Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak
menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal.
Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan
kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan
trakea. Atresia Esofagus meliputi kelompok kelainan kongenital terdiri dari
gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan dengan trakhea.
Pada 86% kasus terdapat fistula trakhea oesophageal di distal, pada 7% kasus
tanpa fistula. Sementara pada 4% kasus terdapat fistula tracheooesophageal tanpa
atresia, terjadi 1 dari 2500 kelahiran hidup. Bayi dengan Atresia Esofagus tidak
mampu untuk menelan saliva dan ditandai sengan jumlah saliva yang sangat
banyak dan membutuhkan suction berulangkali.
Angka keselamatan berhubungan langsung terutama dengan berat badan
lahir dan kelainan jantung, angka keselamatan bisa mendekati 100%, sementara
jika ditemukan adanyan salah satu faktor resiko mengurangi angka keselamatan
hingga 80% dan bisa hingga 30-50 % jika ada dua faktor resiko.
Masalah pada atresia esophagus adalah ketidakmampuan untuk menelan,
makan secara normal, bahaya aspirasi termasuk karena saliva sendiri dan sekresi
dari lambung. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin membuat
makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada Atresia Esofagus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Atresia Esofagus?
2. Bagaimana cara mengaplikasikan asuhan kebidanan Atresia Esofagus?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Atresia Esofagus
2. Untuk mengaplikasikan asuhan kebidanan Atresia Esofagus

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Atresia esofagus adalah tertutupnya (buntu) bagian ujung esofagus. Pada
seperempat sampai sepertiga kasus lainnya esofagus bagian bawah berhubungan
dengan trakhea setinggi karina (atresia esofagus dengan fistula).
Penyakit ini harus cepat di diagnosis sesudah lahir, karena keterlambatan
berarti bahaya pneumonia aspirasi menjadi lebih besar dan biasanya fatal. Sukses
pengobatan bedah bergantung langsung dari umur waktu tindakan. Bayi dengan
atresia esofagus sering kali mempunyai kelainan bawaan lain, misalnya: kelainan
jantung bawaan, atresia traktus digestive lain (atresia duodenum dan/atau atresia
ani), defek vertebra, dan lain-lain.
Rujukan yang paling sering digunakan untuk klasifikasi fistula
trakeoesophagus dibedakan menjadi tipe I, tipe II , tipe IIIA, IIIB, dan IIIC. Tipe I
atresia esophagus murni dengan tidak ada hubungan sama sekali dengan trachea
terjadi sebanyak 8% dari kasus, Tipe II dikenal dengan tipe “H” terjadi 4% kasus.
Tipe IIIA yaitu atresia esophagus dan fistula yang berhubungan dengan proksimal
esophagus dengan trachea, terjadi hanya 1%, tipe IIIB adalah atresia esophagus
dan fistula distal esophagus ke trachea terjadi 75-80%, merupakan tipe yang paling
sering terjadi. Tipe IIIC yaitu terjadi 2 fistula yang terjadi pada proksimal dan
distal esophagus pada trachea, terjadi 2% kasus.

2
3
B. Epidemiologi
Atresia esofagus dijumpai pada 1 diantara 3000-4500 kelahiran hidup, lebih
kurang 1/3 bayi dengan kelainan ini lahir prematur. Pada atresia esofagus dan
fistula trakeoesofagus, lebih dari 75% kasus merupakan fistula antara trakea
dengan esofagus bagian distal yang disertai dengan atresia, kira-kira 12% berupa
atresia esofagus atau fistula trakeoesofagus secara tersendiri, dan sisanya dalam
bentuk kombinasi yang sangat jarang.

C. Etiologi
Atresia esofagus merupakan kelainan bawaan yang etiologinya sampai saat ini
belum diketahui dengan jelas. Secara embriologis kelainan ini terjadi antara
minggu ketiga dan minggu keenam kehamilan. Secara embriologis anomali ini
terjadi akibat:
1) diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri untuk
masing-masing menjadi esofagus dan trakea;
2) perkembangan sel entodermal yang tidak lengkap sehingga menyebabkan
terjadinya atresia; dan
3) perlekatan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadi
fistula trakeoesofagus.
Faktor genetik tidak berperan dalam patogenesis kelainan ini.

D. Tanda dan Gejala


Atresia esofagus pada bayi baru lahir harus dicurigai bila:
1) ditemukan riwayat polihidramnion pada ibu;
2) kateter yang dipakai untuk resusitasi tidak dapat masuk ke lambung;
3) terdapat banyak sekresi mulut pada bayi; atau
4) bayi tersedak, batuk, atau sianotik pada saat diberi minum.
Kesulitan yang terjadi adalah bahwa dugaan terhadap kelainan tersebut
baru terpikirkan setelah selesai pemberian minum sehingga bayi sudah
mengalami aspirasi. Walaupun dengan pengisapan sekresi di mulut dan faring
seringkali dapat menolong, tetapi gejala aspirasi akan selalu berulang.

4
E. Patofisiologi
Pada kasus atresia esofagus, janin tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea ke fistula kemudian menuju usus. Hal ini dapat
mengakibatkan polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan
kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion
sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan
banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau air
liur. Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara
dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau
menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang
seringkali mematikan. Penelitian mengenai manipulasi manometrik esofagus
menunjukkan esofagus distal seringkali dismotil dengan peristaltik yang jelek atau
tanpa peristaltik. Hal ini akan menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah
manipulasi yang berkelanjutan menuju refluks esofagus.
Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada astresia esofagus.
Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior
trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering
dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan
dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga dapat kolaps secara
parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks
gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bahkan apnea.

F. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
a. Stenosis pada sisi anastomosis
b. Kesulitan menelan dan regurgitasi
c. Pneumonia aspirasi dan atelektasis
d. Apnea/henti napas
e. Dehidrasi

5
f. Inanition
g. Striktur esofagus (komplikasi pasca bedah)
h. Anomali kongenital tambahan (jantung, ginjal, dan/atau gastrointenstinal)
Prognosis
Prognosis sangat dipengaruhi oleh diagnosisi dini, ada/tidak adanya kelainan
paru prematuritas, dan kelainan bawaan penyerta. Beberapa peneliti mendapatkan
bahwa pada bayi cukup bulan angka kematuan pra dan pascabedah 0%, sedangkan
pada bayi dengan resiko tinggi angka kematian prabedah 27% dan pascabedah
13%.
Prognosis dari kelainan ini dapat diperkirakan menurut penilaian Waterston,
berdasarkan pada berat badan lahir, derajat pneumonia aspirasi secara radiologis
dan ada tidaknya kelainan bawaan lain.
a. Waterston A: prognosis baik, bila
1) Berat lahir >2500 gr
2) Aspirasi minum
b. Waterston B: prognosis sedang, bila
1) Berat badan lahir >2500 gr dengan pneumonia sedang, atau
2) Berat badan lahir antara 1800-2500 gr dengan penumonia ringan
c. Waterston C: prognosis buruk, bila
1) Berat badan lahir <1800 gr 2) Adanya pneumonia berat, atau 3)
Adanya kelainan bawaan lain.

G. Pengobatan
Atresia esofagus merupakan kedaruratan bedah sehingga pengobatannya ialah
melalui operasi. Sebelum operasi bayi harus ditidurkan telungkup untuk mencegah
isi lambung masuk ke paru. Untuk mencegah aspirasi, kantong buntu esofagus
harus tetap dipertahankan kosong dengan pengisapan yang teratur. Pemantauan
rutin terhadap suhu, respirasi, status cairan tubuh, dan seteksi anomali kongenital
lain perlu mendapat perhatian khusus. Pemberian antibiotik pada kasus dengan
risiko infeksi.

4
Kadang-kadang keadaan bayi memerlukan dilakukannya tindakan bedah
dalam dua tahap, yang pertama berupa pengikatan fistula serta pemasangan pipa
gastrostomi untuk pemberian makanan, sedangkan tahap kedua berupa tindakan
anastomosis kedua ujung esofagus. Makanan per oral biasanya dapat diberikan
pada hari ke 8-10 setelah pemasangan anastomosis pertama. Pada hari ke-10 dapat
pula dilakukan esofagografi untuk menilai keberhasilan anastomosis; stenosis
pada tempat anastomosis tidak jarang terjadi sehingga memerlukan tindakan
dilatasi. Motilitas abnormal esofagus bagian distal selalu dijumpai dan acapkali
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya refluks gastroesofagus, aspirasi,
esofagitis, dan striktur.
Pengobatannya ialah melalui operasi, berikut penatalaksaannya.
a. Pasca diagnosa
1) Puasa
2) Pemeliharaan cairan parenteral dan penggantian elektrolit.
3) NPT bila perlu
4) Penghisapan hidung dan faring prn
5) Terapi oksigen dilembabkan
6) Drainase kantung melalui kateter
7) Alat penghangat eksternal
8) Intubasi endotrakeal dan ventilasi bantuan dengan distres pernapasan
berat.
9) Terapi antibiotik
10) Pemasangan selang gastrotomi (biasanya dilakukan pada pasien dengan
anestesi lokal praoperasi untuk memungkinkan keluarnya udara dari
lambung, kemudian menurunkan kemungkinan refluks ke dalam fistula).

b. Pembedahan
1) Pembedahan paliatif dengan ligasi fistula dan pemasangan selang
gastrotomi, atau
2) Bedah perbaikan dengan ligasi fistula, anastomosis esofagus, dan
pemasangan gastrotomi; tipe pembedahan yang dilakukan ditentukan oleh

11
tipe fistula trakeoesofageal dan panjangnya esofagus yang ada untuk
anastomosis.

c. Pasca bedah
1) Evaluasi status pernapasan
2) Selang gastrotomi disambungkan pada drainase gravitasi atau drainase
rendah, penghisapan intermiten.
3) Kontinuasi kantung drainase
4) Kontinuasi cairan parenteral pemeliharaan; hiperalimentasi
dapat dipesankan
5) Penggantian drainase gastrostomi dengan cairan parenteral
6) Pemantauan dan penggantian cairan dan elektrolit
7) Kontinuasi lingkungan yang hangat, lembab, dan teroksigenasi

H. Pencegahan
a. Pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan menggunakan ultrasonografi
(USG) saat kehamilan yang rutin sangat diperlukan. Umumnya, PJB dapat
terdeteksi pada saat USG dilakukan pada paruh kedua kehamilan atau pada
kehamilan lebih dari 20 minggu. Apabila terdapat kecurigaan adanya
kelainan jantung pada janin, maka penting untuk dilakukan pemeriksaan
lanjutan dengan fetal ekokardiografi. Dengan pemeriksaan ini, gambaran
jantung dapat dilihat dengan lebih teliti.
b. Kenali faktor risiko pada ibu hamil yaitu penyakit gula maka kadar gula
darah harus dikontrol dalam batas normal selama masa kehamilan, usia ibu
di atas 40 tahun, ada riwayat penyakit dalam keluarga seperti diabetes,
kelainan genetik down sindrom , penyakit jantung dalam keluarga. Perlu
waspada ibu hamil dengan faktor resiko meskipun kecil kemungkinannya.
c. Pencegahan dapat dilakukan pula dengan menghindarkan ibu dari risiko
terkena infeksi virus TORCH (Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus dan
Herpes). Skrining TORCH adalah hal yang rutin dilakukan pada ibu-ibu
hamil di negara maju, namun di Indonesia skrining ini jarang dilakukan
oleh karen pertimbangan finansial. Lakukan imunisasi MMR untuk
mencegah penyakit morbili (campak) dan rubella selama hamil.

10
d. Konsumsi obat-obatan tertentu saat kehamilan juga harus dihindari karena
beberapa obat diketahui dapat membahayakan janin yang dikandungnya.
Penggunaan obat dan antibiotika bisa mengakibatkan efek samping yang
potensial bagi ibu maupun janinnya.
e. Hindari paparan sinar X atau radiasi dari foto rontgen berulang pada masa
kehamilan
f. Hindari paparan asap rokok baik aktif maupuin pasif dari suami atau
anggota keluarga di sekitarnya.
g. Hindari polusi asap kendaraan dengan menggunakan masker pelindung
agar tidak terhisap zat - zat racun dari karbon dioksida.

BAB III
PATHWAYS

11
Kongenital/idiopatik

Kurang informasi
tentang kondisi dan Esophagus Buntu K etidakmampuan
pengobatan meningkatkan suhu
melalui menggigil
dan atau penggunaan
Kurang Pengetahuan Batuk, Hipersekresi alat penghangat
saliva eksternal

Nausea, Risiko hipotermia


Regurgitasi
Vomitting,
semua makanan
Intake
tidak
adekuat
Risiko aspirasi

Risiko defisit
volume cairan
kurang dari Gangguan Bersihan
kebutuuhan tubuh jalan napas tidak
efektif

Gangguan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh

10
BAB IV
ASUHAN KEBIDANAN

I. Pengkajian
a. Identitas pasien Nama: An. X
Umur: ... bulan
Jenis Kelamin: perempuan/laki-laki
Alamat:
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Batuk, dan tersedak pada pemberian makan
Menelan normal pada pemberian makan diikuti dengan batuk tiba-tiba dan
regurgitasi makan melalui hidung dan mulut
c. Riwayat Penyakit Dulu (RPD)
Riwayat polihidramnion maternal
Dapat mempunyai riwayat pneumonia selama beberapa bulan pertama
kehidupan (tipe H)
d. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap atau tidak.
e. Riwayat Tumbuh Kembang
Berat badan rendah untuk usia gestasi
f. Genogram
Tidak adanya keluarga yang menderita atresia esofagus karena bukan
merupakan penyakit genetik.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Sianosis
2) Distensi abdomen
3) Salivasi berlebihan

11
4) Mengeluarkan mukus saliva terus menerus
5) Gelembung dari hidung
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Ketidakmampuan untuk memasukkan selang nasogastrik ke dalam
lambung
2) Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya
udara di lambung serta usus.
II. Diagnosa
Berikut ini diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien dengan atresia esofagus:
1) Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan sekresi
kantung esofagus, regurgitasi semua makanan dan risiko aspirasi.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat
3) Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
kondisi dan pengobatannya.
4) Risiko defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mentoleransi makanan per oral, mual, muntah.
5) Resiko hipotermia berhubungan dengan usia, ketidakmampuan meningkatkan
suhu melalui menggigil dan atau penggunaan alat penghangat eksternal.
III. Perencanaan
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
.
Dx
1 Tujuan: Setelah perawatan 3x 24 a. Pertahankan status puasa
jam, bersihan jalan nafas kembali
b. Pertahankan bayi dalam lingkungan
efektif
Kriteria hasil: yang hangat, lembab dan
a. Menunjukkan suara nafas yang teroksigenasi
bersih, tidak ada sianosis dan c. Pertahankan kantung kateter
dyspneu (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas dengan tersambung pada penghisap rendah
mudah, tidak ada pursed lips) dan kontinu sesuai pesanan
d. Pantau status pernafasan setiap jam

12
b. Menunjukkan jalan napas yang dan tempatkan bayi pada posisi
paten (klien tidak merasa kepala ditinggikan sedikitnya 30
tercekik, irama napas, frekuensi derajat
pernapasan dalam rentang e. Pertahankan bayi tenang dan diam
normal, tidak ada suara nafas dengan mengelus, memegang
abnormal) dengan perlahan dan menggunakan
dot (menangis menyebabkan
regurgitasi)
f. Balikkan setiap 2 jam
g. Berikan antibiotik bila diperlukan
h. Siapkan untuk pemasangan selang
gastronomi untuk dekompresi
lambung
i. Pasca gastronomi: pertahankan
selang gastronomi tersambung
pada drainase gravitasi atau
drainase rendah, penghisap
intermiten sesuai pesanan.

2 Tujuan: Setelah perawatan 3x 24 a. Tingkatkan status nutria


jam, nutrisi adequat yang adekuat
b. Pertahankan nutrisi parental
Kriteria hasil:
c. Pertahankan nutrisi melalui NGT
a. Mempertahankan urine output
d. Pantau berat badan setiap hari
sesuai dengan usia dan BB, BJ
e. Monitor intake dan output nutrisi
urine normal, HT normal
f. Berikan nutrisi yang adekuat;
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh
vitamin dan mineral suplemen
dalam batas normal

Tidak ada tanda-tanda dehidrasi,


elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus
yang berlebihan

3 Tujuan: Setelah perawatan 2x 24 jam, a. Siapkan orangtua untuk prosedur


keluarga dan pasien paham

13
pengobatan praoperasi yang diperlukan
b. Jelaskan prosedur pembedahan
Kriteria hasil: pada orangtau
a. Pasien dan keluarga menyatakan c. Jelaskan dengan hati-hati masalah
pemahaman tentang penyakit, yang ada dan alasan status puasa
kondisi, prognosis dan program pasien
pengobatan d. Beri penjelasan pada orangtua
b. Pasien dan keluarga mampu secara visual mengenai defek
melaksanakan prosedur yang e. Biarkan orangtua melanjutkan
dijelaskan secara benar sikap menjadi orangtua pada anak
c. Pasien dan keluarga mampu mereka
menjelaskan kembali apa yang
f. Kaji kemampuan koping orangtua
dijelaskan perawat atau tim dan berikan sumber bila perlu
kesehatan lainnya
4 Tujuan: Setelah perawatan 3x 24 a. Pantau tanda dehidrasi
jam, defisit volume cairan kurang
b. Pertahankan puasa
dari kebutuhan tubuh dapat teratasi
c. Beri elektrolit dan
Kriteria hasil: makanan parenteral sesuai
a. Mempertahankan urine output pesanan
sesuai dengan usia dan BB, BJ d. Ganti cairan yang keluar melalui
urine normal, HT normal gastronomi dengan cairan
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh parenteral sesuai pesanan
dalam batas normal
e. Ukur masukan dan haluaran serta
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi,
berat jenis
elastisitas turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak f. Timbang berat badan bayi setiap
ada rasa haus yang berlebihan hari

5 Tujuan: Setelah perawatan 3x 24 a. Tempatkan bayi dibawah atau di


jam, suhu dalam batas normal dalam alat penghangat eksternal
b. Pertahankan bayi berpakaian
Kriteria hasil: secara parsial, khususnya
a. Keseimbangan antara produksi penggunaan penutup kepala untuk
panas, panas yang diterima, dan mencegah hilangnya kehangatan
kehilangan panas melalui

12
b. Seimbang antara produksi panas, kepala
panas yang diterima, dan c. Gendong bayi dengan kain selimut
kehilangan panas selama 28 hari bila mungkin
pertama dalam kehidupan d. Pantau suhu tiap 4 jam dan prn dan
c. Keseimbangan asam basa bayi atur suhu lingkungan dengan tepat

yang baru lahir


d. Temperature stabil :36.5º - 37º
e. Tidak ada kejang
f. Tidak ada perubahan warna kulit
g. Glukosa darah stabil
h. Pengendalian resiko: hipertermia,
hipotermia, proses menular,
paparan sinar matahari

IV. Pelaksanaan
No. Implementasi
Dx
1 a. Mempertahankan status puasa
b. Mempertahankan bayi dalam lingkungan yang hangat, lembab dan
teroksigenasi
c. Mempertahankan kantung kateter tersambung pada penghisap
rendah dan kontinu sesuai pesanan
d. Memantau status pernafasan setiap jam dan tempatkan bayi pada
posisi kepala ditinggikan sedikitnya 30 derajat
e. Mempertahankan bayi tenang dan diam dengan mengelus,
memegang dengan perlahan dan menggunakan dot (menangis
menyebabkan regurgitasi)
f. Membalikkan setiap 2 jam
g. Memberikan antibiotik bila diperlukan
h. Menyiapkan untuk pemasangan selang gastronomi untuk
dekompresi lambung
i. Pasca gastronomi: mempertahankan selang gastronomi tersambung
pada drainase gravitasi atau drainase rendah, penghisap intermiten

sesuai pesanan.

13
2 a. Meningkatkan status nutria yang adekuat
b. Mempertahankan nutrisi parental
c. Mempertahankan nutrisi melalui NGT
d. Memantau berat badan setiap hari
e. Memantau intake dan output nutrisi
f. Memberikan nutrisi yang adekuat; vitamin dan mineral suplemen

3 a. Menyiapkan orangtua untuk prosedur praoperasi yang diperlukan


b. Menjelaskan prosedur pembedahan pada orangtau
c. Menjelaskan dengan hati-hati masalah yang ada dan alasan status
puasa pasien

d. Memberi penjelasan pada orangtua secara visual mengenai defek


e. Membiarkan orangtua melanjutkan sikap menjadi orangtua pada
anak mereka

f. Mengkaji kemampuan koping orangtua dan berikan sumber bila


perlu

4 a. Memantau tanda dehidrasi


b. Mempertahankan puasa
c. Memberikan elektrolit dan makanan parenteral sesuai pesanan
d. Mengganti cairan yang keluar melalui gastronomi dengan cairan
parenteral sesuai pesanan

e. Mengukur masukan dan haluaran serta berat jenis


f. Menimbang berat badan bayi setiap hari

5 a. Menempatkan bayi dibawah atau di dalam alat penghangat


eksternal
b. Mempertahankan bayi berpakaian secara parsial, khususnya
penggunaan penutup kepala untuk mencegah hilangnya
kehangatan melalui kepala

c. Menggendong bayi dengan kain selimut bila mungkin


d. Memantau suhu tiap 4 jam dan prn dan atur suhu lingkungan
dengan tepat

12
V. Evaluasi
No Diagnosa Kebidanan Evaluasi
.
1 Gangguan bersihan jalan nafas a. Jalan napas pasien tetap paten
yang berhubungan dengan b. Pasien tidak mengalami aspirasi
sekresi kantung esofagus, c. Distres pernapasan diketahui dan
regurgitasi semua makanan dan diobati dengan segera
risiko aspirasi.

2 Gangguan nutrisi kurang dari Keluarga mengetahui dan


kebutuhan berhubungan mengungkapkan peningkatan
status nutrisi
dengan intake tidak adekuat

3 Kurang pengetahuan yang Orangtua atau orang terdekat mampu


berhubungan dengan mengungkapkan dengan tepat tentang
kondisi penyakit pasien dan
kurangnya informasi tentang pengobatannya.
kondisi dan pengobatannya.

4 Risiko defisit volume cairan Klien mampu mempertahankan urine


kurang dari kebutuhan tubuh output sesuai dengan usia dan BB, BJ
yang berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk urine normal, HT normal, TTV dalam
mentoleransi makanan per batas normal, dan tidak ditemukan
oral, mual, muntah.
tanda-tanda dehidrasi pada klien.

5 Resiko hipotermia Suhu tubuh pasien tetap 37 derajat dan


berhubungan dengan usia, 38 derajat.
ketidakmampuan
meningkatkan suhu melalui
menggigil dan atau
penggunaan alat penghangat
eksternal.

13
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan keadaan dimana tertutupnya (buntu) bagian
ujung esofagus. Pada seperempat sampai sepertiga esofagus bagian bawah yang
berhubungan dengan trakhea setinggi karina (atresia esofagus dengan fistula) dan
merupakan kelainan bawaan pada saat kehamilan. Penyakit ini sampai saat ini
belum dapat diketahui secara pasti penyebab atau etiologinya. Sehingga untuk
meminimalkan angka kejadian atresia esofagus sebaiknya dilakukan pencegahan
antara lain sebagai berikut: Melakukan pemeriksaan rutin selama kehamilan,
menjaga pola hidup sehat oleh Ibu, dan lingkungan sekitar untuk menghindari
paparan (sinar X, asap rokok, polusi kendaraan dan infeksi virus TORCH serta
penyakit kelainan bawaan).

B. Saran
a. Bagi Bidan
Bidan seharusnya mengetahui mengenai penatalaksanaan atresia esofagus.
Selain itu, bidan juga dapat melakukan promosi kesehatan sebagai salah satu
tindakan pencegahan. Hal ini yang tidak kalah penting bagi bidan adalah mampu
melakukan asuhan kebidanan pada penderita atresia esofagus. Oleh bidan
disarankan untuk selalu mengikuti informasi terbaru mengenai penatalaksanaan
hingga asuhan kebidanan pada klien dengan atresia esofagus.
b. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam pencegahan
penyakit atresia esofagus dengan mengikuti kegiatan promosi kesehatan. Selain
itu, masyarakat juga dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin bagi ibu hamil atau
melakukan konsultasi selama kehamilan pada tenaga ahli kesehatan.

18
19

Anda mungkin juga menyukai