Anda di halaman 1dari 8

PARASITOLOGI I

“FILARIASIS”
( Kaki Kajah )

Oleh:
AMSAR JAMBIA
 P00341015003

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang  Maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan karunia_Nya penulis diberikan kesehatan dan kesempatan dalam meyelesaikan makalah
parasitologi ini.
Tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak  yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Di dalam makalah ini penulis menyadari banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar menjadikan makalah ini lebih
baik lagi.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Kendari, 5 April 2016


Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................. 1

1.1  LATAR BELAKANG................................................................................. 1

1.2  RUMUSAN MASALAH............................................................................. 2
1.3  TUJUAN PENULISAN............................................................................... 2
1.4 MANFAAT.................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................................ 3
2.1  PENGERTIAN FILARIASIS..................................................................... 3
2.2  MEKANISME FILARIASIS...................................................................... 3
2.3  UPAYA PENCEGAHAN, PENGOBATAN DAN
REHABILITASI FILARIASIS.................................................................. 3-4
2.3.1        UPAYA PENCEGAHAN  FILARIASIS............................................. 3
2.3.2        UPAYA PENGOBATAN FILARIASIS.............................................. 3
2.3.3        UPAYA REHABILITASI FILARIASIS............................................. 3

BAB III
PENUTUP.......................................................................................................... 8
3.1 KESIMPULAN............................................................................................ 8
3.2 SAR
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah penyakit
menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui
gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah
diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres.
Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ
kelamin.
Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya
sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis khas
ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di
Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak
muncul dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di
Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak
1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis,
dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.
Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan
Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by
The Year 2020) yaitu program pengeliminasian filariasis secara masal. Program ini dilaksanakan
melalui pengobatan masal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi
yang endemis dan perawatan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. WHO sendiri telah
menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia
sendiri, telah melaksanakan eliminasi filariasis secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5
Kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya.
Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata. Masyarakat
juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme
penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya, diharapkan
program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi
filariasisI

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai
berikut.
1.Apa yang dimaksud dengan filariasis?
2.Bagaimana mekanisme terjadinya filariasis?
3.Bagaimana upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi filariasis?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan masalah  di atas
sebagai berikut.
1.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filariasis.
2.Untuk mengetahui mekanisme terjadinya filariasis.
3.Untuk mengetahui upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi filariasis.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Manfaat penyusunan makalah ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui segala
sesuatu tentang filariasis, bagaimana mekanisme terjadinya filariasis, dan bagaimana upaya
pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi filariasis. Dengan demikian, diharapkan masyarakat
ikut memberantas penyakit ini secara aktif sehingga tidak menjadi endemi di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN FILARIASIS

Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu
infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe dan kelenjar
limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila
tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,
lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang
menimbulkan infeksi pada manusia adalah  Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan
berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari
cacing dewasa disebut mikrofilaria (Gambar 1.).
                                                    A                    B                           C
Gambar 1. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (A), Brugia malayi (B), dan Brugia timori (C).
(Sumber : Juni Prianto L.A. dkk., 1999)
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya berukuran ±250µ, cacing betina dewasa
berukuran panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa berukuran panjang ±40mm (Juni
Prianto L.A. dkk., 1999). Di ujung daerah kepala membesar, mulutnya berupa lubang sederhana
tanpa bibir (Oral stylet) seperti terlihat pada Gambar 2. Sedangkan pada Brugia malayi dan
Brugia timori, mikrofilarianya berukuran ±280µ. Cacing jantan dewasa panjangnya 23mm dan
cacing betina dewasa panjangnya 39mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999).
 Mikrofilaria dilindungi oleh suatu selubung transparan yang mengelilingi tubuhnya.
Aktifitas mikrofilaria lebih banyak terjadi pada malam hari dibandingkan siang hari. Pada malam
hari mikrofilaria dapat ditemukan beredar di dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi
karena mikrofilaria memiliki granula-granula flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila
terdapat sinar matahari maka mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam kapiler-kapiler paru-paru.
Ketika tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem pembuluh darah
tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah pada waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah
terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun.       
Gambar 2. Struktur tubuh mikrofilaria Wuchereria bancrofti. 
(Sumber : Elmer R. Noble dan Glenn A. Noble, 1989)
       
Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang
mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-laki lebih
dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi (exposure).
Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia
malayi yang dapat hidup pada kucing, kera, kuda, dan sapi.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis
cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah
perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai
tempat perindukannya. Wuchereria bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat ditularkan oleh
berbagai macam spesies nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh
Anopheles farauti yang menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di
daerah pantai di NTT, Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia malayi
yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti
Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang biak di daerah
rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan oleh
Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia timori
ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat
pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor
Timur.
Gejala klinis filariais antara lain adalah berupa :
1.        Demam berulang-ulang selama 3 – 5 hari, demam dapat hilang bila beristirahat dan muncul kembali
setelah bekerja berat.
2.        Pembengkakan kelenjar limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis)
yang tampak kemerahan. Diikuti dengan radang saluran kelenjar limfe yang terasa panas dan
sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (Retrograde
lymphangitis) yang dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
3.        Pembesaran tungkai, buah dada, dan buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas
(Early lymphodema). Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap pada tungkai,
lengan, buah dada, dan buah zakar tersebut.
Seseorang yang menderita filariasis dapat didiagnosis secara klinis dengan cara sebagai
berikut.
1.        Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan sediaan darah
tebal. Pengambilan darah dilakukan pada malam hari karena mikrofilaria aktif pada malam hari
dan banyak beredar dalam sistem pembuluh darah. Setelah membuat sedian darah maka
dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. Jika pada sediaan ditemukan mikrofilaria, maka orang
tersebut telah terinfeksi cacing filaria.
2.        Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum.

2.2 MEKANISME FILARIASIS

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk
yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut
mendapatkan mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita atau binatang reservoar yang
mengandung mikrofilaria. Siklus penularan filariasis ini melalui dua tahap (Gambar 3.), yaitu
mosquito satges atau tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor) dan human stages atau
tahap perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) atau binatang (hospes reservoar).

Gambar 3. Siklus penularan filariasis Wuchereria bancrofti.


(Sumber : http://www.filariasis.org)

            Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya ketika menggigit
penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus
perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I
(L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12 – 14 hari. L3
kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut
menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular
L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3
akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan mikrofilaria baru
sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab
penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk
di suatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki,
lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri
karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut

2.3 UPAYA PENCEGAHAN, PENGOBATAN, DAN REHABILITASI FILARIASIS

2.3.1 UPAYA PENCEGAHAN FILARIASIS

Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi


kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan
kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk,
menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap
karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara
berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis. Dari semua cara diatas,
pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara
3M.

2.3.2 UPAYA PENGOBATAN FILARIASIS

Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya obat
yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang
dianjurkan 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filariasis akibat Brugia
malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek
samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada
pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori, efek samping yang
ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi
pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan
dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun.
Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik
dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat
ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
Terapi suportif berupa pemijatan juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan
antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan
pembedahan.

2.3.3 UPAYA REHABILITASI FILARIASIS

Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi
mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang membesar
tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat
dilakukan dengan jalan operasi.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1.        Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem limfe
dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis
berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada,
dan skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan USG pada skrotum.
2.        Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia,
maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki
sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi
penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe,
tungkai, dan alat kelamin.
3.        Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan 3M.
Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain
dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi.

3.2 SARAN
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis karena
penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban
keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus filariasis ini pula, diharapkan
Indonesia mampu mewujudkanprogram Indonesia Sehat Tahun 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, et al. 1997. Kamus Lengkap Biologi. Jakarta : Erlangga.


Anonim. How is LF contracted? Diakses dari situs http://www.filariasis.org pada tanggal 30
Maret 2008.
Dadang. 2006. Subang Daerah Endemis Filariasis. Diakses dari situs http://www.subang.go.id.
pada tanggal 30 Maret 2008.
Dedidwitagama. 2008. Filariasis = Kaki Gajah. Diakses dari situs http://dedidwitagama.-
wordpress.com pada tanggal 4 mey 2016
Eka. 2008. Pengobatan Massal Penyakit Filariasis Secara Gratis.  Diakses dari situs
http://www.enrekangkab.go.id. pada tanggal 4 mey 2016
Entjang, Indan. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Penerbit Alumni.
Noble, Elmer R. & Glenn A. Noble. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan Edisi Kelima.
Yogyakarta :Gajah Mada University Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2006. Konsep Dasar Terjadinya Penyakit Menular. Diakses dari situs
http://www.geocities.com pada tanggal 4 mey 2016
Prianto, Juni L.A., dkk. 1999. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Roche, John P. 2002. Lymphatic Filariasis. Diakses dari situs http://images.google.co.id/-imgres?
imgurl. pada tanggal 4 mey 2016
Saidurrohman. Banyak Kaki Gajah di Jagabita. Diakses dari
situs http://images.google.co.id-/imgresimgurl=http://www.rumahzakat.org pada tanggal 4 mey
2016
Schnurrenberger, Paul R., William T. Hubbert. 1991. Ikhtisar Zoonosis. Bandung : Penerbit ITB
Bandung.
Sofyan, Iyan. 2007. Cegah Penyakit Kaki Gajah, Sembilan Ratus Ribu Warga Bogor Diharuskan
Minum Obat Cacing. Diakses dari situs http://www.kotabogor.go.id. pada tanggal 4 mey 2016
Sudomo, Mohammad. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Diakses
dari situs http://www.litbang.depkes.go.id pada tanggal 4 mey 2016
Yatim, Wildan. 2003. Kamus Biologi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai