Anda di halaman 1dari 7

TUGAS IPS

Nama Anggota :
1. Agatha Alodia Devi (01)
2. Alia Ermawati (03)
3. Karina Qur’aini (17)
4. Rania Zahra Aqilla (26)
Pertanyaan:

Jelaskan ketika Pemerintahan Indonesia dibawah pimpinan Elout, Buyskes, dan


Van Der Capellen!

Jawab:

Mr. Cornelis Theodorus Elout (Haarlem, 22 Maret 1767 – 1841) adalah


seorang politikus Belanda.

Elout merupakan negarawan utama dari keluarga bupati di Haarlem dan


menjadi menteri pada masa Republik Batavia dan di bawah Willem I dari
Belanda. Di bawah Louis Napoleon, ia dipercaya untuk penyusunan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Antara tahun 1814-1815, ia menjadi bagian
dari komisi konstitusi. Pada masa inilah ia menjabat sebagai komisaris umum di
Hindia Belanda dan kemudian menjadi menteri keuangan, AL, dan jajahan.
Elout berhenti menjabat setelah Sistem Tanam Paksa diperkenalkan.
Mr. Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen (lahir di Utrecht,
15 Desember1778 – meninggal di De Bilt, Utrecht, 10 April 1848 pada umur 69
tahun) adalah penguasa Hindia Belanda pertama yang memerintah di Hindia
setelah dikuasai oleh Kerajaan Inggrisselama beberapa tahun. Pada Kongres
Wina, kepada Belanda diberikan kembali Hindia Belanda.

Van der Capellen, memerintah antara tanggal 19 Agustus 1816 – 1 Januari


1826. Ia merupakan Gubernur-Jenderal Hindia Belandayang ke-41.

Ia adalah seorang berpikiran liberal, semangat yang tengah berhembus di


Eropa setelah Revolusi Prancis. Tetapi segera ia melihat bahwa penerapan
prinsip laissez-faire akan segera merugikan petani kecil di Jawa dan beberapa
wilayah Hindia Belanda lainnya karena orang-orang kaya akan segera
menguasai banyak lahan dan membiarkan para petani dan buruh tani
kehilangan mata pencaharian, keadaan yang sudah pernah terjadi pada abad
ke-18, pada masa VOC.

Di masanya ia juga harus menghadapi rongrongan Raffles, sebagai Komisaris


Jenderal Bengkulu, yang mencoba menguasai Sumatra dan Kalimantan untuk
dikuasai raja Britania Raya. Perselisihan ini terselesaikan dengan disepakatinya
Traktat London 1824. Permasalahan keamanan lainnya yang harus dihadapinya
adalah Perang Paderi di Minangkabau, Perang Diponegoro, perlawanan sultan
Palembang, dan pemberontakan di Maluku.

Untuk memperbaiki situasi ekonomi, Van der Capellen berusaha memajukan


ekonomi warga yang sebagian besar adalah petani. Ia menghentikan
pembayaran sewa tanah di daerah Negara Agung Mataram, untuk membantu
petani. Namun tindakannya ini menimbulkan protes dari kalangan ningrat
pemilik tanah dan menjadi perlawanan. Pecahlah perang yang dipimpin oleh
seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro, yang dikenal
sebagai Perang Diponegoro antara tahun 1825 – 1830. Di Maluku, ia
mengurangi sebagian monopoliperdagangan rempah-rempah untuk meredam
ketidakadilan dan perlawanan rakyat.

Untuk memajukan pertanian dan tingkat pendidikan, ia mendirikan


"Departemen Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan untuk Pulau Jawa" yang
bertugas memajukan pertanian melalui pendidikan umum dan profesional
serta penelitian di bidang biologi. Prof. C.G.K. Reinwardt (dikenal pula sebagai
direktur Kebun Botani Buitenzorg yang pertama) ditunjuk sebagai orang
pertama untuk menduduki portofolio ini. Di masanya, dikeluarkan UU
Pendidikan (1916). Sebagai pelaksanaannya dibangunlah sekolah-sekolah dasar
untuk semua golongan warga. Namun, tanggapan masyarakat non-Belanda
sangat sepi karena pengajaran sekolah-sekolah ini memakai bahasa Belanda
dan mengajarkan pranata Eropa. Menyadari hal ini Van Der Capellen
memerintahkan penyelidikan mengenai sistem pendidikan warga asli sehingga
dapat dimodernisasi. Dapat dikatakan ini adalah usaha pertama untuk
memasukkan prinsip pendidikan Eropa ke masyarakat asli Indonesia.

Di bidang kesehatan, tantangan yang harus dihadapi adalah mewabahnya


penyakit cacar. Reinwardt berusaha keras menyadarkan warga akan
pentingnya sanitasi dan agar warga bersedia diimunisasi. Imunisasi berhasil
dijalankan dan penyakit cacar berhasil ditekan penyebarannya.

Van der Capellen yang sangat liberal ini tidak disukai kalangan atas di Hindia
Belanda karena dianggap terlalu lemah. Pada tahun 1824 ia dipanggil pulang ke
Belanda dan pada tahun 1826 posisi gubernur jenderal diserahkan kepada
Hendrik Merkus de Kock.

Untuk menghormati jasanya, di kota Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah


Datardidirikan benteng menurut namanya, yaitu Fort Van der Capellen.

Kepemimpinan Elout, Buyskes, dan Van Der Capellen.

Komisi umum yang terdiri atas Theodorus Elout, A.A. Buyskes, dan Van Der
Capellen memimpin Hindia Belanda dari tahun 1816 hingga 1819. Komisi ini
melakukan perubahan dalam :

A. Bidang Ekonomi.

Pada intinya, peralihan pemerintahan masih menghadapi masalah


antara eksploitasi secara liberal dan eksploitasi secara konservatif. Akan tetapi
Komisi Umum tersebut lebih cenderung pada sistem liberal.

Pandangan konservatif bertolakbelakang dengan pandangan liberal.


Dalam pandangan konservatif, pengeksploitasian harus dipegang secara
langsung oleh pemerintah karena ketidaksiapan masyarakatnya. Sementara itu
pandangan liberal menyatakan bahwa pengeksploitasian harus ditangani oleh
perusahaan swasta, dan pemerintah hanya berhak mendapatkan pajak dan
mengontrol pengeksploitasian saja.

Kebijakan sewa tanah memang dilanjutkan namun mereka menghadapi


kesulitan karena tuan tanah belum mampu mengembangkan sistem,
kekurangan tenaga resmi, kekurangan biaya, masih adanya masyarakat yang
tak berpendidikan, dan sebagainya. Pemerintah kolonial Belanda bergerak
maju untuk menyewakan desa-desa kepada pihak luar, sehingga beban
masyarakat menjadi bertambah susah (hal ini disebabkan pengeksploitasian
para pachter atau para pemborong pajak).

B. Bidang Politik

Dalam aspek politik komisi umum masih melanjutkan pengurangan


kekuasaan pada birokrasi tradisional (apanage atau tanah
bengkok, tributary atau sistem upeti, curve, lambang-lambang feodalisme, dan
sebagainya). Akan tetapi sistem preanger stelsel (penanaman tanaman kopi di
daerah Jawa Barat) tidak dihapus karena memilki banyak keuntungan.
Selanjutnya mereka mengurangi jumlah para pengawal raja dari 65 orang
menjadi 50 orang. 

KEBIJAKAN VAN DER CAPELLEN DI INDONESIA (1819-1825)

Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris, Indonesia dikuasai oleh


pemerintah Hindia Belanda. Pada mulanya, pemerintahan ini merupakan
pemerintahan kolektif yang terdiri atas tiga orang, yaitu Flout, Buyskess, dan
van der Capellen. Mereka berpangkat komisaris jenderal. Pemerintahan
kolektif itu bertugas menormalisasikan keadaan. Masa peralihan itu hanya
berlangsung dari tahun 1816-1819. Pada tahun 1919, kepala pemerintahan
mulai dipegang oleh seorang gubernur jenderal, yaitu van der Capellen (1816-
1824).

Sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen masa itu
menghadapi tantangan  seperti:
Menghadapi perekonomian yang buruk,persaingan perdagangan dengan
Inggris, dansikap bangsa Indonesia yang memusuhi Belanda. Dalam
menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:

Sistem residen tetap dipertahankan,Dalam bidang hukum, sistem juri


dihapuskan,Kedudukan para bupati sebagai penguasa feudal/feodal[2] tetap
dipertahankan,Desa sebagai satu kesatuan unit tetap dipertahankan dan para
penguasanya dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil
bumi,Dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan kepada pengusaha-
pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada tahun 1819 tugas Komisi Jenderal dinilai sudah selesai, sehingga
Elout dan Buyskes kembali ke Nederland sedangkan van der Capellen tinggal di
Indonesia sebagai Gubernur Jenderal. Karena van der Capellen ikut menyusun
undang-undang yang akan diterapkan di Indonesia setelah wilayah itu kembali
kepada Belanda. Karena itu pengangkatannya sebagai gubernur jenderal
karena dia dianggap yang paling megetahui bagaimana undang-undang itu
dilaksanakan. Tetapi apa yang dijalankan oleh van der Capellen ternyata tidak
seperti yang direncanakan. Adapun alasan van der Capellen melakukan
penyimpangan tersebut adalah karena undang-undang itu ternyata tidak dapat
dilaksanakan dalam kondisi di Indonesia saat itu.

Menurut van der Capellen, tugas yang paling penting adalah


mengumpulkan uang untuk menjalankan pemerintahan yang baru itu. Jika
peraturan yang liberal dalam regerings-reglement tahun 1819 itu diterapkan
sepenuhnya, maka tidak akan memperoleh dana. Dengan alasan tersebut, van
der Capellen ingin mencari jalan pintas. Oleh karena itu,beberapa peraturan
ditangguhkan, sedangkan aturan-aturan yang menguntungkan pemerintah
dilakukan. Karena tindakannya itu, Clive Day menyebut van der Capellen
adalah Gubernur Jenderal yang reaksioner.

Di antara pembaruan-pembaruan yang dicoba oleh van der Capellen


adalah pembaruan sistem perdagangan yang akhirnya mengundang
kemarahan orang-orang Eropa (terutama orang Belanda) terhadapnya. Dalam
tahun 1821 van der Capellen mengeluarkan undang-undang yang melarang
segala bentuk perdagangan Eropa di daerah kopi (Priangan), kecuali dengan
izin khusus. Ia melakukan hal tersebut dengan harapan untuk melindungi
orang-orang Indonesia agar tidak ditipu oleh para pedagang Eropa serta untuk
memperbesar hasil bagi pemerintah Belanda. Tindakan lain yang juga
mengundang kemarahan orang Eropa adalah peraturan yang dikeluarkan
tahun 1823. Dalam pembaruan itu dia melarang orang-orang Eropa menyewa
tanah rakyat. Peraturan ini juga untuk melindungi orang pribumi. Orang-orang
Eropa (terutama Belanda) yang merasa paling dirugikan adalah yang menyewa
tanah di Surakarta dan Yogyakarta. Mereka sudah membayar uang muka yang
besar, sehingga sewaktu peraturan itu turun, maka mereka menuntut
pengembalian uang muka yang sudah habis dibelanjakan oleh orang-orang
pribumi.

Anda mungkin juga menyukai