Anda di halaman 1dari 9

3.

Masa Socrates

Socrates adalah filsuf Yunani yang merupakan salah satu figur paling penting dalam
tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga tokoh
filsuf besar Yunani selain Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, kemudian Plato
pada gilirannya mengajar Aristoteles. Pada masa Socrates, ada sekelompok filsuf yang disebut
kaum Sofis. Mereka muncul pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM. Meskipun sezaman,
kaum sofis dipandang sebagai penutup era filsafat pra-sokratik sebab Sokrates akan membawa
pembaharuan besar di dalam dunia filsafat Yunani. Karena itu, sofisme dipandang sebagai
suatu gerakan dalam bidang intelektual di Yunani pada saat itu.1

1. Kaum Sofis
Istilah ‘Sofis’ (σοφιστής, sophistes) mempunyai dua pengertian. Pertama, Sofis berarti
‘ahli’ dan arti ini sering digunakan. Kedua, Sofis berarti ‘guru yang professional’ dan arti ini
jarang digunakan. Tidak seperti para filsuf sebelumnya, kaum Sofis menerima bayaran untuk
pengajaran yang mereka lakukan. Kebiasaan ini menyebabkan status mereka menjadi rendah
sebagai Sofis di mata bangsa Yunani. Dengan ini, “Sofis” berubah makna menjadi “Sofistri”
yang berarti ada pergeseran pengajaran dari soal kebenaran (truth) menjadi persoalan kata-kata
yang indah (persuasion).2
Beberapa faktor menjadi menyebabkan munculnya kaum Sofis. Pertama, kaum Sofis
timbul karena perkembangan di Athena. Setelah perang dengan Persia usai pada tahun 449
SM, Athena berkembang pesat di dalam bidang politik dan ekonomi. Perikles adalah tokoh
yang berhasil memimpin orang-orang Athena saat itu hingga Athena berhasil menjadi pusat
seluruh Yunani. Setelah Athena menjadi pusat politik dan ekonomi Yunani, dengan segera
Athena juga menjadi pusat dalam bidang intelektual dan kultural. Kedua, kaum Sofis timbul
karena kebutuhan akan pendidikan. Bersamaan dengan meningkatnya kemakmuran warga
Athena, maka dirasakan juga kebutuhan di dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang utama
pada waktu itu adalah pendidikan yang memampukan orang untuk berbicara dengan baik dan
meyakinkan di depan umum. Hal ini berkaitan dengan kemajuan di bidang politik, yakni
dengan dengan sistem demokrasi yang diterapkan di Athena. Di sinilah, kaum Sofis memenuhi
kebutuhan akan pendidikan tersebut. Kaum Sofis mengajarkan ilmu-ilmu seperti matematika,
astronomi, dan tata bahasa, di samping ilmu retorika yang merupakan ilmu utama. Selain
memiliki murid-murid yang berasal dari kalangan atas, para Sofis juga memberi ceramah-
ceramah untuk rakyat biasa. Ketiga, kaum Sofis muncul karena perjumpaan dengan pelbagai
kebudayaan. Kemajuan di Athena juga mendorong perjumpaan dengan orang-orang dari
pelbagai bangsa yang memiliki adat istiadat, hukum, ilmu pengetahuan, dan filsafat yang
berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai etika, tradisi, bahkan
kepercayaan religius. Kaum Sofis banyak berbicara tentang peraturan-peraturan yang ada
berdasarkan kesepakatan sosial atau adat kebiasaan saja (nomos) ataukah berdasarkan pada
kodrat manusia (physis).3

1 Yang termasuk para sofis adalah Protagoras dari Abdera, Xeniades dari Korintus, Gorgias dari Leontinoi, Lycophron,
Prodikos dari Keos, Thrasymakos dari Chalcedon, Hippias dari Elis, dan Antiphon and Kritias dari Athena
(https://id.wikipedia.org/wiki/Sofis#Kemunculan_Kaum_Sofis; Dikutip, 16 Agustus 2019).
2 Bdk. Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm. 16.
3 https://id.wikipedia.org/wiki/Sofis#Kemunculan_Kaum_Sofis; Dikutip, 16 Agustus 2019.

1
1.1 Protagoras
Protagoras (480-410 SM)4 lahir di kota Abdera di daerah Thrake. Pada waktu Perikles
meminta untuk mendirikan kota perantauan Thurioi, Protagoras diminta untuk membuat
undang-undang dasar bagi polis baru. Dalam bukunya, Alêtheia (“Kebenaran”), Protagoras
menyatakan diktumnya: “Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, untuk hal-hal yang ada
sehingga mereka ada dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada”. Manusia
sebagai ukuran segalanya dapat ditafsirkan dua hal: “manusia sebagai individu” dan “manusia
sebagai species”. Penafsiran pertama “manusia sebagai individu” berarti bahwa setiap
pengalaman manusia menjadi ukuran yang benar bagi dirinya sendiri. Berdasarkan tafsiran ini,
tidak ada kebenaran objektif, tetapi kebenaran bersifat subjektif yang bergantung kepada
setiap individu. Setiap pendapat pantas untuk dihargai dan dihormati. Ketika berhadapan
dengan persoalan ini, Protagoras menegaskan: “Mengenai dua pendapat yang saling
berlawanan, kebenaran tampak kepada masing-masing orang. Pendapat yang benar tidak dapat
ditentukan dan dipastikan. Situasi ini menghantar kepada sikap skeptis; orang menjadi ragu-
ragu bahkan bingung akan kebenaran yang pasti. Penafsiran kedua “manusia sebagai species”
berarti bahwa manusia merupakan ukuran terhadap penilaian yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan dalam segala sesuatu berhadapan dengan segala makhluk. Tafsiran ini
mempunyai tekanan pada hakikat manusia sebagai kriteria nilai.
Menurut beberapa ajaran Protagoras, seorang Sofis adalah orang yang bijaksana. Ketika
ada ajaran yang menyatakan “lalukanlah tindakan ini”, dan ajaran lain menyatakan “lakukanlah
tindakan itu”, tugas seorang Sofis adalah menunjukkan tindakan yang lebih baik dalam
persoalan ini. Ketika seseorang ragu-ragu mengenai keberadaan dewa-dewa, kepastian hukum,
dan tindakan moral, tetapi menghidupi kebiasaan bersama, tradisi hidup, dan aturan tingkah
laku yang ada, ia tetap berperan sebagai anggota komunitas yang baik. Menurut Protagora,
orang yang bijaksana akan memperbaiki dan mengubah tradisi-tradisi secara perlahan-lahan
dalam suasana damai. Protagoras juga mengajarkan kepada para muridnya untuk menilai hal-
hal yang menguntungkan dan merugikan. Sudut pandangnya adalah bagian yang dapat
diperdebatkan secara berbeda. Perdebatan ini bertujuan untuk mempraktekan “seni pembelaan”
terhadap hal yang mendukung dan juga membela pandangan yang tidak mendukung. Di sini,
kita dapat merasakan sikap relatif Protagoras terhadap suatu nilai kehidupan.

1.2 Gorgias
Georgias (475-375 SM) lahir di Leotinoi di Sicilia dan meninggal pada umur 108 tahun.
Awalnya ia adalah murid Empedokles, kemudian ia dipengaruhi oleh Zeno. Gorgias menulis
karyanya “Tentang yang tidak ada atau tentang alam” (mē ontos, physeōs). Dalam karyanya, ia
menyatakan: “Yang tidak ada itu nyata. Jika sesuatu itu ada, kita tidak dapat mengetahuinya,
dan jika kita mampu mengetahuinya, kita tidak dapat mengungkapkan atau
mengkomunikasikannya”.
Gorgias menjelaskan dengan argumen dialektis dalam tiga pernyataan. Pertama, “Yang
tidak ada itu nyata dan yang ada itu tidak nyata”. Inilah argumentasinya. Yang tidak ada
pastilah tidak ada. Ada kepastian akan ketidaannya. Yang tidak ada itu sungguh-sungguh nyata.
Hal ini berlawanan dengan yang ada. Yang ada itu tidak ada karena yang ada itu tidak nyata.
Tidak ada kepastian dari keberadaannya. Karena, “yang tidak ada” itu nyata – maka “yang ada
itu tidak nyata”. Kedua, jika sesuatu itu ada, sesuatu itu tidak dapat diketahui. Mengapa?
Sesuatu itu dalam perubahan; Padahal pikiran itu bersifat tetap. Sesuatu yang dalam perubahan

4 Lih. Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm. 17-18.

2
tidak bisa ditetapkan dalam pikiran. Karakter ada itu berubah, sementara karakter pikiran itu
tetap. Jika sesuatu dapat diketahui oleh pikiran, hal ini dapat dipastikan ada kesalahan. Dengan
kata lain, mengetahui sesuatu adalah hal yang absurd (sesuatu mustahil diketahui). Ketiga, jika
sesuatu itu dapat diketahui, maka hal ini tidak dapat diungkapkan. Mengapa? Kata-kata sebagai
ekspresi pengetahuan itu mestinya dapat didengar, padahal tidak dapat didengar. Kata-kata
berciri melarikan diri dari objeknya (fugitive), padahal pikiran berciri tetap sebagai kebenaran
(stable). Karena itu kata-kata tidak mampu mengungkapkan pikiran. Dan lagi, ketika dua orang
mengungkapkan hal yang sama, sekaligus ada pada dua pikiran yang berbeda secara
bersamaan? Dengan argumennya ini, Georgias tidak hanya menganut paham skeptisisme
(anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), tetapi juga memihak paham nihilism
(anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang bernilai).5

1.3 Thrasymacus
Thrasymacus (459–400 SM) menyatakan bahwa pada kenyataan, seluruh hak yang
nyata merupakan hak-hak dari orang yang kuat. Kekuasaan membuat orang mempunyai hak.
Inilah pernyataan yang dikutip Plato dalam Repubblica: “Hukum alam adalah hukum yang
lebih kuat. Semua hukum yang dibuat manusia untuk mengatur hidup bersama adalah soal
kesepakatan. Hal ini menghambat secara langsung pada hukum yang lebih kuat yang
memberikan keuntungan lebih besar daripada hukum alam. Menurut kodratnya, paham
keadilan berasal dari orang yang kuat terhadap orang yang lemah. Padahal, keadilan mengikuti
dalam setiap kondisi. Ini hanya akan berubah ketika manusia mampu memutuskan rantai
kebersamaan; situasi berubah dari budak menjadi tuan”.6
Tharsymacus menilai bahwa ketidakadilan itu tidak cacat secara moral. Ketidakadilan
lebih baik daripada keadilan. Menurutnya, orang yang tidak adil adalah pribadi yang kuat dan
cerdik. Penegasannya adalah “ketidakadilan membayar”. Ini berarti bahwa orang yang tidak
adil membawa kepada kesempurnaan dan ia menjadi tuan atas seluruh kota. Sebaliknya,
keadilan membawa orang kepada kebodohan dan kelemahan. Dalam hal ini, Thrasymacus
mengajak orang Yunani untuk mengejar kepentingan secara tidak terbatas sebagai pernyataan
diri mereka. Pendiriannya adalah “Keadilan sebagai kepentingan dari orang yang lebih kuat
dan kekuasaan adalah hak”. Selanjutnya, hukum dibuat oleh kelompok orang yang berkuasa
demi kepentingannya. Hukum ini merumuskan apa artinya memiliki hak. Di setiap negara
seperti juga negara yang mempraktekkan hak memiliki hal yang sama. Hal ini disebabkan
bahwa hak menjadi kepentingan dari sekelompok orang yang membuatnya atas nama
kekuasaan. Karena itu, Thrasymacus menegaskan: “Kesimpulannya jelas, apa yang disebut hak
itu sama di setiap tempat, yaitu kepentingan dari kelompok yang lebih kuat”.
Thrasymacus mereduksi moralitas kepada kekuasaan. Ini adalah konsekuensi tak
terhindarkan dari para Sofis yang skeptis. Mereka membawa kepada sikap relativis terhadap
kebenaran dan moral. Hal inilah yang membuat Socrates untuk mengoreksi inkosistensi logis
pemikiran mereka, membangun gagasan tentang kebenaran dan membentuk dasar yang kuat
untuk penilaian moral.

2. Socrates
Banyak orang Athena keliru bahwa Socrates dianggap sebagai Sofis. Justru, Socrates
(470-399 SM) adalah orang yang mengkritik cara hidup para Sofis. Ada perbedaan antara

5 Lihat. Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm. 18-19.


6 Plato, Repubblica, I, 339b; Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 65.

3
Socrates dan para Sofis. Pertama-tama, perbedaannya adalah bahwa para Sofis mau menerima
bayaran, tetapi Socrates tidak. Lebih dari itu, Socrates mengajar untuk mencari kebenaran
(truth), sementara para Sofis mengajar untuk memotivasi orang (persuasion). Socrates tidak
tertarik untuk mengajar dengan kata-kata indah yang mempesona (with persuading men);
sebaliknya, ia mengajar dengan melakukan penyadaran tentang apa yang sudah dihayati oleh
orang (making aware of).7
Ketika mengajar, para Sofis menyampaikan dua argumen yang sama kuatnya untuk
meragukan suatu kebenaran. Argumen para Sofis membawa orang pada rasa skeptis (masa
bodoh, pesimis, ragu-ragu) atau sikap relatif (nilai moral yang tidak tetap). Selanjutnya, mereka
menyimpulkan bahwa karena seluruh pengetahuan itu relatif, maka standar moral juga relatif.
Sebaliknya, Socrates memiliki sikap yang konsisten. Ia terus berusaha mencari kebenaran dan
menjadikan filsafatnya utuk mencari dasar pengetahuan yang meyakinkan. Ia berusaha juga
untuk menemukan dasar dari hidup yang baik (the good life). Dalam hal ini, Socrates
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan palsu sebagai ilusi dan melahirkan
pengetahuan sejati sebagai kebenaran. Ia percaya bahwa intuisi intelektual murni diperlukan
untuk sampai kepada praktek keutamaan. Sebagaimana ia memperjuangkan filsafatnya,
Socrates menetapkan sebuah metode untuk mencapai kebenaran; ia menghubungkan antara
“mengetahui” dan “melakukan”, sehingga “mengetahui hal yang baik sama dengan melakukan
hal yang baik”. Jadi, “Pengetahuan adalah keutamaan”. Tidak seperti para Sofis, Socrates
menggunakan argumentasi, bukan untuk mencapai tujuan dengan menghancurkan kebenaran
atau untuk mengembangkan kemampuan pragmatis seperti politisi dan pembela hukum, tetapi
untuk mencapai konsep kebenaran dan kebaikan yang mendasar (knowledge is virtue).
Berturut-turut, kita akan melihat: hidup Socrates, Socrates sebagai filsuf, teori pengetahuan,
pemikiran moral, dan kematian Socrates.8

2.1 Hidup Socrates


Ia adalah filsuf pertama yang lahir di Athena (469 SM - 399 SM). Ia berasal dari
keluarga yang biasa. Ayahnya adalah seorang pemahat dan ibunya seorang bidan. Ia menikah
dengan Xantippe tetapi pernikahan mereka tidak bahagia. Menurut tradisi, Socrates itu
berperawakan tidak menarik dan berkepribadian yang aneh (àtopon) dan perawakannya yang
tidak menarik berlawanan dengan pribadinya yang bijak yang dapat dibandingkan dengan
badan yang tampan dan anggun (kalokagatòs). Walaupun begitu, Socrates adalah warga negara
yang baik dan mengambil bagian dalam beberapa peperangan demi keberadaan Athena. Ia
menerima pendidikan yang baik dan memberikan pengajaran lebih awal dalam masa
hidupnya.9
Socrates hidup pada masa pemerintahan Perikles (494-429). Perikles adalah pemimpin
yang membawa kepada zaman keemasan Yunani. Ini dimulai ketika Persia dikalahkan Athena
dan Athena memiliki kekuatan angkatan laut yang menguasai Laut Egean dengan baik. Athena
mencapai kekuatan dan kemegahan yang tak terduga. Dengan situasi ini, Perikles membuat
Athena menjadi pusat hidup intelektual dalam dunia Yunani. Pada zamannya, demokrasi dan
seni berkembang di Athena. Pada masa itu juga hidup tiga dramawan terkenal. Dramawan
Aeschylus telah menulis beberapa karya-karya drama yang spektakuler. Sementera, drawawan
Euripides dan Sophocles yang masih muda pada saat itu menghasilkan karya drama yang

7 Bdk. Bernard Delfgaauw, A Concise History of Philosophy, hlm. 13.


8 Lih. James Fisher dan Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: A Historical Survey with Essential Readings, hlm. 33-42
9 Bdk. Bernard Delfgaauw, A Concise History of Philosophy, hlm. 16.

4
berciri tragedi; Karya-karya mereka akan menjadi perhatian Socrates pada waktunya. Berkaitan
dengan pemikirannya, Socrates dipengaruhi oleh dua filsuf sebelumnya. Pertama, ia
dipengaruhi oleh pemikiran Parmenides tentang “ada yang abadi dan tetap”, peranan jiwa
manusia, kontemplasi, dan pencarian kebijaksanaan dari jiwa yang rendah hati. Kedua, ia
dipengaruhi oleh pemikiran Anaxagoras tentang “kehadiran pikiran dalam alam semesta”.
Ajaran Anaxagoras mengenai “kehadiran Logos di alam semesta” sangat mempengaruhinya.
Ia menyimpulkan bahwa pengetahuan dewa-dewa adalah pengetahuan tak terbatas; mereka
mengetahui segala sesuatu yang terjadi di setiap tempat. Pikiran universal hadir dalam diri
dewa-dewa dan juga hadir dalam diri manusia. Dewa-dewa mengetahui apa yang terbaik. Bagi
mereka, selalu ada tujuan dalam segala sesuatu di alam semesta ini. Ketika seseorang berdoa,
mestinya ia berdoa tentang apa pun yang diketahui oleh dewa sebagai hal yang terbaik. Akal
budi manusia adalah bagian dari Akal Budi universal dalam alam semesta.10
Socrates tidak menulis apa pun sebagai seorang filsuf. Menurut Socrates, berfilsafat
seperti pengujian terus-menerus tentang diri sendiri dan juga orang lain; tulisan tak mampu
membangkitkan dan membawa untuk berfilsafat. Tulisan dapat mengkomunikasikan sebuah
ajaran, tetapi tidak membangkitkan pencarian. Plato menjelaskan alasan bahwa Socrates tidak
meninggalkan tulisan melalui tokoh Thamus, seorang raja Mesir dalam percakapan dengan
Theut, penemu tulisan:
Kamu menawarkan kepada murid-murid soal tulisan, bukan kebenaran yang lahir dari kebijaksanaan.
Karena ketika para murid akan membaca banyak hal tanpa pengajaran apa pun, mereka akan dipercaya
mempunyai kaya dalam pemikiran, meskipun begitu pada dasarnya seluruh pemikirannya tinggal sebagai
suatu hal yang tak disadari dan menjadi tidak punya makna bagi yang lain karena mereka tidak akan
memiliki kebijaksanaan, tetapi hanya ide tentang kebijaksanaan (Fedro 275 e).11

Karena Socrates tidak menulis apa pun, kita hanya mengenal hidup dan pemikirannya
dari kesaksian Aristophanes, Xenophon, dan khususnya Plato. Dalam The Cloud, Aritophanes
menggambarkan Socrates seperti unggas air yang mondar-mandir, dengan memainkan
kebiasaannya mengkerlingkan matanya dan menatap tajam kepada “murid-murid” dan “toko
berpikirnya”. Menurut Xenophon, Socrates adalah gambaran seorang prajurit yang loyal; ia
mempunyai semangat untuk mendiskusikan kepentingan moralitas dan yang tertarik kepada
orang muda yang mencari nasihatnya. Plato mengkonfirmasi gambaran umum ini dan
gambaran tambahan Socrates sebagai seorang dengan misi hidup yang dalam dan kemurnian
moral yang mengagumkan. Salah seorang muridnya memberikan kesaksian: “Tak ada hal apa
pun, Socrates hanya menginginkan perubahan dalam diri saya dalam cara berpikir yang biasa
dan ketika ia menghabiskan waktunya bersama saya, ia akan meninggalkan saya dan pergi juga
ajarannya” (Alcibiade).
Menurut kesaksian, Socrates mampu berkonsentrasi sangat serius dalam waktu yang
lama. Pada suatu kesempatan selama parade militer, ia berdiri dalam kontemplasi selama satu
malam; “Sampai fajar menyingsing dan matahari terbit, ia baru berjalan setelah berdoa kepada
dewa matahari”. Seringkali, ia menerima pesan-pesan atau peringatan-peringatan dari “suara
misterius” yang disebutnya sebagai daimõn. Tanda supranatural ini sudah memenuhi
pikirannya dari sejak kecil, tanda ini memberikan kemampuan visionernya, secara khusus
sensitivitasnya pada kualitas moral dari tindakan manusia yang membuat hidup pantas dijalani.
Apa yang dialaminya ini untuk menjalankan misi sebagai filsuf moral diteguhkan oleh ramalan
Delphus. Melalui seorang peramalnya, Chaerephon menyatakan: “Tak ada orang yang hidup

10 (Bdk. Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm.19-21).


11 Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 69.

5
lebih bijaksana daripada Socrates. Berdasarkan ramalan ini, Socrates menerimanya dengan
sikap rendah hatinya dengan keyakinan “saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Ia juga meyakini
ramalan ini merupakan “pekerjaan dari Logos di alam semesta”. Socrates meyakini hal sebagai
daimõn yang bekerja dalam dirinya.

2.2 Teori Pengetahuan


Socrates sebagai filsuf menggunakan metode maieutikê tekhnê (seni kebidanan)12.
Seperti ibunya adalah seorang bidan yang membantu perempuan untuk bersalin, Socrates
membantu orang untuk melahirkan kebenaran. Socrates menjadi bidan atas jiwa-jiwa untuk
melahirkan pemahaman yang benar akan hidup. Dengan metode ini, Socrates tidak
mengajarkan doktrin-doktrin filsafat tetapi mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam dialog.
Dengan pertanyaan, ia bermaksud untuk menjernihkan pendapat lawan bicaranya; pendapatnya
sungguh-sungguh sahih dan tidak mempunyai kontradiksi di dalamnya. Ia tidak berhenti
sampai pada tahap ini. Ia akan melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam usaha untuk
membawa lawan bicara dalam dialog kepada pemahaman yang lebih dalam terhadap tema yang
didiskusikan. Biasanya hal ini membawa kepada perubahan tingkah laku. Apa yang terjadi
berulang-ulang dalam percakapan ini membuat lawan bicara Socrates dalam dialog akan
meyakini bahwa ia sendiri telah mempunyai pemahaman yang benar pada persoalan yang
didiskusikan. Ini merupakan buah dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Socrates.
Menurut Socrates, inilah cara yang membuat orang menjadi sadar akan pemahaman yang
dimilikinya. Dengan ini, pemahaman menjadi hal yang penting dalam soal beretika dan
memiliki makna radikal dalam seluruh hidup manusia.13
Metode maieutikê tekhnê sebagai jalan untuk mencapai pengetahuan sejati adalah
praktek percakapan kritis. Percakapan kritis ini merupakan praktek dari “bidan intelektual”.
Di satu pihak, metode ini disebut sebagai dialetika. Metode ini mulai dengan tema yang sudah
jelas. Melalui proses dialog, yang di dalamnya seluruh aspek persoalan yang dibicarakan, orang
dipaksa untuk sampai kepada gagasan yang jelas. Hasil dari percakapan ini adalah kesimpulan
yang tak terbantahkan. Dalam praktek percakapan kritis, gagasan yang tidak sempurna atau
tidak tepat ditelanjangi dari kepalsuannya. Di lain pihak, metode ini disebut sebagai elenchus.
Melaui metode ini, orang dipaksa untuk meninggalkan pendapatnya yang palsu. Prinsipnya,
hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani.
Aristoteles menyatakan bahwa penyelidikan Socrates dalam berfilsafat dari sudut
pandang logis menggunakan metode induktif dan definisi universal (katholon). Kedua metode
ini berkaitan dengan prinsip pengetahuan. Metode induktif adalah pemeriksaan dari sejumlah
persoalan atau afirmasi khusus naik pada afirmasi umum yang diungkapkan dalam konsep.
Sementara, metode induktif bergerak pada definisi dalam sebuah konsep. Baginya, definisi
adalah konsep yang jelas dan definitif. Definisi ini menyatakan esensi atau kodrat dari suatu
hal.14 Lebih jauh, Socrates berpendapat bahwa kita mempunyai dua jenis objek ketika kita
berpikir. Sekuntum bunga yang indah adalah serentak bunga khusus dan sebuah contoh dari
makna keindahan universal. Bagi Socrates, definisi melibatkan proses yang melaluinya pikiran
dapat membedakan dua objek ini dalam pikiran yaitu yang partikular (bunga indah ini) dan
yang universal (konsep keindahan).

12 Nicolas Abbagnano menambahkan: “Maieutikê juga sama dengan obat yang tidak memusatkan perhatian pada
penderitaan yang ditimbulkannya tetapi pemulihan kesehatan menjadi tujuannya” (Nicola Abbagnano, Storia della
Filosofia, hlm. 72).
13 Bdk. Bernard Delfgaauw, A Concise History of Philosophy, hlm. 14.
14 Bdk. Aristotele, Metafisica, I, 4,1078 b.

6
Hanya melalui proses yang ketat dari definisi, kita mampu menyatukan jurang
perbedaan antara sesuatu yang partikular (bunga yang indah ini) dan gagasan yang universal
(keindahan). Bagi Socrates, proses definisi adalah sebuah proses untuk mencapai pada konsep
yang jelas dan pasti. Melalui definisi, Socrates menunjukkan bahwa pengetahuan sejati lebih
dari sebuah penyelidikan fakta-fakta. Pengetahuan harus berurusan dengan kemampuan kita
untuk menemukan dalam fakta-fakta sebuah elemen-elemen yang tersembunyi yang tetap hadir
meskipun fakta-fakta telah menghilang. Misalnya, keindahan setelah bunga mawar layu.
Lingkaran yang tidak bulat mengacu kepada lingkaran yang bulat. Segitiga yang tidak
sempurna mewakili segitiga yang sempurna.
Dalam hal ini, Aristoteles mencatat, “Socrates tidak berfokus pada persoalan alam,
tetapi pada argumen moral untuk mencari definisi universal. Demikianlah, ia mewujudkan
pencarian pada wilayah pengetahuan”.15

2.3 Pemikiran Moral


Socrates mempunyai keprihatinan terhadap ajaran relativisme dan skeptisisme. Secara
umum, kaum Sofis menyatakan bahwa kehidupan sosial tidak memiliki dasar dalam kodrat
manusia, dan merupakan kesepakatan manusiawi saja. Kaum Sofis yang diwakili Protagoras,
Gorgias dan Tharsymacus mengajarkan relativisme dan sekaligus skeptisisme. Relativisme
adalah paham yang mengajarkan tidak ada kebenaran universal dan abadi, sementara
skeptisisme adalah paham yang mengajarkan tidak ada kebenaran yang pasti. Khususnya,
Protagoras dengan ajaran “Manusia ukuran segalanya” membawa kepada relativisme moral;
Gorgias dengan ajaran “Yang tiada itu nyata” menggiring kepada sikap skeptis; Thrasymacus
dengan menyatakan “Ketidakadilan lebih baik daripada keadilan” sungguh-sungguh
menjungkirbalikan nilai kebenaran.
Berhadapan dengan kedua paham, Socrates menemukan bahwa filsafat bertugas
melakukan pencarian ke dalam diri manusia. Semboyannya adalah “Kenalilah dirimu sendiri”
(conosci se stesso). Berdasarkan semboyan ini, Cicero berkata: “Socrates adalah filsuf yang
telah menarik filsafat dari langit turun ke atas bumi”. Pencarian ini harus mengarah untuk
menempatkan manusia dalam kejelasan dirinya dengan mempertanyakan secara kritis
(maieutikê tekhnê).16
Dengan ini, Socrates menemukan dasar filsafatnya bukan pada kenyataan dunia tetapi
dalam jiwa manusia. Jiwa manusia adalah tempat dari aktivitas unik manusia. Aktivitas ini
adalah aktivitas untuk mengetahui. Aktivitas ini disebut unik karena aktivitas itu membawa
kepada aktivitas tindakan. Untuk menggambarkan aktivitas unik ini, Socrates menggunakan
konsep mengenai jiwa (psyke). Jiwa itu bukan hanya suatu kemampuan atau sejenis substansi,
melainkan kemampuan intelegensi dan karakter; jiwa adalah kepribadian sadar dari seorang
pribadi. Karena itu, jiwa adalah sebuah struktur kepribadian. Dalam struktur ini, aktivitas
jiwa bertindak serentak mengetahui dan melakukan tingkah laku. Hal ini dirumuskan dengan
“pengetahuan adalah keutamaan”. Menurut Socrates, makna keutamaan tidak berdasar pada
pendapat yang ada dan aturan hidup yang sudah diketahui. Karena itu, makna pengetahuan
berarti penyelidikan secara kritis terhadap nilai-nilai yang membentuk kehidupan.17 Dalam
rumusan “pengetahuan adalah keutamaan”, Aristoteles menyatakan bahwa Socrates
mengkaitkan keutamaan dengan akal budi; jika keutamaan tidak berkaitan dengan akal budi,

15 Lih. Aristotele, Metafisica, I, 6, 987 b 1.


16 Bdk. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 70-71.
17 Bdk. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 74.

7
maka keutamaan tidak dapat disamakan dengan akal budi sendiri. Keutamaan tidak dapat
disebut sebagai keutamaan.18
Dasar dari identifikasi pengetahuan dan keutamaan Socrates adalah konsep partikular
keutamaan. Menurut Socrates, keutamaan adalah kepenuhan dari hakikat manusia. Sebagai
makhluk rasional, hakikat seorang pribadi adalah berlaku rasional. Pada saat yang sama, setiap
manusia memiliki keinginan mutlak akan kebahagiaan. Sikap batin ini hanya dapat dicapai
dengan tindakan tertentu yang tepat. Karena keinginan akan kebahagiaan, seorang pribadi
memilih tindakan-tindakannya dengan harapan dapat membawa kepada kebahagiaan. Akan
tetapi, tidak setiap tindakan dapat membawa kepada kebahagiaan. Di sini, orang perlu
mempertanyakan tindakannya: apakah tindakannya membawa kepada kebahagiaan atau
sebaliknya? Selanjutnya, ketidaktahuan membuat orang gagal untuk melihat bahwa perbuatan
tertentu tidak dapat membawa kepada kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan mengandaikan
pengetahuan yang benar tentang kodrat manusia dengan mengetahui apa yang diperlukan untuk
menjadi bahagia. Kebahagiaan juga menuntut pengetahuan yang benar mengenai sesuatu dan
jenis perbuatan dengan mengetahui apakah semua memenuhi syarat-syarat kebahagiaan.
Demikian juga, kebahagiaan menuntut pengetahuan yang dapat membedakan antara apa yang
tampak dan apa yang sungguh-sungguh memberikan kebahagiaan. Dengan kata lain, orang
yang diyakinkan sungguh-sungguh bahwa tindakan tertentu akan membawa kepada
kebahagiaan, pasti ia akan mewujudkan tindakannya. Akibatnya, keutamaan dan
pengetahuan adalah satu kesatuan.19
Moralitas Socrates berfokus pada jiwa manusia sebagai pusat kehidupan. Karena jiwa
sebagai pusat hidup manusia, jiwa mesti dipelihara. Menurut Socrates, cara tepat memelihara
jiwa dengan memahami perbedaan antara hidup yang benar dan hidup yang palsu. Melalui
pemahaman ini, pemikiran mengenai pengetahuan mengenai hidup manusia dapat diwujudkan.
Dengan mencapai pengetahuan tentang hidup yang benar, orang sungguh-sungguh memelihara
jiwanya dengan pengetahuan nilai moral yang benar. Dengan ini, filsafat Socrates berpusat
pada hidup yang benar dan bukan kontemplasi kebenaran.
Selanjutnya, Socrates memberikan alasan terhadap pemeliharaan jiwanya. Jiwa
bernilai lebih luhur daripada badan. Jiwa bukan sekedar nafas manusia, tetapi prinsip
kehidupan dalam arti yang lebih dalam. Jiwa adalah keberadaan dan hakikat manusia yang
menjadi tanggung jawab setiap pribadi. Socrates menegaskan: “Tidak ada artinya hidup, apa
yang penting adalah hidup dengan baik”. Untuk menghayatinya, orang harus mencapai kepada
suatu pemahaman yang murni. Hidup mesti dipertanyakan terus-menerus untuk membawa
orang kepada pemahaman dan pengertian yang benar. Keutamaan adalah tingkah laku yang tak
terpisahkan dengan pemahaman murni (the pure insight).
Berkaitan dengan ajaran moral Socrates, Aristoteles berkomentar atas filsafat Socrates.
Di satu pihak, Aristoteles menunjukkan bahwa ajaran tentang “intelektualisme etis”
mengabaikan untuk memperhitungkan kelemahan manusia. Untuk hidup benar, baik
keutamaan intelektual dan keutamaan moral dibutuhkan. Di lain pihak, Aristoteles setuju
dengan Socrates bahwa hidup manusia hanya layak dijalani kalau manusia mempertanyakan
hidupnya. Hidup baik dalam diri manusia berciri rasional, bijaksana, dan cerdas. Kebahagiaan
sejati adalah kehidupan yang indah. Secara khusus, hidup manusia adalah hidup yang
didasarkan pada intelegensinya.20

18 Bdk. Aristotele, Etica Nicomachea, VI, 13, 1144 b.


19 Bdk. James Fisher dan Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: A Historical Survey with Essential Readings, hlm. 40
20 Bdk. Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm. 21.

8
3. Pengadilan dan Kematian
Ajaran Socrates menggungat kenyaman hidup bangsa Yunani. Kepedulian pada jiwa
manusia menjadi perhatian pokok filsafat Socrates. Kepedulian ini ditempuh dengan jalan
“mempertanyakan” penghayatan dan pikiran bangsa Yunani. Apa yang sudah dihidupi selama
itu digugat oleh Socrates dengan pertanyaan-pertanyaan kritisnya (maieutikê tekhnê). Hampir
dapat dipastikan banyak orang Yunani tidak senang dengan Socrates karena kenyamanan hidup
mereka digugat oleh Socrates.
Tuduhan khusus bangsa Yunani adalah soal muridnya, Alcibiades. Alcibiades adalah
murid Socrates yang berkhianat kepada bangsanya sendiri (Yunani). Ia berpihak kepada bangsa
Sparta dengan memberikan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan bangsa
Yunani. Padahal bangsa Sparta itu musuh bangsa Yunani dalam peperangan Yunani dan
Sparta. Atas kasus Albiciades, Socrates dituduh sebagai pengajar dan sekaligus pengkhianat;
Socrates dituduh mengajari muridnya untuk berkhianat. Karena kebanyakan orang Yunani
tidak percaya lagi pada Socrates, ia dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Diogenes Laertius memberikan catatan tuduhan yang diberikan kepada
Socrates. Pertama, Socrates dituduh bukan karena tidak menyembah dewa-dewa yang diakui
oleh bangsa Yunani, melainkan karena mengajarkan praktek-praktek religius yang baru dan
tidak biasa; Kedua, Socrates dituduh karena ia merusak pikiran generasi muda. Atas kedua
tuduhan itu Socrates dihukum mati.21
Sebelum kematiannya, Socrates sempat dibujuk melarikan diri oleh sahabat-sahabatnya.
Mereka membujuk untuk melarikan diri dengan alasan demi anak dan isterinya. Tetapi,
Socrates menolak dengan pendiriannya yang teguh. Ia memberikan alasan bahwa ia tidak
mungkin menyangkal ajaran yang telah diajarkan selama itu. Dengan menerima hukuman mati,
Socrates meyakini sebagai orang yang berbakti kepada bangsa Yunani dan sekaligus
menghormati hukum serta keputusan pengadilan. Socrates dihukum mati dengan meminum
ramuan jamur beracun sebagai saksi kebenaran22

21Lih. James Fisher dan Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: A Historical Survey with Essential Readings, hlm. 41.
22 Plato memberikan kesaksian pada peristiwa kematian Socrates dalam bukunya Paedo: “Socrates bergulat dengan
dirinya dan ketika racun itu sampai ke dalam jantungnya, ia berada dalam detik-detik terhakir hidupnya. Tubuhnya
menjadi dingin… berbicara untuk terakhir kalinya. ‘Crito’, katanya, ‘aku berhutang ayam kepada Aslepius; jangan lupa
membayarnya… Demikianlah selesai semua… teman kita, seorang laki-laki, Saya pikir, adalah orang dari semua orang
pada zamannya, yang terbaik, yang paling bijaksana, dan yang paling benar” (James Fisher dan Samuel Enoch Stumpf,
Philosophy: A Historical Survey with Essential Readings, hlm. 42).

Anda mungkin juga menyukai