Anda di halaman 1dari 21

BAB III:

MASA KEEMASAN FILSAFAT YUNANI

 Kota-kota Yunani seperti Sparta dan Athena mengalami


masa kejayaan.
 Hidup orang Yunani sangat baik.
 Seni berkembang. Ilmu pengetahuan maju pesat. Athena pada
waktu itu sudah sangat terkenal sampai ke seluruh dunia,
terutama dalam bidang politik.
 Athena menjadi pusat perdagangan dan militer. Athena sangat
kaya sehingga menjadi contoh untuk banyak kota lain dalam
konstitusi, demokrasi dan keadilan.
 Dalam filsafat, sekolah Sokrates, Plato dan Aristoteles
didirikan.
A. KAUM SOFIST

 Para filsuf ditantang untuk melawan pendapat umum


bahwa:
 Kita tidak pernah tahu dunia riil
 Dunia pengalaman sehari-hari kita hanyalah sebuah ilusi
 Kebingungan dan paradoks menyiapkan sebuah
tantangan intelektual dan sekaligus membuka ruang
bagi semua model penjelasan atau argumen serta
membebaskan pikiran kaum muda dari dogmatisme
pendapat umum.
 Beberapa filsuf muda yang menamakan diri mereka
Sophist,—guru kebijaksanaan yang berjalan dari kota ke
untuk mengajar gramar, rhetorika, literatur dan berbagai
ilmu lain—menggunakan metode argumentasi baru untuk
meremehkan dan sekaligus membuat lelucon atas filsafat
—menjadikan politik sebagai karier mereka dalam negara.
 Secara umum ada dua kelompok kaum sofis:
 Kelompok pertama mengembangkan skeptisisme
 Kelompok kedua mengajarkan retorika
Manusia tidak mampu mengenal
kebenaran absolut

Semua pengetahuan dan nilai manusia


Skepti bersifat relatif dan tidak benar secara
sisme absolut sama sekali.

Dalam etika, ideal-ideal kita tidak lain


Kaum dari ideal-ideal orang yang
Sofist memerintah dan bahwa keadilan tidak
lain daripada keuntungan bagi mereka
yang berkuasa.

Retorika: mengajarkan sarana-sarana


bagaimana mengajar orang-orang muda
Athena untuk memenangkan argumentasi.
 Beberapa ciri umum kaum sofist:
 Filsafat dijadikan sebagai sesuatu yang praktis, sebagai cara
untuk bertahan hidup dalam dunia. Karena itu, dalam
pengajaran, mereka menuntut bayaran atas ajaran mereka.
 Mereka bukanlah filsuf tetapi guru yang dibayar. Akibatnya,
Plato dan Aristoteles menilai sangat negatif kehadiran dan
peran mereka. Mereka dianggap terlalu berorientasi praktis
sehingga mengabaikan obyektivitas ilmu.
 Mereka ahli dalam membujuk orang dengan gagasan-
gagasan karena mengandalkan kemampuan dan seni
berbicara atau berpidato.
 Kaum sofist berpegang pada prinsip dasar, seperti
diungkapkan oleh Plato:

Kalau engkau sanggup meyakinkan orang lain di depan


hakim di pengadilan, di depan seluruh rakyat dan
musyawarah rakyat, maka engkau pasti berhasil...
Karena engkau telah memiliki semuanya dalam
tanganmu. Seorang dokter pun akan menjadi hambamu,
si pelatih olahraga menjadi budakmu. Seorang pegawai
bank akan segera menunjukkan bahwa dia tidak mau
bekerja untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain dan
orang lain itu adalah engkau karena engkau sanggup
berbicara dan meyakinkan banyak orang.
 Aspek positif yang ditampilkan oleh kaum sofist di Yunani:

 Pertama, kaum sofist membantu menumbuhkan demokratisasi


pendidikan. Mereka memperluas wilayah cakupan kaum
terpelajar dengan kesediaan untuk menjadi guru bagi siapa saja.
Pendidikan bukan lagi ditentukan oleh keturunan dan kelahiran,
tetapi kesediaan untuk belajar dan kemampuan untuk membayar.
Ini sebuah langkah penting bagi proses pencerdasan seluruh
bangsa.
 Kedua, pada waktu itu, pengetahuan milik kaum aristokrat karena
mereka tidak disibukkan dengan urusan-urusan mencari nafkah.
Dengan menjadikan pendidikan sebagai sebuah jenis pekerjaan,
mereka mendobrak privilese pendidikan dan sekaligus
memberikan dasar bagi profesi guru. Seorang guru yang dibayar
harus menjalankan tugasnya dengan baik.
 Ketiga, ketidakterikatan mereka pada satu polis memang menjadi
duri yang menusuk paham politis bangsa Yunani yang mengikat
orang pada polisnya sendiri. Tetapi dengan menjadi petualang
mereka sebenarnya menjadi benih bagi pluralitas dan pengalaman
kemajemukan. Petualangan mereka mencermnkan sebuah
petualangan intelektual, yang selalu dibutuhkan oleh sebuah
masyarakat, kebudayaan dan agama untuk dapat berkembang.
 Keempat, dengan sofisme, untuk pertama kalinya dalam sejarah
filsafat Yunani orang mengalihkan perhatian dari alam kepada
manusia. Dalam arti, kalau filsuf presokrates lebih memfokuskan
diri pada mencari prinsip dasar alam semesta, kaum sofist
memfokuskan diri pada manusia dengan mengajar mereka.
 Kelima, kaum sofist menjadikan pemikiran
sebagai obyek pemikiran sendiri, dalam arti bahwa
mereka berpikir tentang berpikir itu sendiri,
bertanya tentang syarat-syarat berpikir.
 Keenam, mereka menjadikan etika bagian dari
permenungan rasional mereka. Etika menjadi
bagian dari filsafat.
 Ketujuh, dengan perhatian besar pada retorika,
mereka menjadi pendorong bagi pendalaman
gramatika dan ilmu bahasa pada umumnya.
1. Protagoras

 Lahir di Abdera dan pindah ke Athena. Dia menjalin


relasi dengan penguasa pada waktu itu, Perikles.
 Protagoras diminta untuk menyusun konstitusi kota,
Thurioi, sebuah koloni di Italia selatan. Konstitusi ini
bersifat demokratis, yang membatasi hak milik atas
tanah guna melindungi orang-orang miskin dan yang
memasukan aturan wajib belajar bagi semua anak.
 Protagoras menggunakan term sofist untuk dirinya
sebagai guru pengetahuan dan budi pekerti.
 Siapa itu manusia:
 Manusia adalah ens politicum (makhluk politis) dan karena
itu sanggup mempelajari sejumlah keterampilan (tekhnai)
politis.
 Manusia yang berbudi adalah seorang warga polis yang baik
(politikus yang baik).
 Pentingnya memiliki kebijaksanaan karena dengan
kebijaksanaan orang dapat:
 Menasihati diri sendiri dan orang lain
 Mampu mengurusi keluarga dan masyarakat.
 Dia juga mengajarkan kemampuan retoris agar para
murid bisa meyakinkan masyarakat tentang
pendapat mereka sendiri.
 Protagoras adalah orang pertama yang
menggunakan term tekhne dalam arti sebuah teori
yang dapat diajarkan dan dipelajari.
 Kumpulan karyanya Antilogia merupakan buku
pegangan untuk retorika, dalamnya dia
mengembangkan teknik-teknik berbicara yang
menekankan ketepatan ungkapan (orthopeia).
 Pandangan filosofis: HOMO MENSURA, manusia adalah
ukuran segala sesuatu. Ada tidaknya sesuatu ditentukan
oleh manusia.
 Kita tidak dapat mengetahui sesuatu yang sungguh-sungguh
ada tetapi hanya apa yang seolah-lah ada untuk kita. Manusia
adalah ukuran, dalam arti bahwa manusia terbatas pada sudut
pandang mereka sendiri dan sudut pandang ini tidak
mengizinkan kita untuk mengetahui sesuatu sebagaimana
barang itu ada.
 Bagi manusia, benda-benda ada sebagaimana mereka
tampak baginya. Angin yang sama yang menghembusi dua
orang bisa dialami secara berbeda oleh dua orang: yang satu
bisa merasakan sebagai sesuatu yang hangat dan yang lain
dingin. Benda ada sebagaimana mereka dialami dan
dirasakan oleh manusia, individu-individu kongkret. Di sini,
kita tidak bisa mengatakan bahwa apa yang dirasakan yang
satu benar dari yang lain salah. Klaim kebenaran atau
kesalahan adalah tanda kesewenang-wenangan.
 Kita tidak bisa mengatakan apa yang kebetulan kita alami
atau rasakan sebagai sesuatu yang benar atau salah untuk
semua orang. Protagoras adalah bapak relativisme karena
pandangannya bahwa semua pengetahuan relatif karena
sesuai dengan sumber, konteks, budaya, masyarakat,
pribadi.
 Karakteristik pandangan Protagoras:
 NIHILISTIK ONTOLOGIS karena tidak ada sesuatupun yang tetap
dan absolut, yang tak berubah. Tidak ada sesuatupun yang menjamin
kesatuan dari yang ada.
 Sensualistik radikal karena subyek secara pasif menerima sesuatu
dengan indranya. Yang diterima subyek adalah kesan-kesan indrawi
dan karena itu kesan itu selalu benar untuk orang yang mengalaminya.
Segala sesuatu ada sebagai akibat dari perpaduan antara gerakan aktif
dan penerimaan pasif. Karena kriterium kebenaran adalah kesan
indrawi seseorang maka tidak ada kebenaran mutlak.
 Protagoras adalah seorang skeptis dalam kaitannya dengan
pengetahuan karena dia meragukan obyektivitas dan kebenaran dari
apa yang dialami atau dirasakan secara indrawi.
 Skeptisisme Protagoras juga tampak dalam teologinya yang
bersifat agnostis. Dia menulis: “Tentang para dewa saya
tidak mempunyai pengetahuan apa-apa karena banyak sekali
yang menghalangi pengetahuan serupa itu; baik kekelaman
obyek itu sendiri maupun kehidupan manusia. Saya tidak
dapat mengetahui entahkah para dewa ada atau tidak.”
 Ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk bisa memastikan
kebenaran tentang Allah:
 Kejelasan obyek itu sendiri, obyek yang jelas ada dan sanggup
menimbulkan kesan pada manusia.
 Hidup manusia yang lama untuk dapat membuktikan kebenaran
kesannya tentang Allah.
2. Gorgias

 Gorgias terkenal karena kemampuan retorisnya. Secara


politis dia mengembangkan ide Panhellenisme,
mempersatukan semua suku Yunani untuk menghadapi
orang Persia.
 Menurutnya, perdamaian adalah sebuah keharusan dan
sesuai dengan hakekat manusia. Keadaan damai
merupakan antitesis peperangan yang tidak manusiawi.
 Gorgias juga seorang skeptis, yang meragukan kejelasan
dan kepastian pengetahuan manusia. Kita tidak memiliki
kriteria untuk menentukan entahkah sebuah pengetahuan
yang ada dalam pikiran kita itu benar atau salah.
 Gagasan Gorgias bisa dirangkum dalam beberapa
tesis dasar berikut:
 Tidak ada sesuatupun yang ada.
 Kalaupun ada sesuatu yang eksis, kita tidak dapat
mengenalnya.
 Kalaupun kita dapat mengenal sesuatu, kita tidak
dapat membahasakan atau
mengkomunikasikannya kepada orang lain.
 Tesis-tesis dasar tersebut di atas menunjukan adanya
nihilisme dan skeptisisme dalam pandangan Gorgias.

 Tidak ada sesuatu yang bersifat baku, yang ada


dalam dirinya sendiri, yang merupakan rujukan
dalam menilai kebenaran.
 Semua yang dapat dipikirkan dan dibicarakan
merupakan pendapat, doxa.
 Karena semuanya merupakan pendapat maka yang
terpenting adalah beragumen untuk menguji
pendapat-pendapat tersebut.
 Siapa yang mampu menyakinkan yang lain dalam
argumentasi itu, dinilai berhasil.
 Dia menekankan pentingnya retorika, yang dipahaminya
sebagai pengarahan jiwa oleh logoi (tanda yang mewakili
benda-benda yang ada di dunia luar). Dalam
pembicaraan yang efektif dituntut kesanggupan untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi psikososial
(penghayatan nilai) dan keadaan psikis pendengar dalam
pemilihan dan pengorganisasian bukti, argumen, gaya,
tempat dan waktu.
 Gorgias mendefinisikan retorika sebagai peitous
demiurgos (yang melahirkan keyakinan). Retorika adalah
hal yang terutama dari semua teknik karena hanya
retorikalah yang menawarkan sebuah alternatif yang baik
untuk mencegah penggunaan kekerasan dalam
menyelesaikan perbedaan.
 Pembicaraan, dengan senjata utama kata-kata,
mempunyai kekuatan yang ampuh untuk
membebaskan orang dari ketakutan dan
penderitaan, mendatangkan kegembiraan dan
mendorong orang untuk terlibat.
 Berbeda dari sofist lainnya, Gorgias menolak untuk

mengajarkan arete (kebajikan hidup) karena


menurutnya tidak ada pengertian umum dan
mengikat tentang kebajikan. Tindakan etis dinilai
berdasarkan penilaian pribadi sesuai dengan jenis
kelamin, umur, pekerjaan, status sosial dan situasi
kongkretnya.

Anda mungkin juga menyukai