melupakan sejarah). Betapa pentingnya makna
sejarah dalam hidup kita.
1.. Makna Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa Arab (syajaroh). Akar kata sejarah adalah
syajaratun (‫ ;)شجرة‬artinya pohon dan keturunan. Jika kita membaca silsilah raja-raja akan
tampak seperti gambar pohon dari yang sederhana dan berkembang menjadi besar, maka
sejarah dapat diartikan silsilah keturunan raja-raja yang berarti peristiwa pemerintahan
keluarga raja pada masa lampau. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah disebut history, artinya
masa lampau; masa lampau umat manusia. History mempunyai arti harafiah yaitu “cerita
miliknya laki-laki” (his story). Mau tidak mau, kaum laki-laki menentukan perjalanan sejarah
manusia. Tetapi, jika sejarah mau lengkap, kaum perempuan juga mempunyai peranan sebagai
penerus bangsa manusia. Tanpa perempuan tidak ada manusia dalam panggung sejarah.
Sejarah juga berarti herstory (her story); artinya, sejarah juga diukir oleh peranan perempuan.
Dalam bahasa Yunani, kata sejarah disebut istoria (ἱστορία) yang berarti belajar. Jadi, sejarah
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa
lampau dalam kehidupan umat manusia. Dalam bahasa Jerman, kata sejarah disebut
geschichte yang artinya sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang telah terjadi pada masa lampau
dalam kehidupan umat manusia.1
Makna sejarah bukan sekedar informasi masa lampau yang dikisahkan kembali
(knowledge), walaupun dimensi informatif masa lampau juga penting. Dengan informasi masa
lampau, kita dapat belajar dari pengalaman masa lampau. Berdasarkan informasi masa lampau,
kita dapat memetik pelajaran-pelajaran dari masa lampau sehingga apa yang terjadi pada masa
lampau sebagai kesalahan, tidak terulang pada masa kini. Dalam hal ini, pengalaman adalah
guru yang baik ketika kita mampu mempelajarinya sebagai informasi penting yang dipelajari
demi hidup kita di masa kini.
Lebih dari sekedar informasi, makna sejarah adalah masa lampau yang membawa kita
kepada masa kini (acknowledge); Sejarah adalah sebuah pengakuan dari pengalaman masa
lampau yang hadir pada masa kini. Sejarah2 sebagai pengalaman masa lampau adalah “titik
pijak dan titik tolak” dari pengalaman masa kini. Sejarah sebagai titik pijak berarti pengalaman
masa lampau merupakan dasar dari pengalaman masa kini (makna pasif). Hal ini dapat
digambarkan dengan bangunan gedung. Sebuah gedung yang menjulang tinggi tidak mungkin

1 Bdk. http://sejarah10-jt.blogspot.com/2012/09/pengertian-sejarah.html; Dikutip, 06 Agustus 2019.


2 Sejarah (bahasa Yunani: ἱστορία, historia (artinya “mengusut, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian”); bahasa
Arab: ‫تاريخ‬, tārīkh; bahasa Jerman: geschichte) adalah kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana kaitannya
dengan manusia. Dalam bahasa Indonesia, sejarah, babad, hikayat, riwayat, tarikh, tawarik, tambo, atau histori dapat
diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah,
terutama bagi raja-raja yang memerintah (https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah; Dikutip, 06 Agustus 2019).

1
berdiri kokoh kalau tidak memiliki dasar sebagai pijakan untuk berdirinya. Walaupun
pondasinya tidak kelihatan, tetapi mau tidak mau sebuah gedung berdiri di atas pondasinya.
Demikianlah, masa kini eksis hanya karena ada masa lampau. Masa kini kita berpijak dan
berdiri pada masa lampau kita. Selanjutnya, sejarah sebagai titik tolak berarti pengalaman
lampau merupakan penyebab dari pengalaman masa kini (makna aktif). Masa lampau menjadi
penyebab masa kini dan masa kini adalah akibat masa lampau. Sejarah sebagai titik tolak
bekerja dalam hukum sebab-akibat. Hal ini dapat digambarkan dengan relasi orang tua dan
anak. Kepribadian anak merupakan hasil dari perlakuan orang tua kepadanya. Jika orang tua
dalam masa lampaunya memberikan cinta kasih kepadanya, anaknya akan memiliki
kepribadian yang sehat pada masa kininya. Sebaliknya, jika orang tua melakukan kekerasan
kepadanya, anaknya akan memiliki kepribadian yang tidak sehat. Dalam hal ini, kita
menyebutnya dengan istilah “buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”. Artinya, masa kini
merupakan hasil dari masa lampau. Dengan kata lain, masa lampau merupakan “titik pijak”
dari masa kini.
Sejarah sebagai penyebab masa kini harus dipahami bahwa hukum sejarah itu tidak
bersifat determinatif. Dalam hukum determinatif, hukum sebab-akibatnya bersifat pasti.
Misalnya, kalau orang tuanya baik, maka anaknya juga baik. Berdasarkan pengalaman kita, hal
ini tidak bisa dipastikan. Orang tuanya baik, tapi dapat terjadi atau anaknya jahat, atau bisa
juga anaknya baik. Karena itu, hukum sejarah lebih bersifat indeterminatif; hukum sejarah
tidak bisa ditentukan; hukum sebab-akibatnya tidak pasti. Sifat indeterminatif itu berasal dari
pelaku sejarah itu sendiri yaitu manusia. Manusia adalah makhluk yang berkehendak bebas.
Kebebasan itu bersifat indeterminatif. Manusia menghayati jati dirinya dalam kebebasan.
Dalam kebebasan, manusia bisa memilih apa yang dilakukannya. Pilihan sebagai hasil
kebebasan adalah perwujudan kemungkinan-kemungkinan. Mau tidak mau, bicara tentang
kebebasan adalah bicara tentang kemungkinan-kemungkinan. Berdasarkan kemungkinan-
kemungkinan ini, manusia menganyam sejarahnya. Kemungkinan adalah sifat yang tak bisa
ditentukan (indeterminatif). Sebagai penggiring masa kini, sejarah bersifat indeterminatif;
artinya, sejarah sebagai “titik tolak” menggiring manusia kepada masa kini yang diwarnai
kemungkinan-kemungkinan dalam perwujudannya.
2, Pergumulan Pemikiran
Mengapa belajar sejarah filsafat? Kita akan menjawab pertanyaan ini berdasarkan
pemikiran Antony Kenny dalam buku Ancient of Philosophy.3 Menurut Kenny, alasan belajar
filsafat dapat dijelaskan dari dimensi filosofis dan historis. Mungkin kita belajar dari filsuf-
filsuf terkenal untuk mencari pencerahan berkaitan dengan persoalan zaman ini. Mungkin, kita
ingin memahami masyarakat dan budaya pada masa lampau, dan membaca karya filosofis
untuk menangkap iklim pemikiran apa yang mereka refleksikan dan lakukan. Atau, kita
mungkin membaca karya filsuf pada zaman tertentu untuk membantu memecahkan persoalan
secara filosofis yang menjadi pusat perhatian atau untuk masuk pada cara berpikir pada dunia
zaman itu. Meskipun Aristoteles dan Hegel memiliki cara pandang yang berbeda tentang
hakikat filsafat, mereka memiliki pandangan yang mirip tentang perkembangan filsafat:
persoalan-persoalan filosofis dalam perjalanan sejarah menjadi lebih jelas dirumuskan dan
persoalan-persoalan tersebut dapat dijawab dengan lebih tepat. Aristoteles dalam bukunya
Metaphysics dan Hegel dalam bukunya Lectures on the History of Philosophy menilai

3 Lih. Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (vol. 1), hlm. xi-ixx.

2
pemikiran-pemikiran dari para filsuf sebelumnya bahwa mereka melakukan langkah-langkah yang
tersendat-sendat dalam keterarahan pandangan yang mereka sendiri jelaskan secara terperinci.
Lebih jauh, Kenny menyatakan bahwa problem-problem filosofis masih terus diperdebatkan
setelah berabad-abad dan tidak ada penyelesaian definitif. Pada abad kedua puluh ini, filsuf Ludwig
Wittgenstein4 menyatakan:
Kamu selalu mendengar orang berkata bahwa filsafat tidak membuat kemajuan dan bahwa problem-
problem filosofis yang sama, yang telah dipersoalkan bangsa Yunani masih menjadi persoalan pada
zaman ini. Tetapi, orang-orang yang tidak memahami alasannya; mengapa terjadi begitu. Alasannya
adalah bahwa bahasa kita telah memberikan perkenalan yang sama dan selalu pada pertanyaan yang
sama…. Saya membaca karya-karya filsuf bahwa tidak ada yang bersesuaian tentang makna dari
“realitas” tentang apa yang Plato pikirkan. Betapa luar biasa! Betapa mengagumkan bahwa Plato dapat
melakukan sejauh itu. Atau bahwa kita telah tidak mampu untuk melakukan hal yang lebih jauh. Apakah
karena Plato begitu cerdasnya? (MS 213/424).
Perbedaan antara apa yang mungkin kita pikirkan tentang cara berpikir Aristotelian dan
Wittgenstian berkaitan dengan perkembangan dalam filsafat yang berhubungan dengan dua
pandangan tentang filsafat itu sendiri; filsafat dipandang sebagai ilmu pengetahuan dan juga karya
seni. Benarlah bahwa filsafat sulit untuk digolongkan dan menyerupai baik sebagai karya seni
maupun ilmu pengetahuan. Selanjutnya, Anthony Kenny menegaskan dua hal. Dari satu pihak,
filsafat menyerupai sebuah ilmu pengetahuan yang di dalamnya seorang filsuf sebagai pencari
kebenaran. Akibatnya, penemuan-penemuan yang dicapai dalam filsafat membuat seorang filsuf
seperti ilmuwan yang memiliki usaha intelektual yang berkelanjutan, kooperatif, dan komulatif.
Jika demikian, seorang filsuf dapat dikenal dari tulisan yang dihasilkan dan keberadaannya dalam
suasana kehidupan seni. Dari lain pihak, di dalam seni, karya-karya klasik tidak memiliki data
kronologis. Jika kita mempelajari fisika atau kimia, berbeda dengan sejarahnya, kita sekarang tidak
dapat membaca karya Newton atau Faraday5. Tetapi, jika kita membaca karya sastra dari
Shakespeare atau Homerus, kita tidak hanya mempelajari tentang hal-hal yang aneh yang hidup
dalam pikiran orang pada zaman itu. Hampir dapat dipastikan bahwa hal yang sama dapat terjadi
dalam dunia filsafat. Hal ini tidak hanya dalam semangat keingintahuan dari seorang kolektor
barang kuno ketika kita membaca karya-karya Aristoteles masa sekarang ini. Pemikiran filosofis
secara esensial merupakan karya dari seorang pribadi yang jenius. Ini berarti karya Kant tidak
pernah menggantikan karya Plato lebih daripada karya Shakespeare yang dapat menggantikan
karya Homerus. Kenny menyatakan bahwa filsafat bukanlah ilmu pengetahuan dan tidak ada
pernyataan tentang seni dalam filsafat. Filsafat bukanlah materi yang memperluas pengetahuan
untuk mencapai kebenaran yang baru tetang dunia; Filsafat bukanlah materi dari pengetahuan tetapi
materi untuk memahami yang harus dikatakan, untuk mengorganisir tentang apa yang diketahui.
Karena filsafat mencakup segalanya, filsafat mesti bersifat universal dalam bidangnya,
pengorganisir dari pengetahuan yang menuntut bahwa ada suatu kesulitan bahwa para filsuf jenius
mampu melakukannya.
Anthony Kenny menambahkan bahwa meskipun filsafat tidak sama dengan ilmu
pengetahuan, melalui sejarahnya, filsafat telah memiliki relasi yang dekat dengan ilmu
pengetahuan. Banyak disiplin ilmu pada masa awal dan abad pertengahan merupakan bagian dari
filsafat ketika belum berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan. Pada masa itu, sebuah cabang ilmu
pengetahuan sejauh dalam konsep-konsepnya tidak terbedakan dan metode-metodenya pun tidak
lazim seperti sekarang ini. Barangkali, tidak ada konsep saintis yang sungguh-sungguh jelas dan

4 Ludwig Josef Johann Wittgenstein (26 April 1889 – 29 April 1951) adalah seorang filsuf Autria yang memiliki minat
pada logika, filsafat matematika, filsafat pikiran, dan filsafat bahasa (Lih.
https://en.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Wittgenstein; Dikutip, 06 Agustus 2019).
5 Michael Faraday (22 September 1791– 25 August 1867) adalah ilmuwan Inggris yang memberikan sumbangan

pada studi tentang electromagnetisme dan elektrokimiawi. Penemuan terbesarnya berhubungan dengan prinsip-prinsip
tentang induksi, diamagnetisme dan elektrosis elektromagnetik (Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Michael_Faraday;
Dikutip, 06 Agustus 2019).

3
tidak ada metode saintis yang sama sekali berbeda dari metode filsafat. Dengan demikian, selalu
ada elemen filosofis yang ada dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, sekali waktu
problem-problem dinyatakan sebagai yang tidak problematis ketika konsep-konsep diukur secara
standar normal dan ada sebuah persetujuan untuk metodologi penyelesaian masalahnya. Di sini,
kita mempunyai sebuah ilmu pengetahuan yang mempunyai bidangnya secara independen dari
filsafat yang tidak lagi sebagai cabang dari filsafat. Dalam hal ini, filsafat dapat disebut sebagai
tuan dari ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat disebut sebagai hambanya. Hal ini dapat
digambarkan bahwa filsafat menjadi rahim dari ilmu pengetahuan. Persisnya, ilmu pengetahuan
lahir dari filsafat dan sekaligus melalukan pemisahan diri dari filsafat (fission).
Anthony Kenny memberikan dua contoh yang dapat menggambarkan persoalan ini. Pada abad ketujuh
belas, para filsuf disibukkan dengan persoalan tentang “ide-ide bawaan” (innate ideas) dan “ide-ide
perolehan” (acquired ideas). Problem ini memecah menjadi dua persoalan: persoalan psikologis dengan
pertanyaan, “Apa yang kita bawa dari keturunan dan apa yang kita peroleh dari lingkungan?” dan
persoalan teori pengetahuan dengan pertanyaan, “Bagaimana pengetahuan kita bergantung kepada
pengalaman dan bagaimana pengetahuan tidak bergantung kepadanya?” Pertanyaan pertama dijawab
oleh psikologi ilmiah dan pertanyaan kedua tinggal dalam pemikiran filosofis. Berdasarkan pertanyaan
kedua, pertanyaan berkembang: “Apakah matematika hanyalah perluasan dari logika?” atau “Apakah
matematika adalah bidang yang berdiri sendiri dari kebenaran?” Terhadap pertanyaan apakah
matematika berasal dari logika murni dijawab oleh karya para logikawan dan matematikawan pada abad
kedua puluh. Jawabannya tidak filosofis tetapi matematis. Di sini, kita mempunyai sebuah pertanyaan
awal filosofis yang membingungkan yang bercabang ke arah ilmu psikologi dan ke arah ilmu
matematika. Contoh awali lebih rumit. Sebuah cabang filsafat yang diberikan sebuah tempat terhormat
oleh Aristoteles adalah “teologi”. Sekarang ini kita memahami apa yang Aristoteles maksudkan dengan
disiplin ilmu yang merupakan gabungan dari astronomi dan filsafat agama. Agama Kristen akan
menambahkan apa yang dipikirkan Aristoteles dalam ajaran Kitab Suci. Pada abad ketiga belas, St.
Thomas Aquinas membedakan secara tegas antara teologi natural dan teologi wahyu. Dengan ini,
pemisahan penting pertama berlangsung, dengan menggeser dari agenda filosofis kepada agenda
pewahyuan. Ini lebih daripada ilmu astronomi dan teologi natural dipisahkan satu sama lain. Hal ini
menunjukkan bahwa sejarah filsafat berada dalam contoh-contoh sebagai penggabungan (fussion) dan
sekaligus pemisahan (fission).6
Menurut Kenny, dengan membaca sejarah filsafat, orang dapat mengetahui
perkembangan filsafat. Apa yang para filsuf sekarang pahami belum tentu dipahami oleh para
filsuf besar masa lampau. Contohnya adalah persoalan bahasa. Para filsuf masa lampau
menjelaskan bahasa dengan membedakan antara rasa kata-kata yang berbeda; dan sekali waktu
pembedaan telah dibuat, para filsuf masa berikutnya harus mengkaji ulang pembedaan itu.
Misalnya, persoalan kehendak bebas (free will). Pada titik tertentu dalam sejarah filsafat,
pembedaan dibuat mengenai dua jenis kebebasan: kebebasan indifferens (kemampuan untuk
melakukan suka-suka) dan kebebasan spontanitas (kemampuan untuk melakukan apa diinginkan).
Sekali waktu pembedaan ini dipertanyakan, “Apakah manusia menikmati kebebasan
kehendaknya?” Pertanyaan ini harus dijawab dengan mempertimbangkan pembedaan yang telah
dibuat. Sekalipun orang percaya bahwa dua jenis kebebasan bertabrakan; orang harus memberikan
argumen-argumen untuk membuktikannya; ia tidak dapat menyepelekan pembedaan. Di dalam
pikirannya, orang berharap agar topik ini dikaji ulang.
Sejarah filsafat memperlihatkan sumbangan filsafat masa lampau ke masa kini. Kenny
menegaskan bahwa wujud yang pantas dicacat dalam perkembangan filsafat adalah lahirnya
terminologi filosofis dan penafsiran tentang pemikiran dari filsuf-filsuf besar di masa lampau.
Karya-karya besar masa lampau memberikan sumbangan pemikiran yang perlu dikaji ulang.
Masing-masing zaman menafsirkan dan mengaplikasikan pemikiran klasik kepada persoalan dan
aspirasi zaman ini. Hal ini terjadi pada masa ini tentang bidang etika. Karya etika dari Plato dan
Aristoteles adalah pemikiran moral yang cukup berpengaruh pada zaman ini sebagaimana karya
moralis pada abad kedua puluh ini. Karya-karya mereka ditafsirkan dan diterapkan dalam cara yang

6 Lih. Anthony Kenny, “Introduction”, Ancient Philosophy, hlm. xiii-xiv.

4
berbeda dari penafsiran dan penerapan di masa lampau. Penafsiran dan penerapan ini sungguh
memberikan dampak kemajuan sejati dalam pemahaman karya Plato dan Aristoteles.
Kita belajar sejarah filsafat karena hubungan antara filsafat dan sejarahnya sangat
berdekatan. Dengan belajar sejarah, kita dapat mengenal kembali pemikiran-pemikiran mereka.
Terutama, kita mengenal alasan-alasan para filsuf melahirkan pemikiran filosofis mereka,
spekulasi pada argumen-argumen, dan penilaian pada kaitan antara ide-ide (coherence) dan alasan
yang meyakinkan (cogency) dari pernyataan yang dibuat. Sejauh mungkin sejarah filsafat berbicara
tentang konteks historis sebuah pemikiran dilahirkan. Dengan demikian, sejarah filsafat adalah
sebuah latihan dalam berfilsafat dan juga latihan dalam menyejarah. Artinya, belajar sejarah
filsafat berarti belajar memahami pemikiran filsuf dan sekaligus belajar memahami latar belakang
pemikiran itu dilahirkan. Anthony Kenny menegaskan: “Ketika kita menjelaskan peristiwa dalam
sejarah, kita harus bertanya tentang alasan-alasan pelaku dalam peristiwa tersebut. Jika kita
menemukan alasan yang tepat, kita telah memahami tindakan pelaku. Jika kita menyimpulkan
bahwa tindakan pelaku tidak memiliki alasan yang tepat, walaupun pelaku meyakini benar, kita
harus menemukan penjelasan yang berbeda dan lebih rumit. Sejarah filsafat mesti menemukan
alasan yang tepat tentang pemikiran-pemikiran para filsuf dalam zamannya”7

3. Sejarah Berisi Pengalaman


“Pengalaman adalah guru yang baik” (Peribahasa Indonesia).8 Kebijaksanaan ini diajarkan
dari generasi ke generasi. Tujuannya adalah agar kita menjadi bijak dalam kehidupan. Pengalaman
sebagai guru kehidupan memanggil kita untuk mempelajarinya. Jika pengalaman tidak dipelajari,
pengalaman bukanlah guru yang baik, tetapi pengalaman menjadi murid yang bodoh. Dalam hal
ini, pengalaman hanyalah peristiwa yang tidak memberikan pelajaran apa pun; pengalaman yang
tidak dipelajari sama seperti “sampah yang berbau busuk”.
Sejarah adalah rentetan pengalaman dalam hidup kita. Sejarah filsafat adalah rangkaian
pemikiran para filsuf. Disebut sebagai rangkaian, sebab sejarah filsafat adalah pemikiran satu
filsuf dengan lainnya mempunyai hubungan sebab akibat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pemikiran filsuf yang satu merupakan tanggapan dari filsuf sebelumnya. Friedrich
Hegel menegaskan bahwa sejarah filsafat tentu saja bukan sekedar sekumpulan pemikiran,
sebuah narasi dari tema-tema pemikiran yang terpisah yang tidak mempunyai hubungan satu
sama lain. Jika sejarah filsafat diperlakukan hanya sebagai kumpulan dari pemikiran yang
berbeda-beda dan jika seluruh pemikiran ini dianggap sebagai yang bernilai sama atau tidak
bernilai; akibatnya sejarah filsafat menjadi “cerita usang”. Dalam kaitannya dengan sejarah
filsafat, Hegel menyatakan bahwa kelanjutan dari sistem pemikiran filosofis “menghadirkan
kelanjutan dari tahap yang perlu dalam perkembangan filsafat”. Hal ini hanya mungkin jika
pemikiran filosofis merupakan buah dari “roh di dalam dunia” (World-Spirit).9
Filsafat memperlihatkan bahwa Ide berkembang kepada suatu ketidakterbatasan antithesis antara Ide
dalam kebebasannya, bentuk universal — yang di dalamnya ia berada untuk dirinya — dan bentuk yang
berlawanan dari introversi abstrak, refleksi pada dirinya, yang merupakan eksistensi formal-bagi-dirinya,
kepribadian, kebebasan formal, sebagaimana milik dari Roh belaka. Ide universal berada sebagai totalitas

7 Lih. Anthony Kenny, “Introduction”, Ancient Philosophy, hlm. xviii.


8 Saya sudah mengatakan peristiwa luar biasa ini, khususnya tentang bagaimana sejarah mengajarkan kita, bahwa ide-
ide jenis ini, yang tampaknya sepele bagi kita, tidak selalu dipandang oleh dunia; justru, pemikiran semacam ini
membuat sebuah masa waktu berada dalam catatan sejarah tentang kecerdasan manusia. Aritoteles berkata tentang
Anaxagoras, sebagai penggagas dari pemikirannya dengan keraguan, “Ia tampak seperti seorang yang sabar di antara
orang-orang yang mabuk”. Selanjutnya, Socrates mengadopsi ajaran Anaxagoras dan darinya lahirlah ide cemerlang
dalam filsafat. Plato menjadikan Socrates berkata: “Dan diharapkan, saya telah menemukan seorang guru yang akan
menunjukkan kepada saya Alam dalam keharmonisan dengan Akal budi, yang akan menunjukkan dalam setiap
fenomena dengan tujuannya yang khusus, dan dalam keseluruhan, sebuah objek mahabesar dari Alam Semesta (G.W.F.
Hegel, The Philosophy of History, hlm. 26-27).
9 Bdk. Hegel, G.W.F., The Philosophy of History (Vol. I), hlm. 12; Menurut Hegel, “Filsafat yang mencapai puncaknya

pada suatu masa merupakan hasil dari perkembangan dan kebenaran tertinggi yang darinya kesadaran diri dari roh
cukup bagi dirinya” (Bdk. Hegel, G.W.F., The Philosophy of History (Vol. III), hlm. 552).

5
substansial dari sesuatu pada satu sisi, dan sebagai esensi yang abstrak dari kehendak bebas pada sisi
lain. Refleksi pikiran pada dirinya merupakan kesadaran diri individual — kutub yang berlawanan dari
Ide dalam bentuknya yang umum, dank arena itu berada dalam Keterbatasan yang absolut. 10
Frederick Copleston menegaskan makna sejarah filsafat. Di satu pihak, sejarah filsafat
merupakan kontinuitas dan koneksi, aksi dan reaksi, tesis dan antithesis. Tidak ada sebuah
filsafat yang dapat sungguh-sungguh dipahami secara utuh jika tidak dilihat dalam latar
belakang historis dan dalam keterkaitan dengan persoalan yang terjadi. Bagaimana orang dapat
memahami apa yang dipikirkan Plato jika tidak orang mengetahui pemikiran Herakleitos,
Permenides, dan Phytagoras? Bagaimana orang dapat memahami mengapa Immanuel kant
menempatkan ruang, waktu, dan kategori-kategori, jika orang tidak mengetahui pemikiran
kaum empiris dan kaum realis yang berdampak pada kesimpulan skeptis dari David Hume.11
Di lain pihak, sejarah filsafat menunjukkan pencarian manusia akan kebenaran melalui akal
budi yang berpikir. Neo-Thomis mempunyai prinsip, Omnia cognoscentia cognoscunt
implicite Deum in quolibet cognito (Semua pengetahuan menjelaskan Tuhan secara tersirat
dalam setiap apa yang diketahuinya). Dengan prinsip ini, setiap pengetahuan mengarah secara
tersirat kepada Kebenaran Absolut atau Keberadaan Absolut. Karena itu, pencarian kebenaran
mencapai puncaknya, yaitu pencarian akan Kebenaran Absolut (Allah).12
Akhirnya, “Sejarah filsafat bukanlah perjalanan garis lurus, tetapi perjalanan garis
kurva” (Etiene Gilson).13 Sejarah filsafat bukan perjalanan garis lurus karena pemikiran filsafat
satu sama lain bukanlah sistem berpikir yang terpisah-pisah. Jika terjadi, peristiwanya hanyalah
“kisah datar” yang dapat dilukiskan dengan garis lurus. Akan tetapi, sejarah filsafat adalah
perjalan garis kurva. Sebagaimana kita ketahui garis kurva semakin jauh dari titik koordinatnya
semakin meninggi dan pada suatu saat bisa menurun. Sejarah filsafat adalah perjalanan yang
dinamis. Dalam hal ini, sejarah filsafat merupakan perjalanan yang semakin naik ketika
pemikiran satu dikritik dan sekaligus diperkaya oleh pemikiran yang lain. Ketika seorang filsuf
mengkritik pemikiran filsuf sebelum, sebenarnya ia sedang memperkaya ide-ide sebelumnya.
Hal ini bisa dalam arti mendukung atau menolak gagasan. Lalu, kapan sebuah perjalanan garis
kurva pemikiran filsafat menurun? Inilah pertanyaan yang mesti dijawab dalam seluruh sejarah
filsafat.

“The History of the World is not intelligible apart from a


Government of the World.” (W. V. Humboldt).

10 G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, hlm. 40.


11 Bdk. Frederick Copleston, A History of Philosophy, hlm. 5.
12 Bdk. Frederick Copleston, A History of Philosophy, hlm. 6.
13 Étienne Gilson (French: [13 June 1884 – 19 September 1978) adalah seorang filsuf Perancis dan sejarawan filsafat.

Sebagai seorang ahli tentang filsafat Abad Pertengahan, ia mendalami secara khusus pemikiran Descartes, dalam
kacamata tradisi Thomas Aquinas, meskipun ia sendiri tidak menganggap sebagai filsuf Neo-Thomisme
(https://en.wikipedia.org/wiki/Etienne_Gilson).

Anda mungkin juga menyukai