Anda di halaman 1dari 12

KEBENARAN YANG RELATIF MENURUT KAUM SOFIS

Mohammad Zaidan Fahmi Irsyadillah (05010222014)

Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2023

ABSTRAK

Kaum sofis merupakan kelompok filosof yang terkenal pada zaman y8unani kuno. Salah satu
konsep utama yang menjadi focus mereka adalah kebenaran yang relatif. Mereka berpendapat
bahwa kebenaran bersifat subjektif dan dapat berbeda-beda bagi setiap individu. Konsep ini
bertentangan dengan pandangan objektif pada umumnya yang dianut pada waktu itu. Dalam
tulisan ini, akan dibahas, lebih lanjut tentang pandangan kaum sofis mengenai kebenaran
yang relative, bagaimana konsep ini dipahami, serta omplikasi filosofis yang muncul dari
pandangan mereka tersebut.

PENDAHULUAN

Kata "Sophistes" tidak digunakan sebelum abad ke-5. Arti tertua adalah "orang bijak"
atau "seseorang yang berpengalaman dalam beberapa bidang". Kata ini segera digunakan
untuk mengartikan 'bujangan' atau 'sarjana'. Herodotus menyebut Pythagoras Sophistes.
Penulis Yunani Androtion (abad ke-4 SM) menggunakan nama tersebut untuk mengacu pada
abad ke-6 "Tujuh Orang Bijak" dan Socrates. Ahli retorika Yunani awal abad keempat,
Lysias, menerapkan nama-nama ini pada Plato. Namun pada abad ke-4, nama Philosophus
telah menjadi nama yang biasa digunakan dalam arti 'sarjana' atau 'sarjana', sedangkan nama
Sophistes bermigrasi dari kota ke kota dan menjadi penting dalam masyarakat Yunani. yang
memainkan peran penting. Sekitar akhir abad ke-20 - 5. Sekali lagi, kami menggunakan kata
"Sofis" dalam pengertian terakhir ini. Sofisme adalah sekolah, gerakan intelek. Ini karena
beberapa faktor yang menjelaskan kebangkitan kaum Sofis selama periode ini yaitu :

a. Setelah berakhirnya Perang Persia (449 SM), Athena berkembang pesat di bidang
politik dan ekonomi. Di bawah kepemimpinan Pericles, polis ini menjadi pusat
seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu, Athena tidak ikut serta dalam perkembangan
filsafat atau sains sejak abad ke-6. Namun secara historis, negara-negara dan kota-
kota yang pernah mengalami masa keemasan di bidang politik dan ekonomi telah
berkali-kali menjadi pusat bidang intelektual dan budaya juga. Begitu juga kota
Athena. Kita telah melihat bahwa Anaxagoras pertama kali memilih Athena sebagai
tempat tinggalnya. Kaum Sofis tidak membatasi aktivitas mereka di kota Athena.
Mereka adalah guru yang berpindah dari satu kota ke kota lain. Tetapi Athena, pusat
kebudayaan baru, memiliki daya tarik khusus bagi kaum Sofis. Misalnya, Protagoras,
yang secara filosofis dianggap sebagai tokoh Sofis utama, sering mengunjungi
Athena.
b. Sofis, untuk pertama kalinya dalam sejarah, menyelenggarakan pendidikan bagi
kaum muda. Paideia (Yunani untuk "pendidikan") karena itu dapat dianggap sebagai
penemuan Yunani. Ini adalah salah satu manfaat besar yang masih ada dalam budaya
modern.
c. Pergaulan dengan banyak negara asing, orang-orang Yunani mulai menyadari bahwa
kebudayaan mereka berlainan dengan negara lain. Sehingga mereka merumuskan
bahwa baik buruk dan salah benar itu bersifat relative saja. Karena itu mereka
mendapat tanggapan besar terutama dari kalangan kaum muda. Mereka selalu
cenderung membuang yang kolot/tradisi-tradisi tua dan memihak kepada yang baru.1

Sofis pada dasarnya adalah istilah yang merujuk pada sekelompok filsuf yang hidup dan
bekerja secara bersamaan dengan Socrates. Mereka muncul di pertengahan hingga akhir abad
ke-5 SM. Meskipun kontemporer, kaum Sofis dipandang sebagai periode terakhir dari filsafat
pra-Sokrates, karena Socrates akan membawa perubahan besar dalam filsafat Yunani setelah
Socrates. Tentu saja, aturan yang berbeda untuk budaya yang berbeda. Demikian pula,
pendapat yang benar suatu hari nanti salah. Tidak ada kebenaran mutlak, semuanya relatif!

Karakteristiknya bisa disebut pengacara. Lindungi pembayar. Semoga kebenaran hanya


berlaku bagi mereka yang menang dalam adu argumentasi. Dengan sendirinya!

Sofis mengajar siswa untuk terlebih dahulu memahami situasi dan kemudian
mengarahkannya ke tujuan yang diinginkan. Ciri lain dari kaum Sofis adalah melihat sesuatu
secara lebih konkrit, melihat sesuatu, atau lebih praktis. Tidak se-abstrak Socrates dkk.
Tujuannya jelas ditujukan pada sesuatu yang konkrit dan bisa menghasilkan apa saja yang
diinginkan.

PEMBAHASAN

1
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus,
1999), hlm. 68-70
Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan bekerja
pada waktu yang sama dengan Socrates. Mereka muncul di pertengahan atau akhir abad ke-5
SM. Terlepas dari orang-orang sezaman mereka, kaum Sofis dianggap sebagai akhir dari era
filsafat pra-Sokrates, karena Socrates membawa perubahan besar pada filsafat Yunani.
Kelompok sofis bukanlah mazhab tersendiri, karena para filosof yang tergolong sofis tidak
memiliki doktrin umum atau organisasi tertentu. Oleh karena itu, sofisme dipandang sebagai
suatu gerakan dalam bidang intelektual Yunani pada masa itu, yang diakibatkan oleh
beberapa keadaan yang muncul pada masa itu. Para sofis muncul di pertengahan abad ke-5
SM Beberapa filsuf filsafat terkenal tidak datang dari Athena, tetapi mereka semua
mengunjungi dan bekerja di Athena.

Ada beberapa tokoh-tokoh sofisme dan ajarannya, sebagai berikut :

a. Protagoras
pendirian kota itu dimaksudkan Perikles sebagai usaha pan-Hellen, berarti seluruh
Hellas diharapkan mengambil bagian dalamnya. Ada tokoh-tokoh terkemuka yang
ikut dalam usaha itu, seperti misalnya Herodotos, Hippodamos dan Lysias. Protagoras
diminta untuk mengarang undang-undang dasar bagi polis baru itu. Menurut Diogenes
Laertios pada akhir hidupnya Protagoras dituduh di Athena karena kedurhakaan
(asebia) dan bukunya tentang agama dibakar di hadapan umum. Diceritakan pula
bahwa Protagoras melarikan diri ke Sisilia, tetapi pada perjalanan ini ia tewas, akibat
perahu layar tenggelam. Tetapi karena kesaksian Diogenes Laertios ini tidak dapat
dicocokkan dengan data-data lain, kebanyakan sejarawan cutting edge menyangsikan
kebenarannya. Protagoras mengarang sejumlah buku. Hanya beberapa fragmen
pendek masih disimpan. Tetapi isi ajarannya dapat diterapkan, karena gagasan
Protagoras ramai dipersoalkan di kemudian hari. Plato merupakan sumber yang
utama, khususnya kedua dialognya yang berjudul Theaitetos dan Protagoras.
1) Ajaran
2) da sebuah cerita dalam sebuah buku berjudul Atleteia ("Kebenaran").
Protagoras yang terkenal disimpan dalam koleksi H. Diels sebagai Fragmen 1.
Pencetus ini dapat digambarkan sebagai relativistik, artinya kebenaran
dipandang bergantung pada manusia. Manusialah yang memutuskan apakah
itu benar atau tidak, meskipun itu ada. Di sini muncul pertanyaan tentang
bagaimana kata "manusia" harus dipahami. Apakah Protagoras berarti
manusia individu, atau manusia sebagai manusia? Apakah kebenaran
bergantung pada Anda dan saya untuk memiliki kebenaran kita sendiri?
Apakah bergantung pada kita semua sehingga kebenaran itu sama untuk
semua, meskipun kita tidak memilikinya? bukan. Ini diperjelas dengan contoh-
contoh yang dia kutip untuk mengilustrasikan sudut pandang Protagora.
Misalnya, angin yang sama dapat terasa panas bagi satu orang (yang sehat)
dan dingin bagi yang lain (sakit/demam). kalian berdua benar! Dan tidak ada
alasan untuk meminta pendapat Protagoras terbatas pada deteksi sensorik.
Semua pendapat sama benarnya, meskipun sangat kontradiktif. Tapi pikiran
Protagoras sendiri tidak terkecuali. Karena, oleh karena itu, seperti yang
disimpulkan Plato, kemungkinan besar pendapat Protagoras hanya berlaku
untuk dirinya sendiri, dan sebaliknya berlaku untuk orang lain.
b. Georgias
Georgias lahir di Leontine, Sisilia, sekitar tahun 483. Dia mungkin pertama kali
menjadi murid Empedocles, setelah itu dia dipengaruhi oleh dialektika Zeno. Pada
tahun 427 dia datang ke Athena sebagai duta besar dari kampung halamannya untuk
meminta bantuan melawan kota Syracuse. Sebagai seorang sofis, dia berkeliling kota-
kota Yunani, terutama Athena, di mana dia meraih sukses besar berkat kefasihannya
yang luar biasa. Ia dihormati sebagai seorang guru dan memiliki banyak murid. Dia
meninggal pada usia 108 tahun, sekitar 375 tahun.
1) Ajaran
Gorgias menulis sebuah buku berjudul About Nothing atau About Nature.
Dalam buku ini ia mengambil tiga posisi: (1). tidak ada; (2). Jika sesuatu ada,
itu tidak dapat diketahui. (3). Ketika sesuatu diketahui, pengetahuan itu tidak
dapat diteruskan kepada orang lain. Banyak argumen yang mendukung ketiga
posisi ini. Masalahnya adalah bagaimana memahami niat Gorgias. Beberapa
sejarawan berpendapat bahwa dengan ketiga posisi ini dia bermaksud persis
seperti yang dia katakan. Jika demikian, Gorgias tidak hanya menganut
skeptisisme (asumsi bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), tetapi juga
nihilisme (asumsi bahwa tidak ada yang ada atau tidak berharga). Namun, sulit
membayangkan bahwa posisi tersebut dimaksudkan oleh Gorgias sendiri.
Mungkin dia ingin menyindir cara berpikir Elean dengan menunjukkan bahwa
mereka dapat melanjutkan cara berpikir mereka sampai menjadi tidak mungkin.
Menurut tradisi Yunani, Gorgias menulis karya di atas. Setelah itu, dia
meninggalkan filsafat dan mengabdikan dirinya pada retorika. Masih ada dua
pidato yang ditulis oleh Gorgias. Agaknya, kedua pidato ini dimasukkan
sebagai contoh dalam manual ilmu retorika, tetapi buku itu sudah tidak ada
lagi. Retorika dianggap oleh Gorgias sebagai seni persuasi ("seni persuasi").
Oleh karena itu, tidak cukup memberikan alasan yang diarahkan pada akal, kita
juga harus menyentuh perasaan. Gorgias menciptakan gaya yang menerapkan
prinsip ini. Di antara murid-murid Gorgias, orator Yunani terkenal Isocrates
harus disebutkan. Dia membuka sekolah Platonis yang disebut "Academia".
c. Hippias
Hippias adalah teman seusia Socrates dan berasal dari kota Elis. Ini dibahas dalam
dua dialog Plato, berjudul Hippias Myor dan Hippias Minor.
1) Ajaran
Seperti banyak Sofis lainnya, Hippias prihatin dengan pertanyaan apakah
perilaku manusia dan tatanan sosial harus didasarkan pada nomos (kebiasaan,
hukum) atau pada phis (alam). Namun, dia memberikan jawaban yang
bertentangan dengan sebagian besar rekan Sofisnya. Dia percaya bahwa sifat
manusia adalah dasar dari perilaku manusia dan struktur masyarakat. Dia
berpikir begitu karena undang-undang harus diubah atau diubah berkali-kali.
Jadi kita melihat bahwa hukum bukanlah standar tertinggi untuk menentukan
benar dan salah. Apalagi, hukum seringkali melanggar kodrat manusia.
Misalnya, hukum mengklasifikasikan orang sebagai penguasa atau rakyat,
orang bebas atau budak. Padahal, semua manusia pada dasarnya sama. Hippias
dengan demikian memanifestasikan kosmopolitanisme dan universalisme yang
menjadi ciri banyak Sofis.

Dalam sejarah filsafat Yunani terdapat satu kelompok filosof yang dikenal dengan
‘kaum Sofis’ (shopistês), yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai: seseorang yang
menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. 2

Bahkan, kaum Sofis ini dituduh sebagai orang-orang yang minta uang bagi ajaran mereka. 3

Tokoh-tokoh Sofis ini diantaranya: Protagoras yang menyatakan “Man is the measure
of all things” (Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya). Pendirian ini adalah cikal-bakal
‘relativisme’ dimana kebenaran dianggap tergantung kepada manusia. Manusialah yang

2
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus,
1999), hlm. 83
3
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980), hlm. 33
menentukan benar-tidaknya, bahkan ada tidaknya. 4
Doktrin relativisme ini mengajarkan
bahwa di sana tidak lagi nilai yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Agama tidak lagi
berhak mengklaim mempunya kebenaran absolut. Ia hanya dipahami sama dengan persepsi
manusia sendiri yang relatif itu. 5

Selain Protagoras, tokoh Sofis lainnya adalah Gorgias yang memiliki diktum
pemikiran skeptisisme. Dia mengajarkan,  “That nothing exist; and if something did exist, it
could not be known; and if could be known it could not be communicated” (Tidak ada
sesuatu pun yang benar-benar ada (eksis); jika pun hal itu ada, maka tak dapat diketahui. Dan
meskipun dapat diketahui, pengetahuan itu tak dapat disampaikan kepada orang lain).6

Menurut Qosim Nursheha Dzulhadi dalam “Jejak Shopisme dalam Liberalisasi


Pemikiran di Indonesia” Ajaran skeptisisme ini pun akhirnya dilanjutkan oleh para intelek
Barat lainnya, seperti: Goodman, Putnam, Rorty, sampai Ernest Hemingway.

Kaum Liberal : Sofis Modern

Sebagian kaum liberal memang ada yang mengatakan bahwa ‘kebenaran mutlak’
tidak dapat dicapai oleh manusia, karena manusia itu ‘nisbi’ (relatif). Dan sesusatu yang nisbi
tidak mungkin dapat menyentuh (sampai) yang ‘mutlak’ (absolut). Maka, kebenaran mutlak
hanya dapat diketahui oleh Allah ‫سبحانه وتعالى‬., karena Dialah yang ‘Maha Mutlak’. Sehingga,
kalau begitu, kebenaran itu terbagi dua: kebenaran mutlak dan kebenaran nisbi. 7
Sejatinya, sebelum kaum liberal menyampaikan teori mutlak atau nisbinya sebuah
kebenaran, kaum Sofis (al-Sūfasṭā’iyyah) telah lama mendahului mereka, yakni sejak abad-
abad sebelum masehi.
Di antara mereka ada yang dikenal dengan kelompok agnostic (al-lā-adriyyah), yang
menyatakan bahwa kebenaran tak dapat diraih.
Kelompok kedua adalah kaum Sofis-relativis (al-‘indiyyah), yang mengklaim bahwa
kebenaran itu tergantung yang menyebutkan dan mengatakannya. Dan, kelompok Sofis

4
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus,
1999), hlm. 87

5
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan
Kolonialis (Ponorogo-Jatim: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2008), hlm. 89
6
Donald M. Borchert (Editor in Chief), Encyclopedia of Philosophy, 10 Volume (USA: Thomson Gale, 2nd
Edition, 2006), VIII: 48
7
Sururan (ed.), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Fatayat NU dan Ford Foundation, 2005), hlm. 58
terakhir dikenal dengan sebutan al-‘Inādiyyah (keras kepala), yang mengklaim bahwa tidak
ada yang tahu kebenaran. 8

Padahal kebenaran dalam Islam itu dapat dicapai. Dan untuk mengetahui hakikat
kebenaran menurut konsepsi Islam, berikut ini akan diuraikan pembagiannya, agar tidak
keliru dan salah dalam memahaminya.

Dalam pemikiran Islam, konsep kebenaran (al-ḥaqq) dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Pertama, kebenaran (al-ḥaqq) yang disandarkan kepada Allah ‫سبحانه وتعالى‬. 
Kebenaran (al-ḥaqq) menurut Allah adalah ‘tunggal’: tidak banyak, baik dalam hal-
hal tegas dan jelas (al-qṭ‘iyyah) maupun yang sifatnya mendekati yakin (al-ẓanniyyah).
Kebenaran seperti ini disebut dengan ‘Kebenaran Mutlak’ (al-ḥaqq al-muṭlaq). Dalilnya di
dalam al-Qur’an adalah Firman Allah yang berbunyi, Famādzā ba‘da al-ḥaqq illā al-
ḍalāl (Tidak ada lagi setelah kebenaran itu kecuali kesesatan) (QS. Yūnus [10]: 32).

Dari Abū Sa‘īd al-Khudrī ra. menyebutkan bahwa banyak orang yang berhukum
dengan hukum (aturan) Sa‘d ibn Mu‘ādz ra. Lalu Abū Sa‘īd mengirim seorang utusan
kepadanya, lalu ia datang dengan menunggang keledai.

Ketika Sa‘d ibn Mu‘ādz itu mendekati masjid, Rasulullah berkata, “Ayo, sambutlah
orang terbaik dari kalian, tuan pemimpin kalian.” Kemudian Nabi  berkata lagi, “Hai Sa‘d,
orang-orang ini berhukum kepada peraturan yang engkau tetapkan.” Lalu Sa‘d menjawab,
“Aku menetapkan hukum di tengah-tengah mereka agar memerangi orang-orang yang
memerangi mereka dan menawan keluarga mereka’. Lalu Rasulullah  berkata: ‘Engkau telah
menerapkan hukum sesuai dengan hukum Allah atau dengan hukum (aturan) raja’.” (HR. al-
Bukhārī).

Dari Sulaimān ibn Buraidah, dari bapaknya ra. dia berkata: “Rasulullah  jika
mengangkat seorang pemimpin satu pasukan perang beliau selalu berwasiat kepadanya dan
kepada kaum Muslimin agar mereka bertakwa (takut) kepada Allah,…jika engkau telah
mengepung penduduk Ḥiṣn lalu mereka memintamu untuk menerapkan hukum Allah, maka
jangan turuti keinginan mereka itu. Tetapi, aturlah mereka menurut hukum (aturan) yang
engkau buat, karena engkau tidak tahu apakah hukum Allah itu sesuai dengan mereka atau
tidak.” (HR. Muslim).
8
Dr. Aḥmad Hijāzī al-Saqā  :‘Allāmah Saʻd al-Dīn al-Taftāzānī, Syarḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, taḥqīq (Kairo:
Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhariyyah, cet. I, 1407 H/1987 M), hlm. 13, 14
‘Amr ibn al-‘Āṣ menyatakan bahwa dia mendengar Rasulallah  bersabda: ‘Jika
seorang hakim berijtihad dan (ijtihadnya) benar, maka dia mendapat dua pahala kebaikan.
Namun jika ijtihadnya keliru, dia mendapat satu kebaikan.” (HR. al-Bukhārī).

Sabda Rasulillah  di atas menegaskan bahwa siapa saja yang berijtihad dalam satu
perkara dan ijtihadnya itu mengenai kebenaran (al-ḥaqq) yang ada pada sisi Allah maka dia
mendapat dua kebaikan: satu pahala ijtihad dan usaha kerasanya dan satu pahala lagi hasil
dari ijtihadnya yang tepat (sesuai) dengan kebenaran (al-ḥaqq). Namun siapa yang keliru
dalam ijtihadnya tetap mendapat satu kebaikan (pahala) sebagai ganjaran atas usaha dan
ijtihadnya itu. Dan Allah memaafkan kekeliruan tersebut karena tidak ada dalil yang tegas
dari sang pembuat hukum (al-Syāri‘) yang menyalahkannya. Dan Dia membiarkan hal itu
menjadi “ladang” ijtihad manusia.

Kedua, kebenaran yang dinisbatkan kepada seorang Mujtahid.


Kebenaran (al-ḥaqq) menurut seorang Mujtahid dalam perkara yang tegas dan jelas
(al-umūr al-qaṭ‘iyyah) adalah ‘satu’, tidak banyak. Sedangkan dalam hal-hal yang sifatnya
ẓannī dan menjadi lahan ijtihad maka kebenaran itu (al-ḥaqq) itu pun beragama sesuai
dengan beragamnya para Mujtahid. Inilah yang disebut dengan kebenaran nisbi (al-ḥaqq al-
nisbī), yang dikenal dengan istilah al-ṣawāb yang dapat diraih oleh seorang Mujtahid dari
usaha ijtihadnya.
Setiap Mujtahid dapat meraih ‘kebenaran’ (al-ṣawāb) itu sebatas pemahaman dan keyakinan
terhadapnya. Dan karena para Mujtahid itu itu banyak, maka kebenaran (al-ṣawāb) itupun
beragam. Oleh karenanya tidak mungkin satu pendapat dikatakan benar mutlak (al-ḥaqq al-
muṭlaq) dan yang lainnya dikatakan bāṭil. Dalam kitab al-Baḥr al-Muḥīṭ karya Imam al-
Zarkasyī disebutkan bahwa al-Qāḍī al-Ḥusain dalam satu komentarnya menyatakan:
“Pendapat yang dipilih adalah bahwa setiap Mujtahid itu benar (muṣīb). Hanya saja, sebagian
mereka sampai kepada kebenaran (al-ḥaqq) yang ada di sisi Allah dan sebagian lain hanya
sampai kepada kebenaran yang ada pada diri mereka.”
Syeikh Muhammad Bakhīt al-Muṭī‘ī menyatakan: “Setiap hukum yang ada diambil
(didasarkan) kepada dalil yang empat (maksudnya: al-Qur’an, Sunnah, Ijmā‘, dan Qiyās) baik
secara tegas-jelas (ṣarīḥ) atau melalui jalan ijtihad menurut caranya yang benar. Maka itu
disebut sebagai hukum Allah atau syariat-Nya dan merupakan petunjuk Nabi Muhammad
yang mana kita disuruh untuk mengikutinya. Hal itu karena pendapat setiap Mujtahid –
karena diambil dari sumber hukum yang empat itu – merupakan syariat (hukum) Allah dalam
sisi kebenarannya dan kebenaran siapa saja yang mengikutinya.”

Hal tersebut di atas dikuatkan lagi oleh pandangan Imam Ibn Ḥazm al-Andalusī: “Apa
saja yang dihasilkan oleh para Mujtahid dianggap sebagai syariat meskipun dalilnya tidak
diketahui oleh manusia awam. Siapa yang mengingkarinya sama artinya menuduh para imam
keliru dan menganggap mereka telah membuat syariat (hukum) yang tidak pernah
diperintahkan oleh Allah. Dan siapa saja yang mengatakan demikian maka dia itu orang yang
sesat.”

Disebut begitu karena setiap Mujtahid berpandangan bahwa pendapatnya adalah


benar (ṣawāb) tetapi mengandung kemungkinan untuk salah. Dan pendapat yang lain, dalam
pandangannya, adalah salah (khaṭa’) namun mengandung kemungkinan untuk benar (al-
ṣawāb). Maka setiap Mujtahid senantias memaafkan (memaklumi) yang (Mujtahid) lain dan
tidak menganggapnya keluar dari lingkaran kebenaran (al-ṣawāb) secara total. Karena Allah
telah memaafkannya dari satu sisi dan memberinya pahala (kebaikan) kepada hasil ijtihadnya,
meskipun dari sisi yang lain dia keliru. Maka, sangat bijak jika seorang Mujtahid dapat
memaafkan orang lain dan tidak menghukumi hasil ijtihad yang berbeda sebagai hal yang
benar-benar keliru (al-khaṭa’ al-qāṭi‘).
Dalam kitab al-Ta‘rīfāt karya Imam al-Jurjānī disebut satu adagium yang amat
terkenal di kalangan para ahli Fiqih (al-Fuqahā’) yang berbunyi: “…sampai jika kami
ditanya tentang mazhab kami dan mazhab selain kami dalam masalah furū‘ (cabang hukum),
kami wajib menjawab bahwa mazhab kami lah yang benar dan selainnya mungkin keliru.
Sebaliknya, mazhab selain kami adalah keliru namun mungkin sekali mengandung
kebenaran.”
Dalam kitab I‘lām al-Muwaqqi‘īn, Imam ibn Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan
sikap yang benar berkenaan dengan pendapat para ulama’ terdahulu. Kata beliau, tidak mesti
pendapat para ulama’ itu diterima seluruhnya atau ditolak seluruhnya. Kita tidak dibenarkan
menyatakan bahwa mereka ‘berdosa’ dan tidak dibenarkan pula mengklaim bahwa
mereka ma‘ṣūm (terhindar dari salah dan dosa).
Ketiga, kebenaran bagi para muqallid dan kaum awam
Kebenaran dalam hal yang tegas dan jelas (al-qaṭ‘iyyāt) bagi mereka juga tidak plural
(jamak), melainkan satu saja. Namun dalam masalah yang al-ẓanniyyāt, para muqallid dan
kaum awam tidak berhak berpendapat apapun. Pendapat yang harus mereka pegang-teguh
adalah pendapat seorang mufti mereka.  Karena apa yang dikatakan oleh seorang Mujtahid
adalah benar (ṣawāb) – benar nisbi – sehingga dia bisa mengamalkan pendapat apapun yang
mewajibkannya untuk itu. Hal ini karena para muqallid dan kaum awam tak dapat men-
tarjīḥ (mengunggulkan) sekian banyak pendapat para ulama. Di samping itu, para muqallid
dan kaum awam tidak memiliki piranti Ijtihad. Dengan demikian, hal-hal yang
bersifat ẓanniyyāt bagi para muqallid dan kaum awam bentuknya banyak. Oleh karena itu,
oleh Allah diperintahkan untuk bertanya kepada para ulama (ahl al-dzikr, Qs. al-Naḥl [16]:
43).
Berkenaan dengan sikap kaum awam, Imam al-Subkī dalam kitab al-Durrah al-
Muḍī’ah menyatakan bahwa mereka harus merujuk pendapat para ulama. Begitu juga dengan
pendapat Ibn Daqīq al-‘Īd, dalam kitab al-Baḥr al-Muḥīṭ fī Uṣūl al-Fiqh karya Imam al-
Zarkasyī.
Dengan demikian, dapat dikatakan sebagaimana pendapat mayoritas ulama (al-
jumhūr) dari imam empat mazhab dan yang lainnya. Bahwa yang dimaksud dengan
kebenaran (al-ḥaqq) ‘satu’ dan tidak plural adalah ‘Kebenaran Mutlak’ (al-ḥaqq al-muṭlaq).
Pendapat ini, misalnya, dikemukakan oleh Imam Abū Ḥanīfah, Imam Mālik, Imam al-Syāfi‘ī,
Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah, dan yang lainnya. 9(Lihat,).
Kebenaran Dapat Diraih
Di dalam al-Qur’an Allah ‫الى‬hh‫بحانه وتع‬hh‫س‬. menjelaskan bahwa ‘kebenaran’ (al-ḥaqq)
telah turun dari Allah, maka tidak dibenarkan seorang Muslim untuk ragu-ragu menerima
kebenaran itu (Qs. al-Baqarah [2]: ).
Ayat di atas menegaskan bahwa ‘kebenaran’ memang dapat diraih, diketahui, dan
kemudian harus diyakini. Imam al-Nasafī menyatakan dengan sangat baik, “Ḥaqā’iq al-asy-
yā’ tsābitah wa al-‘ilm bihā mutaḥaqqiq khilāfan li-sūfasṭā’iyyah” (Hakikat realitas itu tetap
(tidak berubah). Sehingga ia dapat diketahui (diraih-dicapai). Dan konsepsi ini bertolak-
belakang dengan (pandangan) kaum Sofis). 10
Menurut konsepsi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah Masalah ‘ilmu’ dan ‘kebenaran’
dalam Islam  adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah. Kebenaran dapat dicapai
oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui
batas-batasnya. 11
9
Dr. Mu‘ādz ibn Muhammad Abū al-Fatḥ al-Bayānūnī, al-Ta‘addudiyyah al-Da‘wiyyah: Dirāsah Manhajiyyah
Syāmilah (Kuwait & Kairo: Dār Iqra’ li al-Nasyr wa al-Tawzī‘, cet. I, 1427 H/2006 M), hlm. 41-47
10
Imam Abū al-Mu‘īn al-Nasafī (w. 508 H), Kitāb al-Tamhīd li Qawā‘id al-Tawḥīd, studi dan taḥqīq: Ḥabīb
Allāh Hasan Ahmad (Kairo: Dār al-Ṭibā‘ah al-Muḥammadiyyah, cet. I, 1406 H/1986 M), hlm. 118
11
Dr. Khalif Muammar, “Prinsip dan Ukhuwah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah”, dalam Fahmi Salim (ed.), Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), 2012), hlm. 2
Mengenai cara dan wasilah dalam menggapai ilmu dan kebenaran itu menurut Imam
al-Ghazālī (w. 555 H/1111 M) adalah: panca indera, akal, dan intuisi (dzauq atau wijdān).
Dan ilmu itu dapat diperoleh dengan dua cara: ḍarūrī (a priori) dan bukan ḍarūrī, yakni ilmu-
ilmu perolehan baru 12
Ringkasnya, kebenaran dalam Islam itu dapat dicapai. Begitu juga dengan ilmu
pengetahuan. Tidak seperti kaum Sofis dan kaum liberal di era modern-kontemporer dewasa
ini. Di mana kebenaran itu tidak mutlak, tetapi nisbi. Lebih dari, mengeneralisir konsep
kebenaran secara bebas. Karena di sana ada ‘Kebenaran Mutlak’ milik Allah, kebenaran (al-
ṣawāb) milik para Mujtahid, dan kebenaran bagi kaum awam dan muqallid.

KESIMPULAN

Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya
pada zaman yang sama dengan Sokrates. Mereka muncul pada pertengahan hingga akhir abad
ke-5 SM. Meskipun sezaman, kaum sofis dipandang sebagai penutup era filsafat pra-
Sokratik, sebab Sokrates akan membawa perubahan besar di dalam filsafat Yunani. Golongan
sofis bukanlah suatu mazhab tersendiri, sebab para filsuf yang digolongkan sebagai sofis
tidak memiliki ajaran bersama ataupun organisasi tertentu. Karena itu, sofisme dipandang
sebagai suatu gerakan dalam bidang intelektual di Yunani saat itu yang disebabkan oleh
beberapa faktor yang timbul saat itu. Filsafat pada saat itu masih berwujud ilmu pengetahuan
yang masih global. Sehingga nantinya satu demi satu berkembang dan memisahkan diri
menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.

Socrates yang lahir sekitar tahun (469-399 SM) menghabiskan waktunya untuk
mengajar filsafat kepada anak-anak muda, tetapi bukan untuk mencari uang seperti kaum
sofis. Dia mengajar agar para anak-anak muda mengetahui pentingnya kebenaran.

Dalam kacamata kaum Sofis, terdapat banyak tokoh – tokoh Sofis lainnya yang tidak
dicantumkan di sini. Masing – masing Sofis memiliki ajaran yang berbeda satu sama lain,
namun dalam pemikiran kaum Sofis ini, terdapat titik temunya dalam pandangan mereka
tentang kebenaran. Kaum Sofis menganut kebenaran yang menegaskan, bahwa kebenaran
yang hakiki tidak mungkin dicapai melalui pengetahuan manusia. Kebenaran merupakan

12
Dr. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia
Bandung, 1428 H/2007 M), hlm. 182-199
sesuatu yang relatif, dengan menganggap bahwa adil tidaknya dan berani tidaknya sesuatu
tergantung pada manusia saja. Kerena manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai