Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

PEMBAHASAN

1. Tahap pengkajian

Pada tahap pengkajian data didapatkan dari rekam medic pasien dan dari kondisi
pasien. Penyusun sedikit mendapat kesulitan dalam mendapatkan data dari keluarga
karena keluarga jarang berkunjung dan pasien kurang kooperatif dengan perawat maupun
petugas kesehatan lain. Adapun upaya yang dilakukan dalam melakukan pengkajian
tersebut adalah:

a. Melakukan pendekatan dan membina hubungan slaing percaya pada pasien agar
pasien lebih terbuka dan lebih percaya kepada perawat

b. Perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik dan pendekatan komunikasi


berbasis budaya pada pasien. Pasien selalu menggunakan bahasa jawa untuk
berkomunikasi, setelah beberapa kali mencoba berinteraksi dengan pasien
menggunakan bahasa jawa pasien mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana
dari perawat. Penelitian yang dilakukan oleh putu gede (2017) menyatakan bahwa
pentingnya memadukan prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa berbasis
budaya lokal, sudah sepatutnya perawt dapat menggunakan prinsip-prinsip tersebut
dengan baik sehingga proses penyembuhan pasien berjlangsung dengan kondusif.

2. Tahap diagnosa keperawatan

Pada kasus ini perawat menegakkan tiga diagosa gangguan jiwa yang utama yaitu

a. Isolasi sosial
Selama pengkajian pasien kurang kooperatif tetapi setelah melakukan pertemuan
beberapa kali klien mulai kooperatif meskipun hanya mau menjawab beberapa
pertanyaan sederhana, serta ditemukan adanya tanda dan gejala isolasi sosial sesuai
dengan tanda gejala dalam teori yang telah dibahas di bab II dimana salah satunya
klien malas berinteraksi dengan orang lain, klien lebih banyak diam tidak mau
berkomunikasi dengan orang lain, kontak mata kurang, klien kurang spontan,
berbicara dengan suara rendah dan lambat, mengisolasi diri, klien tidak bersemangat,
klien juga menolak tindakan pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan tanda-tanda
vital. Namun setelah beberapa kali pertemuan pasien mau dilakukan pemeriksaan
kesehatan.
Menurut Hawari (2012) Salah satu dampak yang terjadi pada penderita skiofrenia
adalah menjalin hubungan sosial yang sulit. Hal ini dikarenakan skizofrenia merusak
fungsi sosial penderitanya. Serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Jalil
(2015) didapatkan hasil faktor yang paling dominan mempengaruhi penurunan
kemampuan perawatan diri adalah isolasi sosial (ρ value 0,001).

b. Halusinasi
Menurut Muhammad Sulthon (2018) gangguan proses (arus pikir) inkoheren
mengarah pada masalah dimana klien skizofrenia hebefrenik tidak mampu
memproses dan mengatur pikirannya yang berdampak pada pola komunikasi yang
buruk atau inkoheren sehingga makna pembicaraan sulit untuk dipahami dan
dimengerti. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah sosial yang
memperburuk/memperparah kondisi klien jika gangguan pola komunikasi tersebut
tidak diketahui dan dipahami oleh orang di sekitar klien. Menurut Nurya (2019)
menyatakan dalam hasil penelitiannya didapatkan sebagian besar (60,4%) klien
mengalami halusinasi pendengaran, 7% mengalami halusinasi penglihatan dan
halusinasi pendengaran disertai penglihatan. Halusinasi dominan pada klien
skizofrenia hebefrenik adalah halusinasi pendengaran (60,4%). Abdul jalil (2015)
juga menyatakan adanya hubungan antara halusinasi dengan penurunan kemampuan
perawatan diri dengan signifikansi 0,006. Dan hasil analisis tabel silang menunjukkan
79,8% klien yang mengungkapkan pengalaman halusinasi juga menunjukkan
penurunan kemampuan perawatan diri. Halusinasi terjadi karena adanya peningkatan
kecemasan, menarik diri, dan stres berat yang mengancam ego yang lemah. Dampak
dari halusinasi, klien mnjadi menunjukkan respon yang tidak tepat, disorientasi,
kurang konsentrasi dan distorsi sensori, gangguan dalam mengorganisis informasi
(Townsend, M.C, 2011)
Kondisi pasien saat ini adalah pasien tampak sesekali bicara sendiri, dan ketika
ditanya oleh perawat dengan siapa ia berbicara pasien belum mau mengatakan isi
halusinasinya. Pasien sering bertaka “tidak boleh” ketika akan dilakukan tindakan
pengobatan pada pasien seperti pemeriksaan tanda-tanda vital, fisioterapi, perawatan
diri, dan lain-lain.

c. Defisit Perawatan Diri


Dalam hasil penelitian Abdul Jalil (2015) dikatakan bahwa pasien skizofrenia
yang mengalami isolasi sosial juga akan mempersulit klien melakukan perawatan
diri. Hasil penelitian ini menunjukkan variabel isolasi sosial memberikan pengaruh
2,755 kali lipat dapat mempengaruhi terjadinya defisit perawatan diri. Diketahui
93,8% klien yang menunjukkan perilaku isolasi sosial juga mengalami penurunan
kemampuan perawatan diri. Kondisi isolasi sosial mengakibatkan klien fokus pada
dirinya dan kurang minat dalam kegiatan realita seperi perawatan diri, kecemasan
akan meningkat seiring dengan kognitif klien yang semakin tegang yang dapat
mempengaruhi emosionalnya. Hal ini dapat menurunkan rentang perhatian klien
terhadap realita termasuk dalam melakukan perawatan diri.
Pada saat pertama kali bertemu dengan pasien, pasien tampak tidak rapi, baju
kotor, rambut panjang dan berantakan, cara makan yang tidak baik dan BAB BAK
kurang tepat.

3. Tahap Perencanaan Tindakan Keperawatan

Tahap perencanaan yang telah direncanakan untuk pasien meliputi tiga diagnosa
utama yaitu:

a. Isolasi sosial

 Identifikasi penyebab isolasi sosial


 Identifikasi tanda dan gejala isolasi sosial
 Idenntifikasi keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi
 Ajarkan klien berkenalan dengan satu orang
 Melatih klien berinteraksi dengan perawat dan teman/orang lain
 Klien menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan perawat lain dan orang
lain
 Memberikan reinforcement positif terhadap kemampuan klien

b. Halusinasi

 Identifikasi isi, jenis, frekuensi halusinasi


 Identifikasi respon klien saat halusinasi muncul
 Ajarkan cara mengontrol halusinasi : menghardik
 Ajarkan pasien mengontrol halusinasi : minum obat
 Ajarkan pasien mengontrol halusinasi : bercakap-cakap
 Ajarkan pasien mengonrtrol halusinasi: aktivitas terjadwal

c. Defisit Perawatan Diri

 Identifikasi masalah perawatan kebersihan diri


 Jelaskan pentingnya menjaga perawatan diri
 Identifikasi kemampuan merawat diri
 Ajarkan cara perawatan diri: mandi
 Ajarkan cara perawatan diri : berdandan
 Ajarkan cara perawatan diri : makan dan minum yang baik
 Ajarkan cara perawatan diri : BAB dan BAK yang baik
4. Tahap Implementasi

Pada tahap implementasi perawat mengalami kesulitan untuk menerapkan semua


tindakan yang direncanakan karena pasien masih belum kooperatif, namun setelah beberapa
kali pertemuan pasien mulai kooperatif pada perawat. Pasien mulai mau menjawab beberapa
pertanyaan sederhana dari perawat, berkenalan dengan 2-3 orang perawat dan berbincang
sedikit dengan perawat meskipun pembicaraannya melantur dan kurang terarah. Perawat
memberikan reinforcement positif pada pasien atas kemampuan yang telah dicapai. Menurut
Maftuhah dan Noviekayati (2020) penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dan membangun komunikasi efektif dengan orang-orang disekitarnya karena
merasa ditolak oleh lingkungan sehingga menarik diri dari lingkungan sosial. Kemampuan
interaksi sosial penderita skizofrenia meningkat setelah diberikan terapi dengan teknik
reinforcement positif kecenderungan stabilitas menunjukkan arah dari variable menuju stabil.
teknik reinforcement positif di berikan dengan metode behavior terapi dengan tujuan merubah
perilaku subyek yang semula menarik diri dari lingkungan sosial menjadi lebih terbuka dalam
menjalin interaksi sosial.

Pada implementasi keperawatan halusinasi, perawat belum dapat mengidentifikasi jenis,


isi, frekuensi halusinasi, dan respon pasien saat halusinasi muncul. Pasien belum mau
mengatakan isi halusinasinya ketika ditanya oleh perawat. Pasien hanya berkata “tidak boleh”
dalam bahasa jawa.

Selanjutnya pada implementasi defisit perawatan diri, saat ini pasien sudah mau mandi
meskipun belum memakai shampoo, pasien berdandan seperti menyisir rambut dan memakai
bedak dibantu oleh perawat. Saat ini pasien sesekali dapat makan secara mandiri, namun
masih harus dibantu oleh perawat. Untuk kegiatan toileting pasien beberapa kali mampu
melakukan secara mandiri namun terkadang harus dibantu oleh perawat atau teman
seruangannya. Penampialan pasien saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya pakaian bersih,
rambut rapi, dan mulai mampu makan dan melakukan kegiatan toileting secara mandiri.

5. Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, pada hari ke 17 perawatan
pasien mulai mau untuk berinteraksi dengan 2-3 orang perawat dan pasien mau untuk
menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat. Namun pasien belum mampu
memahami penyebab isolasi sosial, tanda dan gejala isolasi sosial, keuntungan bersosialisasi
serta kerugian tidak bersosialisasi.

Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan halusinasi, pada hari ke 17 perawatan pasien
tampak sesekali bicara sendiri, bicara melantur, dan belum mau mengatakan isi halusinasinya.
Pasien belum mampu menerapkan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, bercakap-
cakap dan aktivitas terjadwal. Saat ini pasien dibantu oleh perawat dalam meminum obat.
6. Terapi Yang Dapat Dilakukan pada Pasien Skizofrenia Hebefrenik dan Isolasi Sosial

Ada beberapa terapi dan metode yang dapat diterapakan pada pasien skizofrenia
hebefrenik dan Isolasi Sosial berdasarkan hasil riset dan penelitisn. Antara lain:

a. Penerapan Social Skill Training Dengan Menggunakan Pendekatan Teori


Hildegard Peplau Terhadap Penurunan Gejala Dan Kemampuan Pasien Isolasi
Sosial
Penerapan Terapi Social Skill Training merupakan terapi yang digunakan untuk
mengatasi masalah isolasi sosial pasien skizofrenia. Kemampuan personal yang harus
dimiliki klien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini sesuai
dengan pendapat Stuart (2009) bahwa klien harus mempunyai kemampuan dalam
mengatasi masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau mengidentifikasi masalah,
menentukan masalah yang akan diatasi, dan kemampuan menyelesaikan masalahnya.
Asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial dengan pemberian Social Skill Training
(SST) menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, penegakan diagnosa
keperawatan, menetapkan rencana tindakan keperawatan, melakukan tindakan
keperawatan dan melakukan evaluasi terhadap hasil dari tindakan yang sudah dilakukan.
Social Skill Training (SST) bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan interpersonal
klien maupun menjalin persahabatan pada orang lain dengan cara melatih ketrampilan
yang selalu digunakan dalam berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. Aplikasi
teori interpersonal Peplau digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan dengan
tujuan dapat membantu meningkatkan keterampilan kognitif, perilaku dan berkomunikasi
pada klien isolasi sosial (Peplau, dalam Jek Amidos, dkk. 2020). Model teori Peplau
menggunakan 4 fase dari hubungan perawat dan klien yaitu orientasi, identifikasi,
eksploitasi dan resolusi (Aligood, dalam Jek Amidos, dkk. 2020). Fase orientasi lebih
difokuskan untuk membantu klien menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya
terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian
asuhan keperawatan pada klien. Perawat harus menempatkan klien dengan penuh
perasaan dan secara sopan serta menerima keberadaan klien apa adanya sebagai manusia
yang utuh Fase ini diharapkan klien menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan
atau bantuan dari perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat
menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah klien (Peplau,
dalam Jek Amidos, dkk. 2020)

b. Expressive Writing Therapy dan Kemampuan Pengungkapan Emosi Pasien


Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik menekan fungsi normal seperti apatis dan aktivitas sosial
yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas intervensi expressive
writing therapy untuk meningkatkan kemampuan pengungkapan emosi kepada klien
skizofrenia hebefrenik. expressive writing therapy cukup efektif sebagai media untuk
meningkatkan kemampuan pengungkapan emosi dan perasaan yang terpendam. Hal ini
bisa diketahui dari hasil sebelum dan sesudah pemberian expressive writing therapy.
Sebelum diberikan terapi, subjek merasa tidak mampu mengungkapkan atau bercerita
tentang apa yang dirasakan kepada orang lain. Secara teoritis, expressive writing therapy
adalah suatu cara atau upaya pemindahan pikiran dan perasaan yang mendalam mengenai
peristiwa yang menimbulkan emosi pada seseorang ke dalam bentuk lambang bahasa
melalui tulisan tangan. Dukungan keluarga merupakan faktor utama bagi subjek karena
diharapkan mampu membantu proses pemulihannya. Salah satunya dengan cara
memberikan perhatian yang cukup kepada subjek dan memberikan ia kesempatan untuk
mengutarakan atau menyampaikan isi pikirannya. Ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan apabila melakukan expressive writing therapy yaitu tempat, waktu
pelaksanaan intervensi yang kurang panjang, karakteristik dan kesediaan subjek dalam
melakukan proses intervensi (Risna dan Tatik, 2020).

c. Terapi Kognitif Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan Isolasi


Sosial
Banyak pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial. Hal ini disebabkan
oleh ketidakmampuan individu untuk melaksanakan peran sesuai dengan tugasnya karena
mengalami gangguan jiwa, juga lingkungan yang kurang bisa menerima (Rani, ddk.
2020). Perilaku ketidakmampuan dalam berinteraksi merupakan percobaan menghindari
hubungan dengan orang lain. Dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak bisa berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Ketidakmampuan
berinteraksi dengan orang lain sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari,
membuat seseorang cenderung berpikir negatif tentang dirinya dan lingkungannya.
Sehingga orang menjadi menarik diri, malas beraktifitas, tidak mampu mengatasi
masalah, rasa malu dan bersalah yang berlebihan, yang berakibat pada isolasi sosial
(Anityo, 2013).
Adanya terapi kognitif mempengaruhi kemampuan dalam melakukan interaksi
dengan orang lain. Sehingga responden tidak apatis, wajah berseri, peduli akan dirinya
saat berinteraksi, ekspresi tidak terlihat murung, tidak menghindar dari orang lain, ada
kontak mata, dan tidak menunduk, tidak berdiam diri pada tempat terpisah, mampu
berhubungan dengan orang lain, sudah adanya respon saat berinteraksi, serta komunikasi
ada. Proses terapi kognitif bertujuan untuk mengubah keyakinan yang tidak rasional dan
mengubah fungsi berpikir pasien kearah yang positif dan akhirnya menimbulkan perasaan
yang menyenangkan (Rani, ddk. 2020).
Menurut Berhimpong (2016), mengatakan bahwa terapi kognitif memberikan
dasar pikiran pada pasien untuk mengerti masalahnya, memiliki kata-kata untuk
menyatakan dirinya serta mampu mengatasi keadaan yang sulit. Terapi kognitif juga
salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada patologi jiwa dimana berfokus pada
tindakannya berdasarkan modifikasi distorsi kognitif dan perilaku maladaptif. Dalam
proses pelaksanaan terapi kognitif melibatkan perhatian dan kesungguhan pasien dalam
mengikuti terapi ini. Kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia dengan masalah isolasi
sosial sebelum dilakukan terapi kognitif mayoritas tidak mampu berinteraksi.
Kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia dengan masalah isolasi sosial setelah
dilakukan terapi kognitif mayoritas mampu berinteraksi. Kemudian ada pengaruh
signifikan terapi kognitif terhadap kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia dengan
masalah isolasi sosial (Rani, ddk. 2020).

d. Psikoterapi Suportif Pada Penderita Skizofrenia Hebefrenik


Penelitian yang dilakukan Anisa (2018) menunjukkan bahwa psikoterapi suportif
dapat membantu penderita skizofrenia hebefrenik mempersiapkan diri untuk kembali
menjalankan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat perubahan dalam aspek
pikiran, perasaan, dan perilaku yang lebih adaptif sehingga dapat menurunkan
kemungkinan kekambuhan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa psikoterapi
suportif akan lebih efektif jika melibatkan peran keluarga secara aktif.
Menurut (Ibrahim, dalam Anisa. 2018), tipe skizofrenia hebefrenik seringkali
ditandai dengan adanya regresi yang dapat dilihat secara langsung, munculnya perilaku-
perilaku primitif dan perilaku yang tidak teratur. Penderita skizofrenia hebefrenik
seringkali terlihat aktif, tertawa tanpa alasan, menyeringai, akan tetapi perilakunya tidak
konstruktif dan tampak tidak memiliki tujuan. Isi pikir dan arus pikirnya sangat
terdisorganisasi, terlihat sangat menonjol dan kemampuan kontak dengan kenyataan
cenderung buruk.
Terapi suportif adalah bentuk psikoterapi yang dapat diterapkan secara individu
maupun kelompok. Tujuan dari terapi ini adalah untuk melakukan evaluasi diri, melihat
kembali cara menjalani hidup, eksplorasi berbagai pilihan yang ada, dan mengajukan
pertanyaan pada diri sendiri terkait halhal yang diinginkan di masa depan (Palmer, 2011).
Terapi suportif berupaya untuk membantu agar subjek dapat menjalankan fungsinya
secara lebih efektif dengan cara memberikan dukungan secara personal. Terapis tidak
meminta subjek berubah, akan tetapi terapis berperan sebagai pendamping. Terapis
mendorong subjek untuk melakukan refleksi situasi terhadap kehidupan mereka di
lingkungan.
Beberapa kegiatan dapat digunakan untuk memperkuat subjek saat menghadapi
tekanan, seperti kegiatan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Terapis juga akan
membantu subjek agar mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai situasi dan
berbagai alternatif yang ada serta membantu meningkatkan ketahanan dan harga diri.
Subjek akan didorong untuk mencapai harapanharapannya. Subjek juga dibantu untuk
dapat membuat keputusan dan beradaptasi dengan lingkungan atau situasi-situasi yang
mungkin mengecewakan dan tidak sesuai dengan harapan. Sebelum melaksanakan proses
terapi, terapis akan melakukan asesmen mendalam terhadap latar belakang dan perilaku
subjek. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan saling percaya antara terapis dan subjek
sangatlah penting. Terapi suportif ini dapat diberikan dalam jangka panjang maupun
jangka pendek. Banyaknya sesi terapi yang dibutuhkan tergantung pada keadaan dan
tingkat permasalahan (Mutiara, 2017).

Anda mungkin juga menyukai