INDONESIA
Page | 1
Gambar 1. Grafik 10 Besar Bahan Baku Obat yang Diimpor oleh Indonesia
Tahun 2014
Amoxicillin 42,464,855
Vitamin E 24,273,578
Vitamin C 20,434,242
Other Vitamins & Derivatives (selain A, B1,B3, B3, B5, B6, B12, C,D,E) 17,112,117
Choline 11,674,822
(Slamet, 2016)
Page | 2
berkhasiat, dan bermutu untuk masyarakat Indonesia akan berkurang. Akibatnya,
pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia akan terhambat (Slamet, 2016).
Selain aspek sosial yang telah dijelaskan di atas, pengembangan industri
bahan baku obat akan menguntungkan secara aspek ekonomi dan aspek teknologi.
Secara aspek ekonomi, sudah pasti akan menghemat devisa negara. Kemudian,
dengan adanya industri bahan baku obat akan berkontribusi ke pendapatan negara
dan memajukan perekonomian masyarakat. Di aspek teknologi, dengan
dikembangkannya industri bahan baku obat, maka potensi kekayaan sumber daya
Indonesia (termasuk hayati) akan teroptimalkan dengan baik untuk pengobatan.
Selain itu, secara tidak langsung masyarakat dapat menguasai teknologi
kefarmasian yang dapat menguntungkan negara (Slamet, 2016).
(Anonim, 2015)
40
16.4
30 14.7
13
9 8 10.9
20
17 19.2 21.1
10 14.6 14 14.8
0
Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
Page | 6
Pasar obat resep terbagi menjadi tiga, yaitu obat paten, obat generik
bermerek, dan obat generik yang menggunakan nama International Non
Proprietary Name – INN yang secara umum dikenal sebagai obat generik (OG).
Sebagian besar (67%) pasar obat resep di Indonesia merupakan obat generik
bermerek, diikuti obat paten yang menyumbang 25% dan OG sebesar 8%. Pasar
OG di dalam negeri tahun 2010 diperkirakan hanya sebesar 3 triliun rupiah,
namun penggunaannya terus meningkat seiring dengan pemberlakuan berbagai
program kesehatan seperti Jamkesmas, Jamkesda, Jampersal. Bahkan diperkirakan
akan meningkat secara signifikan dengan penerapan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) pada tahun 2014 mendatang. Salah satu penyebab masih rendahnya pangsa
pasar OG adalah masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai OG
sehingga opini yang berkembang adalah OG merupakan obat kelas dua yang
kualitasnya tidak terjamin dan lain sebagainya. Dukungan Permenkes No.
HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan OG di masa-masa mendatang (Permenkes, 2013).
Saat ini, Indonesia memiliki total 206 industri farmasi yang terdiri atas : 4
buah industri farmasi BUMN, 178 buah industri farmasi lokal, dan 24 buah
industri farmasi Perusahaan Modal Asing (PMA). Industri farmasi BUMN dan
Lokal memiliki persentase pangsa pasar 73,2% (atau sekitar 42,62 miliar rupiah),
sedangkan industri farmasi PMA memiliki persentase pangsa pasar 26,8% (atau
sekitar 15,63 miliar rupiah) (Anonim, 2015).
Peningkatan penggunaan obat, sudah pasti akan mengakibatkan peningkatan
jumlah bahan baku obat yang digunakan di Indonesia. Komponen bahan baku
obat baik bahan aktif maupun bahan tambahan diperkirakan sebesar 25-30% dari
seluruh total biaya produksi obat (Permenkes, 2013).
Sampai saat ini sebagian besar perusahaan farmasi di Indonesia hanya
melakukan formulasi produk akhir menjadi sediaan farmasi, sedangkan bahan
bakunya 96% baik untuk bahan aktif (active pharmaceutical ingredients ; API)
maupun bahan pembantu (excipient) masih didatangkan dari luar negeri.
Ketergantungan industri farmasi nasional sebagai salah satu tulang punggung
bidang kesehatan terhadap bahan baku obat impor hingga saat ini sangat
Page | 7
mengkhawatirkan dan dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan Program
Kesehatan Nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan manusia Indonesia.
Pemerintah menyadari kesulitan mendasar industri farmasi dalam negeri yaitu
pengadaan bahan baku yang masih tergantung dari luar negeri sementara untuk
mengadakan riset bahan baku membutuhkan biaya yang besar dengan teknologi
yang tinggi. Hingga saat ini ketergantungan industri farmasi nasional terhadap
bahan baku impor masing sangat tinggi, hampir keseluruhan dari 851 item bahan
aktif dan 441 bahan pembantu diimpor oleh Indonesia (Permenkes, 2013).
Perusahaan farmasi di Indonesia yang memproduksi bahan baku obat pada
umumnya juga tidak memproduksi sendiri semua bahan baku antara
(intermediate) yang diperlukan, melainkan juga mengimpor intermediate dari
negara lain terutama China, India, Eropa dan Amerika. Dengan demikian bahan
baku obat yang diproduksi di Indonesia merupakan proses produksi tahap akhir
saja (Permenkes, 2013).
Page | 8
pada pelaksanaannya akan sangat tergantung pada kebijaksanaan negara
pengekspor bahan baku obat tersebut (Permenkes, 2013).
Untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang bahan baku obat terlebih
dahulu perlu didefinisikan dari maksud kemandirian tersebut. Kemandirian
dapat didefinisikan sebagai berikut:
a. Kemandirian, dalam arti obat yang dibutuhkan, diproduksi dengan
menggunakan bahan baku yang diproduksi di dalam negeri;
b. Kemandirian sektor dimana apabila jumlah volume impor sebanding
dengan volume ekspor;
c. Kemandirian untuk bahan obat tertentu dimana Indonesia sudah dapat
memproduksi bahan obat tertentu baik untuk bahan baku obat yang
harganya sangat mahal dan sangat berharga serta belum dapat diproduksi
oleh negara lain atau dapat membuat sendiri bahan baku obat tertentu yang
dibuat dengan proses tertentu seperti pengembangan bioteknologi.
(Permenkes, 2013)
2. Perkembangan pasar farmasi di Indonesia
Indonesia merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN, di masa
yang akan datang industri farmasi di Indonesia akan terus berkembang dengan
pesat. Pertumbuhan terutama dipacu oleh kenaikan volume konsumsi obat
oleh masyarakat serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat dan bukan
dikarenakan oleh peningkatan harga obat. Pertumbuhan industri farmasi
Indonesia pertahun berkisar antara 10-14% per tahunnya. Selanjutnya
diperkirakan pertumbuhan ini akan terus meningkat sejalan dengan
implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. Oleh karena
itu, sektor kefarmasian akan semakin strategis karena akan mempengaruhi
ketahanan nasional (Permenkes, 2013).
Persaingan dalam industri farmasi semakin ketat dimana diversifikasi produk
semakin banyak dilakukan perusahaan farmasi besar. Persaingan di segmen
consumer health (obat bebas, minuman berenergi, nutrisi) diperkirakan akan
semakin berat. Di sisi lain, regulasi pemerintah yang melarang perusahaan
farmasi asing untuk menjual produknya di Indonesia tanpa memiliki fasilitas
Page | 9
produksi di Indonesia serta ketatnya regulasi pemerintah mengenai standar
kualitas menimbulkan barrier to entry di industri farmasi (Permenkes, 2013).
3. Globalisasi Industri Farmasi
Industri farmasi termasuk industri padat pengetahuan (knowledge-based
industry). Industri farmasi merupakan salah satu industri yang mempunyai
peranan penting dalam mempengaruhi kesehatan masyarakat, antara lain
memperbaiki kesehatan masyarakat, memproduksi berbagai macam obat
untuk mengatasi berbagai penyakit, mempengaruhi pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan. Industri farmasi sangat berperan aktif dalam “global brain
evolution”, penemuan obat – obat inovasi yang baru dari industri farmasi akan
memberikan manfaat dalam upaya perbaikan kesehatan manusia (Permenkes,
2013).
Kendali kekuatan utama globalisasi industri adalah:
a. Persaingan yang ketat terutama karena hadirnya teknologi baru pada level
global dan tingginya biaya R&D;
b. Harmonisasi regulasi farmasi yang menghilangkan hambatan teknis
(technical barrier) dalam perdagangan yang memudahkan perusahaan
memperoleh akses di pasar regional;
c. Tekanan pemerintah berkaitan dengan masalah harga obat mendorong
globalisasi pemasaran.
Page | 12
5. Belum sinerginya Academica-Business-Government (ABG).
Selama ini tenaga ahli Indonesia baik dari lembaga penelitian maupun
lembaga pendidikan sudah melakukan berbagai penelitian terkait dengan
pengembangan bahan baku obat ini hanya masih terbatas dalam skala
laboratorium maupun pilot. Hasil penelitian yang dilakukan seringkali tidak
dapat dimanfaatkan secara komersial hingga dikembangkan sampai skala
industri karena kurang diminati oleh kalangan bisnis bahkan dianggap tidak
menguntungkan.
6. Kurang fokusnya penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada
pengembangan bahan baku obat kimia, herbal, dan bioteknologi. Selain itu
penelitian dan pengembangan bahan baku obat alam belum berorientasi pada
peningkatan nilai tambah dan optimalisasi kualitas produk.
7. Kurangnya pemutakhiran teknologi terapan produksi bahan baku obat (kimia,
herbal, bioteknologi.
8. Kurangnya promosi peluang investasi bidang produksi bahan baku di
Indonesia.
9. Pasar bahan baku nasional yang relatif kecil dibandingkan dengan kapasitas
minimal produksi untuk satu industri bahan baku obat sehingga tidak akan
dapat memenuhi skala ekonomi. Walaupun dapat dibuat secara lokal dari segi
ekonomis tidak akan kompetitif. Sementara produsen bahan baku dari China
dan India sudah jauh lebih maju dan sangat ekonomis.
(Permenkes, 2013)
Page | 13
1. Mengembangkan kebijakan/regulasi yang berpihak pada pengembangan bahan
baku obat.
Jika ingin mengembangkan bahan baku obat di Indonesia, maka pemerintah
harus membuat regulasi yang mengatur bagaimana caranya agar para pelaku
usaha industri farmasi mengurangi impor bahan baku obat dari luar negeri,
misalnya dengan membatasi impor bahan baku dari luar negeri. Peraturan lain
misalnya dengan memberikan bea pajak yang tinggi dan persyaratan yang
ketat bagi importir bahan baku obat.
2. Meningkatkan sinergitas Academica-Business-Government (ABG)
Permasalahan kurangnya koordinasi/sinergitas ABG merupakan masalah
klasik. Di satu sisi peneliti ingin terus berkarya melakukan penelitian
mengenai bahan baku obat. Di sisi lain, pemerintah tidak dapat memenuhi
kebutuhan penelitian, seperti terbatasnya dana dan kurangnya fasilitas
penelitian tidak didukung. Selain itu, para pelaku usaha juga kurang
memanfaatkan hasil penelitian dengan alasan ekonomis. Tentu semua itu
harus dicarikan solusi agar iklim penelitian di negara Indonesia setiap tahun
meningkat dan berkembang. Fasilitas mendukung penelitian baik dari aspek
pendanaan maupun penyediaan fasilitas penelitian. Pendanaan dan penyediaan
fasilitas penelitian dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pihak swasta
(sponsor) terkait sehingga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pelaku
usaha industri farmasi.
3. Menguatkan riset di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada
kebutuhan.
Pengembangan riset bahan baku obat itu harus dimulai dengan melakukan
kajian resiko terlebih dahulu, kemana arah penelitian yang nanti akan
dikembangkan??apakah bahan baku obat hasil sintesis dari bahan kimia??atau
lebih mengembangkan bahan baku obat berasal dari herbal?? Kemudian,
produk bahan baku obat apa yang akan lebih diprioritaskan untuk
dikembangkan??apakah parasetamol (sebagai pereda nyeri) atau antibiotika
sejuta umat, sperti amoksisilin??
Page | 14
Dari contoh pertanyaan di atas, peneliti dan pemerintah serta pelaku usaha
harus saling bekerja sama agar penelitian yang dilakukan tidak bercabang dan
sejalan dengan program pemerintah terkait dengan kesehatan.
4. Meningkatkan kemampuan IPTEK
a. Pengembangan standar.
b. Efisiensi teknologi produksi.
c. Up date teknologi produksi bahan baku obat.
d. Produksi skala laboratorium.
e. Peningkatan kapasitas produksi berskala komersial sehingga dapat
meningkatkan nilai ekonomis.
5. Meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan Sumber Daya
Alam (SDA), dan bioteknologi.
Hal ini dapat dilakukan oleh pihak industri farmasi. Industri farmasi
seharusnya lebih meningkatkan kemampuan riset untuk mengembangkan
sintesis bahan baku obat, jangan hanya mengembangkan riset tentang
formulasi obat dan produk jadi yang sudah ada di pasaran saja.
Di sisi lain, industri farmasi dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk
dijadikan bahan baku obat. Selain itu, peluang untuk mengembangkan
bioteknologi sangat besar mengingat saat ini di Indonesia, masih sedikit
industri farmasi yang mengembangkan produk-produk biologi (vaksin, serum,
dll).
Pengembangan bahan baku obat di Indonesia dapat dilakukan oleh BUMN
maupun perusahaan swasta melalui model:
a. Mandiri, dilakukan secara mandiri dengan menggunakan sumber daya
industri tersebut.
b. Joint venture (kemitraan).
c. Fasilitasi pembiayaan dari pemerintah melalui penyertaan modal
pemerintah kepada BUMN sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang
berlaku.
Page | 15
F. REGULASI/KETENTUAN YANG DIPERLUKAN
Saat ini, regulasi yang mendukung pengembangan bahan baku obat belum
tersedia di Indonesia. Padahal dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
pada pasal 99 menyebutkan bahwa “Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan sediaan farmasi”. Namun, regulasi yang ada mengenai bahan baku
obat adalah tentang tata cara impor bahan baku obat, bagaimana cara
pengamanannya (PP No. 72 Tahun 1998), dan cara pengawasannya oleh
pemerintah (PerKa Badan POM No. 13 Tahun 2015). Oleh karena itu, penting
bagi pemerintah Indonesia agar membuat regulasi yang berpihak pada
pengembangan bahan baku obat, seperti :
1. Pembatasan atau peniadaan impor bahan baku obat yang dilakukan oleh
industri farmasi atau importir bahan baku obat (PBBBF).
2. Pengenaan bea cukai yang besar bagi industri atau PBBBF yang mengimpor
bahan baku obat.
3. Kewajiban khusus bagi industri farmasi di Indonesia, agar dapat
mengembangkan riset tentang bahan baku obat. Jika suatu industri farmasi
tidak sanggup mengembangkan sendiri, maka dapat membentuk kemitraan,
baik dengan pemerintah maupun dengan swsata lainnya.
4. Kemudahan dan percepatan perizinan dalam pembuatan industri bahan baku
obat.
5. Regulasi tentang fasilitasi pembiayaan dari pemerintah melalui penyertaan
modal pemerintah kepada BUMN atau swasta (pinjaman).
6. Regulasi khusus untuk pengembangan riset bahan baku obat dengan
kementrian/lembaga dan negara lainnya.
7. Regulasi tentang inisiasi pembentukan Pusat Riset Nasional-Bahan Baku
Obat.
8. Regulasi tentang promosi investasi produksi bahan baku obat (kebijakan tata
niaga bahan baku obat).
Page | 16
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Upaya Penguatan Bidang Industri Farmasi dan Sarana Distribusi
untuk Mendukung Ketersediaan Obat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dipresentasikan pada : Sosialisasi peraturan Perundang-undangan Bidang
kefarmasian dan Alat Kesehatan. Batam : 10 Desember 2015.
Kardono, L.B.S. 2001. Developing Pharmaceuticals Suitable for Indonesian
Pharmaceutical Industries, Workshop on Developments in Drugs and
Pharmaceutical Technology. Indian Institute of Technology, November 6-
10, 2001, Hyderabad, India.
Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia No. 87 Tahun 2013 tentang Peta jalan
Pengembangan Bahan Baku Obat. Ditetapkan pada tanggal 24 Desember
2013.
Slamet, Lucky S. 2016. Pengembangan Industri Bahan Baku Obat dalam
Menunjang Penyediaan Obat di Indonesia. Dipresentasikan pada : Kuliah
Regulasi dan Etika Farmasi, Program Pascasarjana Universitas Pancasila.
Jakarta : 9 Januari 2016.
Sparinga, Roy A. Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia. Disampaikan
pada : Workshop Pengembangan Bahan Baku Obat Berbasis Sumber Daya
Lokal. Jakarta, 21 April 2010.
Page | 17