Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA

DEFISIT PERAWATAN DIRI SESUAI STUDI KASUS JURNAL


INTERNASIONAL

oleh :
KELOMPOK PEMINATAN JIWA
Salwa Nirwanawati 206070300111003
Dessy Ekawati 206070300111007
Dewa Ayu Anggi G 206070300111011
Atin Humayya 206070300111014
Ridwan Sofian 206070300111024

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Analisis Konsep Asuhan
Keperawatan Jiwa Lanjut Pada Defisit Perawatan Diri Sesuai Studi Kasus Jurnal
Internasional” oleh mahasiswa Magister Keperawatan Peminatan Keperawatan Jiwa
tahun 2021 ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini, telah disusun
semaksimal dan seoptimal mungkin sesuai dengan point-point yang diminta dan
berdasarkan pada literature atau jurnal yang kami dapatkan. Namun, kami hanyalah
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dalam penulisan maupun tata bahasa.
Dengan segala kerendahan hati, tim penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, tim penyusun mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 28 Maret 2021

Kelompok Peminatan Jiwa


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Azizah, 2016).
Ketidakmampuan perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri menurun (Keliat, 2015).
Pasien dengan gangguan jiwa kronis sering kali mengalami ketidak pedulian
dalam merawat diri sendiri. Hal ini dapat menyebabkan pasien dikucilkan didalam
keluarga maupun masyarakat (Keliat, 2015). Pasien dengan masalah gangguan
jiwa kronis seperti pada masalah gelandangan psikotik atau pasien dengan
skizofrenia yang tidak mampu melakukan perawatan diri sendiri dan perawatan
dari keluarga atau masyarakat. Gelandangan psikotik akan menampilkan tanda
dan gejala tubuh yang kotor, rambut yang tidak pernah dibersihkan seperti sapu
ijuk, dan berpakaian compang-camping (Yosep, 2016).
Defisit perawatan diri merupakan ketidakmampuan melakukan dan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Gangguan aktivitas ini bisa disebabkan
karena gangguan psikologis atau gangguan psikotik. Selain itu, beberapa kondisi
klinis terkait ketidakmampuan perawatan diri dikarenakan gangguan terkait usia
lanjut seperti Demensia (SDKI, 2017).
Menurut Hamdy, et al (2018), penderita Demensia terutama pada penyakit
Alzheimer mungkin tidak menyadari ketidakmampuannya dalam merawat atau
melakukan perawatan terhadap diri sendiri. Terkadang penderita Demensia tidak
menyadari bahwa pakaiannya kotor dan menolak untuk mengganti pakaian
terutama jika pakaian yang digunakan merupakan pakaian yang disukai. Menurut
Herdman dalam Diagnosis NANDA (2018), penyebab ketidakmampuan dalam
perawatan diri disebabkan karena adanya gangguan neuromuscular dan gangguan
fungsi kognitif serta persepsi terutama pada pasien Demensia.
Dari hasil latar belakang diatas, penulis ingin mempelajari lebih dalam dan
menganalisis serta menentukan asuhan keperawatan yang tepat mengenai defisit
perawatan diri yang terjadi pada pasien sesuai dengan studi kasus dalam sebuah
jurnal internasional yang berjudul Agnosia Interferes With Daily Hygiene in
Patients With Dementia dan dituangkan dalam sebuah makalah.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu menganalisa konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada kasus
defisit perawatan diri dan penerapannya berdasarkan jurnal/literature yang
didapat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu memahami konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada defisit
perawatan diri sesuai dengan studi kasus.
2. Mampu menganalisa konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada
defisit perawatan diri sesuai dengan studi kasus.
1.3 Manfaat
1.3.1 Pengembangan Ilmu
Dijadikan bahan referensi untuk studi kasus mengenai konsep asuhan
keperawatan jiwa lanjut pada defisit perawatan diri.
1.3.2 Masyarakat
Sebagai bahan ilmu tentang problem solving yang harus di lakukan di
masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Demensia
2.1.1 Definisi Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan bersifat
kronik atau progresif pada kognitif dan fungsional akibat
neurodegeneratif dan proses serebrovaskuler yang menyebabkan
gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari (Asyrofi,
2019).
2.1.2 Penyebab Demensia
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya demensia yaitu:
a. Penyakit Alzheimer, faktor yang paling sering terjadi
b. Demensia vascular
c. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
d. Penyakit Pick
e. Penyakit Creutzfeldt-Jakob
f. Penyakit Huntington
g. Penyakit Parkinson (Situmorang, 2020)
Sedangkan (Harnita, 2017) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kejadian demensia pada lansia sebagai berikut:
a. Umur
Menjadi faktor risiko utama kejadian demensia pada usia lanjut
karena semakin bertambahnya usia. Semakin tinggi pula risiko
terjadinya demensi akibat penurunan fungsi organ-organ tubuh,
semakin usia yang bertambah akan semakin rentan pula terkena
penyakit.
b. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak mengalami demensia meskipun
kondisi ini tidak memberikan perbedaan yang signitifan antara jenis
kelamin laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki peluang yang
sama.
c. Genetik
Sebagian pasien demensia memiliki genetik demensia dari
faktor keturunan. Namun pada sebagian orang yang memliki gen
demensia hanya sedikit gennya yang berkembang menjadi demensia.
d. Pola makan
Kebutuhan lanjut usia semakin menurun seiring dengan
bertambahnya usia sehingga jumlah makanan yang dikonsumsi akan
berkurang dan pola makan tidak teratur, contohnya seperti berat
badan akan menurun, dan kekurangan vitamin dan mineral
e. Riwayat penyakit
Penyakit infeksi dan metabolisme yang tidak ditangani serta
diabaikan dapat memicu terjadinya demensia seperti tumor otak,
penyakit kardiovaskuler (hipertensi dan atherosclerosis), gagal ginjal,
penyakit hati, penyakit gondok.
f. Status gizi
Asupan makanan yang kurang bergizi bagi para lansia
mengakibatkan penurunan sistem dalam tubuh
2.1.3 Tanda dan Gejala Demensia
Menurut (Juni, 2020), tanda dan gejala utama yang sering muncul
pada lansia dengan demensia, yaitu:
a. Kehilangan memori
b. Kesulitan dalam melakukan rutinitas pekerjaan
c. Masalah dengan bahasa
d. Disorientasi waktu dan tempat
e. Tidak dapat mengambil keputusan
f. Perubahan suasana hati dan kepribadian
2.1.4 Tahapan Demensia
Berikut tahapan demensia dari Iftya (2019) antara lain :
a. Early stage
Sulit mengenal kapan gejala terjadi dan sebagai proses normal
penuan. Trejadinya kehilangan memori jangka pendek, depresi dan
sering agresif, disorientasi pada waktu, kehilangan keakraban
dengan sekitarnya, kesulitan dalam berbahasa, kurangnya inisiatif
dan motivasi, hilangnya minat dan hobi serta aktifitas.
b. Middle stage
Gejala mulai cukup jelas terlihat dan mengganggu kegiatan
sehari-hari, menjadi sangan pelupa terutama kejadian baru yang
dialami, kesulitan menemukan kata yang tepat untuk diungkapkan,
mudah berpergian dan tidak dapat kembali ketmpat asal, mendengar
dan melihat sesuatu yang tidak ada, dan bergantung pada orang lain.
c. Late stage
Tahap akhir, penderita akan kehilangan fungsi serta lebih
ketergantungan pada orang lain, susan makan, sulit berbicara, tidak
dapat mengenali orang atau obyek, berada di kursi roda ataupun
tempat tidur, kesulitan berjalan, memiliki inkontenesia bowel dan
urinary, kesulitan mengerti dan mengiterpretasikan kejadian.
Menurut Putri (2018), adapun stadium yang terjadi pada demensia
yaitu :
Stadium Lama Gejala Dampak
Stadium I 2-4 tahun Gangguan pada memori, Lupa akan hal baru yang
(stadium berhitung, dan aktivitas dialami, kondisi seperti
amnestik) spontan menurun ini tidak mengganggu
aktivitas rutin dalam
keluarga
Stadium II 2-10 tahun Disorintasi, gangguan Tidak dapat
bahasa, mudah bingung, menyelesaikan kegiatan,
(stadium dan penurunan fungsi gangguan visuospasial,
demensia) memori lebih berat lupa anggota keluarga,
sering mengulangi
tindakan, depresi berat
sekitar 15-20%.
Stadium III 6-12 tahun Menjadi vegetatif, Tidak mengenali
keseharian membutuhkan keluarga, tidak bisa
bantuan orang lain, mengendalikan BAB dan
membisu, daya ingat BAK, trauma kematian
intelektual, memori atau akibat infeksi
memburuk

2.2 Defisit Perawatan Diri (DPD)


2.2.1 Definisi DPD
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah perawatan diri. ODGJ
umumnya memiliki masalah ketidakmampuan dalam perawatan diri.
Kurang perawatan diri adalah seseorang yang tidak mampu untuk
merawat dirinya sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk
memenuhi perawatan dirinya. Untuk itu perawatan diri menjadi fokus
utama peran seorang perawat. Selain itu, perawat memberikan
pendidikan kesehatan tentang perawatan diri sehingga klien mampu
memenuhi perawatan dirinya (Wuryaningsih, E. W., 2018).
DPD adalah ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan atau
menyelesaikan aktivitas kebersihan diri (SDKI, 2016). Dimana
seseorang gagalan untuk melakukan kebersihan diri, berpakaian, makan
dan minum, eliminasi, dan lingkungan secara mandiri (NANDA-I,
2018).
2.2.2 Tanda dan Gejala DPD
Berikut merupakan tabel dari tanda gejala minor dan mayor untuk
menentukan diagnosis DPD : (Keliat, 2020)

a. Menolak melakukan perawatan kebersihan


b. Menyampaikan ketidakinginan melakukan
Subjektif
perawatan diri
Mayor c. Menyatakan tidak tahu cara perawatan diri
(gejala yang a. Kulit, rambut, gigi, kuku kotor
muncul 80% b. Pakaian kotor, tidak rapi, dan tidak tepat
- 100%) Objektif c. Makanan dan minuman tidak beraturan
d. Eliminasi BAB, BAK tidak pada tempatnya
e. Lingkungan tempat tinggal kotor dan tidak rapi
Subjektif -
a. Ketidakmampuan menyiapkan perlengkapan
mandi
Minor
b. Ketidakmampuan melepas dan mengenakan
(gejala yang
Objektif pakaian
muncul 50%
c. Ketidakmampuan mengambil
- 79%)
makanan/minuman sendiri
d. Ketidakmampuan menggunakan toilet

2.2.3 Faktor Predisposisi DPD (Yusuf, 2015)


Ditinjau dari Aspek Contoh
Biologi a. Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri
b. Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga terjadi perkembangan inisiatif terganggu
Psikologi Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan
diri di dalam lingkungannya. Situasi lingkungan
mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.

2.2.4 Faktor Presipitasi DPD


Faktor presiptasi DPD seperti penurunan motivasi, kerusakan
kognisi ataupun perceptual, cemas, dan lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. Menurut Depkes (2000) dalam Rahmawati (2020),
faktor- faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak-anak biasanya selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun,
pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya
pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan
kakinya.
e. Budaya
Di sebagian besar masyarakat jika individu sakit tertentu tidak
boleh dimandikan. Kebiasaan seseorang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan
lain–lain.
f. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
2.2.5 Diagnosa DPD
a. Keperawatan
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
2. Isolasi Sosial
3. Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK
b. Medis
1. Psikotik
2. Skizofrenia
3. Gangguan fungsi kognitif
4. Gangguan persepsi
5. Gangguan muskuloskleletal
2.2.6 Intervensi Keperawatan
a. Generalis (Kelliat, B. A., 2020)
1. Individu
a) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
1) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan
diri
b) Melatih pasien makan secara mandiri
1) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
2) Menjelaskan cara makan yang tertib
3) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah
makan
4) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
c) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan
BAK
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
d) Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
2. Keluarga (Kelliat, B. A., 2020)
a) Mengkaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
klien
b) Menjelaskan proses terjadinya masalah secara sederhana
c) Mendiskusikan cara merawat DPD dan memutuskan cara
merawat sesuai kondisi klien
d) Melatih keluarga merawat seperti yang te;ah dilatih perawat
pada klien
e) Melatih keluarga menciptakan suasana yang mendukung
perawatan
f) Mendiskusikan keperluan rujukan
3. Kelompok (Kelliat, B. A., 2020)
Melakukan TAK defisit perawatan diri sesuai masalah yang
dialami klien
b. Spesialis
Terapi perilaku (behavioral therapy) adalah terapi yang
bertujuan untuk mengubah perilaku negative yang dapat
membahayakan klien serta menangani pikiran dan perasaan yang
dapat menyebabkan perilaku yang membahayakan diri sendiri. Terapi
perilaku didasarkan pada kepercayaan bahwa perilaku seseorang
sangat berkaitan atau dipengaruhi oleh masalah psikologisnya. Oleh
karena itu, perilaku yang bermasalah bukanlah sesuatu yang dimiliki
seseorang, melainkan akibat dari pembelajaran, lingkungan, dan
pengaruh dari luar. Berikut sesi dari BT (Modul UI, 2019):
Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan
dan menimbulkan perilaku negatif serta latihan
mengubah satu perilaku negatif
Sesi 2 : Melatih mengubah perilaku negatif kedua
Sesi 3 : Memanfaatkan sistem pendukung
Sesi 4 : Mengevaluasi manfaat mengubah perilaku negatif
BAB 3

PEMBAHASAN JURNAL

3.1 Studi Kasus


Ny. E, seorang lansia berusia 72 tahun menderita Demensia sejak 1 tahun
yang lalu. Ny. E tinggal berdua dan dirawat oleh putrinya bernama Nn. S. Ny. E
telah mengenakan gaun yang sama setiap hari selama 2 minggu terakhir. Selama 3
hari terakhir, Nn. S berusaha membuatnya mengenakan gaun yang berbeda namun
tidak berhasil. Ny. E dengan tegas menyatakan bahwa dia menyukai gaun yang dia
kenakan dan tidak berpikir itu perlu dicuci.
Nn. S merasa dia tidak tahan lagi ibunya mengenakan gaun yang kotor. Dia
masuk ke kamar ibunya saat Ny. E masih di tempat tidur. Nn. S memberikan gaun
baru yang lebih bersih berwarna hijau kesukaan Ny. E dan Nn. S menginginkan
Ny E memakai gaun itu setelah selesai mandi. Nn. S kemudian menggantung gaun
tersebut dan mengambil gaun kotor milik Ny. S serta meletakkannya di keranjang
cucian. Hal tersebut dilakukannya karena ia tau bahwa sebelum sakit, ibunya
adalah seorang wanita yang menyukai kebersihan dan selalu ingin tampil harum.
Ny. E tidak menanggapi. Dia bangun dari tempat tidur, pergi ke kamar mandi,
mandi, dan kemudian kembali ke kamarnya. Dia melihat gaun hijau yang
ditinggalkan putrinya di gantungan baju, lalu melihat gaun di keranjang cucian,
mengambil gaun kotor tersebut, memakainya, dan pergi ke dapur. Nn. S
memperhatikan ibunya mengenakan gaun kotor yang sama dan menjadi kesal dan
mengatakan pada ibunya bahwa gaun tersebut sangat kotor. Namun Ny. E
menjawab bahwa menurutnya itu gaun yang indah. Nn. S setuju tetapi mengatakan
bahwa gaun tersebut kotor, menunjukkan bahwa Ny. E telah memakainya setiap
hari selama 2 minggu terakhir dan gaun itu perlu dicuci. Namun Ny. E tidak
memperdulikannya. Ny. E menegaskan kembali rasa sayangnya pada gaun itu. Nn.
S setuju sekali lagi bahwa itu gaun yang bagus tetapi memberi tahu ibunya bahwa
dia tidak bisa memakainya karena kotor. Tetapi Ny. E tetap tidak ingin gaun
tersebut dicuci karena tidak melihat bahwa gaun tersebut tampak kotor seperti
yang disampaikan anaknya.
Nn. S terus berusaha membujuk ibunya agar menyerahkan gaun tersebut
dengan mengatakan bahwa keluarganya segera datang dan akan bersedih jika
melihat Ny. E memakai gaun kotor tersebut karena Ny. E biasanya tampak bersih
dan cantik. Dengan nada marah, Nn. S menunjukk beberapa noda pada gaun yang
dipakai ibunya seperti noda bekas telur busuk dan kopi. Susan menjadi putus asa.
Dia menunjukkan bahwa gaun itu bahkan berbau tidak enak dan dia tidak bisa
membayangkan bagaimana ibunya tidak bisa mencium betapa tidak
menyenangkannya gaun itu. Namun Ny. E tetap mengatakan bahwa gaun tersebut
berbau enak dan sangat segar. Nn. S kembali meminta ibunya menanggalkan gaun
tersebut dan kembali ke kamar untuk memakai gaun bersih yang sudah ia gantung
tadi, namun Ny. E tidak bersedia.
Nn. S sudah sangat lelah dan kehabisan akal. Dia kemudian mengatakan pada
ibunya bahwa ia hanya ingin Ny. E tampil seperti dulu dengan memperhatikan
penampilannya yang selalu bersih dan wangi. Nn. S mengatakan bahwa Ny. E
justru membuat hidup menjadi lebih sulit dan Nn. S mengatakan bahwa ia tidak
sanggup lagi merawat ibunya. Perdebatan terus berlanjut dan tumbuh semakin
memanas. Nn. S mencoba membuka paksa gaun yang digunakan ibunya. Ibunya
menolak. Nn. S bersikeras dan dalam pertengkaran tersebut ia merobek salah satu
lengan gaun ibunya. Ny. E sangat marah dan menampar putrinya sambil
mengatakan kata – kata kotor. Nn. S tidak terima dan ibunya kembali. Nn. S
sekarang melihat darah mengalir di wajah ibunya dari hidung dan mulut tempat dia
memukul Ny. E. Nn. S merasa bersalah atas apa yang sudah ia lakukan pada
ibunya dan terus menerus meminta maaf pada ibunya akan tindakan tersebut.
3.2 Analisa Studi Kasus
3.2.1 Pengkajian
a. Faktor Predisposisi
1. Biologis: klien menderita demensia sejak 1 tahun yang lalu
2. Psikologis: tidak dijelaskan pada kasus tentang stressor yang
menyebabkan gangguan pada psikologis klien
3. Sosial: tidak dijelaskan pada kasus tentang stressor yang
menyebabkan gangguan pada fungsi sosial klien.
b. Faktor Presipitasi
Tidak dijelaskan pada kasus tentang stressor yang terjadi kurang
dari 6 bulan terakhir hingga klien tidak bersedia untuk mengganti gaun
kotor yang ia pakai. Namun terdapat stressor yang dirasakan klien
karena anak klien berusaha mengganti gaun kotor yang ia kenakan
dengan gaun yang lebih bersih dan harum.
c. Penilaian Terhadap Stressor
1. Kognitif: klien mengalami agnosia dimana klien tidak mampu
mengenali objek, orang, suara, bentuk, atau bau meskipun indra
tidak mengalami kerusakan dan tidak terjadi kehilangan memori.
klien berfikir bahwa gaun tersebut tidak nampak kotor, berbau
harum dan segar, dan masih layak pakai.
2. Afektif: klien berpendirian teguh pada apa yang ia yakini dan
mudah marah jika terjadi sesuatu pada gaun kesayangannya.
3. Fisiologis: klien mengenakan gaun yang sangat kotor karena
sudah 2 minggu tidak ganti.
4. Perilaku: klien tidak mempedulikan apa yang dikatakan orang lain
tentang gaun yang ia kenakan
5. Sosial: klien tidak terlibat dengan lingkungan sosial dan kurang
interaktif saat dirumah. klien lebih terfokus pada gaun
kesayangannya yang selalu ia pakai.
d. Sumber Koping
1. Kemampuan personal: klien tidak dapat membedakan mana yang
bersih dan mana yang kotor
2. Dukungan sosial: klien memiliki seorang anak yang selalu
merawatnya.
3. Modal material: klien memiliki anak yang mampu mencukupi
kebutuhan klien dalam personal hygiene.
4. Keyakinan positif: klien tidak memiliki keyakinan positif, ia
hanya percaya bahwa gaun yang ia pakai masih bersih dan layak
padahal sudah sangat kotor dan bau.
e. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang digunakan klien yaitu mekanisme
koping destruktif, dimana klien mengalami ketidakmampuan untuk
membedakan benda yang kotor dan bersih sehingga menyebabkan
kurangnya perawatan diri pada klien.
3.2.2 Diagnosa
a. Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu deficit perawatan diri:
berpakaian.
b. Medis
Diagnosa medis yang muncul sesuai dengan kasus yaitu Alzheimer
tingkat sedang
3.2.3 Intervensi dan Implementasi
Pada jurnal tidak dijelaskan intervensi keperawatan secara
terperinci. Namun hasil diskusi kelompok menyarankan beberapa terapi
keperawatan yang dapat diberikan dengan klien deficit perawatan diri
diantaranya seperti terapi keperawatan generalis dan terapi keperawatan
spesialis. Berikut merupakan terapi keperawatan yang dapat diberikan
pada klien:
a. Generalis
Strategi Pelaksanaan (SP) 1: Melatih klien cara perawatan kebersihan
diri.
Strategi Pelaksanaan (SP) 2: Melatih klien berdandan/ berhias.
Strategi Pelaksanaan (SP) 3: Melatih klien makan secara mandiri.
Strategi Pelaksanaan (SP) 4: Melatih klien BAB/BAK secara
mandiri.
Diagnosa
NOC NIC
Keperawatan
Defisit TUK 3: Klien Berikan pendidikan
perawatan diri: mampu melakukan kesehatan dan latih klien
berpakaian. berhias/berdandan berhias/berdandan:
dengan baik. 1. Sapa klien dengan ramah,
1. Klien mampu baik verbal maupun non
menyebutkan verbal.
cara berhias yang 2. Evaluasi jadwal kegiatan
baik. klien.
2. Klien mampu 3. Jelaskan cara berhias
menyebutkan yang baik
cara menyisir 4. Jelaskan cara menyisir
rambut. rambut.
3. Klien mampu 5. Jelaskan cara bercukur
menyebutkan (laki-laki), dan
cara bercukur berdandan (perempuan).
(laki-laki) dan 6. Latih klien
berdandan mempraktikkan cara
(perempuan). berhias yang baik.
4. Klien mampu 7. Ber reinforcemen positif
mempraktikk an setelah klien mampu
cara berhias yang mempraktikkan cara
baik. berhias berhias yang baik. 8.
yang baik. Bantu klien memasukkan
kedalam jadwal kegiatan.
8. Diskusikan rencana
tindak lanjut bersama
klien (SP 3)

b. Spesialis
1. Psikoterapi yang dapat diberikan kepada klien yaitu Cognitive
Behavioural Therapy (CBT). Terapi ini akan dilakukan sebanyak
12 sesi, dengan jadwal kunjungan 2 kali seminggu selama 2
bulan. Selama 12 sesi, klien akan diberikan tindakan berupa
psikoedukasi, restrukturisasi kognitif, narasi trauma, pemrosesan
ulang kognitif, dan latihan relaksasi untuk mengatasi gejala
traumatis. Setelah diberikan tindakan tersebut, diharapkan klien
benar-benar bebas dari gejala deficit perawatan diri, mampu
berinteraksi dengan orang lain, mampu membangun hubungan
sosial yang baik, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Berikut implementasi CBT:
a) Tahap awal pengobatan, klien diberikan psikoedukasi
mengenai perawatan diri dan perawat mencoba menggali
perasaan klien tentang dirinya sendiri
b) Tahap selanjutnya, klien dituntun untuk mengidentifikasi
pikiran negatifnya dan bersama-sama dengan perawat
merubah pikiran negative tersebut menjadi pikiran positif.
Pada tahap ini, klien juga dikaji kembali mengenai gejala
stress yang disebabkan oleh gangguan citra tubuh.
c) Tahap akhir, perawat membantu klien untuk melakukan
interaksi kembali dengan keluarganya. Perawat menggali
aspek-aspek positif atau kemampuan positif yang dimiliki
oleh klien sebelumnya, kemudian bersama-sama menyusun
kegiatan tersebut menjadi aktivitas terjadwal.
d) Tahap evaluasi, klien mengatakan mulai dapat merasakan
emosi positif, perlahan menjadi pribadi yang lebih
ekstrovert, mulai memiliki tujuan hidup, dan mulai mencoba
terus berfikir positif. Klien juga masih melakukan kegiatan
positif sesuai jadwal yang disepakati sebelumnya dengan
perawat.
2. Psikoterapi yang dapat diberikan kepada keluarga yaitu
psikoedukasi keluarga. Terapi keluarga mampu meningkatkan
kemampuan merawat klien dengan masalah deficit perawatan
diri dan dapat menurunkan beban dalam merawat klien dengan
demensia. Adapun sesi psikoedukasi yang dapat dilakukan:
a) Sesi 1. Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami
klien dan masalah keluarga (care giver) dalam merawat
klien
b) Sesi 2. Merawat masalah kesehatan klien
c) Sesi 3. Melatih manajemen stres untuk keluarga
d) Sesi 4. Melatih manajemen beban untuk keluarga
e) Sesi 5. Memanfaatkan sistem pendukung
f) Sesi 6. Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga.
3.2.4 Evaluasi Keperawatan
Pada studi kasus diatas tidak dijelaskan bagaimana evaluasi dari
permasalahan tersebut, namun apabila intervensi yang diberikan pada
klien sesuai dengan yang sudah disebutkan diatas baik intervensi
keperawatan generalis maupun keperawatan spesialis, maka evaluasi
keperawatan yang diharapakan adalah sebagai berikut :
S : klien mengatakan akan rajin mandi, mengganti pakaian yang kotor
menjadi pakaian yang bersih, rapi dan wangi
O : klien menggunakan pakaian yang bersih, rapi dan wangi. Tubuh
klien juga lebih bersih dan rambut tersisir rapi
A : pemberian terapi generalis yakni melatih klien untuk berpakaian
dan berdandan dengan baik telah dilaksanakan. Klien bersikap
kooperatif selama pemberian terapi
P : pemberian terapi generalis SP 3 dapat dilanjutkan dengan
diimbangi terapi spesialis CBT sesi 1
3.3 Prinsip Etik Dan Hukum Yang Harus Diperhatikan
Pada kasus diatas, perawat harus memperhatikan etik dan hukum dalam
memberikan terapi mengingat klien memiliki riwayat demensia dan mengalami
agnosia. Klien tidak mampu mengenali objek, orang, suara, bentuk, atau bau
sehingga banyak sekali hal yang perlu diperhatikan. Beberapa kebijakan yang
harus diperhatikan dan berfokus mengenai masalah kesehatan jiwa yaitu UU RI
No 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, PMK RI No 39 tahun 2016 tentang
pedoman penyelenggaraan program Indonesia sehat terutama tercantum pda
pasal 3 mengenai penderita gangguan jiwa mendapat pengobatan dan tidak di
telantarkan (Wuryaningsih, 2018). Pada kasus diatas, tinjauan etik yang harus
diperhatikan perawat yaitu:
a. Otonomi: klien tersebut memiliki kebebasan untuk memilih atau menolak
terapi yang diberikan oleh perawat yang disesuaikan dengan kondisinya dan
pasien berhak untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, serta pasien juga
harus tetap memperoleh dan atau menyetujui informasi dari setiap tindakan
atau terapi yang akan diberikan.
b. Beneficience dan non maleficience: perawat harus memberikan perlakuan
baik kepada klien dan tidak merugikan klien, perawat harus memperhatikan
efek samping yang terjadi selama terapi berlangsung, dan perawat juga harus
memperhatikan kondisi klien yang tergolong lansia terutama riwayat
penyakit kronis dan penyakit metabolism yang dimiliki oleh klien.
c. Justice: perawat harus adil dalam memberikan intervensi kepada klien
tersebut dan juga klien lain. Tidak ada diskriminasi yang diberikan kepada
klien sekalipun klien tersebut menunjukkan gejala fisik yang diakibatkan
karena faktor usia seperti penurunan daya ingat.
d. Veracity: pada kasus tersebut, kunci utama perawat yaitu kejujuran sehingga
akan timbul rasa percaya pada klien.
e. Confidentiality: perawat juga harus mampu menjaga kerahasiaan informasi
klien terutama saat berada diluar area pelayanan karena informasi terkait
gangguan jiwa dilindungi secara undang-undang.
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
DPD adalah ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan atau
menyelesaikan aktivitas kebersihan diri (SDKI, 2016). Dimana seseorang gagal
untuk melakukan kebersihan diri, berpakaian, makan dan minum, eliminasi, dan
lingkungan secara mandiri (NANDA-I, 2018).Demensia adalah suatu sindroma
penurunan kemampuan bersifat kronik atau progresif pada kognitif dan fungsional
akibat neurodegeneratif dan proses serebrovaskuler yang menyebabkan gangguan
fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari (Asyrofi, 2019). Terkadang
penderita Demensia tidak menyadari bahwa pakaiannya kotor dan menolak untuk
mengganti pakaian terutama jika pakaian yang digunakan merupakan pakaian
yang disukai, sehingga dapat ditarik diagnosa keperawatan berupa defisit
perawatan diri. Adapun tindakan keperawatan spesialistik yang dapat dilakukan
adalah dengan memberikan cognitive behavior therapy, psychoeducation family
therapy, sosial support.
4.2 Saran
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat mengaplikasikan
pengkajian pada klien dengan gangguan kesehatan jiwa defisit perawatan diri dan
menentukan intervensi spesialistik yang cocok untuk meningkatkan kemandirian
klien.
DAFTAR PUSTAKA

Asyrofi, M.Z.A. And Rokhmani, C.F., 2019. Demensia Vaskular Pada Perempuan
Usia 76 Tahun: Laporan Kasus. Jurnal Majority, 8(2), Pp.14-18.
Azizah, L. M, Zainuri, I. Akbar, A. (2016). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa:
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka
Hamdy, R. C., Kinser, A., Culp, J. E., Kendall-Wilson, T., Depelteau, A., Copeland,
R., & Whalen, K. (2018). Agnosia interferes with daily hygiene in patients with
dementia. Gerontology and geriatric medicine, 4, DOI:
10.1177/2333721418778419
Harnita Sary, P., Misbah, S.R. And Mongan, R., 2017. Identifikasi Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Demensia Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha
Minaula Kendari (Doctoral Dissertation, Poltekkes Kemenkes Kendari).
Herdman, T. H. Dan Kamitsuru, S. (Eds.). (2018). Nanda International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 2018-2020. Oxford: Wiley Blackwell
Herdman, T, H., Kamitsuru, S. (2018). Nursing Diagnoses: Definitions &
Classification 2018-2020. New York: NANDA International
Iftya, S.Y., 2019. Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Demensia Pada Lansia Di Panti
Sosial Tresna Werdha Jombang (Doctoral Dissertation, Stikes Insan Cendekia
Medika Jombang)
Juni, J.A., 2020. Selamatkan Otak, Kenali Gangguan Demensia (Pikun) Menjelang
Lansia. Selamatkan Otak, Kenali Gangguan Demensia (Pikun) Menjelang
Lansia, Pp.1-8
Keliat, B. A, dkk. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic
Course). Jakarta: EGC
Keliat, B. A., Dkk, (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Modul UI. (2019). Modul Terapi Perilaku. Depoj: Universitas Indonesia.
Putri, R.L.K., Asuhan Keperawatan Pada Lansia Ny. I Dan Ny. S Yang Mengalami
Demensia Dengan Masalah Keperawatan Gangguan Proses Pikir Di Griya
Lansia Gerbang Mas Lumajang Tahun 2018
Rahmawati, D.W., 2020. Studi Dokumentasi Defisit Perawatandiri: Berpakaian Dan
Berhias Pada Pasien Dengan Bipolar. Akademi Keperawatan Yky Yogyakarta.
Situmorang, H., 2020. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demensia
Di Puskesmas Gunting Saga Kec. Kualuh Selatan Kab. Labuhan Batu
Utara. Jurnal Online Keperawatan Indonesia, 3(2), Pp.118-125
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawtan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: DPP
PPNI
Wuryaningsih, E. W., Windarwati, H. D., Dewi, E. I., Deviantony, F., Dan Hadi, E.
(2018). Keperawatam Kesehatan Jiwa 1. Jember: Upt Percepatakan &
Penerbitan Universitas Jember
Yosep, I. Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama
Yusuf, A, Fitryasari,. P, Nihayati, H.E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai