Anda di halaman 1dari 19

TUGAS GOVERMENT USE DAN FUTURE

DRUG REGULATION
Dibuat untuk memenuhi tugas ke-7 mata kuliah
Regulasi dan Etika Farmasi

Dosen :
Dra. Lucky S. Slamet, M.Sc., Apt.

Disusun oleh :

Nama : Andini Nur Fatimah, S.Farm.,Apt.


NPM :5414220004

PROGRAM MAGISTER BISNIS FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2016
A. Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement
(TRIPS) dan Goverment Use Pemerintah Indonesia

TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights)  merupakan


perjanjian internasional di bidang HKI terkait perdagangan.  Perjanjian ini
merupakan salah satu kesepakatan di bawah  organisasi perdagangan dunia
atau  WTO (World Trade Organization)  yang bertujuan menyeragamkan sistem
HKI di seluruh negara anggota WTO. HKI merupakan isu perdagangan baru yang
dibahas dalam perundingan perdagangan Putaran Uruguay berlangsung.
RIPs merupakan rejim peraturan HKI  dengan obyek perlindungan paling luas dan
paling ketat. Karena merupakan bagian dari WTO maka, pelaksanan TRIPs
dilengkapi dengan sistem penegakan hukum serta  penyelesaian sengketa.

Ada enam jenis HKI yang dimuat di dalam TRIPs: Hak Paten, Hak Cipta, Merek.
Indikasi geografis, desain industri, rangkaian elektronik terpadu.

 Kesepakatan  TRIPs dihasilkan dari proses perundingan yang tidak transparan,


tidak partisipatif, tidak seimbang dan tidak demokratis dimana materi perundingan
didominasi dan didesakkan oleh negara maju. Akibatnya perjanjian TRIPs lebih
mengakomodasi kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional.
 Terdapat indikasi bahwa TRIPs justru akan meningkatkan arus dana dari
negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti, mengingat 97
persen pemegang paten dunia berasal dari negara maju. Juga tidak ada indikasi
bahwa negara maju akan melakukan alih teknologi dengan cuma-cuma kepada
negara berkembang, apabila diadakan perlindungan HAKI, mengingat perusahaan
multinasional dari negara majulah sebenarnya yang menjadi subyek perlindungan
HKI seperti pada paten. Sebaliknya TRIPs akan menghambat pengembangan
pengetahuan lokal. Selain itu pelaksanaannya di negara berkembang juga
memerlukan biaya yang tinggi, yaitu 15 juta dollar AS untuk Indonesia.
 Ada indikasi  TRIPs akan mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan
mengingat pelaksanaannya cenderung akan meningkatkan harga obat, termasuk
obat penyelamat serta obat esensial. Di Indonesia, karena hak paten, maka harga
obat menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan harga obat generik, yaitu bisa
mencapai 10 atau 45 kali lipat. Hal ini dapat disiasati oleh ketentuan impor paralel
dan lisensi wajib sesuai ketentuan TRIPs, tetapi pelaksanaannya seringkali
ditentang oleh negara maju.
 TRIPs juga menegasikan kepemilikan dan inovasi komunal karena subyek
HKI adalah individu atau perusahaan, padahal banyak inovasi terjadi secara
komunal sehingga pemiliknya adalah masyarakat secara kolektif. TRIPs juga
tidak mengakui inovasi yang tidak ditujukan bagi industri, yaitu inovasi lokal
yang ditujukan bagi kesejahteraan ekonomi, sosial dan kultural setempat.
Akibatnya, inovasi lokal seringkali justru “dirambah” dan diprivatisasi oleh
perusahaan atau individu seperti halnya yang terjadi dengan penerapan hak paten
atas ekstrak tanaman obat tradisional, desain batik, ataupun desain perhiasaan
yang merupakan  kreasi turun temurun.
 TRIPs memaksakan paradigma perlindungan HKI yang seragam di negara
anggota WTO, padahal ada perbedaan mendasar dalam perspektif memandang
HKI antara negara berkembang dan negara maju. Negara maju menganut sistem
perlindungan HKI modern yang memberikan hak eksklusif pada individu atas
ilmu dan penemuannya. Negara berkembang dengan masyarakat yang masih
tradisional, justru menganggap peniruan karya dan pengetahuan sebagai
penghargaan tertinggi atas karya tersebut. TRIPs secara tidak demokratis
menghukum  negara berkembang atas perbedaan perspektif ini.
 Walaupun ada pasal-pasal pengaman di dalam ketentuan TRIPs, seperti lisensi
wajib, impor paralel, menjaga kesehatan publik dan lingkungan serta tidak boleh
bertentangan dengan moral publik, proses pelaksanaannya sering dihambat oleh
negara maju. Contoh kasus adalah tidak tersedianya obat HIV/AIDs di banyak
negara karena upaya impor paralel dari negara yang menyediakan obat dengan
harga lebih murah seringkali ditentang oleh negara maju.
 Dari sisi keragaman hayati, pasal 27.3(b)  TRIPs mengatur hak paten atas
bahan hayati yaitu mikroorganisme serta perlindungan HKI berupa paten ataupun
sistem unik yang disebut sui generis  untuk varietas tanaman. Pasal ini yang
paling banyak diperdebatkan karena ditengarai akan mempunyai implikasi pada
pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan keragaman hayati, pembagian
keuntungan dari pemanfaatan tersebut dan hak masyarakat lokal, serta akan
mempunyai implikasi sosial, ekonomi, etika serta moralitas. Pasal 27.3(b) diduga
akan mengarah pada monopoli kepemilikan atas  bentuk kehidupan  pada
sekelompok orang. Saat ini walaupun TRIPs belum diterapkan di semua negara
anggota WTO secara penuh, aplikasi serta pemberian hak paten atas bahan hayati
sudah marak terjadi, dari ekstrak tumbuhan obat hingga gen dan DNA manusia.
TRIPs akan melegalkan proses ini. Dengan demikian TRIPs diduga akan
mempunyai implikasi berikut pada keragaman hayati: (a) menimbulkan monopoli
kepemilikan keragaman hayati beserta pengetahuannya; (b) menegasikan inovasi
tradisional masyarakat adat/lokal ; (c) membuka peluang bari perambahan bahan
hayati serta pengetahuan tradisional yang melekat padanya (biopiracy); (d)
mendorong erosi keragaman hayati karena inovator hanya akan mendorong
pemanfaatan spesies yang komersial serta mengabaikan yang lain.
 Pelaksanaan TRIPs juga berpotensi menimbulkan konflik dengan
pelaksanaan perjanjian internasional dibidang lingkungan seperti  Konvensi
Keanekaragaman Hayati (KKH). TRIPs bertujuan mendorong melindungi
teknologi dengan HAKI, sementara KKH menganjurkan alih teknologi dan
menyebutkan agar perlindungan HKI tidak bertentangan dengan tujuan KKH
yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari keragaman hayati. KKH
mengakui dan melindungi pengetahuan tradisional, sementara TRIPs
menegasikannya. Namun karena TRIPs mempunyai daya pelaksanaan yang lebih
kuat serta sistem retaliasi (pembalasan) atas pelanggaran, maka banyak negara
memilih menerapkan TRIPs dan mengabaikan kesepakatan internasional di bawah
PBB seperti KKH.
 Pada Konferensi Tingkat Menteri Ke IV WTO di Doha-Qatar menghasilkan
satu deklarasi khusus yang memperbolehkan TRIPs digunakan dengan cara yang
meningkatkan pelayanan kesehatan publik, tetapi isi ketentuan TRIPs sendiri
belum diamandemen.

Perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan


pada abad 21 ini telah memunculkan banyak invensi baru di berbagai bidang.
Sebagai penemu dan pemilik atas invensi tersebut, para peneliti atau inventor
tentu ingin memiliki hak untuk menikmati secara ekonomis dari hasil karyanya
tersebut. Maka munculah suatu konsep yang disebut “Hak Kekayaan Intelektual”
(HKI), yaitu hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu
produk atau proses yang berguna untuk manusia (Dirjen HKI, 2011). Namun
dalam pelaksanaannya, ternyata terdapat perbedaan bentuk perlindungan HKI di
setiap negara, karena itulah muncul suatu wacana untuk membentuk suatu aturan
perlindungan HKI yang berlaku secara global. Wacana tersebut dibahas dalam
perundingan World Trade Organization (WTO) selama rentang tahun 1986-1993,
yang pada akhirnya menghasilkan Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights Agreement atau dikenal dengan sebutan TRIPS, yaitu aturan tentang
penetapan perlindungan dan penegakan HKI bagi negara-negara pesertanya
(WTO, 1994).
Dalam sebuah konferensi internasional tentang AIDS beberapa tahun lalu,
para aktivis melancarkan protes keras terhadap paten atas obat-obatan, termasuk
obat AIDS yang membuat harganya menjadi mahal. Mereka menuntut agar
pembuatan obat generik untuk AIDS diperijinkan sehingga masyarakat miskin
dapat menjangkaunya. Isu ini bukanlah hal yang baru, karena sudah berlangsung
beberapa tahun belakangan ini.
“Paten  membunuh masyarakat miskin” kata para aktivis di bidang AIDS
(Acquired immunodeficiency syndrome – penyakit kekebalan tubuh) di Afrika
Selatan. Mereka mengatakan demikian karena penguatan perlindungan HKI (Hak
Kekayaan Intelektual – yaitu seperti paten dan hak cipta)  dalam TRIPS (HKI
terkait perdagangan, salah satu perjanjian di dalam Organisasi Perdagangan Dunia
WTO) yang mencakup paten atas proses dan produk berlaku pula untuk obat-
obatan dan produk farmasi.
Ketentuan TRIPS memberikan perpanjangan jangka waktu perlindungan
paten dari sekitar 14 tahun menjadi 20 tahun. Perpanjangan ini dipertanyakan
manfaatnya karena bukti menunjukkan bahwa sebagian besar obat-obatan tidak
lagi laku di pasaran setelah melebihi jangka waktu 10 tahun karena berbagai
alasan(wawancara dengan Indah Suksmaningsih). Perpanjangan waktu paten
hanya menyulitkan negara berkembang mengakses teknologi pembuatan obat
sehingga  masa  harga obat yang mahal karena paten menjadi lebih panjang
dengan pemberalakuan TRIPS. (Consumer International dalam Ditjen POM dan
WHO, 2000).
Sebelum TRIPS diterapkan produsen lokal dapat memproduksi obat
sejenis dengan proses yang berbeda karena proses tidak dipatenkan (UN
Development Report, 2000). Sebagai contoh, di India, pada 1998, obat HIV,
Flucanazole yang diproduksi di dalam negeri dijual dengan harga 55 dollar AS
untuk 100 tablet. Tetapi  negara Asia lainnya  harus membelinya dengan harga
lebih mahal karena harus membayar biaya teknologi dan riset. Di Malaysia harga
obat tersebut  697 dollar AS, Indonesia 703 dollar AS dan di Filipina 817 dollar
AS. Harga kombinasi obat AIDS untuk suplai satu tahun di AS berharga 10-15
ribu dollar AS, padahal di India, kombinasi obat generik yang sama berharga
hanya 3000 dollar AS (Khor, 2001).
Sebenarnya ada dua celah dalam ketentuan TRIPS untuk mensiasati
masalah obat yaitu penerapan impor paralel (paralel import) dan lisensi wajib
(compulsory licensing). Impor paralel adalah pembelian dari pihak ketiga di
negara lain dan bukan langsung dari produsen atau pemegang paten.
Contoh berikut menjelaskan hal di atas. Survei yang  dilakukan oleh
Health Action International tentang harga obat Amoxicillan Amoxil produksi
Smithkline Beecham menghasilkan data sebagai berikut: di Pakistan dijual dengan
harga 8 dollar AS, Malaysia 34 dollar, di Indonesia 40 dollar, Italia 22 dollar,
Selandia Baru 16 dollar, Filipina  29 dollar, Kanada 14 dollar,  Jerman  60 dollar
dan AS dengan  harga 36 dollar AS (Hoen, 2000). Artinya,  produsen dan
konsumen Indonesia dapat membeli obat tersebut dengan harga yang jauh lebih
murah melalui fasilitas impor paralel dari Pakistan dibandingkan apabila membeli
langsung dari Smithkline Beecham.
Lisensi wajib adalah penggunaan  obyek paten tanpa ijin dari pemegang
hak dan diatur dalam pasal 31 TRIPS. Biasanya lisensi wajib dalam bidang obat-
obatan diberikan oleh negara dalam kondisi tertentu misalnya ketika menghadapi
bencana atau epidemi suatu penyakit.  Khusus mengenai lisensi wajib, negara
berkembang mengatakan bahwa demi kepentingan umum obat/produk farmasi
harus dapat digunakan tanpa ijin dari pemegang paten, guna menjamin
ketersediaan dan keterjangkauannya. Hal ini terutama berkaitan dengan kebutuhan
akan obat esensial.
Baik lisensi wajib maupun impor paralel adalah kebijakan yang umum
diterapkan di Uni Eropa maupun AS. Tetapi dalam forum WTO, AS justru yang
paling keras menolak kedua kebijakan tersebut. Penolakan AS dilaksanakan pada
tingkat sanksi melalui tekanan politik seperti yang terjadi terhadap Thailand dan
Afrika Selatan (Hoen, 2000; Gerscler, 2000).
Ketika Thailand berniat menerapkan lisensi wajib dan impor paralel untuk
mengadakan persediaan obat HIV/AIDS. Karena  desakan AS yang mengancam
akan membatasi impor tekstil, pada 1992, pemerintah Thailand mengeluarkan
undang-undang yang melarang praktek impor paralel.  Kasus lebih serius
menimpa Afrika Selatan.
Ketika Afrika Selatan berkeinginan untuk menerapkan paralel impor, Duta
Besar AS untuk Afrika Selatan menulis surat ke parlemen negara tersebut untuk
menghapus paralel impor.Demikian pula, ketika pemerintah Afrika Selatan
merumuskan undang-undang untuk lisensi wajib agar  pemerintah mampu
menyediakan  obat-obatan terutama bagi 4,7 juta warganya yang terserang HIV,
dengan harga terjangkau, mereka menghadapi berbagai tekanan. Tidak kurang
dari Wakil presiden AS, Al Gore saat itu, mengancam akan mengenakan sanksi
perdagangan kepada Afrika Selatan jika meneruskan niat menerapkan kebijakan
lisensi wajib di negaranya. Lebih parah lagi, lebih dari 30 perusahaan obat
multinasional menggugat pemerintah ke pengadilan. Tentu saja masyarakat di
Afrika Selatan dan negara berkembang lain melancarkan protes keras dan
kemudian juga didukung oleh masyarakat di negara maju. Kelompok masyarakat
sipil seperti Medicine Sans Frontier, Oxfam, RAFI dan GRAIN menerbitkan
berbagai laporan dan melakukan kampanye mengenai hal tersebut sehingga
memaksa salah satu perusahaan obat untuk mengumumkan penurunan harga obat
(Khor, 2001).
Masalah TRIPS dan kesehatan dianggap sedemikian penting sehingga
kelompok negara Afrika mendesak diadakannya sebuah diskusi khusus
pada Council for  TRIPS (Dewan TRIPS) mengenai HKI dan akses pada obat,
tanggal 18-22 Juni 2001. Pidato Delegasi Indonesia pada special discussion on
intellectual property and access to medicines, Geneva, 18-22 Juni 2001, misalnya
dikatakan bahwa belanja publik untuk obat di lebih dari 30 negara kurang dari dua
dolar AS per kapita per tahun. Akibat depresiasi mata uang lokal, pengeluaran
pemerintah untuk obat menurun drastis, misalnya di Indonesia hanya kurang dari
50 sen per kepala per tahun. Selain itu, hanya 15 persen  penduduk Indonesia yang
mempunyai asuransi kesehatan. Selanjutnya dikatakan bahwa hak paten membuat
harga obat menjadi tinggi secara artifisial, menjadi jauh di atas obat generik.
Sebagai contoh, harga Diazepam yang dipatenkan 45 kali harga yang generik;
Cotrimoxazol, antibiotik untuk penyakit serius harganya 10 kali lipat.
“Perang obat” ini berlanjut di Konferensi Tingkat Menteri WTO  ke IV di
Doha 9-13 November 2001 setelah sebelumnya kelompok negara Afrika dan
masyarakat sipil di seluruh dunia melancarkan kampanye untuk memastikan agar
TRIPS tidak menghambat akses obat bagi orang miskin. Setelah melalui
perdebatan panjang pertemuan di Doha membuat deklarasi terpisah mengenai
TRIPS dan obat-obatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan TRIPS tidak boleh
menghambat akses pada pelayanan kesehatan masyarakat. Deklarasi tersebut
menyatakan bahwa setiap anggota punya hak untuk memberlakukan lisensi wajib
dan impor paralel, dan juga berhak menentukan apa yang dimaksud dengan
kondisi darurat di bidang kesehatan yang memerlukan kedua ketentuan tersebut.

Goverment Use menurut UU Paten 2011 adalah pada pasal 99 :

Pasal 99
1. Apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat
penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat
mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri
Paten yang bersangkutan.
2. Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan
menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.
A. Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah
Pengaturan tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah datur dalam Pasal
99-103 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Dasar
pertimbangan dilakukannya Pelaksanaan paten oleh pemerintah dilihat dari
penjelasan pasal 99 ayat (1) adalah karena masalah pertahanan dan keamanan
Negara, serta kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional merupakan
hal yang mendasar, wajarlah apabila Pemerintah atau pihak ketiga yang diberi izin
oleh Pemerintah untuk melaksanakan Paten yang terkait.
Kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional mencakup, antara
lain bidang kesehatan seperti obat-obat yang masih dilindungi Paten di Indonesia
yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang berjangkit secara luas
(endemik); bidang pertanian misalnya pestisida yang sangat dibutuhkan untuk
menanggulangi gagalnya hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama.
Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu paten adalah untuk menjamin
kelangsungan hidup perekonomian negara serta mengupayakan makin
meningkatnya kesejahteraan masyarakat di negara yang bersangkutan.
Pasal 103 menentukan bahwa Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh
pemerintah diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hal ini kemudian ditindaklanjuti
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2004 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah. Dalam penjelasan umum tentang PP
tersebut secara jelas menyatakan bahwa dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa
suatu Paten penting artinya bagi pertahanan dan keamanan negara atau karena
kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, maka Pemerintah
dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan atau menunjuk pihak ketiga
untuk melaksanakannya.

B. Pelaksanaan Goverment Use terkait obat ARV.


Pelaksanaan paten oleh pemerintah kemudian diatur lebih lanjut
pelaksanaannya dalam Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 tentang
Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-obat Anti Retroviral
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2007
tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 tentang
Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-obat Anti Retroviral,
Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2012 tentang pelaksanna Paten oleh
Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral yang digunakan untuk
mengatasi HIV/AIDS dan Hepatitis B.
Pemerintah telah melakukan sebanyak tiga kali goverment use terkait
dengan obat-obatan ARV di Indonesia. :
1. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Paten
Oleh Pemerintah Terhadap Obat-obat Anti Retroviral
2. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah
Terhadap Obat-obat Anti Retroviral.
3. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2012 tentang pelaksanna Paten oleh
Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral yang digunakan
untuk mengatasi HIV/AIDS dan Hepatitis B.
C. KAJIAN TENTANG FUTURE DRUG REGULATION DIKAITKAN
DENGAN GOVERMENT USE DI INDONESIA.
Peraturan obat telah berkembang bersama-sama dengan ilmu yang terlibat
dalam pengembangan obat-obat baru dan juga sistem perkembangan pelayanan
kesehatan yang terus berkembang. Namun perkembangan tersebut membuat biaya
pelayanan kesehatan dan regulasipun meningkat. Biaya penelitian dan
pengembangan untuk regulasi produk juga meningkat. Regulasi tersebut
menyangkut internasional , regional dan sub-regional dengan persyaratan
peraturan yang berbeda sesuai otoritas nasional nya. Biaya penelitian dengan
regulasi yang baru akan semakin menjadikan biaya meningkat dan dengan
terbatasi sumber daya yang kurang.
1.      Pemerintah harus  melakukan kaji ulang atas  isi dan pelaksanaan TRIPS di
Indonesia, terutama berkaitan dengan perundangan di bidang Hak Paten serta
perlindungan varietas tanaman. Proses kaji ulang ini harus  melibatkan semua
sektor masyarakat mengingat  kompleksitas dan luasnya obyek perlindungan HKI
dalam TRIPS. 

2.      Proses tersebut dapat berupa penelitian partisipatif yang diikuti dengan


konsultasi nasional,  untuk menganalisis:

 Dampak positif dan negatif dari TRIPS bagi masyarakat kebanyakan


terutama berkaitan dengan hak cipta, paten serta perlindungan varietas tanaman,
 memanfaatkan  pasal-pasal yang dianggap memberikan dampak positif
dan mensiasati pasal-pasal yang akan berdampak negatif,
 Perlu ditekankan dampak ratifikasi TRIPS-WTO di bidang pertanian,
ketahanan pangan, inovasi komunal dan tradisional serta pada  pelaksanaan
perjanjian internasional lain, terutama di bidang lingkungan hidup.

3.      Berdasarkan  hasil kaji ulang dan dialog publik tersebut, pemerintah perlu


melakukan hal-hal berikut:
 Merevisi perundangan yang sudah ada di bidang HKI dengan terlebih
dahulu meletakkan prioritas pada kepentingan masyarakat, tetapi dengan tetap
berupaya mematuhi TRIPS.  Salah satu upaya adalah mungkin dengan
merumuskan dan melaksanakan  perundangan yang melindungi inovasi
masyarakat secara kolektif dan melindungi keragaman hayati dari pembajakan.
 Bersama negara berkembang lain, memperkuat posisi Indonesia di dalam
prundingan perubahan pasal-pasal TRIPS  sehingga  lebih dapat menyuarakan
kepentingan negara sedang berkembang. Untuk itu pemerintah perlu
melaksanakan program pengembangan kapasitas, bekerjasama dengan kelompok
masyarakat serta organisasi non-pemerintah dan membangun koordinasi serta
perencanaan yang lebih kuat di dalam negeri. Kelompok Ornop beserta
masyarakat harus segera merancang sistem perlindungan pengetahuan dan sumber
daya lokal, terutama berkaitan dengan kekayaan hayati. Sistem ini haruslah tidak
monolithik, tetapi beragam sesuai dengan kebudayaan setempat.

5.      Perlu penguatan masyarakat terutama kaum petani, pengrajin dan peracik


jamu tradisional sehingga mereka dapat melindungi pengetahuan mereka sendiri
tanpa memonopoli pengetahuan tersebut.
6. Kelompok ornop dan masyarakat Indonesia perlu menggiatkan partisipasi
dalam kampanye anti paten atas mahluk hidup dan anti TRIPS di dalam WTO.

Pembuatan regulasi yang baru juga akan berhadapan dengan kualitas


produksi farmasi, penyebaran obat palsu. Adanya pembuatan tekhnologi baru dan
produk baru akan menciptakan tantangan regulasi baru. Misalnya bagaimana
meningkatkan perhatian publik dan harapan pada peraturan baru. Dan harus
memberikan informasi bagaimana menggunakan tekhnologi baru, peraturan obat-
obatan baru dll. Seperti adanya tehnologi nanopartikel di dunia kesehatan.
pemerintah juga mempunyai beban umtuk memberikan informasi dasar dan
bagaimana terapi penggunaan obat tersebut.
Adanya test farmakogenetik untuk melengkapi kelengkapan pengobatan
yang lengkap juga akan meningkatkan biaya. Ada juga tentang regulasi
pharmacovigilace pada obat-obat pediatrik, anak dan obat penyakit luar.
Gambaran singkat ini regulasi obat-obatan jelas tidak komprehensif
melainkan upaya untuk memberikan gambaran tentang kompleksitas ini penting
bagi pekerjaan yang memiliki banyak berhubungan langsung dengan farmakologi
klinis. farmakologi klinis dokter spesialis dilengkapi dengan pengetahuan yang
unik tentang obat-obatan memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mengembangkan dan berkontribusi terhadap peraturan obat-obatan.
Di Indonesia secara umum, berdasarkan ketentuan dalam TRIPs terdapat
tiga fleksibilitas terhadap Paten, yaitu: Impor Paralel, Lisensi Wajib dan
Penggunaan Paten oleh Pemerintah. Terkait bidang obat (farmasi) ketiga
fleksibilitas tersebut. dapat digunakan. Hal ini sebagaimana diatur lebih lanjut
dalam Deklarasi Doha tahun 2001. Model lisensi wajib merupakan model yang
lebih memberikan manfaat terhadap akses masyarakat terhadap obat murah.
Pada prinsipnya, berdasarkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, Indonesia
mengadopsi ketiga model fleksibilitas dalam Paten yang terdapat dalam TRIPs
tersebut. Akan tetapi baru model pelaksanaan paten oleh pemerintah saja yang
telah memiliki aturan teknis, sedangkan dua model fleksibiltas lainnya belum.
Model pelaksanaan paten oleh pemerintah terbukti telah membuat harga obat bagi
penderita HIV lebih murah dibandingkan sebelum adanya ketentuan tersebut.
Untuk rencana regulasi kedepan di Indonesia perlu dibuat peraturan
pelaksanaan setingkat peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur secara teknis
model fleksibilitas impor paralel dan lisensi wajib yang disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat Indonesia. Penggunaan PP dikarenakan ingin mengatur
secara rinci penggunaan model lisensi wajib serta impor paralel.
Model fleksibilitas yang akan dibuat dapat mempertimbangkan
penggunaan pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum dan pendekatan hak
asasi manusia sehingga hasilnya akan menguntungkan masyarakat serta industri
farmasi.
GOVERMENT USE DI INDOENSIA SELAIN DI BIDANG OBAT ARV
UNTUK DIMASA YANG AKAN DATANG.
Sebagian infeksi HIV terdiagnosis pada keadaan tahap lanjut, tak jarang
ODHA mempunyai infeksi oprtunistik berat bahkan infeksi oportunistik yang
lebih dari satu. Dengan demikian angka kematian perawatan di rumah sakit masih
tinggi. Angka kematian perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Barat
mencapai 30% dan sebagian besar kematian terjadi pada awal perawatan sebelum
penderita memperoleh ARV.
Biaya untuk diagnosis dan terapi infeksi oportunistik mahal dan sebagian
besar biaya ini masih ditanggung oleh ODHA dan keluarga. Pada umumnya
perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan penggantian biaya untuk kasus
AIDS.
Infeksi HIV di kalangan penguna narkoba semakin meningkat. Pada
pengguna narkoba suntikan selain infeksi HIV juga terdapat ko-infeksi Hepatitis
C dan B, serta terdapatnya infeksi pneumonia dan infeksi endokarditis bakteri.
Keadaan ini mempersulit penatalaksanaan karena tak jarang seorang ODHA yang
dirawat menderita berbagai infeksi oportunistik disertai pula ko-infeksi hepatitis.
Maka dari itu untuk dimasa depan pemerintah Indoensia dapat membuat
Goverment Use terkait obat untuk ko-infeksi Hepatitis C, karena pada Kepres
undang-undang yang ada hanya untuk obat-obat ARV dan hepatitis B.
Kemampuan layanan PDP masih beragam. PDP merupakan singkatan dari
pelayanan, dukungan dan pengobatan (Care Support and Treatment), adalah suatu
layanan terpadu dan berkesnambungan untuk memeberikan dukungan baik aspek
manajerial, medis, psikologis maupun sosial untuk mengurangi atau
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi ODHA selama perawatan dan
pengobatan.
Terdapat unit layanan yang sudah mempunyai pengalaman luas dalam PDP
namun juga terdapat unit layanan yang baru memulai layanan PDP. Selama ini
sistem dukungan untuk meningkatkan mutu layanan belum terprogram dengan
baik.
Layanan AIDS pada anak masih belum mendapat perhatian yang
memadai. Agar mampu memberikan layanan PDP pada anak maka diperlukan
SDM yang berpengalaman, fasilitas laboratorium yang mencukupi serta obat
ARV untuk anak. Tenaga dokter yang mampu mendiagnosis dan melakukan
terapi pada anak yang terinfeksi HIV masih sedikit dan terbatas di kota besar.
Pemeriksaan viral load dan CD4 yang dibutukan untuk diagnosis dan terapi HIV
pada anak harganya mahal dan masoh harusemnjadi beban keluarga. Obat ARV
khusus anak belum tersedia sehingga masih menggunakan obat ARV dewasa
demhgam penyesuaian dosis. Maka dapat dibuat ARV khusus anak dengan
regulasi yang jelas dan didukung oleh produk dengan dosis yang tepat guna.
Kerjasama rumah sakit dengan LSM di berbagai unit layanan belum
terbina dengan baik. Ada kecenderungan saling merasa benar sendiri dan
menyalahkan pihak lain. Situasi ini harus dirubah sehingga terjadi kerjasama yang
menguntungkan demi terwujudnya layanan yang bermutu.
Dukungan pengadaan fasilitas dan peralatan medik untuk menerapkan
kewaspadaan universal masih minim. Di banyak unit layanan, sarung tangan yang
amat esensial sebagai barier dalam kewaspadaan universal tidak tersedia cukup.
Maka harus lebih ditingkatkan lagi pengadaannya.
Kurangnya komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di
lapangan. Dukungan untuk pelaksana di lapangan baik berupa dukungan finansial
maupun teknik yang pada umumnya diberikan oleh lembaga donor atau LSM
internasional masih kurang terkoordinasi sehingga membingungkan petugas di
lapangan. Sehingga dimasa depan harus ditambah lagi komunikasi antara
pembuatan kebijakan dan pelaksana lapangan.
Dalam hal pelaporan, pelaksana layanan PDP dimintakan laporan oleh
berbagai pihak yaitu Departemen Kesehatan (Depkes), lembaga donor dan WHO.
Sewajarnya laporan hanya diserahkan pada satu instansi saja dan lembaga lain
yang memerlukan dapat berhubungan dengan Depkes tanpa turun langsung ke
lapangan.
Manajemen logistik (perencanaan, pengadaan obat ARV, pendistribusian,
dan pemantauan) belum tertata dengan baik sehingga masih dialami adanya
kekurangan obat, kelebihan obat, atau terlambatnya distribusi. Maka dari itu untuk
dimasa depan pemerintah juga harus membekali menejemen logistik untuk
mengimabangi regulasi yang telah dibuat.

Anda mungkin juga menyukai