Anda di halaman 1dari 3

Coffee Party dan Rindu Kopi Samarinda

Berawal dari obrolan iseng di Warung Kopi Gayo untuk membawa kebiasaan minum
kopi premium ke rumah akhirnya terwujud. Ellie Hasan penggagas Galeri
Samarinda Bahari dengan cepat bergerak untuk menghubungi sahabatnya
mendemonstrasikan berbagai cara manual brewing di galerinya. Permintaan ini
disambut cepat oleh Rifki Ramadhan, sang jagoan kopi. Besok malam, Rifki
bersedia, begitu kata Ellie dengan mata berbinar gembira.

Saya, Timpakul dan Pak Agus tentu saja tak kalah gembira. Kumpul-kumpul di
rumah dan menyeruput kopi hasil seduhan barista sambil ngobrol soal kopi bukan
hanya milik orang Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Tentu ini bukan untuk
gagah-gagahan, sebab minum kopi tidak sekedar gaya hidup melainkan juga
kebudayaan. Mendorong minum kopi dengan benar juga merupakan bagian untuk
bangga dan setia terhadap produk-produk kopi negeri sendiri.

Adalah sebuah ironi bahwa kebiasaan minum kopi terutama di kalangan anak muda
dan kelompok menengah atas perkotaan justru diintrodusir oleh Starbuck. Padahal
kopi-kopi yang disajikan oleh Starbuck sebagian merupakan single origin coffee
yang dihasikan oleh perkebunan petani kopi di beberapa wilayah Indonesia. Salah
satunya berasal dari tanaman kopi yang ada di dataran tinggi Gayo.

Dari obral-obrol dengan Rifki saya mulai menemukan kebenaran pernyataan dari
beberapa orang yang mengatakan bahwa kopi itu seperti anggur. Walau dari jenis
tanaman yang sama, namun jika ditanam di tempat yang beda dan diproses oleh
orang berbeda maka rasanya juga akan beda. Jadi kopi bukan sekedar Arabika,
Robusta dan Arabica atau Liberia yang tak terlalu terkenal. Melainkan kopi Gayo,
Sidikalang, Toraja, Bajawa, Wamena, Lintong, Mandailing, ijen, Malabar dan lain
sebagainya. Selain itu juga dikenal kopi Luwak dan kopi Lanang.

Masih menurut Rifki, pada umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi jenis


kopi robusta dan dark roasted alias gosong. Sehingga yang tersisa adalah aroma
kopi matang dan pahit. Dari tinjauan post kolonial fakta ini menunjukkan
masyarakat yang terjajah tidak mengkonsumsi apa yang diminum oleh penjajahnya.
Dan dari cerita sejarah memang dituliskan bahwa kopi Arabika ditanam oleh
kolonial Belanda untuk tujuan ekport. Kopi Arabika adalah komoditas ekport utama
Hindia Belanda sehingga buruh atau kuli di perkebunan kopi dilarang untuk
meminumnya.

Kebiasaan mengkonsumsi kopi Robusta yang disanggrai hitam terus terbawa hingga
jaman kemerdekaan. Apalagi hasil atau panenan kopi Robusta memang lebih
banyak dibanding kopi Arabika. Sebab tanaman kopi Robusta lebih tahan serangan
hama dan penyakit, sehingga bertahan tetap tumbuh di berbagai tempat di
Indonesia.
Kopi industri yang menjual kopi bubuk kemasan pun kebanyakan mencampur bubuk
kopi Robusta dengan Arabika. Baru beberapa tahun terakhir ini saja muncul kopi-
kopi tertentu dalam kemasan yang diawali oleh kedai-kedai kopi modern. Namun
kini sudah mulai umum, bahkan sudah muncul produsen kopi industri yang menjual
produk kopi premium single origin kopi dalam bentuk bubuk.

Gelombang pemasyarakatan minum kopi Arabica dibawa oleh masuknya kedai kopi
modern Starbuck. Kebiasaan meminum kopi di kalangan anak muda dan kelas
menengah dibawa oleh anak-anak muda eks kuliahan Amerika. Mereka menemukan
kopi yang lebih kaya rasa yang ternyata berasal dari Indonesia tapi diperdagangkan
oleh gerai kopi Amerika.

Munculnya gerai-gerai kopi modern membawa arus baru tentang bagaimana kopi
diseduh dan disajikan. Kopi diseduh dengan mesin espresso. Sebelum kedatangan
gerai kopi modern, minuman kopi jenis ini lazimnya disajikan oleh hotel-hotel.
Namun jika diamati lebih dalam, sebenarnya yang banyak dipesan oleh konsumen
di gerai-gerai kopi modern adalah kopi blend, kopi yang dicampur dengan susu,
syrup dan bahan-bahan lainnya.

Minum kopi hitam, kopi saja, menjadi arus baru ketika metode seduh kopi manual
atau manual brewing menjadi terkenal. Teknik dan alatnya lebih sederhana
sehingga terjangkau oleh pengemar kopi. Teknik seduh manual sebenarnya ada di
berbagai kedai modern, namun umumnya hanya sebagai pemanis, bahkan alatnya
lebih banyak dipakai sebagai pajangan saja karena tidak diperkenalkan kepada
konsumen.

Pengemar maupun calon pengemar kopi di Samarinda patut bersyukur dengan


kemunculan beberapa kedai kopi yang menjadikan manual brewing sebagai metode
utama penyajian kopi. Namun yang lebih mengembirakan secangkir kopi yang
dibuat oleh Barista dengan metode seduh press, tetes atau rendam bisa juga
dinikmati di rumahan. Sebab para master manual brewing tidak pelit berbagi ilmu.
Mereka sadar bahwa edukasi soal kopi masih sangat diperlukan untuk dilakukan
secara massiv.

Coffee Party, Kamis malam di Galeri Samarinda Bahari membuktikan hal itu. Rifki
Darmawan bahkan sudah hadir lebih dahulu dengan berbagai peralatannya, jauh
sebelum tim hore sampai. Rifki tanpa ragu membagi yang diketahui oleh dirinya,
setiap pertanyaan dijawab dengan cepat dan tuntas. Kopi dibincang mulai dari asal
usulnya, sejarah perkembangan penyebaran di nusantara, cara jemur, roastingnya
hingga detail kompisisi serta derajat panas air untuk menyeduhnya.

Minum kopi tanpa gula ramai-ramai ternyata bikin happy. Namun di balik
kegembiraan itu tetap terbersit sebuah keinginan yang dalam agar kelak,
gerombolan kopi hore ini bisa menikmati seduhan kopi yang disebut dengan Kopi
Samarinda.
@yustinus_esha

Anda mungkin juga menyukai