Anda di halaman 1dari 2

http://www.javaplant.co.

id/industri-obat-tradisional-indonesia-menghadapi-afta-2015/

Industri Obat Tradisional Indonesia,


Menghadapi AFTA 2015.
Herbal Plus | January 13, 2016

Kualitas produk menjadi salah satu kunci untuk


mempertahankan eksistensi produk lokal dari serbuan
produk impor
ASEAN Free Trade Area (AFTA) mulai diberlakukan 2015 ini. Kesepakatan yang digagas sejak
tahun 1994 di Chiang Mai, Thailand ini bertujuan untuk membentuk kawasan perdagangan bebas
sesama negara ASEAN. Kesepakatan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekonomi
negara peserta dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia. Skema
penurunan tarif impor barang antarnegara ASEAN hingga menjadi 5%-0% telah memberikan
kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar
ASEAN, dibandingkan dengan negara non-ASEAN. Di sisi lain, AFTA menimbulkan ancaman
bagi industri di Indonesia, termasuk Industri Obat Tradisional Indonesia. Oleh karena itu,
kualitas produk menjadi salah satu kunci untuk mempertahankan eksistensi produk lokal dari
serbuan produk impor.

Standar CPOTB

Pemerintah, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerapkan standar untuk
meningkatkan mutu produk lokal, khususnya bagi industri obat tradisonal. BPOM telah
menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) untuk meningkatkan daya
saing produk obat tradisional Indonesia di pasar lokal maupun internasional. Junius Rahardjo,
CEO dan Co. Founder PT Trirahardja (Javaplant), salah satu pelaku industri herbal saat ditemui
Herbalplus di kantor Javaplant, Jakarta Barat beberapa waktu lalu, menyampaikan bahwa
penerapan AFTA 2015 dan CPOTB merupakan tantangan bagi produsen obat tradisional
Indonesia untuk berkembang dan meningkatkan kualitas. “Bagi saya, ini adalah challenge, juga
kesempatan untuk berkembang dan meningkatkan kualitas. Saya melihatnya sebagai acuan dan
tantangan yang harus ditempuh. Saya yakin, bahwa BPOM memiliki kredibilitas dan reputasi
yang cukup baik agar pemain di sini berbenah,” ujarnya. “Sebelumnya, BPOM juga mengundang
teman-teman produsen untuk ikut membantu merancang guideline, salah satunya Javaplant.
Mungkin Javaplant bisa dijadikan bench mark bagi mereka, karena cukup berkompeten dan
expertise di bidangnya. Cuma kita juga harus melihat kemampuan teman-teman lain di Industri
kecil. Jangan sampai merancang dengan kemampuan yang nggak mungkin bisa dicapai.”
CPOTB memang menjadi tantangan bagi pelaku industri. Selain biaya, sertifikasi CPOTB
memerlukan waktu yang cukup lama. Dari 900 pengusaha jamu dan industri obat tradisional
Indonesia, hanya kurang lebih 100 perusahaan yang lolos CPOTB. Besarnya biaya tersebut juga
diamini oleh Junius.
“Di lain sisi, memang membutuhkan dana yang cukup besar. Saya yakin kalau pengusaha-
pengusaha kecil ini tidak mampu. Misalnya untuk pengecekan Aflatoxin. Aflatoxin adalah salah
satu item baru yang tertera di dalam peraturan yang harus dirilis oleh produsen ekstrak bahan
baku alam. Idealnya itu, setiap incoming raw material itu Aflatoxinnya harus di cek. Misalnya,
jahe datang satu ton ke gudang Javaplant, itu harus dicek Aflatoxin-nya. Kalau datangnya
katakanlah tiga hari sekali, itu bagi industri besar no problem, tapi bagi industri kecil yang
keluarnya hanya 200kg bahan baku, jatuhnya akan mahal. Kemudian nanti kalau sudah diproses,
produk final ekstraknya juga harus di cek lagi Aflatoxin-nya.” Meski demikian, BPOM
memberlakukan standar CPOTB secara bertahap. Termasuk pengecekan Aflatoxin hanya setahun
sekali. “Jadi sebenarnya kalau soal regulasi di atas kertas memang menakutkan, tapi sebetulnya
masih ada kelonggaran dari BPOM,” ujar Junius.

Kesiapan Produsen Herbal Indonesia

Mengenai kesiapan produsen herbal di Indonesia, Junius menanggapi bahwa, ada beberapa poin
mengenai produsen di Indonesia. “Pertama, produk itu harus punya marketing story.
Persoalannya bahwa banyak produsen-produsen, herbal/ jamu tidak menggunakan marketing
story. Marketing story itu nggak harus sophisticated. Make up marketing story itu gampang kok.
Misalnya, jamu itu peninggalan nenek moyang kita, bahwa jamu itu adalah sebuah ramuan yang
berdasarkan traditional usage dapat menyembuhkan. Yang kedua harus ada reasonable ground-
nya. Nanti mereka yang masuk dari Asia, sudah saintifik dan budget promosi mereka digunakan
untuk educate people terus. Produk mereka akan berbasis penelitian, literatur, dan uji klinis.
Sedangkan kita hanya bersandar pada nenek moyang kita, itu menurut saya sudah old school,
kita harus pandai mengemas. Banyak teman-teman produsen yanag hanya bertahan pada basis
‘ramuan nenek moyang’ tanpa ada dasar saintifiknya. Di jaman sekarang, produk itu harus
mempunyai dasar dan alat ukur apa sih yang menyebabkan, secara sains itu bagaimana cara
kerjanya, itu yang harus diedukasi ke konsumen. Kita ini generasi penerus, harus bisa membuat
jamu lebih saintifik, kita yang muda-muda harus puter otak, karena dalam kompetisi we have to
be very creative.” Selain dua point yang di atas, Junius mengungkapkan banyaknya produsen
yang masih kurang fokus dengan strategi produksi, sehingga menyulitkan kinerjanya sendiri
menghadapi regulasi BPOM. “Dengan regulasi seperti ini, saya melihat perusahaan jamu banyak
mengerjakan seluruh proses produksi dari A-Z. Menurut saya, modelnya sudah nggak bisa
seperti itu. Saya melihat partner kerja saya di Amerika dan Jepang, banyak yang nggak punya
pabrik. Mereka beli semua bahan dari vendor dan ngeblend juga lewat small manufacturing.
Dengan sistem produksi yang diadaptasi sekarang ini sebetulnya membebankan, dan jadinya
wasting, terlebih dengan adanya regulasi dengan peraturan yang sekarang.”

Anda mungkin juga menyukai