Anda di halaman 1dari 2

Balada Banjir : Jenis dan Penyebab Banjir

Jika terjadi banjir di Jakarta banyak orang nampaknya senang. Banjir jadi amunisi untuk mem-bully
Gubernurnya. Sosok yang digadang-gadang sebagai salah satu calon potensial untuk bersaing dalam
pemilu presiden 2024.

Saya paham bahwa banjir pasti ada hubungan dengan politik namun bukan politik pemilu melainkan
politik ekonomi, politik tata ruang dan politik lingkungan hidup.

Diluar urusan politik yang kerap bikin pusing itu, kesenangan lain yang kerap dipakai untuk menyambut
banjir adalah senang mengatakan bahwa banjir terjadi akibat hujan lebat, cuaca ektrim, hujan dalam
intensitas tinggi dan lama.

Okelah, banjir memang terjadi karena ada air, tapi tak benar jika banjir itu identic dengan hujan sebab
ada beberapa jenis banjir yang terjadi bukan karena hujan atau saat hujan.

Ada banjir yang disebut rob atau genangan air karena pasang air laut yang kemudian masuk ke daratan.
Ada juga banjir karena luapan saluran air yang tersumbat, sehingga saat panas menyengat jalanan
tergenangi air dan ada banjir yang terjadi karena bendungan atau tempat penampungan air jebol.

Maka apapun jenis banjirnya, yang disebut banjir adalah genangan air yang cukup luas, cukup dalam dan
waktunya cukup lama pada tempat yang tidak semestinya.

Genangan pada tempat yang tidak semestinya menurut kita, terjadi karena dua penyebab yakni sebab
alamiah dan sebab non alamiah. Yang disebut sebagai penyebab alamiah misalnya pasang surut, sesuatu
yang terus saja terjadi dalam jangka waktu tertentu sebagai bagian dari dinamika keseimbangan alam.

Sedangkan penyebab non alamiah adalah sesuatu yang disebabkan karena adanya campur tangan
manusia. Dan banjir yang terjadi saat ini umumnya terjadi karena adanya campur tangan atau pengaruh
perilaku manusia.

1. Perilaku atau campur tangan manusia yang menyebabkan banjir antara lain :
2. Penebangan hutan atau tutupan vegetasi diatas lahan.
3. Pemangkasan bukit atau kerap disebut dengan pematangan lahan.
4. Pengurukan rawa menjadi daratan.
5. Pendudukan atau okupasi ruang sungai, danau dan rawa.
6. Alihfungsi lahan untuk keperluan yang tidak berkesesuaian dengan air.
7. Pembangunan fasilitas keairan tanpa supervisi dan pemeliharaan yang ketat.
8. Program atau proyek mengatasi banjir yang bertentangan dengan logika air.

Deretan perilaku atau campur tangan manusia yang kemudian menyebabkan atau meningkatkan resiko
banjir ini bisa saja diperpanjang sepanjang jalan Tol Balikpapan – Samarinda.

Pertanyaannya kemudian adalah kenapa perilaku itu menyebabkan atau meningkatkan resiko banjir?.

Deretan perilaku diatas niscaya akan merubah dinamika air, menyebabkan ruang air baik ruang serapan,
ruang tangkapan dan ruang distribusi menjadi terganggu. Akibatnya air permukaan disaat musim hujan
menjadi besar. Dan air permukaan yang besar namun tidak dapat ditampung oleh sistem keairan dan
sistem pengaliran kemudian akan mengenangi tempat-tempat yang tidak semestinya. Seperti jalan raya,
permukiman, perkantoran dan lain sebagainya.
Manusia tentu saja butuh ruang, baik ruang tinggal, ruang kerja, ruang infrastruktur maupun ruang
penghidupan. Keperluan akan ruang ini pasti akan menimbulkan konflik dengan kebutuhan ruang air.
Masalahnya kemudian adalah ruang air yang dikalahkan dan dirampas tanpa konpensasi.

Dimanapun yang namanya sungai, meski sering kering di musim kemarau, saat musim penghujan
permukaannya akan naik. Bahkan pada titik-titik tertentu akan meluap airnya melewati tanggul sungai.
Maka adalah normal jika kemudian sungai mempunyai ruang banjir, tempat dimana sungai meluapkan
air yang berlebih.

Alur atau siklus air dialam terbentuk dalam waktu yang lama. Sekilas nampak teratur, namun salah satu
keteraturan alam adalah ketidakteraturan. Maka sungai misalnya bentuknya tidak akan lurus, lebar
sempitnya juga tidak sama dari hulu ke hilir demikian juga dengan kedalamannya.

Sungai bukanlah kanal atau saluran untuk membuang air secepat mungkin kelaut, sungai alamiah adalah
tempat untuk menahan air, memanen air untuk berbagai kepentingan.

Hingga kemudian alam mengatur bahwa air hujan tidak boleh dalam waktu bersamaan berkumpul di
sungai. Hutan di perbukitan dan didataran rendah menjadi sarana alam untuk menahan air hujan agar
tidak segera berkumpul di sungai.

Hilangnya hutan bukan hanya membuat air hujan dengan segera mencapai sungai melainkan juga
mengerosi permukaan tanah sehingga menyebabkan sedimentasi di sungai. Permukaan tanah yang tidak
terlindungi dan kemudian masuk ke badan sungai membuat sungai menjadi dangkal. Pendangkalan
membuat daya tampung sungai menjadi menurun sehingga memunculkan titik-titik luapan baru kala
musim penghujan.

Di Samarinda, ruang parkir atau penampung sementara air permukaan dan air limpasan sungai adalah
rawa-rawa. Dan kini rawa-rawa itu sudah kehilangan rupa, yang dinamai rawa bukan lagi genangan air
yang ditumbuhi semak-semak melainkan nama sebuah perumahan atau permukiman.

Maka jika ada yang bertanya pada saya “Kenapa baru hujan sebentar saja Samarinda sudah banjir?”,
saya akan menjawab “Karena Samarinda telah kehilangan peradaban airnya,”

Jadi jika Samarinda ingin menjadi Pusat Peradaban Baru maka yang pertama dan utama untuk dilakukan
adalah hormati dan beri ruang untuk air. Selama cara mengatasi banjir adalah dengan membuang air
secepat mungkin ke sungai untuk dialirkan ke laut, niscaya peradaban baru itu tidak akan pernah
dicapai.

Anda mungkin juga menyukai