Anda di halaman 1dari 2635

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya dan teman-teman panjatkan kepada


Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-
Nyalah maka saya dan teman-teman dapat menyelesaikan sebuah
makalah sederhana ini dengan tepat waktu.

Berikut ini saya dan teman-teman mempersembahkan sebuah


makalah tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, yang
menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk
mempelajari sejarah mengenal Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara di Indonesia.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf


dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada
kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh


rasa terima kasih dan semoga memberkahi makalah ini sehingga
dapat memberikan manfaat.

 
DAFTAR ISI
 

HALAMAN I

KATAPENGANTAR II

DAFTARISI III

KESIMPULAN IV

REFERENSI V

BAB I      PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI

               NASIONAL

1.1         Pancasila dalam Pendekatan Filsafat

1.2         Makna Pancasila sebagai Dasar Negara

1.3         Makna Pancasila sebagai Ideologi Nasional

1.4         Implementasi Pancasila sebagai Ideologi Nasional

1.5         Pengamalan Pancasila

 
BAB I

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL

Bagi masyarakat Indonesia, pancasila bukanlah sesuatu yang asing. Pancasila


terdiri atas 5 (lima) sila, tertuang dala pembukaan UUD 1945 alinea IV dan
diperuntukan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Meskipun di dalam
pembukaan UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit disebutkan kata Pancasila, namun
sudah dikenal luas banyak bahwa 5 (lima) sila yang dimaksud adalah Pancasila untuk
dimaksudkan sebagai dasar Negara.

Dewasa ini, terutama di era reformasi, membicarakan Pancasila dianggap


sebagai keinginan untuk kembali ke kejayaan masa orde baru. Bahkan, sebagian orang
memandang sinis terhadap Pancasila sebagai sesuatu yang salah. Kecenderungan
demikian wajar oleh karena orde baru menjadikan Pancasila sebagai legitimasi
ideologis dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasaannya secara passif.

Kesepakatan bangsa telah menetapkan bahwa Pancasila yang terdiri atas lima sila
itu merupakan dasar Negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945. Kesepakatan itu dinyatakan pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI sebagai lembaga pembentuk Negara saat itu. Dengan demikian uraian pada
bab ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Pancasila dalam pendekatan filsafat


2. Makna Pancasila sebagai dasar Negara
3. Implementasi Pancasila sebagai dasar Negara
4. Makna Pancasila sebagai ideology nasional
5. Implementasi Pancasila sebagai ideologi nasional
6. Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara
 
l
4. Nilai-nilai kerohanian

Dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Dalam filsafat Pancasila juga disebutkan bahwa 3 (tiga) tingkatan nilai, yaitu nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praktis.

5. Nilai dasar

Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima
sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak.

6. Nilai instrumental

Nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma sosial
dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan
mekanisme lembaga-lembaga Negara.

7. Nilai praktis

Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.

Nilai-nilai Pancasila tersebut termasuk nilai etik atau nilai moral. Nilai-nilai dalam
pancasila termasuk dalam tingkatan nilai dasar. Nilai kemanusian yang adil dan
beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan
sesuatu hal sebagaimana mestinya.
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha kea rah bersatu dalam kebulatan
rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara kesatuan republik Indonesia.

Adanya perbedaan bukan sebagai sebab perselisihan tetatpi justru dapat menciptakan
kebersamaan. Kesadaran ini tercipta dengan bik bila sesanti “Bhineka Tunggal Ika”
sungguh-sunggh dihayati.

Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-
lembaga perwakilan. Hal ini diupayakan dengan menjabarkan nilai-nilai Pancasila
tersebut kedalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UUD
1945 dan peraturan perundang-undangan ini selanjutnya menjadi pedoman
penyelenggaraan bernegara.

1. Mewujudkan Nilai Pancasila sebagai Norma Bernegara

Ada hubungan antara nilai dengan norma. Norma atau kaidah adalah aturan pedoman
bagi manusia dalam berperilaku sebagai perwujudan dari nilai. Tanpa dibuatkan
norma, nilai tidak bias praktis artinya tidak mampu berfungsi konkret dalam
kehidupan sehari-hari. Akhirnya yang tampak dalam kehidupan dan melingkupi
kehidupan kita adalah norma. Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari ada
4 (empat) yaitu sebagai berikut.

2. Norma agama

Norma ini disebut juga dengan norma religi atau kepercayaan. Norma kepercayaan
atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman. Tuhanlah yang mengancam
pelanggaran-pelanggaran norma kepercayaan atau agama itu dengan sanksi.

1. Norma moral (etika)


Norma ini disebut dengan norma kesusilaan atau etika atau budi pekerti. Norma moral
atau etika adalah norma yang paling dasar. Asal atau sumber norma kesusilaan adalah
dari manusia sendiri yang bersifat otonom dan tidak

ditunjukan kepada sifat lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia. Sanksi atas
pelanggaran norma moral berasal dari diri sendiri.

2. Norma kesopanan

Norma kesopanan disebut juga norma adat, sopan santun, tata karma atau norma
fatsoen. Norma sopan santun didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan atau kepantasan
yang berlaku dalam masyarakat. Sanksi atas pelanggaran norma kesopanan berasal dari
masyarakat setempat

3. Norma hukum

Norma hukum berasal dari luar diri manusia. Norma hukum berasal dari kekuasaan
luar diri manusia yang memaksakan kepada kita. Dalam hal ini pengadilanlah sebagai
lembaga yang mewakili masyarakat resmi untuk menjatuhkan hukuman.

Pengalaman sejarah pernah menjadikan Pancasila sebagai semacam norma etik bagi
perilaku segenap warga bangsa. Ketetapam MPR No.II/MPR/1978 tentang P4 dapat
dianggap sebagai etika sosial dan etika politik bagi bangsa Indonesia yang didasarkan
atas nilai-nilai Pancasila (Achmad Fauzi, 2003). Para pejabat Negara malahan banyak
menyimpang dari apa yang ia pidatokan kepada warga Negara. Di era sekarang ini,
tampaknya kebutuhan akan norma etik untuk kehidupan bernegara masih perlu
bahkan amat penting untuk ditetapkan. Hal ini terwujud dengan keluarnya ketetapan
MPR No.VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.

1. Etika sosial dan budaya


Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali
sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai dan
tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senapas dengan itu juga
menghidupsuburkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua
yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

2. Etika pemerintahan dan politik

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan
efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, rasa tanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai
perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih
benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang, serta menjujung
tinggi hak asasi manusia.

3. Etika ekonomi dan bisnis

Etika ini dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi
maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan
realitas ekonomi yang bercirikan: persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong
berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing dan
terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-
usaha bersama secara berkesinambungan.

4. Etika penegakan hukum yang berkeadilan

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib social, ketenangan
dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan hukum dan
seluruh peraturan yang ada.

5. Etika keilmuan dan disiplin kehidupan


Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan
dan teknologi agar mampu berfikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika disiplin
kehidupan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan
memanfaatkan waktu, disiplin dalam berfikir dan berbuat, serta menepati janji dan
komitmen diri untuk mencapai hasil terbaik.

Dengan berpedoman pada etika kehidupan berbangsa tersebut, penyelenggara


Negara dan warga Negara dapat bersikap dan berpeilaku secara baik bersumber pada
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya. Etika kehidupan berbangsa ini dapat kita
pandang sebagai norma etik bernegara sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar
Pancasila . untuk operasional lebih lanjut, pokok-pokok etika kehidupan berbangsa ini
dijabarkan lagi dalam berbagai etika profesi atau kode etik profesi.

Norma etik atau moral memiliki kelemahan, yaitu tidak memiliki sanksi yang kuat dan
memuaskan terutama untuk mengatur perilaku hidup bernegara. Hukum pada
dasarnya adalah norma, yaitu norma hukum. Secara teoritis kehidupan bermasyarakat
membutuhkan norma hukum sebab sanksi dari ketiga norma yaitu agama, etik dan
kesopanan belum cukup memuaskan, dan efektif melindungi keteraturan masyarakat
serta masih adanya kepentinga/perilaku lain yang dibutuhkan masyarakat yang perlu
dibuat karena tidak ada dalam ketiga norma di atas. Misalnya, perilaku di jalan raya.

Norma hukum dapat berasal dari norma agama, norma kesopanan dan norma moral.
Dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai dasar Negara, nilai Pancasila dapat
diwujudkan ke dalam norma hukum Negara. Tata hukum Indonesia yang berpuncak
pada hukum dasar Negara yaitu UUD 1945 bersumber pada nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai norma dasar bernegara.

Landasan Yuridis dan Historis Pancasila sebagai Dasar Negara

Kedudukan pokok Pancasila bagi Negara kesatuan republik Indonesia adalah sebagai
dasar Negara. Kedudukan pancasila sebagai dasar Negara ini merupakan kedudukan
yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum Negara, dalam hal ini
UUD 1945 pada bagian pembukaan alinea IV. Penegasan akan berkedudukan Pancasila
sebagai dasar Negara semakin kuat dengan keluarnya ketetapan MPR
No.XVIII/MPR/1998 tentang penegasan Pancasila sebagai dasar Negara dan pencabutan
ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang P4 pasal 1 ketetapan MPR tersebut menyatakan
bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar
1945 adalah dasar Negara dari Negara kesatuan republik Indonesia yang harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Pancasila sebagai dasar Negara yang dimaksud adalah sebagai dasar filsafat atau dasar
falsafah Negara (philosophische grondslag) dari Negara Indonesia. Pancasila sebagai
dasar filsafat oleh karena Pancasila merupakan rumusan filsafati atau dapat dikatakan
nilai-nilai Pancasila adalah nilai-nilai filsafat. Oleh karena itu, harus dibedakan dengan
dasar hukum Negara yang dalam hal ini adalah UUD 1945. Pancasila adalah dasar
(filsafat) Negara, sedang UUD 1945 adalah dasar (hukum) Negara Indonesia.

Makna Pancasila sebagai dasar Negara

Pancasila sebagai dasar (filsafat) Negara mengandung makna bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi penyelenggaraan
bernegara. Nilai-nilai Pancasila pada dasarnya adalah nilai-nilai filsafat yang sifatnya
mendasar.

Pancasila sebagai dasar Negara berarti nilai-nilai pancasila menjadi pedoman


normative bagi penyelanggaraan bernegara. Konsekuensi dari rumusan demikian
berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia
termasuk peraturan perundang-undangan merupakan pencerminan kemanusiaan,
nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. Pereduksian dan pemaknaan atas
Pancasila dalam pengertian yang sempit dan politis ini berakibat pada :

1. Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos


2. Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos
3. Nilai-nilai Pancasila menjadi nilai yang disotopia tidak sekadar otopia
Dewasa ini khususnya di era reformasi, ada keinginan berbagai pihak dan kalangan
untuk melakukan penafsiran kembali atas Pancasila dalam kedudukannya bagi bangsa
dan Negara Indonesia.

Dr. Koentowijoyo dalam tulisannya mengenai radikalisasi Pancasila (1998) menyatakan


perlunya kita memberi ruh baru pada Pancasila, sehingga ia mampu menjadi kekuatan
yang menggerakan sejarah. Selama ini Pancasila hanya jadi lip service, tidak ada
pemerintah yang sungguh-sungguh melaksanakannya.

Pancasila sebagai dasar Negara mengandung makna bahwa Pancasila harus kita
letakkan dalam keutuhannya dengan pembukaan UUD 1945, dieksplorasi pada
dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :

1. Dimensi realitasnya, dalam arti nilai yang terkandung di dalamnya


dikonkretisasikan sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat;
2. Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung di dalamnya
bukanlah sekadar otopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah
“kata kerja” untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara
Negara menuju esok yang lebih baik.
3. Dimensi fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis
dan sudah selesai. Pancasila terbuka bagi penafsiran baru untuk memenuhi
kebutuhan zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai
dasarnya yang hakiki tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang
penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila adalah dasar Negara dari Negara kesatuan republik Indonesia. Menurut teori
jenjang norma (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen seorang ahli filsafat
hukum, dasar Negara berkedudukan sebagai norma dasar (grundnorm) dari suatu
Negara atau disebut norma fundamental Negara (staatsfundamentalnorm). Grundnorm
merupakan norma hukum tertinggi dalam Negara. Hans Kelsen menyebutkan bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan tertentu. Suatu norma yang lebih rendah berdasar, bersumber dan berlaku
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar, bersumber dan
berlaku pada norma lebih tinggi lagi.

Teori Hans Kelsen ini dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.
Hans Nawiasky menghubungkan teori jenjang norma hukum dalam kaitannya dengan
Negara. Hans Nawiasky berpendapat bahwa kelompok norma hukum Negara terdiri
atas 4 (empat) kelompok besar, yaitu :

1. Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental Negara


2. Staatgrundgesetz atau aturan dasar/pokok Negara
3. Formellgesetz atau undang-undang
4. Verordnung dan autonome satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom

Jenjang kelompok norma itu digambarkan sebagi berikut :

Di Indonesia, norma tertintti ini adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam


pembukaan UUD 1945. Jadi, Pancasila sebagai dasar Negara dapat disebut sebagai :

1. Norma dasar
2. Staatsfundamentalnorm
3. Norma pertama
4. Pokok kaidah Negara yang fundamental
5. Cita hukum (rechtsidee)

Dalam berbagai buku mengenai Pancasila dikemukakan bahwa pembukaan UUD 1945
merupakan pokok kaidah Negara yang fundamental. Hal ini disebabkan pembukaan
UUD 1945 memuat didalamnya Pancasila sebagai intinya. Untuk membedakannya,
Prof. Notonagoro menyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah
Negara yang fundamental, sedangkan Pancasila sebagai unsure pokok kaidah Negara
yang fundamental.
Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut diatur dalam ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan.
Adapun tata urutan perundangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar 1945


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

Dalam ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional
adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan Undanf-Undang Dasar
1945.

 Yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan batang tubuh undang-undang dasar 1945.

Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-


undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan sebagai berikut :

1. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945


2. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
3. Peraturan pemerintan
4. Peraturan presiden
5. Peraturan daerah

B.     MAKNA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL


Pancasila selain sebagai dasar Negara Indonesia juga berkedudukan sebagai ideology
nasional Indonesia.

1. Pengertian Ideologi

Ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita,
dan logos berarti ilmu. Secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar
ide. Hubungan manusia dengan cita-citanya disebut dengan ideologi. Ideologi berisi
seperangkat nilai, dimana nilai-nilai itu menjadi cita-citanya atau manusia bekerja dan
bertindak untuk mencapai nilai-nilai tersebut. Berikut diberikan beberapa pengertian
ideologi.

Patrick Corbett menyatakan ideologi sebagai setiap struktur kejiwaan yang


tersusun oleh seperangkat keyakinan mengenai penyelenggaraan hidup
bermasyarakat beserta pengorganisasiannya, seperangkat keyakinan mengenai sifat
hakiki manusia dan alam semesta yang ia hidup didalamnya,

suatu pernyataan pendirian bahwa kedua perangkat keyakinan tersebut


independen, dan suatu dambaan agar keyakinan-keyakinan tersebut dihayati dan

1.  pernyataan pendirian itu diakui sebagai kebenaran oleh segenap orang yang
menjadi anggota penuh dari kelompok sosial yang bersangkutan.
2. A.S. Hornby menyatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang
membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh
seseorang atau sekelompok orang.
3. Soejono Soemargono menyatakan secara umum “ideologi” sebagai kumpulan
gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang
menyangkut bidang :

1)      Politik

2)      Sosial

3)      Kebudayaan, dan

4)      Agama

1. Gunawan Setiardja merumuskan ideology sebagai seperangkat ide asasi tentang


manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
2. Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideology sebagai suatu system
pemikiran dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan terbuka.

1)      Ideologi tertutup, mempunyai ciri sebagai berikut :

-          Merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui
masyarakat.

-          Atas nama ideology dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan


kepada masyarakat.

-          Isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak.

2)      Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ideologi terbuka
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

-          Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan
digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri.
-          Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkan hasil
musyawarah dari consensus masyarakat tersebut.

-          Nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung
operasional.

Ada dua fungsi utama ideology dalam masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999). Pertama,
sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu
masyarakat. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur
penyelesaian konflik yang terjadi dimasyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah
untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam Ideologi itu. Adapun dalam kaitannya
yang keduaa, nilai dalam Ideologi itu merupakan nilai yang disepakati bersama
sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu, serta nilai bersama tersebut dijadikan
acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan
masyarakat yang bersangkutan.

1. Landasan dan Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa

Ketetapan bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah ideologi bagi Negara dan bangsa
Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998
tentang pencabutan ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan
dan pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang penegasan
Pancasila sebagai dasar Negara.

Catatan risalah/penjelasan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari ketetapan


tersebut menyatakan bahwa dasar Negara yang dimaksud dalam ketetapan didalamnya
mengandung makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan Negara.

Adapun makna pancasila sebagai ideologi nasional menurut ketetapan tersebut


adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi pancasila menjadi cita-cita
normatif penyelenggaraan bernegara.  Pancasila sebagai ideologi nasional yang
berfungsi sebagai cita-cita adalah sejalan dengan fungsi utama dari sebuah ideologi
sebagaimana dinyatakan di atas. Pancasila merupakan tawaran yang dapat
menjembatanii perbedaan dikalangan anggota BPUPKI saat itu.

Menurut Adnan Buyung Nasution (1995) telah terjadi perubahan fungsi asli
Pancasila. Pancasila yang meskipun sebutannya muluk-muluk sebagai Philosophische
grondslag, atau weltanschauung sebenarnya dimaksudkan sebagai platform demokratis
bagi semua golongan di Indonesia. Ideologi pancasila menjadi ideologi yang khas yang
berbeda dengan ideologi lain. Pernyataan Soekarno ini menjadi ruh berkembang dan
berbeda dengan pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Notonagoro pada tahun 1951,
1955, dan 1959. Dari sudut politik, Pancasila adalah sebuah consensus politik, suatu
persetujuan politik bersama antargolongan di Indonesia. Dengan diterimanya Pancasila,
berbagai golongan dan aliran pemikiran bersedia bersatu dalam Negara kebangsaan
Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas, Pancasila sebagai ideologi nasional Indonesia memiliki


makna sebagai berikut :

1)      Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi cita-cita normative


penyelenggaraan bernegara;

2)      Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati
bersama dan oleh karena itu menjadi salah satu sarana pemersatu (integrasi)
masyarakat Indonesia.

C.    IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

Pancasila sebagai ideologi nasional yang berarti sebagai cita-cita bernegara dan sarana
yang mempersatukan masyarakat perlu perwujudan yang konkret, dan operasional
aplikatif sehingga tidak menjadi slogan belaka.

Dalam ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 dinyatakan bahwa Pancasila perlu


diamalkan dalam bentuk pelaksanaan yang konsisten dalam kehidupan bernegara.
Perwujudan ideologi Pancasila sebagai cita-cita bernegara.

Perwujudan Pancasila sebagai ideology nasional yang berarti menjadi cita-cita


penyelenggaraan bernegara terwujud melalui ketetapan MPR No. VII/MPR/2001
tentang visi Indonesia Masa Depan terdiri dari tiga visi, yaitu :

1. Visi ideal, yaitu cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam pembukaan


undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 yaitu pada alinea
kedua dan keempat;
2. Visi antara, yaitu visi Indonesia 2020 yang berlaku sampai dengan tahun 2020;
3. Visi lima tahunan, sebagaimana termaktub dalam garis-garis besar haluan
Negara.

Pada visi antara dikemukakan bahwa visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya
masyarakat Indonesia yang religious, manusiawi, bersatu, demokratis, adil
dipergunakan indikator-indikator utama sebagai berikut :

1. Religius
2. Manusiawi
3. Bersatu
4. Demokratis
5. Adil
6. Sejahtera
7. Maju
8. Mandiri
9. Baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara

Perwujudan Pancasila sebagai kesepakatan atau nilai integratif bangsa

Pancasila sebagai nilai integratif, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian
konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara. Pancasila sebagai
sarana pemersatu dalam masyarakat dan prosedur penyelesaian konflik itulah yang
terkandung dalam nilai integrative Pancasila. Kedudukan nilai sosial bersama di
masyarakat untuk menjadi sumber normative bagi penyelesaian konflik bagi para
anggotanya adalah hal penting. Masyarakat membutuhkan nilai bersama untuk
dijadikan acuan manakala konflik antaranggota terjadi.

Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata kesepakatan ini
mengandung makna pula sebagai konsensus bahwa dalam hal konflik maka lembaga
politik yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai penengah. Nilai-nilai
Pancasila hendaknya mewarnai setiap prosedur penyelesaian konflik yang ada di
masyarakat. Secara normatif dapat dinyatakan sebagai berikut; bahwa penyelesaian
suatu konflik hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai religious, menghargai derajat
kemanusiaan, mengedepankan pesatuan, mendasarkan pada prosedur demokratis dana
berujung pada terciptanya keadilan.

D.    PENGAMALAN PANCASILA

Tiba saatnya akhir uraian mengenai pancasila ini pada kata “pengamalan Pancasila”.
Sering sekali kita dengar terutama sejak masa orde baru perlunya Pancasila diamalkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, selalu saja
terkesan slogan belaka dan tidak membumi. Pada ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998
dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-
undang dasar 1945 adalah dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dalam GBHN
terakhir 1999-2004 disebutkan pula bahwa misi pertama penyelenggaraan bernegara
adalah pengamalan pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Bagaimana sesungguhnya melakanakan atau mengamalkan
pancasila secara konsisten dalam kehidupan bernegara itu?

1. Pengamalan secara objektif


Pengamalan secara okjektif adalah dengan melaksanakan dan menaati peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum Negara yang berlandaskan pada
pancasila.

2. Pengamalan secara subjektif

Pengamalan secara subjektif adalah dengan menjalankan nilai-nilai Pancasila yang


berwujud norma etik secara pribadi atau kelompok dalam bersikap dan bertingkah
laku pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Disamping mengamalkan secara objektif, secara subjektif warga Negara dan


penyelenggara Negara wajib mengamalkan pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam rangka pengamalan secara subjektif ini, pancasila
menjadi sumber etika dalam bersikap dan bertingkah laku setiap warga Negara dan
penyelenggara Negara. Etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersumber
pada nilai-nilai Pancasila sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR No.
VI/MPR/2001 adalah norma-norma etik yang dapat kita amalkan. Melanggar norma
etik tidak mendapatkan sanksi hukum tetapi sanksi yang berasal dari diri sendiri.
Adanya pengamalan secara subjektif ini adalah konsekuensi dari mewujudkan nilai
dasar pancasila sebagai norma etik berbangsa dan bernegara

KESIMPULAN

Melalui perjalanan panjang negara Indonesia sejak merdeka hingga saat ini, Pancasila
ikut berproses pada kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila tetap sebagai dasar negara
namun interprestasi dan perluasan maknanya ternyata digunakan untuk kepentingan
kekuasaan yang silih berganti.

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
berkedudukan sebagai norma dasar bernegara yang menjadi sumber, dasar, landasan
norma, serta memberi fungsi konstitutif dan regulatif bagi penyusun hukum-hukum
negara.

Pengamalan secara objektif membutuhkan dukungan kekuasaan negara untuk


menerapkannya. Seorang warga negara atau penyelenggara negara yang berperilaku
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku akan mendapatkan
sanksi.

DI SUSUN OLEH:
1.ADINDA ANASTASYA
2.AMANDA R.G. HUTAGAOL
3.JESSICA N. KHO
4.SEVRIADY A. DUMA
5.VANDHA A. THOMAS
6. MOSES Y.F. MANUPUTTY

Anda mungkin juga menyukai