Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. USUS BESAR (KOLON)

2.1.1 Anatomi

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5


kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanal anal. Diameter usus
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil yaitu rata-rata sekitar 2,5 inci
(sekitar 6,5 cm) yang diameternya semakin kecil saat semakin dekat anus. Urutan
lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir, lapisan otot yang
memanjang, dan jaringan ikat. Meski ukurannya lebih besar daripada usus halus,
mukosa pada usus besar lebih halus daripada usus halus dan tidak memiliki vili.
Adapun serabut otot longitudinal dalam muskulus ekterna membentuk tiga pita,
sedangkan taenia coli yang menarik kolon menjadi kantong-kantong besar disebut
dengan haustra. Dibagian bawah usus besar terdapat katup ileosekal yaitu katup
antara usus halus dan usus besar. Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk
merespon gelombang peristaltik sehingga memungkinkan aliran kimus sebanyak
15 ml dengan total aliran sebanyak 500 ml/hari (Price & Wilson, 2003). Bagian-
bagian usus besar terdiri dari :
a. Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup
ileosekal apendiks. Apendiks vermiform adalah suatu tabung buntu sempit
yang berisi jaringan limfoit dan letaknya menonjol dari ujung sekum.
b. Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki
tiga divisi.
i. Kolon asenden : usus besar yang merentang dari sekum sampai ke tepi
bawah hati di sebelah kanan dan berlanjut secara horizontal pada fleksura
hepatika.

6
7

ii. Kolon transversum: usus besar yang merentang menyilang abdomen di


bawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tepatnya
memutar ke bawah fleksura splenikus.
iii. Kolon desenden : merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi
kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
c. Rektum adalah bagian selanjutnya dari saluran pencernaan yang mempunyai
panjang sekitar 12-13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke
eksterior di anus (Price & Wilson, 2003).

Gambar 2.1 Usus halus dan usus besar (Price & Wilson, 2003).

2.1.2 Fisiologi

Secara umum, motilitas saluran terbagi menjadi 2, yaitu peristaltik dan


segmentasi. Peristaltik adalah refleks yang dicetuskan ketika dinding saluran
cerna mengalami regangan oleh karena isi di dalam lumen saluran cerna.
Peristaltik terjadi pada seluruh bagian dari saluran cerna mulai dari esofagus
hingga rektum. Regangan tersebut akan menyebabkan kontraksi dari otot sirkular
dinding saluran cerna tepat setelah stimulus dan pada saat yang sama juga
menyebabkan relaksasi dari dinding saluran cerna sebelum stimulus. Kontraksi
menjalar dari arah oral ke kaudal, sehingga mendorong isi saluran cerna ke arah
kaudal (Guyton, 1997).
8

Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan


proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorpsi
air dan elektrolit yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon
sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang airnya
sudah diserap sampai defekasi berlangsung (Guyton, 1997).
Kolon mengabsorpsi air, natrium, klorida, dan asam lemak rantai pendek serta
mengeluarkan kalium dan bikarbonat. Hal tersebut membantu menjaga
keseimbangan air dan elektrolit serta mencegah dehidrasi. Gerakan retrograd dari
kolon adalah dengan memperlambat transit materi dari kolon kanan dan
meningkatkan absorpsi. Kontraksi segmental mempunyai pola yang paling umum,
kontraksi ini menurun oleh antikolinergik, meningkat oleh makanan dan obat
kolinergik (Guyton, 1997).
Sepertiga feses kering berisi bakteri yaitu sekitar 10¹¹-10¹²/gram dimana
bakteri anaerob lebih banyak dari bakteri aerob. Bacteroides adalah jenis bakteri
yang paling umum dijumpai, lalu diikuti Escherichia coli. Gas kolon berasal dari
udara yang ditelan, difusi dari darah, dan produksi intralumen. Bakteri
membentuk hidrogen dan metan dari protein dan karbohidrat yang tidak tercerna
(Guyton, 1997).

2.1.3 Histologi

Usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti bagian usus lainnya,
akan tetapi ada beberapa gambaran yang khas yang hanya dijumpai pada usus
besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul
dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal,
dengan demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap.
Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga menyebabkan usus tertarik
dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak
dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal
daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung villi atau rugae.
Kriptus lieberkūn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih
banyak sel goblet daripada usus halus (Eroschenco,2003).
9

2.1.4 Vaskularisasi

Pada usus besar, terdapat dua jenis pembuluh darah besar. Arteri mesenterika
superior adalah pembuluh darah yang memperdarahi bagian kanan (Sekum, Kolon
Ascendens, dan dua pertiga proksimal Kolon Transversum), termasuk
diantaranya: (1) Ileokolika, (2) Kolika Dekstra, (3) Kolika Media. Sedangkan
Arteria mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal Kolon
Transversum, Kolon Descendens dan Sigmoid, dan bagian proksimal Rektum),
termasuk diantaranya: (1) Kolika Sinistra, (2) Sigmoidalis, (3) Rektalis Superior
(Eroschenco,2003).

2.1.5 Persarafan

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian
sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol volunter (Price & Wilson, 2003).
Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesenterikus superior dan inferior. Sekum,
appendiks dan kolon asendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan
parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesenterikus superior, sedangkan
kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Serabut-serabut nervus vagus hanya mempersarafi
dua pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon desendens dipersarafi
serabut-serabut simpatis dari pleksus saraf mesenterikus inferior dan saraf
parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 1997). Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan (Price &
Wilson, 2003).
10

2.2 ILEUS OBSTRUKTIF

2.2.1 Definisi

Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau tindakan. Ileus
ada 2 macam, yaitu Ileus Obstruktif dan Ileus Paralitik (Sjamsuhidajat & Jong,
2014).
Ileus Obstruksi adalah keadaan yang terjadi ketika usus besar maupun usus
halus terhambat baik secara parsial ataupun komplit, sehingga isi lumen saluran
cerna (makanan maupun cairan) tidak bisa disalurkan ke distal atau anus
(Nejatollahi & Etemad, 2016). Hambatan atau sumbatan tersebut dapat
disebabkan oleh kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang
menekan, atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan
nekrosis segmen usus tersebut (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Obstruksi pada usus halus lebih sering terjadi daripada usus besar dan
merupakan indikasi pembedahan. Obstruksi intestinal diklasifikasikan sebagai
parsial, komplit, maupun closed loop. Obstruksi closed loop merujuk pada jenis
obstruksi pada usus halus atau besar yang memiliki obstruksi komplit bagian
distal dan proksimal segmen usus tertentu (Smith et al, 2020).

2.2.2 Etiologi
Penyebab obstruksi usus yang sering ditemukan bergantung pada umur pasien
(Tabel 2.1). Pada bayi baru lahir/neonatus obstruksi usus disebabkan oleh
kelainan kongenital, seperti stenosis hipertrofi pilorus, atresia usus, malrotasi
dengan volvulus, sindrom sumbatan mekonium, penyakit Hirschsprung, atau
atresia ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih tua, penyebab obstruksi lebih
luas dan bervariasi. Obstruksi pada anak sering disebabkan oleh Intususepsi,
penyakit Hirschsprung dan Hernia Strangulasi Inguinalis Kongenital (Hryhorzuk
et al, 2013) (WHO, 2009).
11

Pada orang dewasa, obstruksi usus sering disebabkan tumor di dalam usus,
perlengketan dinding usus, Hernia Strangulasi pada kanalis inguinalis, femoralis
ataupun umbilikalis dan penyakit Crohn. Obstruksi pada pasien umur lanjut sering
disebabkan karsinoma usus besar, divertikel, hernia strangulasi, tinja membatu,
perlengketan dinding usus dan volvulus (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).

Tabel 2.1 Penyebab Obstruksi Menurut Kelompok Umur


Kelompok umur Penyakit
Bayi/neonatus Atresia, Volvulus, penyakit Hirschsprung
Anak-anak Intususepsi, hernia strangulasi inguinalis, kelainan
kongenital, penyakit Hirschsprung
Dewasa Neoplasma usus besar, adhesi, hernia strangulasi inguinalis,
femoralis dan umblikalis, dan penyakit Hirschsprung
Orang tua Karsinoma usus besar, penyakit divertikulum kolon, hernia
strangulasi, fecalith (tinja membatu), adhesi dan volvulus

Pada pasien penderita kanker, prevalensi obstruksi ialah sekitar 3-15% (Tuca
et al, 2012). Kanker primer pada abdomen yang paling sering menyebablan
obstruksi intestinal akibat malignansi terdapat di kolon (25-40%), ovarium (16%–
29%), lambung (6%–19%), pankreas (6%–13%), kandung kemih (3%–10%), dan
endometrium (3%–11%) (Ripamonti et al, 2008). Suatu penelitian menyatakan
bahwa dari beberapa penyakit keganasan, kanker kolorektal dan kanker ovarium
merupakan penyebab terbanyak (40% dan 28%) terjadinya obstruksi usus halus
sekunder akibat keganasan (Miller et al, 2000).
Penyebab potensial obstruksi pada usus halus dan usus besar juga dapat
diklasifikasikan menjadi ekstrinsik, intrinsik, atau intraluminal. Penyebab
obstruksi pada usus halus paling sering disebakan oleh masalah ekstrinsik, yaitu
proses adhesi setelah laparatomi. Adhesi signifikan dapat menimbulkan
kinking/belitan pada usus sehingga menimbulkan obstruksi (Smith et al, 2020).
Sekitar ¾ kasus obstruksi usus mekanik pada usus halus terjadi oleh karena adhesi
intraperitoneal. Seperempat kasus lainnya disebabkan oleh penyakit Crohn (7%),
tumor intraabdomen (5%), dan hernia (2%) (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
12

Gambar 2.2 Penyebab obstruksi usus halus (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).

Penyebab obstruksi pada kolon yang paling sering adalah adenokarsinoma


kolon dan rektum, volvulus, dan striktur akibat divertikulitis. Ketiga penyebab
tersebut mencakup sekitar 90% dari penyebab obstruksi kolorektal.
Adenokarsinoma sendiri mencakup lebih dari setengah kasus obstruksi kolorektal.
Kanker kolon yang paling sering menyebabkan obstruksi terletak pada bagian
distal dari fleksura lienalis, dimana diameter kolon relatif lebih kecil dan
konsistensi tinja lebih padat. Kanker pada bagian kolon kanan dapat
mengakibatkan obstruksi apabila telah mencapai ukuran yang cukup besar.
Volvulus pada kolon paling sering terjadi pada sekum (75%) dan kolon sigmoid
(22%) (Turnage, 2010).

2.2.3 Patofisiologi
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan
gas (70% dari gas yang ditelan) dan meningkatkan tekanan intralumen. Akibat
peningkatan tekanan tersebut, pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah pun
menurun. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna
13

setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen


dengan cepat. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan penurunan
absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal
peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas
akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga
peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia (Sjamsuhidajat
& Jong, 2014).
Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana,
distensi timbul tepat di proksimal. Dalam usaha mendorong isi usus, peristaltik
akan melawan obstruksi dan menyebabkan nyeri episodik kram dengan masa
relatif tanpa nyeri di antara episode. Gelombang peristaltik lebih sering timbul
setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum dan setiap 10 menit di didalam ileum.
Aktivitas peristaltik mendorong udara dan cairan melalui obstruksi menyebabkan
suara auskultasi khas pada ileus obstruktif. Dengan berlanjutnya obstruksi, maka
aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan akhirnya tidak ada (Sjamsuhidajat &
Jong, 2014).
Jika ileus obstruktif terjadi secara terus-menerus dan tidak diterapi, maka
kemudian timbul muntah. Ileus obstruktif usus halus menyebabkan muntah dini
dengan distensi usus relatif sedikit, Kehilangan air, natrium, klorida, kalium
dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi dapat menyebabkan alkalosis
metabolik. Sedangkan pada ileus obstruktif usus besar, muntah bisa muncul lebih
lambat (jika ada). Bilapun timbul, biasanya pasien akan kehilangan isotonik
dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan penurunan
volume intravaskular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Maka jika terapi
tidak diberikan, maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung, hipotensi
dan syok (Sjamsuhidajat & Jong, 2014)
Ileus obstruktif strangulata dapat mengancam sirkulasi pada usus (mencakup
volvulus, pita lekat, hernia dan distensi). Mukosa usus yang normalnya bertindak
sebagai sawar (penghambat) bagi penyerapan bakteri dan produk toksiknya,
merupakan bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan dalam
aliran darah. Dengan strangulasi yang memanjang maka sawar mukosa akan rusak
14

dan timbul iskemik. Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) dapat
dengan mudah masuk melalui dinding usus ke dalam kavitas peritonealis
(Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Ileus obstruktif gelung tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar suatu
gelung usus tersumbat. Jenis ileus obstruktif ini lebih bahaya dibandingkan ileus
obstruksi yang lainnya, karena dapat berlanjut ke strangulasi dengan cepat
sebelum terbukti tanda dan gejala ileus obstruktif. Penyebab ileus obstruktif
gelung tertutup mencakup pita lekat melintasi suatu gelung usus, volvulus atau
distensi sederhana. Pada keadaan terakhir ini, sekresi ke dalam gelung tertutup
dapat menyebabkan peningkatan cepat tekanan intalumen, yang menyebabkan
obstruksi aliran keluar ke vena (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Karena kolon bukan organ pensekresi cairan dan hanya menerima sekitar 500
ml cairan tiap hari melalui katup ileocaecalis, maka penumpukan cairan tidak
timbul dan dehidrasi bukanlah sindroma yang berhubungan dengan ileus obstruksi
kolon. Bahaya paling mendesak justru karena distensi. Jika katup ileocaecalis
inkompeten, maka kolon yang distensi dapat didekompresi ke dalam usus halus.
Tetapi jika katup ini kompeten, maka kolon terobstruksi membentuk gelung
tertutup dan distensi kontinu menyebabkan ruptura pada tempat berdiameter
terlebar (biasanya di sekum). Hal didasarkan atas hukum Laplace, yang
mendefinisikan tegangan di dalam dinding organ tubular pada tekanan tertentu
berhubungan langsung dengan diameter tabung itu. Karena diameter kolon
melebar di dalam sekum, maka area ini yang biasanya akan pecah pertama kali
(Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
15

Gambar 2.3 Patofisiologi Ileus Obstruksi (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).


16

2.2.4 Klasifikasi

1. Menurut etiologinya :
Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3 :
a. Lesi entrinsik (esktraluminal) yaitu yang disebakan oleh adhesi
(postoperatif), hernia (inguinal, femoral, umbilikal), neoplasma
(karsinoma), dan abses intraabdominal.
b. Letak intrinsik yaitu didalam dinding usus, biasanya terjadi kerana
kelainan kongenital (malrotasi), inflamasi (penyakit Chron, divertikulitis),
neoplasma , traumatik, dan intususepsi.
c. Obtruksi menutup (intraluminal) yaitu penyebabnya dapat berada didalam
usus, misalnya benda asing batu empedu (Sjamsuhidajat & Jong,2014).
2. Menurut letak sumbatannya
Menurut letak sumbatannya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 2 :
a. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster
sampai ileum terminal).
b. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum
terminal sampai rektum) (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
3. Menurut Sifat Sumbatannya
Menurut sifat sumbatannya, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 2
berdasarkan stadiumnya, antara lain :
a. Obstruksi sederhana (simple obstruction) : obstruksi/sumbatan yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah).
b. Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangrene (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
17

2.2.5 Manifestasi Klinis

a. Obstruksi Sederhana

Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak,
yang jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Muntah
pada obstruksi usus halus jauh lebih sering, lebih banyak, dan bilious daripada
muntah pada obstruksi usus besar. Nyeri abdomen bervariasi dan sering dirasakan
sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Biasanya nyeri abdomen pada
obstruksi usus halus digambarkan sebagai kolik intermiten dan memberat saat
muntah. Sementara pada obstruksi usus besar nyeri bersifat kontinyu (Smith et al,
2020).
Obstruksi bagian tengah atau distal menyebabkan kejang di daerah
periumbilikal atau nyeri yang sulit dijelaskan lokasinya. Kejang hilang timbul
dengan adanya fase bebas keluhan. Muntah akan timbul kemudian, waktunya
bervariasi tergantung sumbatan. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang
dihasilkan semakin fekulen. Obstipasi selalu terjadi terutama pada obstruksi
komplit (Smith et al, 2020).
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi
akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam.
Distensi abdomen dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal dan
semakin jelas pada sumbatan di daerah distal. Peristaltik usus yang mengalami
dilatasi dapat dilihat pada pasien yang kurus. Bising usus yang meningkat dan
metabolic sound dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di
daerah distal (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).

b. Obstruksi Disertai Proses Strangulasi

Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai dengan
nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya bekas operasi atau hernia.
Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang
sangat hebat, menetap dan tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi
segera untuk mencegah terjadinya nekrosis usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
18

c. Obstruksi pada Kolon

Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat


sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus menerus
menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat terdengar keras
dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum
obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan usus besar.
Muntah timbul kemudian atau tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah
refluks. Bila akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak
gangguan pada usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan
valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan
perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan dindingnya yang lebih tipis.
Pemeriksaan fisik menunjukkan distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan
tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar metallic sound pada
auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya
strangulasi (Sjamsuhidajat & Jong,2014).

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis untuk ileus obstruktif tidak sulit, salah satu yang hampir
selalu harus ditegakkan atas dasar klinik adalah dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Permintaan untuk pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan laboratorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan
menunda untuk memulainya terapi yang segera. Diagnosis untuk ileus
obstruktif dapat diperoleh dari (Sjamsuhidajat & Jong, 2014):
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif, usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adesi dalam perut karena pernah
dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia. Pada ileus obstruktif usus halus
kolik akan dirasakan di sekitar umbilikus sedangkan pada ileus obstruktif
pada usus besar, kolik akan dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada
19

ileus obstruktif usus halus, akan berwarna kehijaun dan pada ileus
obstruktif usus besar onset muntahnya lama (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata berupa dehidrasi yang
mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada
abdomen akan dijumpai adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa
pada abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat
ditemukan darm contour (gambaran kontur usus) maupun darm steifung
(gambaran gerakan usus), biasanya tampak jelas pada saat penderita
mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga pada
ileus obstruksi yang berat. Penderita akan tampak gelisah dan menggeliat
sewaktu serangan kolik (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi akan didapatkan distensi abdomen dan perkusi timpani
yang menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan untuk mencari
adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup
defance musculair involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa
yang abnormal (Sjamsuhidajat & Jong, 2014). Nyeri tekan saat palpasi
dapat dijumpai pada obstruksi usus halus dan usus besar. Namun, pada
obstruksi usus halus, nyeri lebih bersifat fokal sementara pada usus besar
bersifat difus. Distensi yang disertai obstipasi biasanya sering dijumpai
pada obstruksi usus besar (Smith et al, 2020)
c. Auskultasi
Auskultasi pada ileus obstruktif akan terdengar bunyi episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush) di antara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dari perjalanan penyakitnya usus telah
berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak
ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan
dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif strangulata (Sjamsuhidajat &
Jong, 2014).
20

d. Colok Dubur
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rektum
dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus spingter ani
yang biasanya cukup namun ampula rekti sering ditemukan kolaps terutama
apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi. Mukosa rektum dapat ditemukan
licin dan apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada bagian
anorectum akan teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan,
konsistensi, serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat
dilewati oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan secara lokal maupun general
misalnya pada keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses di dalam
kubah rektum. Pada ileus obstruktif, feses tidak teraba pada colok dubur dan tidak
dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung tangan dapat ditemukan darah
apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus
(Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Diagnosis harus terfokus untuk membedakan antara ileus obstruksi
dengan ileus paralitik; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan
antara obstruksi parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana
dengan strangulasi. Hal penting yang harus diketahui saat anamnesis
adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya adesi) dan adanya
kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi
usus) yang dapat membantu kita untuk menentukan etiologi terjadinya
obstruksi. Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses
juga harus diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak, kehadiran
darah menuntun kita ke arah strangulasi (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan labortorium umumnya tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
21

ialah pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, blood, urea, nitrogen (BUN),


ureum amilase, dan kreatinin (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Pada ileus obstruksi sederhana, hasil pemeriksaan laboratorium dalam
batas normal. Selanjutnya ditemukan adanya homokonsentrasi,
leukositosis, dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum
amilase sering didapatkan pada semua jenis ileus obstruksi, terutama
strangulasi. Penurunan kadar serum Natrium, Klorida dan Kalium
merupakan manifestasi yang lebih lanjut, dapat juga terjadi alkalosis
akibat muntah. Bila BUN didapatkan meningkat menunjukkan
hipovolemia dengan azotemia prerenal (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
b. Pemeriksaan Radiologi
i. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau posisi
dekubitus) dan posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus
(diameter > 3 cm), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak,
dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitivitas foto abdomen untuk
mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun
spesitifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat ditemukan beberapa
gambaran, antara lain (Moses, 2010):
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi.
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi.
3) Posisi tegak atau dekubitus: air-fluid level.
4) Posisi supine dapat ditemukan:
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet.
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara
dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus
yang oedem.
7) Pseudotumor sign, gelung usus terisi oleh cairan (Moses, 2010).
22

Gambar 2.4 Dilatasi usus (Nobie, 2007).

Gambar 2.5 Multipel air fluid level dan string of pearls sign

(Nobie, 2007).
23

Gambar 2.6 Herring bone appearance (Nobie,2007).

Gambar 2.7 Coffee bean appearance (Bickle dan Kelly, 2002).


24

Gambar 2.8 Step ladder sign (Nobie, 2007).

ii. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosis dini atau obstruksi
strangulata dan menyingkirkan penyebab dari akut abdomen lain terutama
jika klinis dan temuan radiologis tidak jelas. CT-scan juga dapat
membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adesi, hernia karena
penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab
intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diameter usus halus sekitar 2,5 cm
pada bagian proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan diameter
sekitar 1 cm (Nobie, 2007).
Tingkat sensitivitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesitivisitasnya sekitar 70-90% untuk mendeteksi adanya obstruksi
intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal,
dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat melewati
bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT
scan juga dapat memberikan gambaran adanya strangulasi dan obstruksi
gelung tertutup. Obstruksi gelung tertutup diketahui melalui gambaran
dilatasi berbentuk U atau C akibat distribusi radial yang mesenterik
dengan berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai dengan
25

penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara di dinding usus),


gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam
dinding dari usus yang terkena. CT scan juga digunakan untuk evaluasi
menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya untuk mengetahui etiologi
dari obstruksi (Nobie, 2007).
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang
rendah (<50%) pada pendeteksian grade ringan atau obstruksi usus halus
parsial. Zona transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie,
2007)
iii. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi adanya
obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi dari obstruksi.
Namun, MRI memiliki keterbatasan antara lain kurang terjangkau dalam hal
transport pasien dan kurang dapat menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie,
2007)
iv. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi
dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi,
USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan
akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi
yang lain, USG dapat memperlihatkan peristaltik usus, hal ini dapat membantu
membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih
murah dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesitivitasnya
dilaporkan mencapai 100%. (Nobie, 2007)

2.2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2007):


1. Ileus paralitik.
2. Apendisitis akut.
3. Kolesistitis, kolelitiasis, dan kolik bilier.
4. Konstipasi.
26

5. Dismenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium.


6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease.
7. Pankreatitis akut.

2.2.8 Penatalaksanaan

Pasien dengan ileus obstruksi biasanya mengalami dehidrasi dan


kekurangan Natrium, Klorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonik seperti Ringer Laktat. Urin
harus dimonitor dengan pemasangan Foley Kateter. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal (Mahmoud et al, 2017).
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang
mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi
biasanya selalu diperlukan. Tujuan kedua adalah menghilangkan penyebab
ileus obstruksi. Kadang-kadang suatu penyumbatan akan sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan
(Mahmoud et al, 2017).
Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan
elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum
tercapai barulah dilakukan laparatomi (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Pemberian antibiotika spektrum luas pada obstruksi strangulasi
terbukti meningkatkan kelangsungan hidup. Tetapi, karena tidak selalu
mudah membedakan antara ileus obstruksi strangulata dan sederhana maka
antibiotik harus diberikan pada semua pasien ileus obstruksi
(Sjamsuhudajat & Jong, 2014).
. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif
dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi
operatif dilaporkan sebesar 60-85% pada obstruksi parsial (Sjamsuhidajat
& Jong, 2014).
27

Terapi Operatif

Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit


membutuhkan terapi operatif. Pendekatan non-operatif pada beberapa
pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan
bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan
masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia,
nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non-
operatif ini dilakukan dengan berbagai risikonya seperti risiko terjadinya
strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi
hingga terjadinya kerusakan akan menyebabkan usus menjadi ireversibel.
Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12-24 jam
masih dalam batas aman namun meningkatkan risiko terjadinya strangulasi
(Ullah et al., 2009).
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ
vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan
adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila
(Ullah et al., 2009):
1. Strangulasi.
2. Obstruksi lengkap.
3. Hernia inkarserata.
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan
pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter).
Penatalaksanaan pasien dengan ileus obstruksi dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah
menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik;
walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di
terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat
memberikan hasil yang lebih baik, daripada by pass yang panjang dengan
operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus (Ullah et al.,
2009).
28

Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai


viabilitas dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas
usus masih meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan
pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan
kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah
kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut
aman untuk dikembalikan. Selanjutnya dapat digunakan Doppler atau
kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas usus (Ullah et al., 2009).
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang
dikerjakan pada obstruksi ileus, yaitu: (Ullah et al., 2009)
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia inkarserata
non-strangulasi, jepitan oleh adesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang melewati
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intraluminal, penyakit Crohn,
dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-kutaneus pada bagian proksimal dari tempat
obstruksi, misalnya pada kanker stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
karsinomakolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan
operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena
keadaan penderitanya, misalnya pada kanker sigmoid obstruktif, mula-
mula dilakukan kolostomi saja, pada kemudian hari dilakukan reseksi usus
dan anastomosis. (Ullah et al., 2009).

2.2.9 Komplikasi

Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan


keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).
29

2.2.10 Prognosis

Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5-8% asalkan operasi


dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan
atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan
mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis
dan tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2007).

2.3 KARSINOMA KOLON

2.3.1 Definisi

Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus


besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau
rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus) (Shalko,2012).

2.3.2 Angka Kejadian

Kanker kolorektal merupakan penyebab tersering kanker yang


mengakibatkan morbiditas dan mortalitas di Amerika Utara, Eropa, dan
daerah lainnya yang memiliki gaya hidup dan kebiasaan yang serupa
(Bresalier, 2020). Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal
(KKR) adalah kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab
kematian kedua terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat. Telah
diprediksi bahwa pada tahun 2014 ada 96.830 kasus baru kanker kolon dan
40.000 kasus baru kanker rektum (American Cancer Society, 2014).
Secara global, KKR merupakan kanker ketiga terbanyak pada pria dan
kedua pada wanita, dengan mortalitas yang berparalel dengan
insidensinya. 1.4 juta kasus baru dan hampir 700,000 kematian terjadi di
dunia pada 2012 (Bresalier, 2020). Menurut Globocan (2018), kasus baru
kanker kolorektal adalah sebanyak 1.849.518 (10,2%) dengan angka
kematian sebanyak 880.792 (9,2%). Kasus baru pada pria adalah sebanyak
30

1.026.215 dan wanita 823.303 dengan kematian pada pria 484.224 dan
wanita 396.568. Di Asia, insidensi kanker kolorektal mencapai 957.896
(51,8% dari seluruh kasus di dunia) dan kematian sebesar 52,4% (World
Health Organization, 2019).
Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah
1 dari 20 orang (5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita
dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan
risiko individu untuk terkena kanker kolorektal. Angka kematian kanker
kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Hal ini berhubungan
dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker
kolorektal (Kemenkes RI, 2017). Di Amerika, prevalensi kanker
kolorektal sangatlah tinggi di rectum diikuti dengan caecum dan kolon
asendens, sigmoid, kolon transversum, dan kolon desendens.
31

Gambar 2.9 Insidensi karsinoma kolorektal (American Cancer Society, 2014).

2.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektal


merupakan hal yang penting untuk menentukan program screening dan
surveilans pada populasi dengan faktor risiko (Kemenkes RI, 2017).
Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel bereaksi
terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang
menjadi KKR (Kemenkes RI, 2017).
Terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan
risiko terjadinya KKR; faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu faktor yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk di
dalam faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah riwayat KKR
atau polip adenoma individu dan keluarga, serta riwayat individu penyakit
inflamasi kronis pada usus. Yang termasuk di dalam faktor risiko yang
dapat dimodifikasi adalah inaktivitas, obesitas, konsumsi tinggi daging
merah, merokok dan konsumsi alkohol periode sedang-sering (Kemenkes
RI, 2017).
a. Faktor Genetik

Sekitar 20% kasus KKR memiliki kaitan dengan riwayat keluarga.


Anggota keluarga tingkat pertama (first-degree) pasien yang baru
didiagnosis adenoma kolorektal atau kanker kolorektal invasif akan
memiliki peningkatan risiko kanker kolorektal. Kerentanan genetik
terhadap KKR meliputi sindrom Lynch atau hereditary nonpolpyposis
colorectal cancer (HNPCC) dan familial adenomatous polyposis. Oleh
karena itu, riwayat keluarga perlu ditanyakan pada semua pasien KKR
(Kemenkes RI, 2017).
32

b. Keterbatasan Aktivitas dan Obesitas

Aktivitas fisik yang tidak aktif atau physical inactivity merupakan


sebuah faktor yang paling sering dilaporkan sebagai faktor yang
berhubungan dengan KKR. Aktivitas fisik yang reguler mempunyai efek
protektif dan dapat menurunkan risiko KKR sampai 50%. American
Cancer Society menyarankan setidaknya aktivitas fisik sedang, seperti
jalan cepat selama 30 menit atau lebih selama 5 hari atau lebih setiap
minggu. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan
kelebihan berat badan yang juga merupakan sebuah faktor yang dapat
meningkatkan risiko KKR (Kemenkes RI, 2017).

c. Diet

Beberapa studi, termasuk studi yang dilakukan oleh American Cancer


Society menemukan bahwa konsumsi tinggi daging merah dan/atau daging
yang telah diproses meningkatkan risiko kanker kolon dan rektum. Risiko
tinggi KKR ditemukan pada individu yang mengkonsumsi daging merah
yang dimasak pada temperatur tinggi dengan waktu masak yang lama.
Selain itu, individu yang mengkonsumsi sedikit buah dan sayur juga
mempunyai faktor risiko KKR yang lebih tinggi (Kemenkes RI, 2017).

d. Suplemen Kalsium

Suplementasi Kalsium untuk pencegahan kanker kolorektal tidak


didukung data yang cukup. Sebuah penelitian meta-analysis randomized
controlled trials menemukan bahwa mengonsumsi suplementasi Kalsium
lebih dari 1.200 mg dapat menurunkan risiko adenoma secara signifikan.
Cara kerja Kalsium dalam menurunkan risiko KKR belum diketahui
secara pasti (Kemenkes RI, 2017).
33

e. Vitamin D

Beberapa studi menunjukan bahwa individu dengan kadar vitamin D


yang rendah dalam darah mempunyai risiko KKR yang meningkat. Namun
hubungan antara vitamin D dan kanker belum diketahui secara pasti
(Kemenkes RI, 2017).

f. Merokok dan Alkohol

Banyak studi telah membuktikan bahwa merokok tembakau dapat


menyebabkan KKR. Hubungan antara merokok dan kanker lebih kuat
pada kanker rektum dibandingkan dengan kanker kolon. Konsumsi
alkohol secara sedang dapat meningkatkan risiko KKR. Individu dengan
rata-rata 2-4 gelas alkohol per hari selama hidupnya, mempunyai 23%
risiko lebih tinggi KKR dibandingkan dengan individu yang mengonsumsi
kurang dari satu gelas alkohol per hari (Kemenkes RI, 2017).

g. Obat-Obatan dan Hormon

Aspirin, nonsteroid anti-inflammatory drugs (NSAID) serta hormon


paska menopause dikatakan dapat mencegah KKR. Bukti-bukti penelitian
kohort mulai mendukung pernyataan bahwa penggunaan aspirin dan
NSAID secara teratur dan jangka panjang dapat menurunkan risiko KKR.
Namun saat ini American Cancer Society belum merekomendasikan
penggunaan obat- obat ini sebagai pencegahan kanker karena potensi efek
samping perdarahan saluran cerna (Kemenkes RI, 2017).
Terdapat bukti ilmiah yang cukup kuat mengenai wanita yang
menggunakan hormon paska menopause mempunyai angka KKR yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan. Penurunan
risiko terbukti terutama pada wanita yang menggunakan hormon dalam
jangka panjang, walaupun risiko kembali meningkat seperti wanita yang
34

tidak menggunakan terapi hormon setelah tiga tahun penghentian terapi


(Kemenkes RI, 2017).
Penggunaan terapi hormon paska menopause tidak dianjurkan untuk
mencegah KKR karena dapat meningkatkan risiko kanker payudara dan
penyakit kardiovaskular. Saat ini American Cancer Society tidak
merekomendasikan obat-obat atau suplemen apapun untuk mencegah
KKR karena efektivitas, dosis yang tepat dan potensi toksik yang belum
diketahui secara pasti (Kemenkes RI, 2017) .

2.3.4 Diagnosis

A. Gejala Klinis

Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi
tinggi akan adanya KKR (Kemenkes RI, 2017):
a. Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis
Perdarahan per-anal disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare
selama minimal 6 minggu (semua umur), perdarahan per-anal tanpa gejala anal (di
atas 60 tahun), peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6
minggu (di atas 60 tahun), massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur),
massa intra-luminal di dalam rektum, tanda-tanda obstruksi mekanik usus, dan
setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-laki atau <10g%
untuk perempuan paska menopause) (Kemenkes RI, 2017).
b. Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-
rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan
menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal.
Ada 2 gambaran khas pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan
tepi, yang dapat berupa suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi
seperti cakram yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licindan berbatas
tegas, suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi, suatu bentuk khas dari ulkus
35

maligna dengan tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah yang dalam
(bentuk ini paling sering) dan suatu bentuk kanker anular yang teraba sebagai
pertumbuhan bentuk cincin. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai
adalah (Kemenkes RI, 2017):
i. Keadaan tumor : Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, serviks uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung
os koksigeus. Pada pasien perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi
melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor
tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi,
juga untuk menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak
dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur (Kemenkes RI, 2017).
ii. Mobilitas tumor : Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada
lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah lebih lanjut umumnya
terfiksir karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti
kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior
uterus.
iii. Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler
(Kemenkes RI, 2017).

B. Pemeriksaan Penunjang
i. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan
dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau dengan
kolonoskopi total. Kolonoskopi memberikan keuntungan sebagai berikut,
Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori
umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut,
atau perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset
gejala kronis yang asimtomatis (77 – 92%), diikuti oleh obstruksi (6 -
16%), dan perforasi dengan peritonitis lokal atau difus (2 – 7%). yaitu
tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip
36

kolorektal adalah 95%, kolonoskopi berfungsi sebagai alat diagnostik


(biopsi) dan terapi (polipektomi), kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan
melakukan reseksi synchronous polyp dan tidak ada paparan radiasi.
Sedangkan kelemahan kolonoskopi adalah pada 5–30% pemeriksaan tidak
dapat mencapai sekum, sedasi intravena selalu diperlukan, lokalisasi tumor
dapat tidak akurat dan tingkat mortalitasnya adalah 1 : 5.000 kolonoskopi
(Kemenkes RI, 2017).

ii.Barium Enema dengan Kontras Ganda


Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda
karena memberikan keuntungan sebagai berikut, sensitivitasnya untuk
mendiagnosis KKR: 65-95%, aman, tingkat keberhasilan prosedur sangat
tinggi, tidak memerlukan sedasi dan telah tersedia di hampir seluruh
rumah sakit. Sedangkan kelemahan pemeriksaan barium enema, yaitu lesi
T1 sering tak terdeteksi, rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di
rekto-sigmoid dengan divertikulosis dan di sekum, rendahnya akurasi
untuk mendiagnosis lesi tipe datar, rendahnya sensitivitas (70-95%) untuk
mendiagnosis polip <1 cm dan ada paparan radiasi (Kemenkes RI, 2017).

iii.CT Scan Colonography (Pneumocolon CT)


Pemeriksaan CT colonography dipengaruhi oleh spesifikasi alat CT
scan dan software yang tersedia serta memerlukan protokol pemeriksaan
khusus. Modalitas CT yang dapat melakukan CT colonography dengan
baik adalah modalitas CT scan yang memiliki kemampuan rekonstruksi
multiplanar dan 3D volume rendering. Kolonoskopi virtual juga
memerlukan software khusus (Kemenkes RI, 2017).
Keunggulan CT colonography adalah dapat digunakan sebagai
skrining setiap 5 tahun sekali (level of evidence 1C, sensitivitas tinggi di
dalam mendiagnosis KKR); toleransi pasien baik; dapat memberikan
informasi keadaan di luar kolon, dan termasuk untuk menentukan stadium
melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan kelenjar getah bening.
37

Sedangkan kelemahannya adalah tidak dapat mendiagnosis polip <10 mm;


memerlukan radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat menetapkan adanya
metastasis pada kelenjar getah bening apabila kelenjar getah bening tidak
mengalami pembesaran, jumlah spesialis radiologi yang berkompeten
masih terbatas, modalitas CT scan dengan software yang mumpuni masih
terbatas; jika persiapan pasien kurang baik, maka hasilnya sulit
diinterpratasi; permintaan CT scan abdomen dengan diagnosis klinis yang
belum terarah ke keganasan kolorektal akan membuat protokol CT scan
abdomen tidak dikhususkan pada CT colonography; dan tidak dapat
dilakukan biopsi atau polipektomi (Kemenkes RI, 2017).

Gambar 2.10 Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon (American Cancer
Society, 2014).

2.3.5 Sistem Tahapan (Staging)


38

Klasifikasi tahapan kanker digunakan untuk menentukan luas atau


ekstensi kanker dan nilai prognostik pasien. Sistem yang paling banyak
digunakan adalah sistem TNM. Sistem ini dibuat oleh American Joint
Committee on Cancer (AJCC) dan International Union for Cancer
Control (UICC). TNM mengklasifikasi ekstensi tumor primer (T), kelenjar
getah bening regional (N) dan metastasis jauh (M), sehingga staging akan
dinilai berdasarkan T, N dan M. Klasifikasi TNM yang terbaru adalah
TNM edisi ke 7 dan mulai digunakan pada 01 Januari 2010 (American
Cancer Society, 2014).

Tabel 2.2 Tumor Primer (T) (AJCC 8).


TX Primary tumor cannot be assessed.
T0 No evidence of primary tumor.
Tis Carcinoma in situ: intramucosal carcinoma (involvement of
lamina propria with no extensión through muscularis mucosae)
T1 Tumor invades the submucosa (through the muscularis mucosa
but not into the muscularis propria)
T2 Tumor invades muscularis propria.
T3 Tumor invades through the muscularis propria into
pericolorectal tissues.
T4 Tumor invades the visceral peritoneum or invades or adheres to
adjacent organ or structure
T4a Tumor penetrates to the surface of the visceral peritoneum.
T4b Tumor directly invades or is adherent to other organs or
structures.

Tabel 2.3 Kelenjar getah bening (N) (AJCC 8).


NX Regional lymph nodes cannot be assessed.
N0 No regional lymph node metastasis.
N1 One to three regional lymph nodes are positive (tumor in lymph
nodes measuring >0.2 mm), or any number o f tum or deposits
are present and all identifiable lymph nodes are negative
N1a One regional lymph node is positive
N1b Two or three regional lymph nodes are positive
N1c No regional lymph nodes are positive, but there are tum or
deposits in the
39

• subserosa
• mesentery
• or nonperitonealized pericolic, or perirectal/ m esorectal
tissues.
N2 Four or more regional nodes are positive
N2a Four to six regional lymph nodes are positive
N2b Seven or m ore regional lymph nodes are positive

Tabel 2.4 Metastasis (M) (AJCC 8).


M0 No distant metástasis by imaging, etc.; no evidence of tum or in
distant sites or organs (This category is not assigned by
pathologists.)
M1 Metástasis to one or more distant sites or organs or peritoneal
metástasis is identified
M1a Metástasis to one site or organ is identified without peritoneal
metastastis
M1b Metástasis to two or more sites or organs is identified w ithout
peritoneal metástasis
M1c Metástasis to the peritoneal surface is identified alone or with
other site or organ metastases

Tabel 2.5 Stadium Kanker Kolorektal (AJCC 8).


Stage T N M
O Tis NO MO
I T1-T2 NO MO
IIA T3 NO MO
IIB T4a NO MO
IIC T4b NO MO
IIIA T1-T2 N1/N1c MO
IIIA T1 N2a MO
IIIB T3-T4a N1/N1c MO
IIIB T2-T3 N2a MO
IIIB T1-T2 N2b MO
IIIC T4a N2a MO
IIIC T3-T4a N2b MO
IIIC T4b N1-N2 MO
IVA Any T Any N M1a
IVB Any T Any N M1b
IVC Any T Any N M1c
40

2.3.6 Tipe dan Derajat (Grading) Histopatologis


Lebih dari 90% karsinoma kolorektal merupakan adenokarsinoma
yang berasal dari sel epitel mukosa kolorektal; musinus, serrated, dan
signet ring cell merupakan jenis yang jarang dijumpai. WHO juga
menggambarkan beberapa varian yang jarang (<10%), yaitu
adenoskuamosa, neuroendokrin, sel skuamous, dan undifferentiated
carcinomas. Varian ini merupakan neoplasma derajat tinggi yang berisiko
menjadi agresif dibandingkan dengan adenokarsinoma. Adenokarsinoma
konvensional dikarakteristikkan dengan formasi glandular, yang
merupakan dasar dari grading histologi tumor. Adenokarsinoma well
differentiated >95% menunjukkan pembentukan kelenjar.
Adenokarsinoma moderately differentiated menunjukkan 50-95%
pembentukan kelenjar. Sedangkan, poorly differentiated lebih padat
dengan <50% pembentukan kelenkar. Dalam praktiknya, kebanyakan
adenokarsinoma kolorektal (~70%) didiagnosis sebagai moderately
differentiated (Johncilla & Yantiss, 2020) (Fleming et al, 2012).

Tabel 2.6 Varian morfologi karsinoma kolorektal (Johncilla & Yantiss,


2020).
Subtipe histologis Gambaran histologis
Adenokarsinoma tipe Pembentukan kelenjar pada mukosa kolon
intestinal
Adenokarsinoma Dijumpai kumpulan musin dan sel-sel tumor atau
musinus signet ring cell
Serrated Kelenjar serosa dan sel dengan sitoplasma
adenocarcinoma eosinofilik yang jernih
Signet ring cell Kluster infiltrative atau sel tunggal dengan nucleus
carcinoma eksentrik
Karsinoma kribiform Pertumbuhan kribiform dengan nekrosis tipe
komedo
Karsinoma mikropapilari Kluster kecil dengan sel neoplastik tanpa
fibrovaskular.
Sel tumor menunjukkan polaritas yang reverse
Karsinoma medulari Synctial nests dengan sel berukuran medium ke
besar disertai nucleus vesikular dan nucleoli
prominen.
Inflamasi intraepitelial dan peritumoral predominan
41

limfosit.
Karsinoma Kelenjar malignan dan komponen skuamosa.
adenoskuamosa
Karsinoma dengan Tumor sel spindle malignan dengan setidaknya
komponen sarkomatoid keratin fokal positif
Karsinoma sel skuamous Jaring-jaring skuamous dengan atau tanpa
keratinisasi
Karsinoma Karsinoma sel kecil atau besar dengan mitotik yang
(neuro)endokrin tinggi, indeks Ki-67 proliferasi, dan marker
imunoekspresi endokrin
Undifferentiated Karsinoma derajat tinggi tanpa morfologi atau bukti
carcinoma imunohistokemikal diferensiasi spesifik

a. Adenokarsinoma tipe intestinal


Tipe ini mengandung kelenjar angulasi besar atau fusi yang dibatasi oleh sel
dengan nucleus ovoid, kromatin, dan sejumlah gambaran mitosis. Tipe ini
biasanya mengandung debris nekrotik dan dikelilingi oleh stroma desmoplastic.
Karsinoma dengan elemen kelenjar >95% diklasifikasikan sebagai well
differentiated, formasi kelenjar 50-95%, 5-49%, dan <5% termasuk moderate,
poorly, dan undifferentiated carcinoma. Adenokarsinoma tubuloglandular derajat
rendah merupakan adenokarsinoma well differentiated yang mengandung kelenjar
tubular dan dibatasi oleh sel epithelial yang tidak diikuti reaksi desmoplastik
(Johncilla & Yantiss, 2020).
42

Gambar 2.11 Adenokarsinoma tipe intestinal derajat rendah (Johncilla & Yantiss,
2020).

Gambar 2.12 Adenokarsinoma tipe intestinal derajat tinggi (Johncilla & Yantiss,
2020).

b. Adenokarsinoma musinus
Adenokarsinoma musinus merupakan sekitar 10% karsinoma kolorektal. Tipe
ini dideskripsikan sebagai hadirnya musin ekstraselular setidaknya 50% dari
bolume tumor. Tipe ini menunjukkan ekspansil, pertumbuhan dengan strip,
43

kluster, atau sel tumor tersusun tunggal yang mengambang di atas musin.
Adenokarsinoma musin diklasifikasikan sebagai neoplasma derajat tinggi karena
sifarnya yang agresif. Sekitar 50% memiliki prognosis yang lebih baik daripada
tipe yang memiliki kemiripan morfologi dalam stadium serupa (Johncilla &
Yantiss, 2020).

Gambar 2.13 Adenokarsinoma musinus derajat rendah (Johncilla & Yantiss, 2020).

Gambar 2.14 Adenokarsinoma musinus derajat tinggi (Johncilla & Yantiss, 2020).

c. Serrated adenocarcinoma
44

Merupakan 8% dari seluruh karsinoma kolorektal. Tipe ini secara keseluruhan


disusun oleh sel epitelial neoplastik dengan sitoplasma jernih atau eosinofilik,
nukleus vesikular, nukleoli prominent, dan polaritas nuklear. Area diferensiasi
musinus dan penonjola tumor pada jembatan tumor lanjut seringkali
teridentifikasi tetapi tipe ini secara umum kekurangan tipikal debris nektotik
luminal dari karsinoma tipe intestinal. Sifat jenis ini tergantung abnormalitas
molekularnya (Johncilla & Yantiss, 2020).

Gambar 2.15a Serrated


adenocarcinoma (Johncilla & Yantiss, 2020).
d. Signet ring cell carcinoma
Karsinoma ini merupakan <1% dari karsinoma kolorektal dan sering
ditemukan pada usia <40 tahun, khususnya yang memiliki penyakit inflamasi
usus. Tumor ini memiliki sel medium hingga besar, dihesif, dengan sitoplasma
musinus dan eksentrik, hiperkromatik, dan nukleus mencakup 50% volume
tumor. Jenis ini memiliki tiga tipe pola, yaitu infiltrasi tunggal pada karsinoma
difus, sel signet ring di atas kolam musin, dan pertumbuhan tumor yang
bersifat sheetlike. Tumor tipe ini termasuk karsinoma derajat tinggi (Johncilla
& Yantiss, 2020).
45

Gambar 2.15b Signet ring

e. Karsinoma tipe kribiform komedo


Terdiri dari ruang ekspansil dan agregasi kumpulan kelenjar dengan lumina
bulat dan keterlibatan sedikit stroma. Biasanya menunjukkan rim perifer sel
tumor dengan pertumbuhan kribiform mengelilingi material nekrotik.
Kebanyakan tumor jenis ini muncul bersama tipe morfologi derajat tinggi
lainnya, seperti musinus, mikropapilari, dan serrated (Johncilla & Yantiss,
2020).

Gambar 2.16
Karsinoma tipe kribiform komedo (Johncilla & Yantiss, 2020).
46

f. Adenokarsinoma mikropapilari
Karsinoma mikropapilari murni pada kolorektum mencakup <1% semua
kanker kolorektalm tetapi sekitar 10% kanker kolorektal memiliki area
pertumbuhan mikropapilari. Tumor tipe ini memiliki ruang lacunar yang berisi
sel tumor dan tanpa stroma. Tipe ini mengandung sitoplasma eosinofilik dan
menunjukkan gambaran nuklear derajat tinggi dengan invasi limfovaskular
yang sering (Johncilla & Yantiss, 2020).

Gambar 2.17
Adenokarsinoma mikropapilari (Johncilla & Yantiss, 2020).

g. Karsinoma medulari
Karsinoma ini merupakan tumor padat yang menunjukkan pertumbuhan
kelenjar minimal. Mereka mengandung jarring sinsitial sel tumor polygonal
dengan sitoplasma eosinofilik dan nukleus vesikular yang besar dengan
nukleoli prominen
(Johncilla & Yantiss,
2020).
47

Gambar 2.18 Karsinoma medulari (Johncilla & Yantiss, 2020).

Tumor Kolon Jinak dan Ganas


Pada tahun 2009, WHO mengeluarkan klasifikasi tumor kolon dan retum
jinak dan ganas berdasarkan penampakan histologis, bukan karakteristik
moleulernya. Klasifikasinya dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 2.7 Klasifikasi Tumor Jinak dan Ganas
Tumor Epitelial Jinak dan Prekursornya
Serrated dysplasia, low grade
Serrated dysplasia, high grade
 Polip hiperplastik, tipe mikrovesikuler
 Polip hiperplastik, sel goblet

Polip adenomatosa, displasia low grade


Polip adenomatosa, displasia high grade
 Tubular adenoma, low grade
 Tubular adenoma, high grade
 Villous adenoma, low grade
 Villous adenoma, high grade
 Tubulovillous adenoma, low grade
 Tubulovillous adenoma, high grade
 Advanced adenoma

Neoplasia glandular intraepithelial, low grade


Neoplasia glandular intraepithelial, high grade
48

Tumor epithelial Maligna


Adenokarsinoma, NOS
 Adenoma-like adenocarcinoma
 Micropapillary adenocarcinoma
 Mucinous adenocarcinoma
 Poorly cohesive carcinoma
 Signet ring cell carcinoma
 Medullary adenocarcinoma
 Adenosquamous carcinoma
 Carcinoma, undifferentiated, NOS
 Carcinoma with sarcomatoid component

Neuroendocrine tumor, NOS


 Neuroendocrine tumor, grade 1
 Neuroendocrine tumor, grade 2
 Neuroendocrine tumor, grade 3
 L cell tumor
 Glucagon-like peptide producing tumor
 PP/PYY producing tumor
 Enterochromaffin cell carcinoid
 Serotonin producing carcinoid

Neuroendocrine carcinoma, NOS


 Large cell neuroendocrine carcinoma
 Small cell neuroendocrine carcinoma

Mixed neuroendocrine – nonneuroendocrine neoplasm (MiNEN)

2.3.6 Penatalaksanaan

Prinsip Reseksi

Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat


tumor dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada
kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi
49

bergantung pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel


kanker. Setiap jaringan yang menempel pada sel kanker, seperti omentum,
yang telah terinvasi, harus dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor
tidak dapat diangkat, maka terapi paliatif menjadi pilihannya (American
Cancer Society, 2014).
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau
adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa
seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field
defect) dan dipertimbangkan dilakukan kolektomi total atau subtotal. Jika
terjadi metachronous tumors (tumor kedua dari tumor primer kolon) maka
dilakukan juga dengan penatalaksanaan yang sama (American Cancer
Society, 2014).
Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu
menentukan kualitas reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak minimal 12 limfonodus yang terangkat memiliki tingkat
kesembuhan yang adekuat. Namun pada penelitian lain menunjukkan
bahwa jumlah limfonodus yang terambil tidak menentukan tingkat
kesembuhan (American Cancer Society, 2014).
Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi
tumor primer tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan
agar dilakukan anastomosis primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat
karsinomatosis, dan keadaan pasien stabil (American Cancer Society,
2014).
50

Gambar
2.19 Panjang
Tabel
reseksi2.8 Rangkuman penatalaksanaan kanker kolon (American Cancer Society,
pada
karsinoma 2014).
Stadium Terapi
kolon. A.
Stadium 0  Eksisi lokal atau polipektomi sederhana
(TisN0M0)  Reseksi en-bloc segmental untuk lesi yang tidak
memenuhi syarat eksisi lokal
Stadium I  Wide surgical resection dengan anastomosis tanpa
(T1-2N0M0) kemoterapi adjuvan
Stadium II  Wide surgical resection dengan anastomosis
(T3N0M0,T4a-  Terapi adjuvan setelah pembedahan pada pasien
bN0M0) dengan risiko tinggi
Stadium III  Wide surgical resection dengan anastomosis
(T apapun N1-  Terapi adjuvan setelah pembedahan
2M0)
Stadium IV  Reseksi tumor primer pada kasus kanker kolorektal
T apapun, N dengan metastasis yang dapat direseksi
apapun M1)  Kemoterapi sistemik pada kasus kanker kolorektal
dengan metastasis yang tidak dapat direseksi dan tanpa
gejala

Tabel 2.9. Rangkuman penatalaksanaan kanker rektum (American Cancer


Society, 2014).
Stadium Terapi
Stadium I  Eksisi transanal (TEM) atau
 Reseksi transabdominal + pembedahan teknik TME
bila risiko tinggi, observasi
51

Stadium IIA-IIIC  Kemoradioterapi neoadjuvan (5-FU/RT jangka


pendek atau capecitabine/RT jangka pendek),
 Reseksi transabdominal (AR atau APR) dengan
teknik TME dan terapi adjuvan (5-FU ± leucovorin
atau FOLFOX atau CapeOX)
Stadium IIIC  Neoadjuvan: 5-FU/RT atau Cape/RT
dan/atau locally atau5FU/Leuco/RT (RT: jangka panjang 25x),
unresectable reseksi trans-abdominal + teknik TME bila
memungkinkan danAdjuvan pada T apapun (5- FU ±
leucovorin or FOLFOX or CapeOx)

Stadium IVA/B  Kombinasi kemoterapi atau


(metastasis dapat  Reseksi staged/synchronous lesi metastasis + lesi
direseksi) rektum atau 5-FU/RT pelvis.
 Lakukan pengkajian ulang untuk menentukan
stadium dan kemungkinan reseksi.
Stadium IVA/B  Kombinasi kemoterapi atau 5-FU/pelvic RT.
(metastasis  Lakukan penilaian ulang untuk menentukan stadium
borderline dan kemungkinan reseksi.
resectable)
Stadium IVA/B  Bila simtomatik, terapi simtomatik: reseksi atau
(metastasis stoma atau kolon stenting.
synchronous  Lanjutkan dengan kemoterapi paliatif untuk kanker
tidak dapat lanjut.
direseksi atau  Bila asimtomatik berikan terapi non-bedah lalu kaji
secara medis tidak ulanguntuk menentukan kemungkinan reseksi.
dapat
dioperasi)

2.3.7 Prognosis

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah


sebagai berikut (Kemenkes RI, 2017):
52

a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi
pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah
operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk
memperoleh batas - batas negatif tumor (Kemenkes RI, 2017) .

2.4. Kanker Kolorektal dan Ileus Obstruksi

Dalam suatu penelitian terhadap 1004 pasien kanker kolon stadium IV,
dijumpai sebanyak 8% dirawat inap dengan obstruksi intestinal. Dalam analisis
multivariat, letak tumor pada sisi proksimal (HR, 1.22 [95% CI, 1.07–1.40]),
derajat tumor yang tinggi (1.34 [1.16–1.55]), tipe histologis musinus (1.27 [1.08–
1.50]), dan stadium N2 (1.52 [1.26–1.84]) berhubungan dengan terjadinya
obstruksi. Tumor right-sided, high-grade, dan musinus berkaitan dengan sekitar
20% sampai 40% peningkatan risiko obstruksi. Stadium nodal yang tinggi (N2)
juga meningkatkan risiko obstruksi sebesar 50% (Winner et al, 2015).
Namun, pada penelitian lainnya terhadap pasien kanker kolorektal dinyatakan
bahwa tumor yang berada pada sisi kiri (HR 2.093 [95% CI, 1.892–2.315]) lebih
berisiko daripada yang berada di sisi kanan (HR 1.583 [95% CI, 1.432–1.750])
dan rektum (HR 1). T4a lebih sering menyebabkan obstruksi (HR, 9.064 [95% CI,
6.824–12.039]), karena semakin tinggi T, semakin dalam infiltratnya dan terjadi
peningkatan ketebalan dinding usus yang menghambat pergerakan usus. Dalam
penelitian ini juga dinyatakan bahwa tipe histologi dan derajat kanker juga
memainkan peran terhadap onset obstruksi. Karsinoma misinus (HR 1.593 [95%
CI, 1.392–1.823]) dan signet-ring cell (HR 1.220 [95% CI, 0.875–1.701])
meningkatkan risiko obstruksi daripada adenokarsinoma. Differensiasi yang buruk
53

juga menjadi risiko berkembangnya obstruksi pada pasien kanker kolorektal (Lv
et al, 2019).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional. Data yang akan digunakan
merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis. Pada penelitian ini
peneliti ingin mengetahui prevalensi Ileus Obstukif pada pasien Tumor Kolorektal
di RSUP Haji Adam Malik periode 2015 – 2019.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dipilih sebagai lokasi
penelitian karena merupakan rumah sakit pusat dan rumah sakit rujukan di
Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2020
sampai November 2020.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien ileus obstruktif di RSUP
Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015 – 2019.
54

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Ileus
obstruktif di RSUP Haji Adam Malik Medan yang ada pada tahun 2015 – 2019.
Sampel pada penelitian ini diambil menggunakan teknik total sampling, dimana
seluruh populasi penelitian diikutsertakan menjadi sampel penelitian. Selain itu,
sampel yang akan diambil harus memenuhi kriteria inklusi serta tidak termasuk
dalam kriteria eksklusi selama penelitian berlangsung.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

a. Pasien Ileus obstruktif dengan kanker kolorektal


b. Pasien Ileus obstruktif bukan karena kanker kolorektal
c. Pasien berjenis kelamin perempuan atau laki-laki
d. Pasien berusia >18 tahun
e. Pasien di rawat inap di RSUP H. Adam Malik tahun 2015-2019

3.4.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien menderita Ileus Paralitik

3.5 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional

Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur

Ileus Ileus Obstruksi Observasi Rekam Penyebab Ileus Nomin


obstruktif adalah keadaan Medis obstruktif: al
dimana isi lumen Adhesif
saluran cerna tidak
Kanker
bisa disalurkan ke
kolorektal
distal atau anus
Hernia
karena ada
Strangulata
sumbatan atau
hambatan yang
55

disebabkan oleh
kelainan dalam
lumen usus,
dinding usus, atau
luar usus yang
menekan, atau
kelainan
vaskularisasi pada
suatu segmen usus
yang menyebabkan
nekrosis segmen
usus tersebut

Keganasan pada Nomin


kolorektal yang al

menyebabkan
ileus obstruktif
dibuktikan
berdasarkan
rekam medis dan
Hasil
Tumor telah dikonfirmasi Observasi - Ya
Histopatolo
Kolorektal
melalui gi - Tidak
pemeriksaaan
penunjang dan
diagnosis
ditegakkan oleh
dokter (periode
Januari 2015 –
Desember 2019)
Jenis Perbedaan Observasi Rekam Laki-laki, Nomin
Kelamin biologis Medis Perempuan al

dan fisiologis
yang
56

dapat
membedakan
laki-laki dengan
perempuan

Lamanya pasien Ordina


20-29 tahun,
hidup di dunia l
30-39 tahun,
sejak Rekam
Usia Observasi 40-49 tahun,
dilahirkan dan Medis
50-59 tahun
dinyatakan dalam
tahun ≥ 60 tahun

 Kolon Nomin
Asenden al
Letak tumor di  Kolon
Lokasi usus besar yang Rekam Transversum
Observasi
Tumor  Kolon
menyebabkan Medis
penyumbatan Desenden
 Sigmoid
 Rektum
Penatalak Jenis tindakan Observasi Rekam  Koreksi Nomin
sanaan operasi yang Medis sederhana al

dilakukan (simple
correction).
 Tindakan
operatif by-
pass. 
 Membuat
fistula
entero-
cutaneus
pada bagian
proximal
dari tempat
57

obstruksi
 Melakukan
reseksi usus
yang
tersumbat
dan
membuat
anastomosis
ujung –
ujung usus
 Adenokarsin Nomin
oma al
 Karsinoid

Jenis
Hasil tumor
Observasi Rekam
Tumor histopatologi dari  Gastroistesti
medis
jaringan tumor nal stromal
tumor
(GIST)

3.6 Alur Penelitian

Rekam Medis Pasien Ileus obstruktif

Penderita Ileus Obstruktif yang disebabkan Tumor


Kolorektal

Yang Memenuhi Kriteria Inklusi

Jenis Kelamin, Umur, Lokasi Tumor dan


Jenis Tumor, Tindakan operasi

Analisis Data
58

Gambar 3.1 Alur Penelitian

3.7 Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.7.1 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien Ileus
Obtruktif di RSUP Haji Adam Malik tahun 2015 – 2019. Data – data dari rekam
medis tersebut dicatat dan dikelompokkan berdasarkan variabel yang telah
ditentukan.

3.7.2 Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan variabel yang


sudah ditentukan, selanjutnya akan diolah dan dianalisis menggunakan program
SPSS (Statistic Package for Social Science) ver 22 dan disajikan dalam bentuk
tabel dan dideskripsikan.

Jumlah Ileus Obstruktif yang disebabkan kanker kolorektal × 100 %


Prevalensi=
Jumlah pasien Tumor Kolorektal

Anda mungkin juga menyukai