Oleh :
Erlyn Merika Kusuma Putri G991905021
Pembimbing Residen
Disusun Oleh :
Erlyn Merika Kusuma Putri G991905021
Pembimbing
I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
1. Nama Pasien : Ny.R
2. Usia : 19 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Belum Menikah
5. Pekerjaan : Pelajar
6. Alamat : Surakarta
7. Tanggal Masuk : 8 Mei 2020
8. Tanggal Periksa : 8 Mei 2020
9. No RM : 054xxx
B. Data Dasar
1. Keluhan utama
Lemas
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan Lemas. Keluhan ini dirasakan
sejak pasien pulang dari rawat inap seminggu SMRS (01/05/2020). Pasien
juga mengeluhkan bengkak pada kedua ekstremitas bawah sejak beberapa hari
terakhir. Pasien merasa semakin lemah sehingga mengganggu aktifitas pasien
dan pasien merasa tidak kuat untuk berdiri serta kepala pusing.
1
mengalami kerontokan rambut dan demam yang hilang timbul. Riwayat
perdarahan disangkal. Mual (-) muntah (-) sesak (-) batuk(-) nyeri kepala (-)
BAK dan BAB dalam batas normal, terdapat memar pada kulit di bagian
tangan dan kaki. Keluhan seperti penglihatan kabur, telinga berdenging, dan
nyeri sendi pada kaki dan tangan juga disangkal. Riwayat memakai obat-
obatan dalam jangka waktu panjang atau sedang mengalami kemoterapi
maupun radioterapi disangkal.
5. Riwayat kebiasaan :
2
Memakai obat-obatan : Disangkal
suntik
6. Riwayat gizi :
Pasien sehari-hari makan sebanyak 3 kali sehari. Porsi untuk sekali makan
± 10-12 sendok makan dengan nasi, lauk-pauk, sayur dan buah-buahan,
namun ketika pasien jatuh sakit pasien mengalami penurunan nafsu makan.
2. Tanda vital
3. Status gizi
a. Berat badan : 45 kg
b. Tinggi badan : 158 cm
c. IMT : 18,02 kg/m2
3
d. Kesan : underweight
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), pucat (+), lebam (+)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-),
luka (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
gatal (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-), lidah kotor (-),
12. Jantung
4
a. Inspeksi: Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
medioclavicularis sinistra 1 cm ke medial
c. Perkusi :
Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas: 2 cm SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah: SIC V linea medioclavicularis sinistra
Kesimpulan: Batas jantung kiri kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler murmur (-).
13. Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC V linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut paru
hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V linea
medioclavicularis sinistra.
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi
5
(-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
Auskultasi
14. Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen sejajar dengan dinding thorak,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), papul (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 14 x/menit, bruit hepar (-),
bising epigastrium (-)
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepar tidak
6
membesar
Palpasi : Supel, turgor menurun (-), nyeri tekan (+),
distended (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-), hepatomegaly(+)
15. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Oedem _ _
_ _ + +
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (+/+), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak
(-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin(-/-), ikterik
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubing finger
(-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/+), deformitas
(-/-), paresthesia (-)
III.Diagnosis Banding
a. Anemia Aplastik
b. Sindrom Mielodisplasia tipe hipoplastik
7
PDW 11.6 fL 9-13.0
MPV 8.8 fL 7.2-11.1
Hitung Jenis
Limfosit 7.5 % 20-40
Monosit 6.7 % 0-7
Neutrofil 85.5 % 55-80
Eosinofil 0.0 % 0-4
Basofil 0.3 % 0-2
Neutrofil Lymphocyte Ratio 12.85 <3.13
Absolute Lymphocyte Count 510 /uL >1500
HFLC 0.3 %
Hitung Jenis
Limfosit 11.3 % 20-40
Monosit 7.7 % 0-7
Neutrofil 80.6 % 55-80
Eosinofil 0.0 % 0-4
Basofil 0.4 % 0-2
Neutrofil Lymphocyte Ratio 6.52 <3.13
Absolute Lymphocyte Count 590 /uL >1500
HFLC 0.5 %
Kimia Klinik
AST(SGOT) 897.0 U/L 0-34
ALT(SGPT) 257.0 U/L 8-34
Imunoserologi
Anti SARS-COV (IgG) Non Reaktif Non Reaktif
Anti SARS-COV (IgM) Non Reaktif Non Reaktif
8
C. Morfologi Darah Tepi (08 Mei 2020) di RS UNS
9
Darah lengkap
Hemoglobin 11.0 g/dL 12.1-17.6
Leukosit 6.55 10^3/uL 4.5-11
Trombosit 167 10^3/uL 150-450
Eritrosit 4.27 10^6/uL 3.9-5.3
Hematokrit 32.9 % 34-40
MCV 77.0 fL 79.0-99.0
MCH 25.8 pg 27.0-31.0
MCHC 33.4 % 33.0-37.0
RDW-CV 27.9 % 11.5-14.5
PDW 12.7 fL 9-13.0
MPV 9.5 fL 7.2-11.1
Hitung Jenis
Limfosit 9.0 % 20-40
Monosit 8.5 % 0-7
Neutrofil 82.3 % 55-80
Eosinofil 0.0 % 0-4
Basofil 0.2 % 0-2
Neutrofil Lymphocyte Ratio 9.10 <3.13
Absolute Lymphocyte Count 560 /uL >1500
HFLC 0.5 %
10
Netrofil Segmen : 12
Eosinofil :2
Limfoblast :0
Limfosit :2
Limfosit : 13
Promonosit : 14
Monosit :2
Megakaryosit : 0.3
Pro-eritroblas :1
Eritroblas-basofil :2
Eritroblas Poli : 25
Plasma Cell :1
V. RESUME
1. Keluhan utama
Lemas sejak 1 minggu SMRS
2. Anamnesis
Lemas sejak pasien pulang dari Rawat inap 1 bulan yang lalu
Pusing
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4/V5/M6.
Kesan gizi kurang. Tekanan darah 104/63 mmHg, nadi 130 kali/menit,
11
o
frekuensi nafas 20 kali /menit, suhu 37,2 C.
Adanya oedem pada kedua kaki serta kuku pucat di kedua tangan
4. Pemeriksaan penunjang:
12
Neutrofilia relatif, Monositosis relatif
RDW-CV (↑), MPV (↑)
NLR (↑), ALC (↓)
e. Laboratorium darah (10 Mei 2020) :
Penurunan jumlah Hemoglobin, Hematokrit, Limfosit
Penurunan MCV, MCH
Neutrofilia relatif, Monositosis relatif
RDW-CV (↑)
NLR (↑), ALC (↓)
g. Pemeriksaan crossmatching :
Gol darah O Rh +
Direct Coombs Test +1
VI. Diagnosis
Anemia Aplastik
VII. Tatalaksana
1. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi Methylprednisolone 62,5 mg/12 jam
3. Injeksi Omeprazole 40 mg/ 12 jam
4. Sucralfat syrup 1cc/8 jam PO
5. Curcuma tab/8 jam
6. Asam Folat 1mg/24 jam
VIII. Prognosis
13
IX. Usulan Pemeriksaan Laboratorium
1. Evaluasi darah lengkap
2. Pemeriksaan Retikulosit
3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal (Ur, Cr)
4. Evaluasi BMP
5. Evaluasi Morfologi darah tepi
14
BAB II
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, seorang perempuan datang dengan keluhan lemas sejak 7
hari SMRS. Lemas yang dirasakan pasien terus menerus hingga akhirnya pasien
sulit untuk berdiri serta mengganggu aktifitas sehari-hari pasien. Pasien juga
mengeluhkan nafsu makannya semakin menurun dan semakin lemah. Pasien juga
mengeluhkan bengkak di kedua kaki dalam waktu yang bersamaan. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala. Pasien memiliki riwayat rawat inap di RS UNS dengan
DHF pada akhir bulan April 2020. Pasien mengeluhkan rambutnya rontok dan
demam yang hilang timbul. Riwayat perdarahan disangkal oleh pasien. Pasien
tidak mengalami mual dan muntah saat makan, dan pasien juga tidak merasakan
batuk maupun sesak. BAK dan BAB dalam batas normal, namun terdapat memar
pada kulit di bagian tangan dan kaki. Keluhan seperti penglihatan kabur, telinga
berdenging, dan nyeri sendi pada kaki dan tangan juga disangkal. Riwayat
memakai obat-obatan dalam jangka waktu panjang atau sedang mengalami
kemoterapi maupun radioterapi disangkal.
Lemas merupakah salah satu manifestasi klinis tersering yang terjadi pada
pasien dengan anemia. Anemia merupakan keadaan dimana massa eritrosit dan
atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. WHO menetapkan cut off point untuk
menyatakan kondisi anemia berdasarkan jenis kelamin dan rentang usia. Pasien
dikatakan anemia apabila Kadar Hemoglobin pada laki-laki dewasa < 13g/dl serta
kadar hemoglobin pada perempuan dewasa yang tidak hamil < 12g/dl. Hal ini
sesuai dengan kondisi pasien ini, dimana Kadar hemoglobin pasien <12 g/dl
ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium darah. Anemia juga dapat
dikategorikan sesuai dengan derajat keparahannya. Pada pasien ini mengalami
anemia derajat ringan-sedang, dimana ringan ketika Hb 8-9,9 g/dl dan sedang
15
ketika Hb 6-7,9 g/dl.
Selain kondisi lemas, gejala lain yang didapatkan pada pasien Anemia
dibagi berdasarkan sistem organ yang terkena yaitu: Sistem kardiovaskuler ->
lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardia, sesak, angina pectoris dan gagal jantung.
Untuk sistem saraf dapat ditemukan gejala seperti sakit kepala, pusing, telinga
berdenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, serta akral dingin. Hal ini
sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pasien ini, dimana ditemukan adanya
keluhan lemas, sakit kepala, dan takikardia. Selain itu terdapat pucat pada kulit
pasien yang juga merupakan kondisi tersering pada pasien dengan Anemia. Pada
pasien ini didapatkan memar di tangan dan kaki dapat dikarenakan adanya
penurunan produksi eritrosit di sumsung tulang serta hemoglobin yang menurun.
Jika dilihat dari gejala-gejala pasien yaitu didapatkan lemas, mengalami
penurunan nafsu makan, takikardia, demam hilang timbul, sakit kepada serta
ditemukan memar-memar pada kedua tangan dan kaki dapat mengarah pada suatu
keadaan anemia dikarenakan adanya kerusakan jaringan sumsung tulang sehingga
produksi dari sel darah mengalami penurunan. Kemudian pasien dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan Laboratorium darah 07 Mei 2020 didapatkan adanya
penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin dan hematokrit yang menunjukkan bahwa
pasien ini mengalami anemia derajat sedang (Hb 7,5 g/dl) dengan indeks
morfologi eritrosit yaitu anemia mikrositik hipokromik yang terlihat dari
penurunan MCV, MCH dan MCHC serta dari gambaran darah tepi. Netrofilia
relatif menunjukkan adanya reaksi inflamasi. Adanya RDW-CV meningkat dapat
mengarah kepada Anemia defisiensi besi. NLC yang tinggi menunjukan adanya
suatu infeksi yang berat
Pada pemeriksaan Laboratorium darah pro BMP 8 Mei 2020 masih
didapatkan adanya kondisi anemia karena Eritrosit, hemoglobin dan hemarokrit
yang menurun. Adanya limfopenia bisa mengarah kepada infeksi virus. Dalam
perkembangannya pasien mengalami peningkatan enzim transaminase hepar
(SGOT↑, SGPT↑) menunjukkan adanya gangguan dari fungsi hepar yang
didukung oleh adanya hepatomegaly pada pasien. Akan tetapi pada pasien ini
16
hanya mengalami peningkatan enzim hati yang tidak bermanifestasi klinis seperti
ikterik, mual dan muntah serta BAB Dempul seperti yang didapatkan pada kasus
Hepatitis, oleh karena itu kondisi ini dapat dikatakan sebagai transaminitis.
Transaminitis dapat disebabkan karena adanya fatty liver disease, viral hepatitis
serta karena obat-obatan.
Pada pemeriksaan GDT didapatkan adanya morfologi eritrosit berupa sel
ovalosit dimana dapat mengarahkan kepada anemia megaloblastik, adanya sel
stomatosit menunjukkan adanya penyakit hati menahun, dan tear drop cell dapat
mengarah kepada anemia megaloblastik. Hipergranulasi netrofil muncul dalam
keadaan inflamasi dan bersifat toksik. Dari morfologi gambaran darah tepi
didapatkan adanya kondisi anemia karena proses kronik serta infeksi yaitu infeksi
virus yang didukung dengan adanya gambaran monositosis pada leukosit.
Ketika dilakukan pemeriksaan BMP, didapatkan adanya aktifitas
Eritropoetik, Granulopoetik, Trombopoetik, dan Limfopoetik yang cenderung
menurun, serta masih dapat ditemukan adanya megakaryosit dan sel-sel mikroblas
menunjukkan bahwa pasien ini mengalami shift to the left yang menggambarkan
kondisi tubuh pasien untuk melawan infeksi sehingga terdapat sel darah yang
imatur/belum matang di bagian perifer. Dari gambaran BMP didapatkan adanya
kecenderungan suatu hipoplasia. Pada pemeriksaan Direct Coombs Test pasien ini
memiliki nilai +1 yang memiliki kecenderungan mengarah kepada suatu anemia
hemolitik.
Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah
yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-
Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia
menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering
ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit
dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya
mikromegakariosit unilobuler).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik
17
yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau
dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut
juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy
cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya
splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas
sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
Untuk evaluasi terapi, dapat dilakukan evaluasi laboratorium pemeriksaan
darah lengkap untuk mengetahui kondisi pasien sebelum pasien diperbolehkan
pulang
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar
antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic
Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang
berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7
kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5
kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur
lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. 9 Peningkatan insiden ini
diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan
dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti
dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.5
19
Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa2 :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira
50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan,
misalnya anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10
Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x109/l
trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l
Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl
20
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
21
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat
sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia
aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan
menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan
sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar
sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi
tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada
dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).
Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan
2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis
radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan
sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima
transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
22
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13
Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada
seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik
adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah
fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik
misalnya mieleran atau nitrosourea.2
23
Kategori Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah
Menengah
Anti fungal Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Obat Anti neoplasma
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Anti metabolit Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet Tiklopidin
Anti tiroid Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan Klordiazepoxide,
tranquilizer Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Sulfonamid dan turunannya
Anti bakteri Numerous sulfonamides
Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,
furosemide
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
24
Kategori Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah
Menengah
Lain-lain Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia
aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan
resiko rendah.
Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang
paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah
terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan
tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia
aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada
penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter,
dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi
neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia
dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus
dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan
infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi
imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel
dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang.4
25
Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh
hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari
atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.2
Patogenesis11
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik
yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen
toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik
yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang
langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali)
mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien
dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic
sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal
26
ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi,
contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara).
Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik
dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan
pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen
ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis
DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun
mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui
interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram
(apoptosis).
27
rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4
terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang
paling sering dikemukakan.
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,
yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
28
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi
menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah
putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif
terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan
trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah
neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau
trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat
(acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya
produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel
aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya
trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan
mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
29
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar
Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.9
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya
memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic
30
Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran
elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.
Diagnosa
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia
disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas
sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik (lihat tabel 1).
Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai
dengan pansitopenia perifer.
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu
sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat
31
membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada
myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya
poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta
sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada
anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat
granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus
abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik
yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau
dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga
biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali
dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas
sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk
menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk
memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9
32
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik
tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan
kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)
pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-
CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,
siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi
sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang
cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau
beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling
baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien
yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik
dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih
tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik.15
33
Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15
a. Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa
packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit
dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor
acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan
yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.
Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA).
ATG atau ALG diindikasikan pada15 :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang
cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun
dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan
granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan
mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal
dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
34
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. 15 Sebuah
protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
35
imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini
pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari
pada kombinasi ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid
sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini
belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan
lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah
dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi
ATG.15
36
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan
HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan
terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula
kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10
37
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat
mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang.
Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection)
karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow
Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3
dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah
2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit.
Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah
netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik
berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan
respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi
sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara
terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien
mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun
dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak
40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan
menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar
11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum
transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum
38
mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan
dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi
dalam hal conditioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria,
sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang
pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan
selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif,
hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal
yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid
memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat
walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
39
40
DAFTAR PUSTAKA
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9 th ed. Philadelpia-
London: Lee& Febiger, 1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003.
Jakarta. Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al
(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,
2005;190-206.
11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.
i
13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2005.
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
ii