05010222014@Student.uinsby.ac.id
ABSTRAK
Kaum sofis merupakan kelompok filosof yang terkenal pada zaman yunani kuno. Salah satu
konsep utama yang menjadi focus mereka adalah kebenaran yang relatif. Mereka berpendapat
bahwa kebenaran bersifat subjektif dan dapat berbeda-beda bagi setiap individu. Konsep ini
bertentangan dengan pandangan objektif pada umumnya yang dianut pada waktu itu. Dalam
tulisan ini, akan dibahas, lebih lanjut tentang pandangan kaum sofis mengenai kebenaran
yang relative, bagaimana konsep ini dipahami, serta omplikasi filosofis yang muncul dari
pandangan mereka tersebut.
PENDAHULUAN
Kata "Sophistes" tidak dipakai pra abad ke-5. Arti tertua ialah "orang bijak" atau
"seseorang yang berpengalaman di dalam beberapa bidang". Kata ini segera digunakan untuk
mengartikan 'bujangan' atau 'sarjana'. Herodotus menyebut Pythagoras Sophistes. Penulis
Yunani Androtion (abad ke-4 SM) memakai nama tersebut untuk mengacu pada abad ke-6
"Tujuh Orang Bijak" dan Socrates. Ahli retorika Yunani awal abad keempat, Lysias,
menerapkan nama nama ini pada Plato. Namun pada abad ke-4, nama Philosophus telah
menjadi nama yang biasa digunakan untuk dalam arti 'sarjana' atau 'sarjana', sedangkan nama
Sophistes bermigrasi dari kota ke kota dan menjadi sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Yunani. yang memainkan peran penting. Sekitar akhir abad ke-20 - 5. Sekali lagi,
kami menggunakan kata "Sofis" dalam pengertian terakhir ini. Sofisme adalah sekolah,
gerakan intelek. Ini karena beberapa faktor yang menjelaskan kebangkitan kaum Sofis
selama periode ini yaitu :
a. Setelah berakhirnya Perang Persia (449 SM), Athena sangat berkembang pesat di
bidang ekonomi dan politik. Di bawah kepemimpinan Pericles, polis ini menjadi
pusat seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu, Athena tidak ikut serta dalam
perkembangan filsafat atau sains sejak abad ke-6. Namun secara historis, negara-
negara dan kota kota yang pernah mengalami masa keemasan di bidang politik dan
ekonomi telah berkali kali yang menjadi pusat di bidang intelektual dan budaya .
Begitu juga kota Athena. Kita telah melihat bahwa Anaxagoras pertama kali
memilih Athena sebagai tempat tinggalnya. Kaum Sofis tidak akan pernah
melakukan pembatasan aktivitas di kota Athena. Kaum sofis dapat berperan sebagai
seorang guru yang terus berpindah pindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Meskipun demikian kaum sofis tetap menganggap kota athena sebagai kota yang
special, karena memiliki kelebihan tersendiri. Misalnya, Protagoras, yang secara
filosofis dianggap sebagai tokoh Sofis utama, sering mengunjungi Athena.
b. Dalam cacatan historis, kaum sofis merupakan orang pertama yang
menyelenggarakan fasilitas Pendidikan bagi kaum muda. Maka dari pada itu orang
orang umum menganggap Pendidikan sebagai suatu penemuan masyarakat yunani.
Ini adalah salah satu manfaat besar yang masih ada dalam budaya modern.
c. Bergaul dengan banyak negara tidak dikenal, sehingga masyarakat Yunani mulai
menyadari bahwa kebudayaan bangsa mereka bertolak belakang dengan kebudayaan
bangsa lain. Sehingga mereka merumuskan mengenai suatu hal baik atau buruk serta
salah atau benar hanya bersifat relative saja. Karena itu mereka mendapat tanggapan
besar terutama dari kalangan kaum muda. Akan tetapi mereka memiliki kebiasaan
yang buruk yaitu suka menyingkirkan tradisi tradisi tua dan lebih memilih kepada
tradisi baru .1
Sofis pada mulanya adalah istilah merujuk pada sekelompok filsuf yang hidup dan
bekerja secara bersamaan dengan Socrates. Ia muncul di pertengahan hingga akhir abad ke-5
SM. Dan meskipun kontemporer, kaum Sofis ini biasanya dipandang sebagai periode
terakhir dari filsafat pra Sokrates, karena Socrates akan merubah perubahan yang besar dalam
filsafat Yunani setelah Socrates. Tentu saja, aturan yang berbeda untuk budaya yang berbeda.
Demikian pula, pendapat yang benar suatu hari nanti salah. Tidak ada kebenaran mutlak,
semuanya relatif!
Sofis mengajar siswa untuk terlebih dahulu memahami situasi dan kemudian
mengarahkannya ke sebuah tujuan yang telah mereka targetkan. Ciri lain dari kaum Sofis
adalah melihat sesuatu yang sangat konkrit, melihat sesuatu, atau lebih praktis. Tidak se-
1
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus,
1999), hlm. 68-70
abstrak Socrates dkk. Tujuannya jelas ditujukan pada sesuatu yang konkrit dan bisa
menghasilkan apa saja yang diinginkan.
PEMBAHASAN
Sofis ialah himpunan ahli filsafat yang hidup pada zaman Socrates. Dan
sekulumpulan itu muncul di pertengahan atau akhir abad ke-5 SM. Terlepas dari orang-orang
sezaman mereka, kaum Sofis dianggap sebagai akhir dari era filsafat pra-Sokrates, karena
Socrates akan merubah perubahan yang sangat besar pada filsafat Yunani. Kelompok sofis
bukanlah sebuah pegangan atau mazhab, karena para filosof yang tergolong sofis tidak
memiliki doktrin umum atau organisasi tertentu. Oleh karena itu, sofisme dipandang sebagai
suatu gerakan dalam bidang intelektual Yunani pada masa itu, yang diakibatkan oleh
beberapa keadaan yang muncul pada masa itu. Para sofis muncul di pertengahan abad ke-5
SM Beberapa filsuf filsafat terkenal tidak datang dari Athena, tetapi mereka semua
mengunjungi dan bekerja di Athena.
a. Protagoras
Pericles merencanakan pendirian kota sebagai perusahaan pan-Hellen, yang berarti
bahwa semua Hellas diharapkan untuk berpartisipasi. Tokoh-tokoh terkemuka seperti
Herodotus, Hippodamus dan Lysias hadir. Protagoras diminta untuk menulis
konstitusi untuk polis baru. Menurut Diogenes Laertius, di penghujung hidupnya
Protagoras dituduh melakukan pelanggaran (asebia) di Athena dan buku-buku
agamanya dibakar di depan umum. Dikatakan juga bahwa Protagoras melarikan diri
ke Sisilia, tetapi meninggal karena tenggelamnya perahu layarnya dalam perjalanan
itu. Tetapi karena kesaksian Diogenes Laertius tidak dapat dibandingkan dengan
catatan lain, sebagian besar sejarawan terkemuka meragukan keasliannya. Protagoras
menulis beberapa buku. Hanya beberapa fragmen pendek yang selamat. Namun isi
ajarannya bisa diterapkan karena gagasan Protagoras belakangan banyak
dipertanyakan. Sumber utamanya adalah Plato, terutama dua dialog yang disebut
Theaetetus dan Protagoras.
1) Ajaran
Ada sebuah cerita dalam sebuah buku berjudul Atleteia ("Kebenaran").
Protagoras yang terkenal disimpan dalam koleksi H. Diels sebagai Fragmen 1.
Pencetus ini dapat digambarkan sebagai relativistik, artinya kebenaran
dipandang bergantung pada manusia. Manusialah yang memutuskan apakah
itu benar atau tidak, meskipun itu ada. Di sini muncul pertanyaan tentang
bagaimana kata "manusia" harus dipahami. Apakah Protagoras berarti
manusia individu, atau manusia sebagai manusia? Apakah kebenaran
bergantung pada Anda dan saya untuk memiliki kebenaran kita sendiri?
Apakah bergantung pada kita semua sehingga kebenaran itu sama untuk
semua, meskipun kita tidak memilikinya? bukan. Ini diperjelas dengan contoh-
contoh yang dia kutip untuk mengilustrasikan sudut pandang Protagora.
Misalnya, angin yang sama dapat terasa panas bagi satu orang (yang sehat)
dan dingin bagi yang lain (sakit/demam). kalian berdua benar! Dan tidak ada
alasan untuk meminta pendapat Protagoras terbatas pada deteksi sensorik.
Semua pendapat sama benarnya, meskipun sangat kontradiktif. Tapi pikiran
Protagoras sendiri tidak terkecuali. Karena, oleh karena itu, seperti yang
disimpulkan Plato, kemungkinan besar pendapat Protagoras hanya berlaku
untuk dirinya sendiri, dan sebaliknya berlaku untuk orang lain.
b. Georgias
Georgias lahir di Leontine, Sisilia, sekitar tahun 483. Dia mungkin pertama kali
menjadi murid Empedocles, setelah itu dia dipengaruhi oleh dialektika Zeno. Pada
tahun 427 dia datang ke Athena sebagai duta besar dari kampung halamannya untuk
meminta bantuan melawan kota Syracuse. Sebagai seorang sofis, dia berkeliling kota-
kota Yunani, terutama Athena, di mana dia meraih sukses besar berkat kefasihannya
yang luar biasa. Ia dihormati sebagai seorang guru dan memiliki banyak murid. Dia
meninggal pada usia 108 tahun, sekitar 375 tahun.
1) Ajaran
Gorgias menulis sebuah buku berjudul About Nothing atau About Nature.
Dalam buku ini ia mengambil tiga posisi: (1). tidak ada; (2). Jika sesuatu ada,
itu tidak dapat diketahui. (3). Ketika sesuatu diketahui, pengetahuan itu tidak
dapat diteruskan kepada orang lain. Banyak argumen yang mendukung ketiga
posisi ini. Masalahnya adalah bagaimana memahami niat Gorgias. Beberapa
sejarawan berpendapat bahwa dengan ketiga posisi ini dia bermaksud persis
seperti yang dia katakan. Jika demikian, Gorgias tidak hanya menganut
skeptisisme (asumsi bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), tetapi juga
nihilisme (asumsi bahwa tidak ada yang ada atau tidak berharga). Namun, sulit
membayangkan bahwa posisi tersebut dimaksudkan oleh Gorgias sendiri.
Mungkin dia ingin menyindir cara berpikir Elean dengan menunjukkan bahwa
mereka dapat melanjutkan cara berpikir mereka sampai menjadi tidak mungkin.
Menurut tradisi Yunani, Gorgias menulis karya di atas. Setelah itu, dia
meninggalkan filsafat dan mengabdikan dirinya pada retorika. Masih ada dua
pidato yang ditulis oleh Gorgias. Agaknya, kedua pidato ini dimasukkan
sebagai contoh dalam manual ilmu retorika, tetapi buku itu sudah tidak ada
lagi. Retorika dianggap oleh Gorgias sebagai seni persuasi ("seni persuasi").
Oleh karena itu, tidak cukup memberikan alasan yang diarahkan pada akal, kita
juga harus menyentuh perasaan. Gorgias menciptakan gaya yang menerapkan
prinsip ini. Di antara murid-murid Gorgias, orator Yunani terkenal Isocrates
harus disebutkan. Dia membuka sekolah Platonis yang disebut "Academia".
c. Hippias
Hippias adalah teman seusia Socrates dan berasal dari kota Elis. Ini dibahas dalam
dua dialog Plato, berjudul Hippias Myor dan Hippias Minor.
1) Ajaran
Seperti banyak Sofis lainnya, Hippias prihatin dengan pertanyaan apakah
perilaku manusia dan tatanan sosial harus didasarkan pada nomos (kebiasaan,
hukum) atau pada phis (alam). Namun, dia memberikan jawaban yang
bertentangan dengan sebagian besar rekan Sofisnya. Dia percaya bahwa sifat
manusia adalah dasar dari perilaku manusia dan struktur masyarakat. Dia
berpikir begitu karena undang-undang harus diubah atau diubah berkali-kali.
Jadi kita melihat bahwa hukum bukanlah standar tertinggi untuk menentukan
benar dan salah. Apalagi, hukum seringkali melanggar kodrat manusia.
Misalnya, hukum mengklasifikasikan orang sebagai penguasa atau rakyat,
orang bebas atau budak. Padahal, semua manusia pada dasarnya sama. Hippias
dengan demikian memanifestasikan kosmopolitanisme dan universalisme yang
menjadi ciri banyak Sofis.
Dalam sejarah filsafat Yunani, ada sekelompok filsuf yang dikenal sebagai "sofis"
(shopistês), didefinisikan kedalam bahasa Inggris bahwa dikatakan orang yang suka menipu
orang lain dengan menggunakan argumen ilegal. 2Bahkan kaum sofis di katakan sebagai
orang pengemis atau meminta minta bagi pemikiran mereka. 3
Selain Protagoras, karakter canggih lainnya adalah Gorgias yang memiliki pola pikir
skeptis. Dia mengajarkan: "Tidak ada yang ada; dan jika sesuatu ada, itu tidak bisa diketahui;
dan jika bisa diketahui, itu tidak bisa dikomunikasikan" (Tidak ada yang benar-benar ada
(ada); kalaupun ada, tidak dapat diketahui. Dan sekalipun diketahui, pengetahuan itu tidak
dapat dikomunikasikan kepada orang lain).6
Beberapa orang liberal mengatakan bahwa orang tidak dapat mencapai "kebenaran
mutlak" karena orang "relatif". Dan tidak ada yang relatif yang dapat menyentuh (kecuali)
yang "mutlak" (mutlak). Jadi hanya Allah سبحانه وتعالىyang dapat mengetahui kebenaran yang
mutlak karena Dialah yang "Absolut". Oleh karena itu, kebenaran dibagi menjadi dua:
kebenaran absolut dan relatif. 7
2
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus,
1999), hlm. 83
3
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980), hlm. 33
4
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus,
1999), hlm. 87
5
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan
Kolonialis (Ponorogo-Jatim: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2008), hlm. 89
6
Donald M. Borchert (Editor in Chief), Encyclopedia of Philosophy, 10 Volume (USA: Thomson Gale, 2nd
Edition, 2006), VIII: 48
7
Sururan (ed.), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Fatayat NU dan Ford Foundation, 2005), hlm. 58
Padahal, kaum sofis (al-Sufasṭa'iyyah) jauh sebelum kaum liberal mengemukakan
teori kebenaran absolut atau relatif, yakni berabad-abad sebelum Masehi.
Di antara mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai agnostik (al-la-adriyyah),
yang menyatakan bahwa kebenaran tidak dapat dicapai.
Kelompok lain ialah kaum sofis relativis atau bisa disebut (al-'indiyyah ), yang
berpendapat bahwa kebenaran bergantung pada siapa yang mengatakan dan
memberitahukan. Kaum sofis terakhir kali di kenal sebagai al-'Inadiyyah (orang yang keras
kepala) yang menyatakan bahwa tidak ada yang mengetahui kebenaran. 8
Meskipun suatu kebenaran dalam Islam dapat diraih. Dan untuk menjelaskan hakikat
kebenaran menurut pemahaman Islam, berikut ini jelaskan klasifikasinya agar tidak terjadi
kesalahan dan kesalahpahaman dalam memahaminya.
Dalam pemikiran Islam, konsep kebenaran (al-ḥaqq) dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
Pertama, kebenaran (al-ḥaqq) yang disandarkan kepada Allah سبحانه وتعالى.
Kebenaran (al-ḥaqq) adalah "tunggal" menurut Allah: tidak banyak dan pada hal-hal
yang pasti dan jelas atau yang dekat. Kebenaran yang seperti itu disebut dengan "kebenaran
mutlak" (al-ḥaqq al-muṭlaq). Argumen Alquran adalah Firman Allah pada QS. Yunus ayat 32
yang berbunyi Famadza ba'da al-ḥaqq illa al-ḍalal (Tidak ada lagi setelah kebenaran itu
kecuali kesesatan)
Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. menyebutkan bahwa banyak orang yang menilai Sa'd bin
Mu'adz ra berdasarkan hukum (aturan). Kemudian Abu Said mengirim seorang utusan
kepadanya dan dia datang dengan membawa seekor keledai.
Ketika Sa'ad ibn Mu'adz berjalan menuju masjid, Rasulullah bersabda: "Ayo,
sambutlah orang terbaik dari kalian, tuan pemimpin kalian." Kemudian Nabi bersabda lagi:
“Hai Sa‘d, orang-orang ini berhukum kepada peraturan yang engkau tetapkan.” Kemudian
Saad menjawab: "aku menetapkan suatu hukum di antara mereka untuk memerangi orang-
orang yang berperang melawan mereka dan menawan keluarga mereka." Kemudian
Rasulullah bersabda: “Engkau menerapkan hukum menurut hukum Allah atau hukum
(kekuasaan) raja. (HR. al-Bukhari).
8
Dr. Aḥmad Hijāzī al-Saqā :‘Allāmah Saʻd al-Dīn al-Taftāzānī, Syarḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, taḥqīq (Kairo:
Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhariyyah, cet. I, 1407 H/1987 M), hlm. 13, 14
Dari Sulaiman ibn Buraidah, dari bapaknya. dia berkata: "Rasulullah, ketika dia
menunjuk seorang pemimpin pasukan, dia selalu mewariskan kepadanya dan kepada umat
Islam bahwa mereka takut kepada Allah ... jika engkau memiliki mengepung penduduk Ḥiṣn
lalu mereka memintamu untuk menerapkan hukum Allah, maka jangan turuti keinginan
mereka itu. Tetapi, arahkan mereka menurut hukum (aturan) yang engkau buat, karena
engkau tidak mengetahui apakah hukum Allah itu sesuai dengan mereka atau tidak.” (HR.
Muslim).
Amr ibn al-‘Aṣ menyatakan bahwa dia mendengar Rasulallah bersabda: ‘Jika seorang
hakim berijtihad dan (ijtihadnya) benar, maka dia mendapatkan dua pahala kebaikan. Namun
jika ijtihadnya tidak benar, dia akan mendapatan satu kebaikan.” (HR. al-Bukhari).
Sabda rasulullah di atas menegaskan bahwa barang siapa yang melakukan ijtihad
dalam suatu perkara dan ijtihadnya menyentuh kebenaran (al-ḥaqq) yang ada di sisi Allah,
maka ia mendapat dua keuntungan: satu pahala ijtihad dan kerja kerasnya dan satu lagi
pahala. dari hasil ijtihad yang benar (menurut) menurut kebenaran (al-ḥaqq). Namun orang
yang melakukan kesalahan dalam ijtihaadnya akan tetap mendapatkan pahala (pahala) yang
baik atas usaha dan ijtihaadnya. Dan Allah memaafkan kesalahan tersebut karena pembuat
undang-undang (al-Syari) yang menuduhnya tidak memiliki bukti yang kuat. Dan Dia
membiarkannya menjadi “ladang” ijtihad manusia.
Kedua, kebenaran yang dinisbatkan kepada seorang Mujtahid.
Kebenaran (al-ḥaqq), menurut seorang fakih, pada sesuatu yang pasti dan jelas (al-
umur al-qaṭ'iyyah) "satu", tidak banyak. Dalam hal-hal yang bersifat ẓanni dan menjadi dasar
ijtihad, kebenaran (al-ḥaqq) juga bersifat religius menurut keragaman mujtahid. Ini disebut
kebenaran relatif (al-ḥaqq al-nisbi), dikenal sebagai al-ṣawab, yang dapat dicapai oleh
mujtahid melalui upaya ijtihadnya.
Setiap fakih dapat mencapai “kebenaran” (al-ṣawab) sejauh ia memahaminya dan
meyakininya. Dan karena mujtahi banyak, maka kebenaran (al-ṣawab) juga berbeda-beda.
Oleh karena itu, tidak mungkin dikatakan bahwa pendapat yang satu mutlak benar (al-ḥaqq
al-muṭlaq) dan pendapat yang lain baṭil. Kitab Imam al-Zarkasyi al-Baḥr al-Muḥiṭ
mengatakan bahwa al-Qaḍa al-Ḥusain mengatakan dalam salah satu tafsirnya: “Pendapat
yang diutamakan adalah bahwa setiap mujtahid adalah benar (muṣib). al-ḥaqq), yaitu bersama
Allah, dan yang lainnya hanya mencapai kebenaran yang ada pada dirinya sendiri”.
Syekh Muhammad Bakhit al-Muṭi'i berkata: “Setiap hukum yang ada didasarkan
(berdasarkan) pada empat dalil (artinya: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas) baik secara
eksplisit (ṣariḥ) maupun dengan ijtihad. .cara Itu disebut hukum Allah atau syariat-Nya dan
itu adalah petunjuk Nabi Muhammad yang harus kita ikuti.Itu karena pendapat setiap
mujtahid - karena diambil dari empat sumber hukum - adalah Syari'ah (hukum) Allah dalam
kebenarannya dan kebenaran siapa pun yang mengikutinya.
9
Dr. Mu‘ādz ibn Muhammad Abū al-Fatḥ al-Bayānūnī, al-Ta‘addudiyyah al-Da‘wiyyah: Dirāsah Manhajiyyah
Syāmilah (Kuwait & Kairo: Dār Iqra’ li al-Nasyr wa al-Tawzī‘, cet. I, 1427 H/2006 M), hlm. 41-47
10
Imam Abū al-Mu‘īn al-Nasafī (w. 508 H), Kitāb al-Tamhīd li Qawā‘id al-Tawḥīd, studi dan taḥqīq: Ḥabīb
Allāh Hasan Ahmad (Kairo: Dār al-Ṭibā‘ah al-Muḥammadiyyah, cet. I, 1406 H/1986 M), hlm. 118
11
Dr. Khalif Muammar, “Prinsip dan Ukhuwah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah”, dalam Fahmi Salim (ed.), Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), 2012), hlm. 2
12
Dr. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia
Bandung, 1428 H/2007 M), hlm. 182-199
Singkatnya, kebenaran dalam Islam dapat dicapai. Sama halnya dengan sains.
Berbeda dengan sofis dan liberal zaman modern. Dimana kebenaran itu tidak mutlak tetapi
relatif. Lebih dari sekadar menggeneralisasi konsep kebenaran. Karena ada “kebenaran
mutlak” milik Allah, kebenaran (al-ṣawab) milik mujtahid, dan kebenaran untuk umum dan
muqallid.
KESIMPULAN
Kaum sofis merupakan sebuah himpunan yang di dalamnya memuat para ahli filsafat
yang hidup pada zaman Socrates yakni pada abad ke 5 sebelum masehi. Walaupun sezaman,
kaum Sofis dianggap berada di akhir era filsafat pra-Sokrates karena Socrates merubah
perubahan yang sangat besar pada filsafat Yunani. Kelompok sofis bukanlah aliran yang
terpisah karena para filsuf yang di satukan sebagai tidak memiliki doktrin umum atau
organisasi yang pasti. Oleh karena itu, Sofisme dianggap sebagai gerakan dalam lingkup
intelektual Yunani pada masa itu yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang terjadi pada
masa itu. Saat itu filsafat masih berupa pengetahuan yang masih bersifat global. Sehingga
nantinya berkembang sedikit demi sedikit dan menonjol sebagai ilmu yang mandiri.
Socrates yang lahir sekitar tahun (469-399 SM) menghabiskan semasa hidupnya
untuk mengajari filsafat kepada para pemuda pemuda, akan tetapi tidak ada niatan untuk
mencari uang seperti kaum sofis. Ia mengajar hanya ingin para anak muda mengetahui
pentingnya kebenaran.
Dalam kacamata kaum Sofis, terdapat banyak nama nama tokoh Sofis yang tidak di
tulis di sini.Kaum sofis sendiri memiliki ajaran yang tidak sama dengan yang lain ,
namundalam cara berfikir kaum sofis ini , terdapat titik temunya dalam apa yang di liat
mereka tentang kebenaran. Kaum Sofis berpandangan bahwa sebuah kebenaran yang
sesungguhnya tidak akan di capai jika hanya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ialah
sesuatu yang relative, artinya suatu pernyataan maka di anggap sebagai sebuah kebenaran
bergantung kepada siapa yang menilainya. Kerena manusia adalah mengukur segala sesuatu
sendiri.