Anda di halaman 1dari 7

Tugas Kajian Puisi

Analisislah puisi berikut!

TANAH KELAHIRAN
(Ramadhan K. H.)
 
seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohonan pina
tembang (pun) menggema di dua kaki,
Burangrang Tangkubanprahu.
 
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.
 
Membelit tangga di tanah merah
Dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
 
Jamrut (itu)di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.

(Priangan Si Jelita, 1965)


 
 
Tugas Fiksi
Rangkum materi tentang topic-topik berikut!
1. Penokohan dan atau Perwatakan
a. Hakiat Pengertian Penokohan dan atau Perwatakan
b. Pembedaan Tokoh {Jenis/klasifikasi Tookoh}
c. Teknik Pelukisan Tokoh
d. Dimensi-dimensi Tokoh
e. Tokoh dan Unsur Intrinsik Lainnya

2. Latar
a. Hakikat Latar
b. Jenis Latar
c. Fungsi Latar

Tugas dan Latihan Analisis Fiksi

Analisislah cerpen “Mulut” karya Putu Wijaya berikut ini!

MULUT
Di kota saya ada seorang perempuan yang tidak punya mulut. Di bawah hidungnya tidak muncul
sepasang bibir. Saya tidak tahu apakah ia punya baris gigi dan lidah di balik wajahnya yang
terkatup itu. Tapi dalam keadaan yang tuna mulut itu ia menimbulkan keadaan yanng khusus.
Warga mempersoalkan kehadirannya tak habis-habis. Apakah ia seorang makhluk yang cantik
atau mengerikan.
Matanya begitu indah, diteruskan oleh hidungnya yang bangir namun tidak terasa
kepanjangan. Kulitnya lembut dan hangat. Seluruh penampilan wajahnya membangun sebuah air
muka yang bagi sebagian orang entah kenapa cantik sekali. Ia dianggap amat mempesona. Kata
para pemujanya itu, tanpa kehadiran sebuah mulut, ia justru berada dalam kecantikan yang
sublim. Karena setiap kami pengagumnya, dengan merdeka dan leluasa dapat menempelkan
dalam angan-angan kami jenis-jenis mulut yang kami sukai pada wajahnya yang bagaikaan
kapstok ajaib itu. Ia begitu luwes bagaikan peragawati Titiek Qadarsih pada masa kejayaanya
diberikan mulut apapun cocok.
Seorang pengagum bibir dower, selalu akan melihat di bawah hidungnya itu bergantung
dua baris daging empuk, bagaikan lintah yang sudah kenyang. Tebal, menggantung dan penuh.
Sebaliknya penikmat bibir tipis tak sulit untuk menempelkan dalam angan-angannya bidang-
bidang kue lapis yang lembut, tipis namun empuk lengket, legi dan lincah. Dan kombinasi dari
keduanya dengan semena-mena bisa menggota-ganti apakah dia mau melekatkan bibir model
orang hutan atau bibir bekicot ke atas kanvas yang sempurna itu.
Namun juga tak urung banyak yang menilai wanita itu sangat buruk. Sangat malang.
Bahkan juga menakutkan. Seindah apa pun mata dan elemen-elemen wajahnya. Bahkan sebening
dan sesempurna apa pun perasaan yang terlontar dari wajah itu, tanpa kehadiran sebuah mulut, ia
adalah makhluk yang invalid, kata sebagian orang. Ketidaklengkapannya seperti sayur asem
yang kurang asem. Bukan saja tawar, tetapi juga menyakitkn dan tak berguna. Hanya setan yang
bisa hadir dalam keadaan yang cantik sekaligus mengerikan. Ia adalah sebuah bom yang tak
punya sumbu peledak. Jadi mampat dan terasa sesak, berteriak kesakitan namun tak sanggup
berbuat apa-apa. Ia bagaikan ledakan yang tersumpal yang menggelinding dalam kehidupan dan
karenanya mengganggu kita.
Pro dan kontra pada wanita yang tak bermulut itu berlangsung lama. Bahkan nyaris jadi
bahan pertengkaran dan permusuhan karena orang-orang seperti didorong untuk bersikap
kemudian memilih blok antara suka atau tidak. Untunglah kemudian harga semen naik deras.
Tidak hanya naik, tetapi lenyap di pasar. Harganya diperintahkan turun oleh pemerintah. Ada
ancaman keras bagi siapa yang menjual dengan harga lewat tarif resmi. Tetapi anehnya dengan
ancaman itu harganya semakin melonjak. Dan semen semakin tak tahu ke mana ngumpetnya.
Kami berhenti mempersoalkan wanita yang tak bermulut itu Lalu. perlahan-perlahan
kami jadi biasa dengan kehadirannya. Dia sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Tak ada
yang terganggu lagi. Tak ada pro dan kontra. Keberadaannya sudah menjadi sempalan yang
diterima. Ia sudah sama dengan siang dan malam, panas dan hujan. Bertentangan tapi dibutuhkan
untuk kelengkapan. Sudah masuk dalam saku kami. Sudah tidak ditanyakan lagi kenapa-
kenapanya. Bahkan kalau ia tidak lewat di jalan beberapa lama karena sakit, atau karena sedang
berpergian ke mana begitu, kami justru merasa ada yang salah. Lalu kami akan cari dia. Jangan-
jangan dia sakit.
Kami orang pedalaman, rasa keberakyatan masih tebal. Gotong-royong kami masih
belum luntur seperti kota-kota metropolitan. Secara bergiliran kami bantu wanita itu, kalau
berada dalam kesulitan.
Wanita tanpa mulut itu adalah milik seluruh warga.
Tetapi itulah masalahnya. Karena ketika seorang petugas muncul dari pusat, ia seperti
mewakili masa lalu kami. Tiba-tiba saja bagaikan tabrakan mendadak, petugas itu membunyikan
peluit dan menyeruhkan bahaya. Tangkap, serunya memberikan intruksi pada suatu pagi yang
cerah, ketika para pedagang baru saja memasuki kota dan anak-anak mencangking bukunya jalan
kaki atau naik sepeda ke sekolah yang berada agak di luar kota.
“Tangkap, tangkap, tangkap cepat!”
Hansip-hansip di kota kami sangat patuh pada perintah atasan. Apalagi atasan dari
atasannya. Merasa petugas itu bergigi besar, para hansip kami buru-buru menghunus
pentungannya yang biasanya tak pernah mereka jamah. Rumah wanita itu dikepung. Lalu wanita
itu ditarik keluar dari rumah, untuk diamankan.
“Mana mulut kamu!” teriak petugas itu dengan nafas kembang kempis. Dadanya nampak
turun-naik sehingga kami seperti mendengar suara gemeletuk. Kami yakin ia sangat terkejut
melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya.
“Mana mulut kamu!”
Wanita yang tak bermulut itu tercengang. Bagaimana menjawab kalau tak ada mulut.
Hanya matanya menatap dengan lunak. Dan kami semua yang sudah menjadi saudara-
saudaranya bisa mengerti bahwa itu bukan hanya sebuah tatapan. Itu adalah sebuah jawaban
yang selayaknya. Kami yang biasa bergaul dengan dia bisa mengerti jawaban itu.
Tetapi petugas yang bertanya itu tentu saja tak mendengar apa-apa. Ia pasti tidak bisa
menangkap suara dari pandangan mata wanita itu. Lantas ia bertanya dengan suara yang lebih
keras. Kami percaya kekerasan suaranya dipengaruhi oleh perasaan yang dag-dig-dug. Kami
yakin sekali ia belum pernah menjumpai jangankan wanita, manusia yang tak bermulut. Di
Amerika pun tak ada.
“Di mana mulut kamu?”
Wanita itu terus menjawab terus setiap pertanyaan dengan matanya. Tetapi petugas itu
tidak mengerti. Akhirnya wanita itu dimasukkan ke dalam kamar, untuk diajak bicara empat
mata. Kata para hansip yang tahu, petugas itu menghabiskan dua jam untuk membesut wanita itu
dengan berbagai pertanyaan. Dan ketika semua pertanyaan-pertanyaannya tidak pernah djawab,
ia memutuskan untuk memberi pengamanan.
“Untuk menjaga keamanaan bersama, perempuan ini akan kita amankan dulu, sampai
jelas betul asal-usul dan peranannya dalam kehidupan kita, “ kata petugas itu kemudian pada
seluruh warga. “Kenapa dan mengapa ia tak punya mulut. Apa maksudnya? Dan yang lebih
penting dari semua itu, dari mana asalnya dan siapa yang sudah mengatur sampai semua warga
terkesima sehingga menerima begitu saja kehadirannya tanpa mempersoalkan, kenapa ia tidak
punya mulut. Bukankah itu semacam pengacauan!”
Petugas itu kemudian menahan wanita itu.
Seluruh warga keberatan dengan keputusan itu. Kami menganggap wanita itu tdak
bersalah, kenapa mesti diamankan. Kenapa orang tak punya mulut dianggap bersalah. Belum
tentu ia sendiri suka ia tidak punya mulut.
“Tapi saudara-saudara sendiri secara tidak langsung seperti diajarakan untuk menerima
yang salah. Untuk mentolerir yang tidak betul. Saudara-saudara sudah dikacaukan untuk
membiasakan yang tidak normal. Ini keliru.”
“Tapi kami sama sekali tidak terganggu oleh kehadirannya Pak. Ia seorang warga yang
baik. Dengan tidak punya mulut, ia bukan orang yang cacat. Ia justru menjadi seorang tetangga
yang baik, buat semua tetangganya.”
Petugas itu menggeleng.
“Saudara-saudara salah-kapra. Itu, itulah yang salah. Saudara-saudara sudah diam-diam
ia latih untuk membenarkan kesalahan. Menerima orang cacat sebagai orang normal, apalagi
memujikannya sebagai warga yang baik dan patuh, adalah tindakan kriminal. Itu kejahatan
pikiran!”
“Tapi Pak, wanita itu memang warga yang baik. Coba tanya saja Pak Rt dan Pak RW.
Dia tidak pernah mengganggu apalagi melakukan yang tidak senonoh. Bikin gosip tidak pernah,
bagaimana bikin gosip kalau mulutnya saja tidak ada?”
“Keliru! Saudara-saudara ini sudah ditipu. Saya sudah menanyai dia berjam-jam empat
mata. Saya tahu bahwa ia justru dalam keadaan tidak punya mulut jadi bicara banyak sekali.
Saudara di sini kan tahu, kita sedang belajar demokrasi, belajar berbicara dengan terbuka dan
bebas. Nah dalam keadaan tidak punya mulut, bagaimana dia bisa terbuka dan bebas, buka mulut
saja tidak bisa. Keadaan ini berbahaya, tidak bisa kami diamkan. Untuk sementara wanita itu
kami amankan sampai kami merasa ia cukup aman kembali untuk dilepaskan hidup bebas di
antara saudara-saudara warga yang perlu kami ayomi karena sudah membayar pajak dengan
setia.”
Wanita itu pun diamankan.
Kami sangat mempersoalkan pengamanannya. Keputusan petugas yang kami anggap
salah-kapra dan sewenang-wenang itu menjadi bahan gunjingan dan kemudian ejekan kami.
Sebab atas nama tugas, ia seperti sudah membenarkan segala yang buruk. Barangkali ia hanya
ingin mengejar pujian dari atasannya. Kami sadar bahwa ia bukan cermin dari petugas yang
sebenarnya. Kami anggap ia hanya oknum petugas yang buruk. Bahkan tercelah. Kami percaya
bahwa pusat tidak akan pernah menyetujui tindakan petugas yang mabok itu. Atasannya pasti
memutasikan, kalau tahu sepak terjangnya. Kami percaya itu tindakan pribadi, bukan tindakan
resmi. Kami masih percaya pada korps petugas.
Berapa lama kami rame membicarakan ketidakadilan yang sudah menimpa warga kami
yang tak bermulut itu. Maklum saja kota kecil. Anjing mati saja dibicarakan oleh seluruh kota.
Tapi kemudian penyanyi Nike Ardilla meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Harga semen
semakin naik lagi. Radio dan koran sibuk sekali membicarakan berita kunjungan presiden ke
Jerman. Berita wanita itu perlahan-lahan hilang.
Setahun kemudian wanita itu pulang.
Kami terkejut. Astaga, kini ia sudah punya sebuah nulut. Dengan sepasang bibir yang
secara sendirian dapat dikatakan mungil. Dua baris giginya seperti iklan pasta gigi. Gigi-gigi
sehat yang sempurna. Dan kalau ia menjulurkan lidahnya, daging itu merah sehat dan mungil.
Walhasil mulut yang sebenarnya sempurna.
Ia bercerita dengan fasih dan panjang lebar. Suaranya terdengar merdu seperti penyiar-
penyiar radio. Ia menjelaskan bagaimana ia sudah menjalankan operasi plastik di mancanegara
dengan tanggungan biaya yang seratus prosen bukan dari koceknya sendiri.
“Kini aku sudah punya mulut. Aku tidak minder lagi. Aku sama dengan kalian yang lain.
Bahkan mulutku ini sudah terlatih dalam banyak hal. Bisa menyanyi. Bisa cas-cis-cus. Bahkan
juga bisa puisi kalau diperlukan.
Berbeda dari keadaannya yang semula, wanita itu dengan amat cepat berubah jadi banyak
mulut. Ia ngoceh terus, meskipun tidak ditanya. Tak peduli kami sudah capek mendengar.
Mungkin akibat kediamannya yang sudah bertahun-tahun. Kami mengerti. Barangkali ia terlalu
gembira. Terdorong, jadi tak sengaja. Bahkan siapa tahu,tersiksa sendiri sebab mulutnya
ngomong terus, sementara ia sendiri mungkin masih terbiasa dalam keadaannya yang lama.
Kadang kami melihat matanya mengantuk dan lelah, sementara mulutnya ngomong terus dengan
penuh semangat.
“Ia masih ngomong terus walaupun tidur, kata beberapa tetangganya.
Penilaian kami berubah sesudah wanita itu memiliki mulut. Yang menganggap dia
semula cantik dalam keadaan tanpa mulut, merasa terganggu sekali. Mereka serta-merta
menganggap wanita itu cerewet, bawel dan jelek karena mulutnya merusakkan bukan saja
kecantikannya, tetapi kepribadiannya. Tetapi yang dulunya membencinya pun bukannya
berbalik, mereka jadi semakin membenci, karena merasa wanita itu kini bukan hanya menteror
tapi benar-benar mengganggu karena mulutnya tak bisa ia kuasai. Namun sebagaimana biasa hal
itu juga tak berlangsung lama. Kembali harga semen naik. Yendaka semakin gila. Dollar melorot
terus, sedemikian rupa sehingga kami curiga jangan-jangan dia sengaja terjun. Lalu kami sibuk
membicarakan bagaimana caranya menyelamatkan tabungan rupiah kami. Kami khawatir kalau-
kalau uang yamg kami tabung sedikit demi sedikit itu, melenyap tiba-tiba seperti kejadian yang
lalu.
Hanya satu bulan kami sudah terbiasa dengan wanita tak bermulut yang sekarang
kebanyakan mulut itu. Kami berikan ia sebuah tempat yang lain dalam pergaulan kota. Setelah
jelas tempatnya, ya sudahlah. Mau apa lagi. Lalu kami sibuk kami membicarakan masalah-
masalah sehari-hari yang datang beruntun bersama koran.
Memang begitu selamanya. Kami sudah diajarkan oleh kehidupan untuk cepat melupakan
segala sesuatu, karena terlalu banyak yang datang. Nrimo begitu. Habis, kalau kamu tidak pelupa
sedikit, barangkali selutuh kota sudah sakit jiwa.
Tapi kemudian petugas dari pusat itu, datang lagi.
Begitu muncul, ia sudah sibuk mengerahkan para hansip untuk melakukan penangkapan.
“Tangkap wanita yang kebanyakan mulut itu,” teriaknya.
Kami semua terkejut.
“Kenapa Pak? Apa kesalahannya?”
“Ia sudah merusakkan citra kalian. Masak ngomong terus, itu namanya memancing di air
keruh. Membakar-bakar itu bukan jiwa orang timur. Itu pengacau, mengapa kalian diam-diam
saja, jangan biarkan dia seperti itu, lama-lama kepribadian kalian akan sesat semua!”
“Tapi katanya mulut itu Bapak yang memberikan?”
“Memang. Tapi maksud kita bukan untuk dipakai ngoceh begitu. Memang susah tidak
punya mulut tiba-tiba punya mulut, jadi kacau begini. Main gosip, memfitnah, membakar-bakar,
ayo cepat selamatkan dia!”
Wanita itu kembali diamankan.
Setahun ia diungsikan. Kami ribut hendak memprotes. Tetapi sebagaimana biasa, harga
semen pun naik. Kami pun lupa
Ketika wanita itu pulang kembali tanpa mulut, ia kami terima seperti biasa. Kami tahu
mulutnya telah diratakan. Ia dikembalikan kepada asalnya. Di bawah hidungnya yang cantik itu
mendatar. Padang datar yang penuh dengan misteri. Membeku namun sesak dengan suara-suara
terpendam seperti dulu.
Hanya saja tak semuanya bisa dikembalikan persis. Meskipun wanita itu sudah kembali
tak bermulut, ternyata banyak yang berubah. Antara lain matanya. Meskipun bentuk mata itu
tetap saja sempurna, seperti dulu tapi sinarnya sudah berbeda. Ada bayangan gelap. Sinar mata
orang yang biasa bebas ngomong seenaknya yang kini dibungkemkan. Mata yang meluapkan
marah menyala-nyala dan dendam.
Kami tak kuat oleh semburan dendam dari mata itu.
Tapi harga semen naik lagi. Naik lagi.
Kami tak sempat memikirkan pancaran mata seorang wanita tak bermulut yang berkobar
oleh dendam. Kami terkubur oleh kesulitan-kesulitan hidup. Kami sudah terlatih untuk cepat
menjadi terbiasa dalam waktu yang singkat.
Kamu tahu petugas itu akan datang lagi. Entah apalagi perintahnya. Namun sebelum
semuanya terjadi sebagaimana biasa, segalanya berubah.
Pada suatu pagi, seorang tetangga kami menjerit. Ia berteriak melihat wanita yang tak
bermulut itu, bergantung di cabang pohon nagka dalam keadaan sudah tak bernyawa.
Di atas meja kamarnya, tertinggal suaranya dalam secarik kertas. Suara yang tak mampu
ia katakan sendiri. Surat itu namun jelas.
“Barangkali ini salah. Aku minta maaf. Tapi aku sudah putuskan memilih kesalahan ini,
umtuk menghentikan segala kejadian yang berulang-ulang dengan buas itu.”
Warga kota kami gempar. Kami ketakutan. Kami memerlukan penjelasan. Seharusnya
setelah itu, petugas dari pusat itu muncul.
“Tapi beliau sudah lama sakit-sakitan. Dan kemudian sebenarnya sudah mati lebih dulu
dari perempuan yang tak bermulut kalian yang mati menggantung diri itu,” jawab seorang
utusan.
Kami terspesona. Bingung oleh kejadian beruntun itu.
Kemudian kami menunggu, bersiap-siap kalau-kalau harga semen akan naik lagi. Atau
seorang Nike Ardilla yang lain, dapat kecelakaan mobil lagi. Agar kami bisa mengelak,
berpegang, mengalihkan, agar mampu meluapkan.
Tapi semua itu tidak terjadi. Kami jadi terpaksa mengulum kematian perempuan yang tak
bermulut itu lama-lama sampai kenyang. Sampai gembung.
Bertahun-tahun kami masih tetap diganggu oleh peristiwa itu.
Sampai tadi pagi dikabarkan ada lagi seorang wanita tidak bermulut lahir. Kami buru-
buru berebut menengok ke rumah sakit. Sampai-sampai kaca ruangan penampungan bayi pecah,
karena hampir seluruh warga berlomba ingin memandanginya.
Semua kami melihat ke mulut bayi yang buntu itu. Dataran buntet yang meskipun kecil,
pasti akan menyimpan misteri. Lalu mengerling matanya yang kami harapkan mampu bicara
menggantikan mulutnya yang tiada.
Tapi apa yang kami harapkan tak terjadi. Bayi tak bermulut itu, ternyata seorang bayi
cacat biasa. Ia benar tanpa mulut, tetapi matanya, matanya ternyata mata manusia biasa yang tak
menolong apa-apa ketiadaan mulutnya. Ia berbeda.
“Ia sudah kulino,” bisik zuster.
“Apa Zuster?”
“Dokter bilang, ini generasi kedua. Jadi sudah biasa. Ia sudah tenang. Ia suda terbiasa tak
bermulut.

Jakarta 14 April 1995,


(Dikutip dari kumpulan cerpen Yel karya Putu Wijaya, 1996)

Anda mungkin juga menyukai