Anda di halaman 1dari 19

KEMITRAAN GLOBAL DALAM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

BAHAN BAKU OBAT UNTUK MENCAPAI TUJUAN MILENIUM INDONESIA

Leonardus Broto Sugeng Kardono

Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, 15314, Indonesia

e-mail: leon001@lipi.go.id; l_kardono@yahoo.com

ABSTRAK

Kalangan industri farmasi khawatir dengan skema pemberlakuan perdagangan bebas


dengan Cina. Industri farmasi Cina berkembang dengan cepat, termasuk industri bahan
baku obat. Sedangkan, industri farmasi Indonesia berkembang sangat lamban, dan masih
sebatas industri formulasi obat, mengembangkan produk akhir dengan mengandalkan
keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent (BA/BE). Untuk saat
ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha untuk mengganti dengan
komponen lokal belum berhasil. Impor bahan baku obat dan komponen pendukungnya
yang digunakan sehari-hari lebih dari 90%, sedangkan bahan pengepakan sekitar 50%. Di
sisi lain, kekhawatiran tidak hanya dirasa oleh industri obat sintetik, tetapi juga oleh
industri jamu. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah
penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan
pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam system kesehatan
nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran.
Adanya paradigma baru untuk scientifikasi jamu dengan pengembangan berbasis
pelayanan kesehatan masih bersifat penelitian, masih belum teruji keberhasilannya.
Dengan berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), industri jamu
menjadi khawatir apabila kalah bersaing dengan produk China atau produk Negara
ASEAN lainnya, sehingga akhirnya kalah pamornya di negeri sendiri. Untuk mencapai
target Millennium Development Goals (MDGs), diperlukan usaha bersama yang sungguh-
sungguh untuk mengatasinya. Program Instentif pajak bagi industri yang
mengembangkan bahan baku obat masih belum berjalan. Salah satu usulan bagi industri
farmasi dan industri jamu untuk menyisihkan dana penelitian bersama, dikumpulkan dan
dikelola oleh mereka sendiri atau suatu lembaga netral yang didukung oleh pemerintah
untuk tujuan tersebut mungkin bisa menjadi salah solusinya. Di bidang farmasi dan
bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa dimanfaat untuk pengembangan
kapabilitas dan kompetensi penelitian dan pengembangan bahan baku obat dengan
kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian dalam kemitraan global ini perlu kajian dan
studi yang mendalam, sehingga benar-benar lebih menguntungkan Indonesia di masa
depan. Dengan demikian, kemitraan global untuk pengembangan bahan baku obat
memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi
seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik.

PENDAHULUAN

Ada empat kelompok industri farmasi global, yaitu Fully Integrated


Pharmaceutical Company, Virtually Integrated Pharmaceutical Company, Formulation
Industry dan Contract Research Organization. Saat ini, industri farmasi global berbasis
pada ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Industri multinasional berusaha merger
untuk efisiensi dan penguasaan pasar dengan ”off-shoring policy”. Industri farmasi
Indonesia belum banyak mengembangkan industri kimia intermediate (termasuk dari
industri agrokimia), active pharmaceutical ingredients, dan kontrak penelitian
pengembangan (Sparinga, 2010). Industri farmasi Indonesia lebih banyak
mengembangkan industri formulasi, mengembangkan produk akhir dengan
mengandalkan keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent
(BA/BE).
Untuk saat ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha untuk
mengganti dengan komponen lokal belum berhasil. Seperti sering dibahas oleh Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia, komponen impor obat di Indonesia masih sangat tinggi,
meliputi 90% dari bahan yang digunakan (bahan aktif dan bahan pendukung), dan 50%
dari bahan pengemas. Produksi domestik untuk bahan aktif obat (bahan baku obat) masih
sangat kecil dan belum berarti. Meskipun Indonesia mampu memproduksinya, sampai
saat ini kebanyakan masih belum bisa bersaing dengan produk impor.
Usaha untuk kemandirian dari kebutuhan dasar ini sering terbentur oleh beberapa
kenyataan, bahwa jenis obat yang beredar di Indonesia sangat banyak, boleh dibilang
terlalu banyak, dan bertambah terus dari hari ke hari. Serta suatu kenyataan bahwa
banyak bahan baku obat tidak akan ekonomis apabila diproduksi dalam skala produksi
(ISFI, 1997).
Masalah yang dihadapi dalam penyediaan bahan baku obat ini, apabila diproduksi
secara lokal, antara lain, secara berantai akan berhubungan dengan:
i. Industri kimia hulu belum mengembangkan dukungan untuk mengembangkan bahan
antara (intermediates) untuk penyediaan bahan baku obat. Ketergantungan bahan
antara impor dapat mengurangi pengembangan bahan baku obat secara sintesa.
ii. Terkait dengan undang-undang bahan kimia, di satu pihak, bahan kimia sangat
bermanfaat untuk kesejahterahan kimia, di lain pihak, bahan kimia bisa digunakan
untuk manfaat sebaliknya, yaitu yang merugikan atau merusak kehidupan. Impor
bahan antara ini perlu diatur secara hati-hati.
iii. Koordinasi antar industri belum berjalan dengan baik, misalnya koordinasi antara
industri petrokimia dan industri farmasi. Industri farmasi sering mengalami kesulitan
karena bahan dasar yang sangat diperlukan ternyata tidak diproduksi secara lokal
(ISFI 1997, Hardoyo, 2003).
Jumlah industri farmasi nasional cukup besar dengan kapasitas produksi sebesar
3% dari kapasitas total dunia. Namun, di sisi lain, pasar farmasi Indonesia relatif kecil
(sekitar 0,2% dari total pasar dunia). Apabila ada kenaikan drastis harga obat yang
berakibat menurunnya daya beli masyarakat, hal ini akan membuat masyarakat menjadi
lebih sulit untuk mendapatkan obat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
kesehatan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak lainnya
adalah industri farmasi Indonesia semakin terpuruk dalam profitabilitas dan likuiditas,
kapasitas menganggur yang ada meningkat (ISFI, 1997).
Perkembangan industri farmasi Indonesia perlu dikaji, terutama dalam hal
pemenuhan kebutuhan bahan baku dan mengurangi ketergantungan impor. Pemilihan
bahan baku obat yang akan dikembangkan harus dilakukan dengan hati-hati, juga dalam
pemilihan apakah akan mengembangkan obat-obatan baru atau memproduksi obat-obatan
yang perlindungan patennya telah berakhir atau hampir kadaluwarsa. Diharapkan, jika
memungkinkan, langkah-langkah pengembangan obat dapat dipersingkat agar Indonesia
mampu mengejar ketinggalan yang jauh dalam pengembangan bahan baku obat.
Penekanan dalam pendekatan penemuan obat juga perlu dikaji, baik itu dari produk
alami, dari obat yang sudah digunakan, dari bahan kimia sintetik dan model hewan,
ataupun dari pendekatan modern desain obat (Kardono, 2001).

PEMBAHASAN

Analisa Industri Farmasi Indonesia


Isu pokok bahan baku obat di Indonesia sejak dahulu kala belum berubah. Sudah
sering dibahas dan dibicarakan, misalnya, sejak Dr. Harjanto Dhanutirto menjadi Menteri
Negara Hortikultura sampai saat ini, dengan kecenderungan menimpakan kesalahan
kepada manajemen pemerintahan Indonesia (ISFI, 1997; Kardono, 2004; Sparinga 2010).
Isu pokok tersebut antara lain, lebih dari 96% impor bahan baku obat Indonesia; sebagian
yang diproduksi di Indonesia di bawah lisensi teknologi luar negeri menggunakan bahan
baku intermediate impor juga belum bisa bersaing, pembinaan industri kimia hulu
(Kementrian Perindustrian) dan hilir (Kementrian Kesehatan) belum ada pada
penguasaan teknologi yang mendorong keterkaitannya dalam klaster industri, lemahnya
kelembagaan, sumber daya, jejaring ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk
memperkuat inovasi, dana riset terbatas, dan regulasi belum kondusif (Sparinga, 2010).
Naskah Akademis Analisa dan Strategi Nasional yang dilakukan oleh Ikatan
Sarjana Farmasi tahun 1997, dan disampaikan kepada Menteri Negara Hortikultura dan
Obat, sampai sekarang secara relatif masih belum banyak mengalami perubahan. Dalam
beberapa pertemuan di dua tahun terakhir yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian
dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, terlihat pengembangan bahan baku obat di
Indonesia belum banyak mengalami perubahan. Analisa dan Strategi Nasional yang
disampaikan oleh ISFI tersebut dengan beberapa modifikasi disampaikan kembali dalam
kesempatan ini, antara lain:
Strength (Kekuatan)
Dari sudut pandang teknik farmasi, teknologi dan kualitas obat-obatan yang
diproduksi di Indonesia sangat baik. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Good
Manufacturing Practice dengan standar yang tinggi telah diterapkan di Indonesia. Proses
produksi ini, sebagian besar masih padat karya dengan biaya tenaga kerja yang relatif
rendah. Jumlah industri yang besar dan heterogen menyebabkan semua segmen pasar
dapat memenuhi kebutuhan mereka yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Weakness (Kelemahan)
Komponen impor obat masih sangat tinggi, mencakup 90% dari bahan baku yang
digunakan (senyawa aktif dan pendukung) dan sekitar 50% dari bahan kemasan. Produksi
domestik senyawa aktif relatif kecil dan tidak signifikan, harga tidak bersaing dengan
harga bahan yang diimpor. Upaya swasembada substansi dasar sering tersandung pada
fakta-fakta, antara lain: berbagai jenis bahan dasar digunakan oleh industri farmasi
(hingga 6.000 jenis), banyak di antaranya apabila dikembangkan dalam skala produksi
tidak layak secara ekonomi, masalah utama adalah dalam penyediaan bahan dasar untuk
bahan baku dari produk lokal. Hal ini berkaitan dengan industri kimia dasar yang belum
berkembang untuk mendukung dalam memasok bahan antara substansi dasar untuk
pembuatan obat. Ketergantungan intermediate substansi dasar pada tingkat tertentu dapat
mengurangi manfaat dari sintesis lokal. Koordinasi antara industri terkait tidak cukup
baik, sebagai contoh, koordinasi antara industri petrokimia dan industri farmasi.
Seringkali industri farmasi menghadapi kesulitan karena bahan dasar tidak dapat
diproduksi secara lokal.
Perlu dicatat bahwa dari sudut pandang lain, swasembada bisa dicapai jika nilai
ekspor bahan dasar sama atau lebih besar dibandingkan dengan yang nilai impor. Dalam
konteks ini, Indonesia tidak perlu untuk menghasilkan semua dari 6.000 jenis yang
disebutkan di atas, seandainya memang memiliki nilai ekspor yang cukup. Jumlah
industri besar (300 industri) dengan nilai pasar yang relatif kecil, sehingga pasar sangat
terfragmentasi sebagai akibat dari skala ekonomi yang rendah, hal tersebut disebabkan
oleh efisiensi rendah dan banyak kapasitas menganggur (idle) (ISFI, 1997).
Industri farmasi pada dasarnya merupakan industri yang knowledge intensive dan
sangat diatur, tetapi aspek regulasi industri farmasi di Indonesia cukup berat. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa kebijakan yang ada disusun lebih berdasarkan pada
semangat mengendalikan daripada mengembangkan, implementasi lambat karena
ketidakseimbangan antara jumlah aparat pemerintah yang melakukan kontrol dan industri
swasta yang dilayani. Rantai lainnya yang merupakan bagian dari aspek pemasaran dan
distribusi produk industri farmasi masih belum seimbang secara kualitatif dan kuantitatif.

Opportunities (Kesempatan)
Populasi Indonesia yang besar dan konsumsi obat per kapita yang rendah
menunjukkan potensi untuk mengembangkan pasar. Peluang ekspor terbuka karena
globalisasi dan pasar terbuka serta pelaksanaan praktek manufaktur yang baik di
Indonesia. Sudah adanya kecenderungan untuk mengembangkan sistem kesehatan yang
tepat dalam hal distribusi dokter yang diperlukan termasuk spesialis. Adanya integrasi
MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani
penyelesaian terkait dengan  isu-isu yang  sangat  mendasar   tentang pemenuhan  hak
asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan.
Threat (Ancaman)
Persaingan Global yang terjadi di dunia telah memengaruhi banyak hal, termasuk
menurunnya daya saing dan daya beli masyarakat dan industri Indonesia termasuk dalam
membeli obat atau dalam penyediaan obat. Kondisi ini merupakan ancaman untuk
kelangsungan hidup industri farmasi nasional, khususnya untuk pasar lokal. Salah satu
dampak globalisasi adalah ratifikasi ACFTA, GATT, termasuk TRIPs, Hukum Paten,
mobilitas sumber daya yang sangat tinggi dan persaingan bebas. Bagi industri farmasi
PMDN dan beberapa industri farmasi tertentu, investasi asing yang digunakan
mengandalkan produk mereka dengan menyalin strategi produk baru, yang masih dalam
paten, kondisi semacam ini dapat dianggap sebagai ancaman. Hukum Paten dapat
menjadi kesempatan bagi industri farmasi investasi dalam negeri untuk meningkatkan
kinerja, tetapi industri ini belum siap, terutama dalam dukungan riset mereka. Juga
dengan masih ditemukannya obat palsu yang beredar di pasaran yang menyebabkan
harga obat lebih sukar untuk dikendalikan.

Strategi Nasional dalam Mengembangkan Industri Farmasi di Indonesia


Penelitian dan pengembangan ditentukan untuk mempertahankan dan
mengembangkan industri farmasi, dan kemudian menyediakan kebutuhan obat bagi
masyarakat dengan harga terjangkau. Pemerintah perlu menyediakan dana untuk rencana
pengembangan indusri obat generik, alam dan obat (ISFI, 1997). Iuran dana (seed
funding) untuk riset bagi industri itu sendiri bisa dikembangkan dan hasil penelitian
dikembalikan ke industri.

Strategi Jangka Panjang


Dalam produksi domestik substansi dasar obat pengembangan bahan baku obat,
telah dilakukan pemeriksaan terhadap berbagai jenis bahan dasar yang dibutuhkan oleh
industri farmasi dan persyaratan yang relatif kecil terutama bagi kebutuhan lokal mereka.
Oleh karena itu, pembenahan ekonomi untuk memproduksi bahan dasar lokal mencapai
skala ekonomi yang jelas menjadi sangat sulit.
Namun, dari sudut pandang sosial politik, kemampuan untuk kemandirian di
bidang industri obat bahan dasar tentu akan meningkatkan stamina bangsa terutama
dalam krisis seperti saat ini. Perintis produksi bahan baku lokal perlu didorong dengan
memperhatikan pemilihan jenis bahan dasar dengan menggunakan kriteria yang
berspektrum kebutuhan cukup lebar sehingga mempunyai kemampuan untuk investasi
serta bahan dasar tersebut dapat dipasarkan, setidaknya regional, sehingga diperoleh
deviden dari ekspor bahan dasar dan dapat memenuhi kebutuhan impor bahan dasar
lainnya yang belum dapat diproduksi secara lokal.
Bahan awal dari bahan dasar tersebut mudah diperoleh dan ditemukan dalam
jumlah besar di Indonesia. Pemilihan bahan dasar yang dapat diproduksi melalui proses
fermentasi atau bioteknologi dengan investasi lebih murah dengan ketergantungan pada
produk antara industri hulu relatif kecil. Meskipun kesadaran akan pentingnya Hak atas
Kekayaan Intelektual di Indonesia yang sudah cukup tinggi, tetapi untuk itu penanganan
suatu produk farmasi untuk paten harus lebih kreatif. Misalnya, menciptakan produk obat
dengan kombinasi baru, suatu sistem drug delivery baru atau obat dengan bioavailability
yang lebih baik.
Disamping itu, perlu dipertahankan suasana kondusif agar secara bertahap industri
farmasi Indonesia mampu menjaga orisinalitas mereka dengan melakukan penelitian di
hulu. Dengan melakukan kerjasama dengan industri multinasional dalam proyek global
dapat menjaga hal tersebut (ISFI, 1997, Kardono, 2004).
Perlu diketahui bahwa meskipun anggaran riset di Indonesia jauh lebih kecil dari
negara maju atau jauh lebih kecil dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan
Thailand, namun efektivitas paten yang dihasilkan sangat baik. Hasil analisa WPO
(Word Patent Office), Geneva, para peneliti Indonesia relatif sangat efisien dalam
kaitannya antara paten dengan dana riset. Dengan dana penelitian sangat kecil per tahun
(tidak lebih dari 10 ribu US $), para peneliti Indonesia sudah mampu menghasilkan satu
paten, meskipun masih paten nasional, belum internasional (Aiman, 2010).
Meskipun pengembangan bahan baku obat dari bahan alam secara global
mengalami penurunan, tetapi pengembangan bahan baku obat dari bahan alam Indonesia
mempunyai prospek yang baik. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan
kearifan lokal. Pemanfaatan dan pengembangannya masih terus dilakukan dan bahkan
dikombinasi atau banyak dipengaruhi oleh pengembangan di negara besar lainnya, seperti
Cina dan India. Saat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka,
tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi diperlukan untuk
uji keamanan dan efektivitas jamu.
Upaya holistik perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Hal ini tidak hanya dalam medium dan infrastruktur, tetapi juga sumber daya
manusianya. Jumlah dokter perlu ditingkatkan untuk mencapai rasio yang ideal di
Indonesia, yaitu sekitar 1:1.300. Sistem distribusi obat perlu diperbaiki, sehingga
pengembangan obat-obatan dapat mencapai orang-orang di pedesaan. Kebijakan industri
kimia terpadu, sehingga industri yang satu dapat membantu industri yang lain. Sebagai
contoh, bahan kimia dari industri hulu mendukung industri hilir, termasuk industri
farmasi.
Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah
penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan
pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam sistem kesehatan
nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran. Dan
tahun 2009-2010 ini, Kementrian Kesehatan mencangankan Program Saintifikasi Jamu,
yang ditujukan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan jamu bagi pelayanan kesehatan.
Pendekatannya memanfaatkan jamu untuk pelayanan kesehatan terlebih dahulu,
sambil memperkuat dukungan ilmiahnya. Hal tersebut merupakan paradigma baru untuk
saintifikasi jamu dengan pengembangan berbasis pelayanan kesehatan, tetapi karena
masih bersifat penelitian, perkembangannya kemungkinan akan lambat. Dengan
berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), Indonesia perlu khawatir
terhadap perlindungan industri jamu Indonesia, dan memberikan bantuan supaya industri
jamu Indonesia mampu bersaing dengan produk China atau produk negara-negara
ASEAN lainnya, untuk menjaga pamornya di negeri sendiri (Kardono, 2009).

Langkah-langkah Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai


Untuk Indonesia
Dalam Workshop Pengembangan Bahan Obat Berbasis Sumber Daya Lokal,
Kemenristek, 21 April 2010, Dr. Boen Setyawan, mengusulkan Pengembangan Bahan
Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok, yaitu, (1) inventarisasi sumber
daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan baku obat (baik terrestrial
maupun marine: mikroba, jamu, tumbuhan obat dan sumber daya laut), (2)
pengembangan bahan baku obat berbasis bahan alam (isolasi, elusidasi struktur kimia,
modifikasi struktur, scalling up dan lain-lain, uji efektivitas, keamanan, farmakologi dan
lain-lain), (3) pengembangan bahan baku obat melalui sintesa kimia, (4) pengembangan
bahan baku obat melalui bioteknologi dan biomolekuler (mengingat saat ini 67% bahan
baku obat yang dikembangkan berasal dari bidang ini), dan (5) teknologi sel punca, untuk
antisipasi ke depan secara jangka panjang. Penelitian pengembangan bahan baku obat di
Indonesia didominasi oleh kegiatan pengembangan dari bahan alam (termasuk jamu),
sekitar 60% dari seluruh kegiatan pengembangan bahan baku obat di Indonesia (Kardono,
2003; Sparinga, 2010).
Untuk menemukan dan mengembangkan bahan baku obat, perlu ditempuh jalan
yang panjang dan biaya yang mahal. Pada saat ini, jarang ada perusahaan global yang
melakukan hal tersebut secara sendiri-sendiri, biasanya mereka melakukannya dalam
suatu kerangka kerjasama. Sedangkan un tuk Indonesia, perlu dibuat strategi untuk
menempuh kemitraan global, untuk melakukannya, harus ditentukan terlebih dahulu
langkah mana yang harus dilakukan untuk memulai kemitraan.
Dalam pengembangan dan penemuan obat baru, ada empat langkah utama, yaitu
(1) dari bahan alam dengan melakukan skrining (penapisan) untuk mencari komponen
bioaktif; (2) modifikasi struktur dari bahan obat yang sudah digunakan untuk
meningkatkan aktivitas atau mencari aktivitas baru; (3) dari bahan kimia sintesa dan
pemodelan hewan percobaan dengan melakukan penapisan skrining bahan-bahan kimia
terhadap penyakit (menggunakan pemodelan hewan percobaan) dan (4) dari pendekatan
modern desain obat dengan mendesain obat berbasis mekanisme fisiologi (Kardono,
2004).
Dalam penelitian dan pengembangan bahan baku obat, beberapa tahap biasanya
dilakukan. Mulai dari tahap kegiatan awal (primary stage), pre-klinis, dan klinis. Dalam
tahap kegiatan awal (primary stage), dimulai dengan kajian pustaka mengenai apa yang
akan dikembangkan, pasar dan sebagainya, penentuan target yang dituju, pengembangan
senyawa pengarah melalui desain obat baru dan sintesa serta penapisan bahan alam
bioaktif, evaluasi aktivitas biologi dan farmakologi dasar, penentuan metode evaluasi,
dan pemilihan kandidat obat baru.
Bagian penting dalam primary stage ini adalah bagaimana mempelajari hubungan
antara struktur obat dengan aktivitasnya (structure activity relationship/SAR) sehingga
pencarian senyawa aktif baru menjadi lebih terarah. Kegiatan SAR tersebut telah
memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular.
Tahap pre-klinis terutama ditujukan untuk kajian kemanjuran (efficacy) dan
keamanannya (safety). Kegiatannya meliputi farmakologi, evaluasi sifat-sifat fisiko
kimia, penentuan toksisitas akut dan sub-akut, penentuan farmakokinetik (adsorpsi,
distribusi, metabolisme, ekskresi/ADME), farmasetika dan pengembangan proses
produksi skala besar (mass production). Uji pre-klinis merupakan persyaratan uji untuk
calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan, maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik), yang mempunyai empat
tahapan yang harus dilewati. Sebelum dilakukan pengujian pada manusia, harus diteliti
terlebih dahulu kelayakannya oleh komite etik yang didasarkan pada Deklarasi Helsinki.
Jelaslah, untuk bisa memasarkan bahan baku obat baru, jalan sangat panjang harus
ditempuh. Beberapa bidang ilmu perlu dikembangkan dan ditekuni untuk pengembangan
obat baru di Indonesia.
Pertama, adalah Biology Related Drug Discovery. Pengembangan bahan baku
obat dari genomik menuju proteomik yang meliputi ekspresi protein, sistem ekspresi,
kristalisasi protein, penentuan struktur tiga dimensi dari protein, dan penentuan active
site protein dan mekanisme kerja bahan baku obat pada protein.
Kedua adalah Chemistry Related Drug Discovery and Development, dengan
kegiatan inti bidang kimia medisinal. Langkah ini dimulai dari lead discovery, lead
optimation, chemical process development dan chemical synthesis & scaling up. Lead
discovery meliputi kegiatan medicinal chemistry, combinatorial chemistry,
computational chemistry, natural products isolation dan biocatalysis. Lead optimization
meliputi kegiatan medicinal chemistry, analytical chemistry dan separation chemistry
dan biocatalysis. Chemical process developement berkaitan dengan kegiatan analytical
chemistry, proces research & development, dan biocatalysis. Sedangkan chemical
syntesis dan scaling up mencakup kegiatan analytical chemistry, process research &
development, serta current GMP synthesis.
Kimia Medisinal atau Kimia Farmasetikal adalah disiplin ilmu yang berada pada
persimpangan antara ilmu kimia dan farmakologi yang terlibat dalam proses merancang,
mensintesis dan mengembangkan obat-obatan farmasi. Kimia medisinal terlibat dalam
proses identifikasi, sintesis dan pengembangan senyawa kimia baru yang cocok untuk
terapi. Disiplin ini juga mencakup studi tentang obat yang sudah ada, sifat biologisnya,
dan hubungan secara kuantitatif antara struktur-aktivitas (quantitative structure-activity
relationship, QSAR). Kimia Farmasetikal difokuskan pada aspek kualitas obat dan
bertujuan untuk menjamin fungsi produk obat-obatan. Kimia Medisinal adalah ilmu multi
disiplin yang menggabungkan kimia organik dengan biokimia, kimia komputasi,
farmakologi, pharmacognosy, biologi molekular, statistik, dan kimia fisik.
Dalam process of drug discovery (proses penemuan obat), langkah pertama
penemuan obat melibatkan proses identifikasi senyawa aktif baru, sering disebut "hit",
yang biasanya ditemukan melalui proses skrining dari banyak senyawa untuk mencari
sifat biologis yang diingini. Terdapat sejumlah pendekatan identifikasi terhadap hit,
kebanyakan teknik yang berhasil dipengaruhi oleh intuisi kimia dan biologi yang
dikembangkan melalui pelatihan kimia-biologis yang ketat. Sumber-sumber lain dari hits
bisa berasal dari sumber-sumber alam, seperti tanaman, hewan, atau jamur. Hit dapat juga
berasal dari pustaka-pustaka kimia, seperti yang diperoleh melalui kimia kombinatorial
atau koleksi lama senyawa kimia yang diuji secara terus menerus terhadap target
fisiologis senyawa yang bersangkutan.
Langkah berikutnya, dalam proses penemuan obat, melibatkan proses modifikasi
kimia lebih lanjut untuk meningkatkan sifat-sifat biologis dan physiochemical dari calon
senyawa. Modifikasi kimia dapat meningkatkan sifat kemampuan dan ikatan geometri
(pharmacophore) afinitas dan farmakokinetiknya, bahkan reaktivitas dan stabilitas
selama degradasi metabolik senyawa tersebut.
Sejumlah metode telah memberikan kontribusi dalam memprediksi proses
metabolik secara kuantitatif. Hubungan kuantitatif struktur-aktivitas (QSAR) dari gugus
farmakofor memainkan peranan penting dalam menemukan senyawa penuntut (lead
compound), yang memperlihatkan potensi, selektivitas, farmakokinetik dan toksisitas
yang terbaik. QSAR yang terutama melibatkan kimia fisik dan “tools” docking molekular
(CoMFA dan CoMSIA), yang mengarah ke data hasil tabulasi serta persamaan pertama
dan kedua. Ada banyak teori, analisis yang paling relevan adalah analisis Hänsch yang
melibatkan parameter elektronik Hammett, parameter sterik dan parameter logP
(lipofilisitas). Langkah terakhir adalah Chemical Synthesis & Scale-up, yang menekankan
Research & Development Process serta Good Manufacturing Practice untuk sintesis,
untuk mempersiapkan senyawa penuntun (lead compound) terpilih, yang sesuai untuk
digunakan dalam uji klinis.
Langkah ini melibatkan proses optimalisasi rute sintetik untuk produksi secara
besar (masal), dan persiapan formulasi obat yang sesuai. Setelah langkah ini dilewati,
pengembangan berikutnya adalah riset klinis, yang meliputi pre-clinical testing
menggunakan hewan percobaan, dan empat fase “clinical trial”. Fase I, di mana calon
obat diuji pada sukarelawan sehat. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek
yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat tersebut pada manusia. Fase II, fase
di mana calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi terhadap penyakit yang
diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek
samping tidak ada/rendah atau tidak bersifat toksik. Fase III yang melibatkan kelompok
besar pasien, pada fase ini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat
pembanding yang sudah diketahui.
Selama dalam proses uji klinik, banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak
dapat digunakan. Hanya 1 dari 10.000 senyawa hasil sintesis yang diperbolehkan untuk
digunakan, mengingat efek samping dan risikonya lebih besar daripada manfaatnya atau
efek manfaatnya lebih kecil dibandingkan dengan obat yang sudah ada. Keputusan untuk
mengakui suatu obat baru dapat dipergunakan dilakukan oleh badan pengatur nasional,
untuk Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Fase terakhir adalah Fase IV,
yaitu fase di mana setelah obat dipasarkan, masih tetap dilakukan studi pasca pemasaran
(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, usia dan
ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan efek
jangka panjang dalam penggunaan obat tersebut. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi
masih ada kemungkinan obat ditarik dari perdagangan jika ternyata masih memiliki efek
yang membahayakan.

Prioritas Penelitian dan Pengembangan Bidang Kesehatan dan Obat di Indonesia


dan Penelitian Anti HIV dari Tumbuhan Obat
Di Indonesia, prioritas penelitian dan pengembangan bidang kesehatan dan obat
meliputi: (1) pencapaian gizi seimbang; (2) pengembangan industri farmasi; (3)
pengembangan bahan obat alam; (4) pengembangan vaksin, sera dan biofarmasi; (5)
pengendalian penyakit; (6) pengembangan alat kesehatan; dan (7) penerapan teknologi
genomik, proteomik dan teknologi nano.
Salah satu area prioritas adalah penanggulangan HIV dan AIDS yang tercantum
dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah Penelitian
dan Riset Operasional. Di dalam program tersebut, area prioritasnya  adalah Program
Penelitian Obat Tradisional HIV dan AIDS. Indonesia kaya dengan flora dan fauna
sebagai sumber bahan pembuatan obat-obatan, maka penelitian diarahkan untuk mencari
bukti-bukti ilmiah tentang obat-obatan tradisional dan sekaligus mencari peluang lain.
Beberapa tanaman/tumbuhan obat Indonesia yang diyakini mempunyai potensi tersebut
antara lain lidah buaya (Aloe vera), temu ireng (Curcuma aeruginosa), jambu biji
(Psidium guajava), Sambiloto (Andrographis paniculata), Meniran (Phyllantus urinada
Linn), Kunir (Curcuma domestika), Mengkudu (Morinda citrifolia) dan Brotowali
(Tinospora cordifolia).
Penting dilakukan skrining in vitro obat herbal untuk HIV/AIDS, sayangnya, sulit
sekali untuk melakukan hal itu di Indonesia. Ada beberapa kendala, seperti belum ada
laboratorium virus yang memadai guna melakukan kultur rutin untuk HIV. Diperlukan
pula laboratorium kultur sel guna menyuplai kebutuhan sel untuk menumbuhkan HIV.
Kemungkinan diperlukan pula laboratorium setingkat BSL-2 atau BSL-3 yang biaya
operasionalnya mahal (Sparinga, 2010).
Berdasarkan data statistik dari WHO, prevalensi HIV di antara orang dewasa yang
berumur >15 tahun pada tahun 2005 di Indonesia adalah 106 per 100.000 populasi
(WHO, 2007). Publikasi internasional mengenai penelitian herbal untuk anti-HIV telah
banyak dilakukan di antaranya adalah pada tanaman obat Panama (Jatropha curcas
(Euphorbiaceae), Chamaesyce hyssopifolia (Euphorbiaceae), Cordia spinescens
(Boraginaceae), Hyptis lantanifolia (Labiatae), and Tetrapteris macrocarpa
(Malpighiaceae) ( Matsuse et al., 1999), Cimicifuga racemosa (blackcohosh) (Sakurai et
al., 2004), Zanthoxylum ailanthoides ( Cheng et al., 2005), tanaman obat Thailand
(Dioscorea birmanica , Smilax corbularia , Smilax glabra , Pygmaeopremna herbacea
and Dioscorea membranacea) ( Tewtrakul et al., 2006), Boesenbergia pandurata (temu
kunci) ( Cheenpracha et al., 2006), Calophyllum inophyllum (Laure et al., 2008).
Metode yang digunakan untuk uji aktivitas anti-HIV antara lain adalah inhibitor
protease HIV-1, inhibitor integrase HIV-1, uji anti-HIV pada sel H9 yang diinfeksi
dengan HIV. Senyawa-senyawa yang menunjukkan aktiviatas anti-HIV yang telah
berhasil diisolasi antara lain adalah Acteinm, 12 saponin, 2 steroidal, 7
tetracyclictriterpenoid, dan 4 pentacyclictriterpenoid dari Cimicifuga racemosa;
decarine, c-fagarine, dan (+)-tembamide dari Zanthoxylum ailanthoides; panduratin A
dan hydroxypanduratin A dari Boesenbergia pandurata;Inophyllum B dan P dari
Calophyllum inophyllum. Apakah dari tumbuhan-tumbuhan obat tersebut akhirnya bisa
menjadi obat baru untuk mengatasi HIV, masih diperlukan penelitian dan pengembangan
lebih jauh.

Perlunya Kemitraan Global


Indonesia perlu belajar dari Singapura. Dalam mengembangkan bahan baku obat,
Singapura mengundang pakar-pakar internasional, dan mengundang industri
multinasional untuk bekerjasama, yang sebagian investasinya berasal dari Singapura.
Salah satu institusi riset yang lahir seperti ini adalah Merlion Pharma, yang
mengembangkan bahan baku obat dari sumber daya alam, dan berawal dari Glaxo.
Awalnya mengembangkan secara bersama, kemudian Singapura mengembangkan sendiri
dengan komitmen yang sangat kuat. Negara yang sudah maju saja perlu kemitraan
global, demikian juga seharusnya Indonesia.
Secara klasik, masing-masing individu peneliti mengembangkan ilmunya antara
lain berdasarkan referensi hasil penelitian berbasis hasil peneliti lain melalui jurnal,
pertemuan-pertemuan ilmiah, konferensi, pengembangan kapasitas peneliti, sarana
prasarana yang mendukungnya. Namun, perlu dicatat bahwa perubahan ilmu mewajibkan
adanya kemitraan global, seberti mapping genomik global, yang memerlukan masukan
atau input dari banyak ilmuwan di dunia secara koheren, sehingga menciptakan peluang
baru yang saling menjembatani, sehingga para peneliti bisa saling mendengarkan, saling
tukar pengalaman, dan saling bisa memprediksi kebutuhan ke depan.
Jelaslah bahwa kemitraan global seperti ini strategis, melihat ke depan, membina
jaringan baik instansi maupun individu ilmuwannya, sehingga bisa menciptakan program
riset bersama, berkoordinasi dan saling berbagi dalam pendanaannya. Kerjasama seperti
ini akan memberi keuntungan atau mengurangi hambatan untuk implementasi hasil riset
(Marks, 2007). Adanya kerjasama antar institusi global akan mempermudah kunjungan
atau penukaran ilmuwan, mendukung diseminasi ilmu transnasional, pengembangan
kapasitas masing-masing ilmuwan dan institusi, saling tukar pengalaman dan
mengembangkan best practice dan benchmark sistem pengembangan atau prosedur,
benchmark komunitas ilmiah, pembagian dana untuk pengembangan infrastruktur,
sehingga peneliti mampu mengerjakan riset lebih efisien dengan prediksi ke depan lebih
baik dan penilaian yang lebih tepat.

PENUTUP

Mempertegas apa yang disampaikan pada Workshop bulan April ini, Program
kemandirian bahan baku obat perlu grand design, strategi jangka pendek, menengah dan
panjang, konsisten, terukur, untuk mewujudkan kemandirian dan kelayakan ekonomi;
inovasi tidak hanya pada temuan teknologi baru. Feed back adalah kunci tercapainya
kemandirian bahan baku obat. Di Indonesia, diperlukan cluster policy dalam sistem
inovasi obat untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat, perlu ditentukan sumber
daya lokal yang berpotensi untuk pengembangan bahan baku obat dan eksipien di
Indonesia; pengembangan bahan baku obat di Indonesia tidak bisa dilepas dari
commercial battle field untuk kemandiriannya, karena adanya proteksi yang kuat dari
negar-negara penghasil bahan baku obat. Untuk mencapai target Millennium
Development Goals, diperlukan usaha bersama yang sungguh-sungguh untuk
mengatasinya. Sementara, program intensif pajak bagi industri yang mengembangkan
bahan baku obat masih belum berjalan.
Salah satu usulan bagi industri farmasi dan industri jamu adalah untuk
menyisihkan dana penelitian bersama, dikumpulkan dan dikelola oleh mereka sendiri
atau suatu lembaga netral yang didukung oleh pemerintah untuk tujuan tersebut. Di
bidang farmasi dan bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa dimanfaatkan
untuk pengembangan kapabilitas dan kompetensi penelitian dan pengembangan bahan
baku obat dengan kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian dalam kemitraan global ini
perlu kajian dan studi yang mendalam, sehingga benar-benar lebih menguntungkan
Indonesia di masa depan.
Dengan demikian, kemitraan global untuk pengembangan bahan baku obat
memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi
seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik. Dalam
diskusi Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia baru-baru ini, Dr. Roy Sparinga,
dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi, mengusulkan langkah-langkah penguatan
sistem inovasi nasional obat yang berbasis bahan baku lokal antara lain: dirumuskannya
kebijakan untuk kemandirian/kemampuan nasional dalam produksi bahan baku obat,
ditetapkannya jenis bahan baku obat dan eksipien, ditetapkannya langkah-langkah yang
dilakukan dalam waktu tertentu dan kementrian, institusi dan aktor yang terlibat serta
sumber daya dan dana, disatukannya roadmap industri kimia, industri farmasi, riset dan
teknologi di semua kementrian yang terlibat, didorongnya investasi ke arah indusrti kimia
hulu untuk pengembangan bahan baku obat secara bertahap, adanya insentif riset dan
penguatan jejaring iptek untuk pengembangan bahan baku obat, adanya insentif pajak,
kepabeanan dan bantuan teknis bagi industri yang mengembangkan bahan baku obat, dan
adanya kebijakan penguatan kelembagaan, sumber daya dan jaringan dalam
pengembangan obat baru. Akhirnya, apakah program kemandirian bahan baku obat di
Indonesia ini akan menjadi kenyataan atau tetap menjadi wacana seperti tahun-tahun
sebelumnya, nampaknya masih diperlukan waktu lama untuk mengetahuinya.

DAFTAR PUSTAKA

Aiman, S.A., Laporan Teknis Kedeputian Ilmu Pengetahuan Teknik, disampaikan pada
Rapat Kerja LIPI, Surakarta, 12 Februari 2010.
Cheenpracha, S. C. Karalai, S. Subhadhirasakul , H. Ponglimanont, and S. Tewtrakul.
Anti-HIV-1 protease activity of compounds from Boesenbergia pandurata.
Bioorganic & M edicinal Chemistry 14 2006 1710–1714
Cheng, Ming-Jen, K-H. Lee, I.-L. Tsai and I-S. Chen. Two new sesquiterpenoids and
anti-HIV principles from the root bark of Zanthoxylum ailanthoides. Bioorganic
& Medicinal Chemistry 1 3 2005 5915–5920.
Hardoyo, Drug Development Based on Indonesian Petrochemicals, presented at National
Seminar on Pharmaceutical Technology Business, Ed. Hardoyo, Ministry of
Industry and Trade, Semarang, 21 Oktober 2003.
ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Strategi Pengembangan Bahan Baku Obat
Indonesia, Naskah Akademis Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, disampaikan
kepada Menteri Negara Hortikultura dan Obat, 1997.
Kardono, L.B.S. 2001. Developing Pharmaceuticals Suitable for Indonesian
Pharmaceutical Industries, Workshop on Developments in Drugs and
Pharmaceutical Technology, Indian Institute of Technology, November 6-10,
2001, Hyderabad, India.
Kardono, L.B.S., 2003, Progress and Development of Indonesian Traditional Medicines,
Presented at Expert Group Meeting on Traditional Medicine and Herbal
Technology, Asia Pacific Center for Transfer of Technology, Wuhan, China, 16--
20 September 2003.
Kardono, L.B.S., Drug Development Based on Indonesian Biodiversity, presented at
National Seminar on Pharmaceutical Technology Business, Ed. Hardoyo,
Ministry of Industry and Trade, Semarang, 21 Oktober 2003.
Kardono, L.B.S. 2004. Developing Drugs and Pharmaceuticals Small and Medium Scale
Enterprises: An Indonesian Case Study, 2nd International symposium on Current
Trend on Drug Discovery Research, Lucknow, India, 17--20 February, 2004.
Kardono, L.B.S., Various efforts to improve the role of Indonesian Traditional Medicines
serving in the national health care, Presented at China-ASEAN Summit Forum on
Traditional Medicines, October 28-29, 2009, Nanning, Guangxi, China.
Laure, H., P. Raharivelomanana, J-F. Butaud, J-P. Bianchini, E. M. Gaydou. Screening
of anti-HIV-1 inophyllums by HPLC–DAD of Calophyllum inophyllum leaf
extracts from French Polynesia Islands. Analytica Chimica Acta 6 2 4 2008 147–
153
Marks, J. International Collaboration of Agencies the European Science Foundation
Experience, Presented at Korea Research Foundation Workshop, Seoul 14
November 2007.
Matsuse, I.T., Y.A. Lim, M. Hattori, M. Correa, M.P. Gupta. A search for anti-viral
properties in Panamanian medicinal plants. The effects on HIV and its essential
enzymes. Journal of Ethnopharmacology 64 (1999) 15–22
Sakurai, N., T. Nikaido, J-H. Wu, K. Koike, Y. Sashida, H. Itokawa, Y. Mimaki,and K-
H. Lee, Anti-AIDSAgents.Part57:Actein,an anti-HIVprinciple from the rhizome
of Cimicifuga racemosa (blackcohosh),and the anti-HIV activity of related
saponins. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters14(2004)1329–1332
Sparinga, R. Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia, Disampaikan pada
Workshop Pengembangan Bahan Baku Obat Berbasis Sumber Daya Lokal,
Jakarta, 21 April 2010.
Tewtrakul, S., A. Itharat, P. Rattanasuwan. Anti-HIV-1 protease- and HIV-1 integrase
activities of Thai medicinal plants known as Hua-Khao-Yen. Journal of
Ethnopharmacology 105 2006 312–315
WHO. World health statistics 2007. WHO Press, Geneva, Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai