MERLI HERLINA
1910003600294
Fakultas Hukum Universitas Ekasakti
A. Pendahuluan
Filsafat Hukum merupakan merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris: philosophy.
Istilah philosophy itu sendiri berasal dari kata Yunani kuno (Greek): filosofia ( φιλοσοφία ). Kata
filosofia ini merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Filo (Greek: φίλος) artinya cinta atau
keinginan dan Sofia (Greek: σοφία) artinya kebijaksanaan. Dengan demikian filosofia dapat
diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari kata philein yang
berarti mencitai, dan sophia berarti kebijaksanaan. Secara terminologis, istilah filsafat diartikan
sebagai suatu ''asas atau pendirian hidup'' dan disamping itu juga diartikan sebagai '' ilmu
pengetahuan yang terdalam''. Secara singkat fungsi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan dan
peneratas pengetahuan. Artinya, filsafat memberi arah kepada ilmu pengetahuan dalam
merumuskan konsep dan teori untuk membangun konsep ilmiah. Dengan bantuan filsafat,
berbagai ilmu baru berkembang bagi kelangsungan dan peradaban manusia di bumi. Filsafat
hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakikat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum
Sofis, Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman
Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain:
1.Anaximander (547-610 SM)
Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi
jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah.
Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
2. Herakleitos (475-540 SM)
Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi
dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
3. Parmenides (475-540 SM)
Sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga
alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah
kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya
4. Socrates
Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum
dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif
atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum.
5. Plato
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami
hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan
penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan
dasar (landasan) filosofisnya.
6. Aristoteles
Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat
penguasa polis.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya
kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai
dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama
Islam.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan
Thomas Aquino (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman
pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus
berpendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda
duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan
Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang
berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis). Pembagian
hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas
dalam berbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas
sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat
penting pada zaman modern ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes
(1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-
1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694),
Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-
1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance.
Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini.
Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan
manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru,
ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian
juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan
dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio
manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas
dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham
positivisme hukum.
B. Pembahasan
1. Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Istilah memanusiakan manusia merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi
berbudaya atau berakal budi. Sesama manusia harus saling menghargai, menghormati, dan tidak
mengadili. Tidak ada tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lain sebagainya.
Memanusiakan manusia berarti menghantar manusia menemukan kesempurnaannya melalui
kesadaran pertama-tama akan kesatuan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran dan
perasaan, juga kesadaran akan kebebasannya sebagai manusia untuk memilih dalam bertindak.
Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang mengantarkan manusia
pada perkembangan yang signifikan dalam menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan
kesempurnaan kemanusiannya. Segala muatan pembelajaran, informasi yang diberikan, serta
proses belajar menjadi media yang menentang tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan menemukan
dinamikanya dengan seimbang.
2. Peran Pendidikan dalam memanusiakan manusia
Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada
tiga peran utama yang dimiliki yaitu sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing. Pendidikan
adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusia peserta didik baik potensi fisik potensi
cipta, rasa, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidup.
Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmulain.
Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu
pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada
bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa memerdekakan diri dengan
pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami.
Kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia. Dasar
pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi
dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam kajian mengenai
masalah-masalah pendidikan.
Kesempurnaan manusia yang dianugerahkan sang pencifta memalui dimensi kemanusiaan
membuat manusia mampu memilih bahkan menciftakan pilihan dan bertidak sesuai pilihannya.
Jika pendidikan berorientai pada masa depan dan bukan pada memanusiakan manusia pada
pendidikan dapat menjauhkan manusia dari kemanusiannya. Tak seorang pun dapat mengetahui
dengan jelas dan pasti akan masa depan. Ketidaktahuan ini dapat menyeret manusia pada
kekuatiran terus menerus tak berujung hingga ia sendiri kehilangan arah bahkan kehilangan
kemanusiaannya.
Peran pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya, yaitu bukan untuk mempersiapkan
masa depan saja tetapi untuk membuat manusia dapat hidup dan melakukan tugas
kemanusiannya, yaitu menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kesempurnaannya
sebagai manusia. Menemukan karena kesempurnaan adalah adalah anugerah sang pencifta yang
telah dimiliki tiap manusia, namun dapat terkubur dalam proses tumbuh kembangnya sebagai
manusia. Mengembangkan karena sebagai manusia yang bertumbuh dan berkembang tak
mencapai perkembangan yang optimal dan proporsional apabila tak diusahakan. Menunjukkan,
karena manusia perlu eksis sebagai manusia diantara sesamanya manusia. Dan eksistensinya
dalam bentuk manusia yang sempurna dapat mendorong manusia lain juga untuk menemukan,
mengembangkan, dan menunjukkan kemanusian
3. Model Pembelajaran memanusiakan manusia
Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang berorientasi pada
kemanusiaan manusia. Kemanusiaan manusia tercapai melalui pengembangan dimensi
kemanusiaan secara seimbang. Pemahaman mengenai kemanusiaan manusia ini menjadi dasar
bagi penyusunan model pembelajaran yang berorientasi pada kemanusiaan manusia. Model
pembelajaran dibangundalam ruang-ruang yang mefasilitasi pembelajar untuk mengembangkan
dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan.Kata seyogyanya perkembangan
menjadi kata kunci dalam pendidikan. Melalui kesempurnaan yang dianugerahkan Sang Pencipta,
yaitu dimensi kemanusiaan, perkembangan manusia menjadi sangat unik dan berbeda dari
makhluk lainnya. Perkembangan manusia meliputi perkembangan tubuh, jiwa, pikiran, dan
perasaannya. Perkembangan manusia, selain dipengaruhi oleh potensi tumbuh kembang yang
dibawanya sejak lahir juga oleh perlakuan lingkungan terhadapnya.
Covey, dalam buku “The 8th Habit, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan”,
menguraikan pengembangan dimensi kemanusiaan ini melalui kecerdasan yang menyertai tiap
dimensi (2005:74). Ia menguraikan kecerdasan yang disebutnya sebagai anugerah bawaan tiap
dimensi, sesuai dengan gambar