Anda di halaman 1dari 2

Wali dalam Pernikahan

Definisi Wali
Perwalian merupakan ketentuan syariat yang diberlakukan untuk orang lain, baik secara
umum maupun khusus; perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta. Yang dimaksud perwalian
dalam pembahasan ini adalah perwalian atas jiwa dalam pernikahan.
Syarat Perwalian
Syarat bagi orang yang bertindak sebagai wali (dalam pernikahan) adalah merdeka,
berakal, dan balig, baik ia menjadi wali bagi orang Muslim ataupun orang non-muslim.
Sementara budak, orang gila, ataupun anak kecil, mereka tidak diperkenankan menjadi wali.
Mereka juga tidak memiliki perwalian atas dirinya sendiri sehingga mereka juga tidak memiliki
hak untuk rnenjadi wali bagi orang lain. Sebagai penambahan syarat untuk menjadi wali adalah ia
harus beragama Islam apabila orang yang berada di bawah perwaliannya muslim. Sementara
walinya orang yang tidak beragama Islam, ia tidak diperkenankan menjadi wali seorang muslim.
Sebagai dasarnya adalah firman Allah swt.

)141 : ‫ (النساء‬. ‫ني َسبِياًل‬ِِ ِ ِ‫ولَن جَي عل اللَّه لِْل َكاف‬


َ ‫ين َعلَى الْ ُم ْؤمن‬
َ ‫ر‬ ُ َ َْ ْ َ
Terjemahnya: "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.

Sifat Adil bukan Syarat untuk Menjadi Wali


Bagi orang yang bertindak sebagai wali (dalam pernikahan), ia tidak disyaratkan memiliki
sifat adil. Bagi orang yang fasik, ia masih diperbolehkan menjadi wali dalam pernikahan selama
kefasikannya tidak sampai menimbulkan mudharat. Jika kefasikannya sudah melampaui batas,
maka hak untuk menjadi wali sudah tidak ada pada darinya.

Hukum Perempuan yang Menikahkan Dirinya Sendiri


Di antara para ulama banyak yang berpendapat bahwa perempuan tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri dan juga tidak diperbolehkan menikahkan orang lain. Pernikahan
dinyatakan tidak sah jika kalimat ijab diutarakan sendiri oleh perempuan, sebab adanya wali
merupakan bagian dari syarat sahnya akad. Jadi orang yang berhak untuk mengutarakan ijab
adalah orang yang menjadi wali dalam akad. Sebagai landasannya adalah beberapa dalil-dalil
berikut ini. Allah swt. berfirman:

) 32 : )‫ ( النور‬..... ‫ني ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم‬ِ‫وأَنْ ِكحوا اأْل َيامى ِمْن ُكم و َّ حِل‬
َ ‫الصا‬ َْ ََ ُ َ .1
Terjemahnya: “Dan kawinkanlah orang-orang vang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-harnba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan.”
." )221 ‫ (البقرة‬... ‫ني َحىَّت يُ ْؤ ِمنُوا‬ِ ِ
َ ‫ َواَل ُتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬... .2
Terjemahnya: “Dan janganlah kamu rnenikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka
beriman.”
Yang dijadikan sebagai hujjah dalam ayat ini adalah bahwa khithab Allah swt. ini yang
berkenaan dengan pernikahan ditujukan kepada para lelaki, bukan kepada perempuan. Seakan
Allah swt. berfirman, “Janganlah kamu, wahai para wali, menikahkan perempuan-perempuan
yang berada di bawah perwalianmu dengan orang- orang musyrik.”
Abu Musa berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

ٍّ ‫اح إِاَّل بَِويِل‬‫ك‬َ ِ‫اَل ن‬


َ
Artinya: “Tidak ada pernikahan keculali dengan adanya seorang wali.”
Diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad serta disahihkan oleh Ibn
Hibban dan al-Hakim.
Bentuk penafian dalam Hadis ini mengandung pengertian atas sahnya suatu pernikahan.
Sebab, pengertian inilah yang lebih mendekati kebenaran makna dari bentuk majaz. Jadi,
pernikahan yang tidak disertai dengan wali hukumnya tidak sah. Uraian selengkapnya akan
dijelaskan pada Hadis Aisyah ra. Imam Bukhari meriwayatkan dari Hasan, bahwasanya firman

1
Allah swt., “..maka, janganlah kamu menghalangi...” (al-Baqarah: 232) turun berkaitan dengan
Ma‘qil bin Yasar. Ma‘qil berkata, ‘Aku telah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang
laki-laki, lalu laki-laki itu menceraikannya. Ketika masa iddahnya sudah selesai, laki-laki itu
datang untuk meminangnya kembali. Aku lantas berkata kepadanya, Aku telah menikahkanmu,
menjadikannya sebagai tempat tidurmu, dan memuliakanmu, tapi kamu menceraikannya.
Kemudian, kamu datang lagi untuk meminangnya. Tidak, demi Allah, kau tidak akan kembali
kepadanya untuk selamanya.’ Sebenarnya, lelaki ini tidak jadi masalah (kalau tidak diterima),
sementara saudara perempuanku ingin kembali kepadanya. Lantas Allah swt. berfirman, “...maka
jangan kamu halangi mereka...,” (al-Baqarah: 232). Aku lantas berkata, Sekarang aku akan
melakukannya, wahai Rasulullah. Lalu, aku menikahkan saudara perempuanku dengannya.
Aisyah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal,
nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan
mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara
mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.” Diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi nengatakan bahwa Hadis ini hasan.
Para ulama berkata, pernikahan memiliki tujuan yang berbeda-beda dan pada umumnya
perempuan tidak kuasa untuk menahan perasaannya. Dia tidak cakap untuk memilih sehingga
tujuan-tujuan mulia pernikahan bisa saja terabaikan. Karenanya, dia tidak diperbolehkan
rnenikahkan dirinya sendiri. Akad hendaknya diserahkan kepada walinya sehingga pihak
perempuan dapat menggapai tujuan dari pernikahan.

Anda mungkin juga menyukai