Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT HUKUM MENGAJARKAN MEMANUSIAKAN MANUSIA

MERLI HERLINA
1910003600294
Fakultas Hukum Universitas Ekasakti

A. Pendahuluan
Filsafat Hukum merupakan merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris: philosophy.
Istilah philosophy itu sendiri berasal dari kata Yunani kuno (Greek): filosofia ( φιλοσοφία ). Kata
filosofia ini merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Filo (Greek: φίλος) artinya cinta atau
keinginan dan Sofia (Greek: σοφία) artinya kebijaksanaan. Dengan demikian filosofia dapat
diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari kata philein yang
berarti mencitai, dan sophia berarti kebijaksanaan. Secara terminologis, istilah filsafat diartikan
sebagai suatu ''asas atau pendirian hidup'' dan disamping itu juga diartikan sebagai '' ilmu
pengetahuan yang terdalam''. Secara singkat fungsi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan dan
peneratas pengetahuan. Artinya, filsafat memberi arah kepada ilmu pengetahuan dalam
merumuskan konsep dan teori untuk membangun konsep ilmiah. Dengan bantuan filsafat,
berbagai ilmu baru berkembang bagi kelangsungan dan peradaban manusia di bumi. Filsafat
hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakikat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum
Sofis, Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman
Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain:
1.Anaximander (547-610 SM)
Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi
jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah.
Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
2. Herakleitos (475-540 SM)
Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi
dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
3. Parmenides (475-540 SM)
Sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga
alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah
kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya
4. Socrates
Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum
dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif
atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum.
5. Plato
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami
hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan
penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan
dasar (landasan) filosofisnya.
6. Aristoteles
Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat
penguasa polis.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya
kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai
dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama
Islam.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan
Thomas Aquino (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman
pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus
berpendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda
duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan
Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang
berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis). Pembagian
hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas
dalam berbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas
sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat
penting pada zaman modern ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes
(1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-
1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694),
Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-
1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance.
Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini.
Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan
manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru,
ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian
juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan
dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio
manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas
dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham
positivisme hukum.
B. Pembahasan
1. Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Istilah memanusiakan manusia merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi
berbudaya atau berakal budi. Sesama manusia harus saling menghargai, menghormati, dan tidak
mengadili. Tidak ada tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lain sebagainya.
Memanusiakan manusia berarti menghantar manusia menemukan kesempurnaannya melalui
kesadaran pertama-tama akan kesatuan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran dan
perasaan, juga kesadaran akan kebebasannya sebagai manusia untuk memilih dalam bertindak.
Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang mengantarkan manusia
pada perkembangan yang signifikan dalam menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan
kesempurnaan kemanusiannya. Segala muatan pembelajaran, informasi yang diberikan, serta
proses belajar menjadi media yang menentang tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan menemukan
dinamikanya dengan seimbang.
2. Peran Pendidikan dalam memanusiakan manusia
Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada
tiga peran utama yang dimiliki yaitu sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing. Pendidikan
adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusia peserta didik baik potensi fisik potensi
cipta, rasa, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidup.
Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmulain.
Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu
pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada
bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa memerdekakan diri dengan
pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami.
Kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia. Dasar
pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi
dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam kajian mengenai
masalah-masalah pendidikan.
Kesempurnaan manusia yang dianugerahkan sang pencifta memalui dimensi kemanusiaan
membuat manusia mampu memilih bahkan menciftakan pilihan dan bertidak sesuai pilihannya.
Jika pendidikan berorientai pada masa depan dan bukan pada memanusiakan manusia pada
pendidikan dapat menjauhkan manusia dari kemanusiannya. Tak seorang pun dapat mengetahui
dengan jelas dan pasti akan masa depan. Ketidaktahuan ini dapat menyeret manusia pada
kekuatiran terus menerus tak berujung hingga ia sendiri kehilangan arah bahkan kehilangan
kemanusiaannya.
Peran pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya, yaitu bukan untuk mempersiapkan
masa depan saja tetapi untuk membuat manusia dapat hidup dan melakukan tugas
kemanusiannya, yaitu menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kesempurnaannya
sebagai manusia. Menemukan karena kesempurnaan adalah adalah anugerah sang pencifta yang
telah dimiliki tiap manusia, namun dapat terkubur dalam proses tumbuh kembangnya sebagai
manusia. Mengembangkan karena sebagai manusia yang bertumbuh dan berkembang tak
mencapai perkembangan yang optimal dan proporsional apabila tak diusahakan. Menunjukkan,
karena manusia perlu eksis sebagai manusia diantara sesamanya manusia. Dan eksistensinya
dalam bentuk manusia yang sempurna dapat mendorong manusia lain juga untuk menemukan,
mengembangkan, dan menunjukkan kemanusian
3. Model Pembelajaran memanusiakan manusia
Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang berorientasi pada
kemanusiaan manusia. Kemanusiaan manusia tercapai melalui pengembangan dimensi
kemanusiaan secara seimbang. Pemahaman mengenai kemanusiaan manusia ini menjadi dasar
bagi penyusunan model pembelajaran yang berorientasi pada kemanusiaan manusia. Model
pembelajaran dibangundalam ruang-ruang yang mefasilitasi pembelajar untuk mengembangkan
dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan.Kata seyogyanya perkembangan
menjadi kata kunci dalam pendidikan. Melalui kesempurnaan yang dianugerahkan Sang Pencipta,
yaitu dimensi kemanusiaan, perkembangan manusia menjadi sangat unik dan berbeda dari
makhluk lainnya. Perkembangan manusia meliputi perkembangan tubuh, jiwa, pikiran, dan
perasaannya. Perkembangan manusia, selain dipengaruhi oleh potensi tumbuh kembang yang
dibawanya sejak lahir juga oleh perlakuan lingkungan terhadapnya.
Covey, dalam buku “The 8th Habit, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan”,
menguraikan pengembangan dimensi kemanusiaan ini melalui kecerdasan yang menyertai tiap
dimensi (2005:74). Ia menguraikan kecerdasan yang disebutnya sebagai anugerah bawaan tiap
dimensi, sesuai dengan gambar

Gambar:1 Empat Kecerdasan Anugerah Bawaan Manusia


(Covey, 2005: 74)
Melalui perkembangan tiap kecerdasan inilah dimensi kemanusiaan mengalami
perkembangan. Setiap usaha pengembangan harus ada arah perkembangannya agar
pengembangan menjadi bermakna bagi kemanussian dan tidak salah arah. Untuk ini, Covey
(2005: 96) menolong penentuan arah pengembangan dimensi kemanusiaan melalui perwujudan
tertinggi tiap kecerdasan. Perwujudan tertinggi ini dapat menjadi arah bagi pengembangan
dimensi kemanusiaan.
1. Perkembangan pikiran
Perwujudan tertinggi dalam pengembangan pikiran, menurut Stephen Covey adalah visi.
Visi adalah hasil dari pikiran yang menjembatani antara kebutuhan dengan kemungkinan
kemungkinan. Samples, dalam bukunya Revolusi Belajar, setuju dengan pemikiran Fuller yang
menggambarkan bahwa pikiran manusia adalah pikiran dengan sistem terbuka (2002: 43).
Pendidikan yang memberi ruang bagi pengembangan pikiran, adalah pendidikan yang
menciptakan visi dalam diri setiap naradidiknya. Bukan sekadar ia dapat menyelesaikan
persoalan, lebih dari itu menolong naradidik meraih visi dalam menyelesaikan persoalan.
2. Perkembangan tubuh
Perwujudan tertinggi dalam pengembangan tubuh, menurut. Covey adalah disiplin. Disiplin
ini muncul saat visi bertemu dengan komitmen, suatu kekuatan kehendak yang diwujudkan
dalam tindakan. Di dalam disiplin selalu ada pengorbanan. Namun, tanpa disiplin mustahil visi
dapat terwujud. Pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan tubuh tidak hanya puas diri
dengan memasukkan pelajaran olah raga. Perkembangan tubuh tidak akan tercapai hanya melalui
pelajaran olah raga yang berorientasi pada keahlian raga saja. Mengacu pada pemikiran covey,
maka pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan tubuh adalah pendidikan yang
menanamkan kedisiplinan yang membebaskan, terintegrasi dalam setiap pelajaran.
3. Perkembangan perasaan
Perwujudan tertinggi dalam pengembangan perasaan, menurut Stephen Covey adalah gairah.
Gairah adalah api mempertahankan disiplin dan terus berjuang menggapai visi. Gairah ini
muncul saat kebutuhan bertemu dengan keunikan bakat kita. Dengan demikian penting sekali
untuk mengetahui bakat kita. Pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan perasaan
adalah pendidikan yang memerhatikan gairah nara didiknya. Pendidikan tidak hanya indoktrinasi
pengetahuan atau sekadar meraih prestasi dalam bentuk piala dan penghargaan dan mengabaikan
gairah belajar. Gairah ini sangat labil, sangat bergantung pada situasi. Gairah muncul sebagai
respon dari situasi. Pendidikan yang memerhatikan gairah berarti juga memerhatikan sitausi
dimana pendidikan itu berlangsung.
4. Perkembangan jiwa
Perwujudan tertinggi dalam pengembangan jiwa, menurut Covey adalah nurani. Orang
sering menyebutnya dengan suara hati, suara Tuhan, yang adalah kesadaran moral yang universal,
terlepas dari agama, budaya, geografis, nasionalitas, dan ras tertentu, mengenai apa yang baik
dan buruk dan dorongan untuk memberi makna serta member sumbangan nyata.

Gambar 2 Perwujudan dari Pengembangan Dimensi Manusia


(Covey, 2005:96)
Dimensi kemanusiaan yang menyatu, nampak dalam perwujudan pengembangan tiap
dimensi. Nurani adalah alasan bagi perwujudan visi, disiplin, dan gairah, sedangkan visi
mengidentifikasi dalam apa yang akan diwujudkan, disiplin dalam bagaimana cara mencapainya.
Gairah adalah api dibalik mengapa, apa, dan bagaimana tadi. Menurut Covey, nurani akan
membangkitkan integritas dan ketenangan pikiran.
Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup yang berpikir dan selalu berusaha untuk
mengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja selalu ingin tahu apa yang ada
dibalik yang dilihat dan diamati. Segala sesuatu yang dilihatnya, dialaminya, dan gejala yang
terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan dianalisis atau ditinjau. Ada tiga hal yang
mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu keheranan, kesangsian, dan kesadaran atas
keterbatasan. Berfilsafat sering didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa
yang belum diketahui, berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah
diketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas.
Sebagaimana diungkapkan oleh Jan Hendrik Rapar yang diambil dari definisi Plato dalam
Pengantar Filsafat bahwa filsafat ialah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat realitas ada
dengan mengandalkan akal budi. Karena filsafat mencoba memahi segala realitas yang ada,
sehingga objeknya melingkupi segala yang ada termasuk juga manusia. Ketika filsafat
berobjekkan manusia, filsafat menjadi ilmu yang mengaji tentang seluk-beluk manusia. Dalam
artian, filsafat akan membahas mengenai manusia secara mendalam, baik dari unsur dan fungsi
hidupnya. Jika dikaitkan dengan suatu tokoh, itu berarti mengacu pada pemikiran tokoh tersebut
mengenai manusia itu sendiri secara mendalam. Maka dari itu, kajian menganai filsafat manusia
mengarah pada hakikat manusia.
Memanusiakan manusia berarti menghantar manusia menemukan kesempurnaannya melalui
kesadaran pertama-tama akan kesatuan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan
perasaan, juga kesadaran akan kebebasannya sebagai manusia untuk memilih dan
bertindak.Pendidikan berperan dalam pilihan-pilihan manusia, yaitu kehancuran atau
pengembangan kemanusiaan, yang merusak atau membangun, yang mematikan atau memberi
kehidupan, yang mencipta atau menghancurkan. Louis, mengutip Levi Strauss, dalam buku
manusia sebuah misteri bahwa tujuan terakhir ilmu-ilmu manusia bukan membentuk manusia,
melainkan menghancurkannya (1984: 185). Kutipan ini memang dapat dinilai terlalu
mengeneralisasi ilmu-ilmu manusia karena tidak semua ilmu menghancurkan kemanusiaan
manusia. Namun, tidak berlebihan juga jika kita waspada terhadap keberadaan ilmu-ilmu yang
dapat merusak kemanusiaan, ilmu-ilmu yang seakan mencipta tetapi pada kenyataannya
menghancurkan, ilmu-ilmu yang berpenampilan apik seakan menolong namun ternyata
menjerumuskan. Ilmu-ilmu yang seakan membangun tetapi ternyata menghancurkan
kemanusiaan. Belum lagi, strategi mendidik, gaya mendidik, pola didik yang ternyata dapat juga
menghancurkan kemanusiaan manusia.
Sebuah pemikiran filsafatis tentang hukum dari O. Notohamidjojo yang terkenal sampai saat
ini adalah tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu memanusiakan manusia dan keadilan.
Memanusiakan manusia intinya terdapat dalam manusia itu sendiri, dalam bukunya yang
berjudul Soal-soal pokok filsafat hukum, O. Notohamidjojo mengemukakan terdapat tiga kunci
yang berhubungan dengan kemanusian dalam pandangan filosofis antropologis yang esensial,
yaitu manusia itu objek, subjek, dan relasi. Manusia sebagai objek berarti ia dapat dilihat,
mengisi ruang dan dapat dilukiskan dengan nyata. Manusia sebagai subjek, berarti melihat secara
personal manusia itu sendiri, dapat memilih dan menentukan pilihan. Manusia sebagai relasi,
mengandung pengertian bahwa manusia tidak bisa hidup seorang diri, melainkan berhubungan
dengan manusia yang lain.
Memanusiakan manusia adalah memperlakukan manusia menurut hakikatnya dan tujuan
hidupnya. Hakikat dan tujuan manusia adalah satu kesatuan dan terdapat korelasi didalamnya,
yaitu dalam tujuan hidup manusia kita dapat melihat bahwa manusia dilihat sebagai subjek,
dimana manusia dapat berpikir dan memilih tujuan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, manusia
bukan hewan yang boleh sewenang-wenang diperlakukan. Kedudukan manusia diakui dan
dijamin secara internasional, dengan pengakuannya dalam UDHR 1945 (Universal Declarations
of Human Rights) PBB, dimana manusia memiliki Dignity of man, yang berarti keluhuran.
Keluhuran ini harus dihormati oleh sesama manusia, dengan tidak mengadakan pembedaan
antara manusia satu dengan manusia yang lainnya.
Keadilan itu bertalian dengan sikap dan perhubungan kita dengan sesama manusia.
Keadilan menuntut daripada kita, memperlakukan sesama manusia kita seperti kita sendiri mau
hidup dan diperlakukan. Tuntutan yang demikian itu meminta daripada kita paling sedikit suatu
pengekangan diri sendiri. Kita tidak boleh memaksakan kepada pihak lain kesemau-mauan kita.
Kita harus memperhatikan keberadaan pihak lain, hak hidup pihak lain. Keadilan mewajibkan
kita mengakui pihak lain sebagai mahluk yang pada hakikatnya sama dan sama nilai dengan kita
sendiri. Keadilan menempatkan pihak lain sebagai subjek seperti kita sendiri ingin juga diakui
sebagai subjek. Keadilan menuntut perlakuan seperti kita sendiri ingin diperlakukan. Keadilan
mengucilkan kesewenang-wenangan. Keadilan itu dapat diperhitungkan dengan pasti,
kesewenang-wenangan tidak dapat diperhitungkan, tidak dapat dipastikan lebih dulu.
Kesewenang-wenangan itu tidak dapat diukur (maszlos).
Pernyataan diatas mengungkapkan bahwa keadilan memang berdekatan dengan
memanusiakan manusia. Kedua-duanya, dapat dikatakan saling melengkapi satu sama lain, tidak
dapat dipisahkan. Keadilan memperlihatkan eksistensi kita sebagai manusia, dimana keadilan
juga mengandung pengertian persamaan dengan memanusiakan manusia, di mana manusia
sebagai subyek, obyek, dan relasi. O. Notohamidjojo juga menggunakan memanusiakan manusia
dan keadilan ini sebagai acuan untuk pemelihara hukum (penggembala hukum) untuk
penggembalaan hukum.
Hukum dan keadilan mengingatkan kita kepada kedirian kita sebagai manusia yang
berekstensi. Hukum dan keadilan menunjukkan (mengingatkan) akan kebinasaan. Tidak ada
keadilan di mana manusa kehilangan kebebasannya, di mana ia kehilangan eksistensinya. Inti
kebebasan menyediakan ruang bagi keberadaan, ruang untuk menjadi manusia-antar-manusia. Di
situlah pengertian-teras daripada keadilan (justitia). Kebebasan-dalam-keadilan, mengandung arti,
kebebasan dengan sesama manusia. Sebaliknya, keadilan-dalam-kebebasan membuat manusia
berada dalam sesamanya. Hanya dalam keadilan di lingkungan kebebasan, maka Aku dapat
memperolah hakekat Aku. Dalam ekstensi manusia, maka kebebasan berorientasi pada keadilan;
sebaliknya, keadilan harus keadilan yang berorientasi pada kebebasan.
Namun perlu diingat bahwa keadilan dapat menimbulkan ketidak-adilan (Summum ius
summa iniura) karena sifat keadilan adalah obyektif dan zakelijk (tidak memperhitungkan situasi
dari pada orang yang bersangkutan). Keadilan, menurut O. Notohamidjojo, perlu dikoreksi
menggunakan prinsip aequitas (kepatutan), sebagaimana yang diungkapkan beliau.
Aequitas (billijkheid, kepatutan) tidak bermaksud untuk mengurangi keadilan. Aequitas
mengandaikan keadilan. Aequitas hanya memberikan koreksi apakah subjek dalam situasi dan
keadaan (omstandingheden) tentu patut memperoleh haknya atau kewajibannya. Aequitas
bermaksud untuk meluweskan pengenaan keadilan yang zakelijk, umum, dan keras.
Beliau juga merujuk juga pada pendapat dari Duynstee bahwa definisi aequitas sebagai
kebajikan yang mendorong manusia untuk mempergunakan apa yang menjadi haknya menurut
hukum, sesuai dengan akal budinya. Jadi aequitas itu kebajikan, yang menyangkut berjenis
keadilan. Aequitas bertalian dengan justitia commutativa, dengan contoh kasus pada arres
(putusan) H.R 1919 tentang onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).
C. Penutup
Kesimpulan
Akhirnya, memanusiakan manusia dan keadilan adalah hal yang sangat substansial
diperlukan dalam hukum itu sendiri. Hukum adalah ius, ius adalah keadilan. Keadilan bagaimana
yang seharusnya? Keadilan yang memanusiakan manusia yang sudah menjadi senyatanya yang
terjadi. Hendaknya, atau dapat dikatakan sudah semestinya para pemelihara hukum
memperlakukan manusia sebagai manusia dengan keadilan. Penguasa dalam membuat rule juga
harus dengan keadilan, karena jika hukum tanpa adanya keadilan hanya timbul kesewenang-
wenangan saja. Namun perlu diperhatikan agar keadilan tidak menimbulkan ketidakadilan maka
harus ada kepatutan (aequitas). Kepatutan mengkoreksi keadilan apakah subyek (seseorang)
patut dalam situasi dan keadaaan untuk dapat memperoleh hak dan kewajibannya.
Saran
Jadilah manusia yang bisa memanusiakan manusia yang lain, karena dengan begitu hidup
kita kan lebih bermakna dan akan saling menghargai, menghormati dan jauh dari tindakan
kriminal. Jangan pernah menggunakan pendidikan untuk dapat memuaskan kebutuhan pribadi.
Tetapi gunakan pendidikan untuk saling membantu berbagi antar sesama manusia untuk
menciftakan negara yang adil, aman dan makmur.
Daftar Pustaka
Laurensius Arliman S, Antropologi Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.
Laurensius Arliman S, Filsafat Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan : Tantangan Warga Negara Milenial
Menghadapi Revolusi Industri 4.0, , Deepublish, Yogyakarta, 2019.
Laurensius Arliman S, Pengaturan Kelembagaan Hak Asasi Manusia Terhadap Anak Di
Indonesia, Disertasi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang, 2022.
Laurensius Arliman S, Kajian Naratif Antropologi Dan Pendidikan, Ensiklopedia Education
Review, Nomor 2, Nomor 1, 2020.
Laurensius Arliman S, Participation Non-Governmental Organization In Protecting Child Rights
In The Area Of Social Conflict, Ushuluddin International Conference (USICON) 1, 2017.
Laurensius Arliman S, Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada Komnas HAM
Perwakilan Sumatera Barat), Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 2, 2015.
Laurensius Arliman, Ernita Arif, Pendidikan Karakter Untuk Mengatasi Degradasi Moral
Komunikasi Keluarga, Ensiklopedia of Journal, Volume 4, Nomor 2, 2022.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Karakter Dalam Tinjauan Psikologi, Ensiklopedia of Journal,
Volume 3, Nomor 3, 2021.
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta:
Kencana. 2008.
Covey, S. R, The 8 th habit melampaui efektivitas, menggapai keagungan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2005
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filasafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987), Cet. Ke-1, h. 291.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2010), Cet. Ke-14, h. 15.
O. Notohamidjojo (Tri Budiono, ed.), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media.
2011.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2007. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum: Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka

Anda mungkin juga menyukai