Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Telaah Kurikulum Pembelajaran Biologi

“Perkembangan Kurikulum di Indonesia”

Dosen Pengampu : Dwi Ratnasari, M. Pd

Kelompok 4

Anggota :

Nur Gilang Buana (2224190095)

Firda Amelia Yuniar (2224190052)

Hesti Oktaviani (2224190057)

Meliyana (2224190025)

Patwa Nurmakah (2224190024)

Putri Intan Pardede (2224190089)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSTAS SULTAN AGENG TIRTASAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat serta perlindungannya penulisan
dapat menyelesaikan makalah mengenai “Perkembangan Kurikulum di Indonesia” sesuai
pada waktunya.

“Tak ada gading yang tak retak “ begitupun dengan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulis memohon kritik dan saran yang membangun dalam
pengembangan atau perbaikan untuk makalah ini kedepannya.

Semoga dengan pembuatan makalah Telaah Kurikulum Pembelajaran Biologi yang


spesifik membahas mengenai “Perkembangan Kurikulum di Indonesia “  ini dapat
menambah informasi dan wawasan bagi kita tentang segala hal yang berhubungan dengan
perkembangan kurikum di Indonesia.

Serang, 5 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Cover ………………………………………………………………………………

Kata Pengantar …………………………………………………………………….

Daftar Isi……………………………………………………………………………

Bab I “Pendahuluan” ………………………………………………………………

Latar belakang …………………………………………………………

Rumusan masalah ………………………………………………………

Tujuan ………………………………………………………………

Bab II “Pembahasan” …………………………………………………………

Bab III “Penutup” ………………………………………………………………

Kesimpulan ………………………………………………………………

Saran ……………………………………………………………………

Daftar Pustaka ……………………………………………………………


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kegiatan proses pembelajaran, kurikulum sangat dibutuhkan sebagai
pedoman untuk menyusun target dalam proses belajar mengajar. Karena dengan
adanya kurikulum maka akan memudahkan setiap pengajar dalam proses belajar
mengajar. Selain itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan,
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, Indonesia mengalami berbagai
perkembangan dan perubahan kurikulum dari masa ke masa guna tercapainya tujuan
pendidikan nasional tersebut.
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus
sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah
hidup bangsa, ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak akan
ditentukan oleh kurikulum yang digunakan oleh bangsa tersebut sekarang. Nilai
sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat cenderung/selalu mengalami perubahan
antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kurikulum harus
dapat mengantisipasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara yang dianggap
paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan kurikulum merupakan suatu kegiatan yang memberikan
jawaban atas sejumlah tuntutan kebutuhan yang berkembang pada pendidikan.
Kurikulum dapat meramalkan hasil pendidikan atau pengajaran yang diharapkan
karena ia menunjukkan apa yang harus dipelajari dan kegiatan apa yang harus dialami
oleh peserta didik. Hasil pendidikan terkadang tidak dapat diketahui dengan segera
atau setelah peserta didik menyelesaikan suatu program pendidikan. Pembaharuan
kurikulum perlu dilakukan sebab tidak ada satu kurikulum yang sesuai dengan
sepanjang masa, kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman
yang senantiasa cenderung berubah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia?
2. Bagaimana latar belakang kurikulum berbasis kompetensi (KBK)?
3. Apa saja karakteristik dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK)?
4. Apa perbedaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dengan kurikulum
lainnya?
5. Apa pengertian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)?
6. Apa saja komponen rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)?
7. Apa prinsip penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)?
8. Bagaimana Langkah-langkah penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP)?
9. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP)?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui latar belakang kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
3. Untuk mengetahui karakteristik kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
4. Untuk mengetahui perbedaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dengan
kurikulum lainnya.
5. Untuk mengetahui pengertian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
6. Untuk mengetahui komponen dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP).
7. Untuk mengetahui prinsip penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP).
8. Untuk mengetahui Langkah-langkah penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP).
9. Untuk mengetahui apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Kurikulum Di Indonesia


Dalam dunia pendidikan, salah satu kunci untuk menentukan kualitas lulusan
adalah kurikulum pendidikannya. Karena pentingnya hal tersebut maka setiap kurun
waktu tertentu kurikulum selalu dievaluasi untuk kemudian disesuaikan dengan
dimensi-dimensi baru atau perkembangan zaman secara periodic untuk menyesuaikan
dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.
Berikut merupakan sejarah dari perkembangan kurikulum di Indonesia :
1) Kurikulum 1947 “Rentjana Pelajaran 1947”
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai
istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran, istilah ini
lebih popular dibanding istilah “curriculum” 3 (bahasa Inggris). Perubahan
arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rentjana Pelajaran
1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut
sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya
memuat dua hal pokok, yaitu :
(1) daftar mata pelajaran dan jam pengajaranya;
(2) garis-garis besar pengajaran.
Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi
sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan
yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan
sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut
kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih
menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka
dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi
Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang
diutamakan adalah : pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2) Kurikulum 1952 “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”
Setelah “Rentjana Pelajaran 1947”, pada tahun 1952 kurikulum di
Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap
mata pelajaran yang kemudian diberi nama “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang
paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap
rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan
dengan kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannya menunjukkan secara
jelas bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad,
Dirpendas periode1991-1995).
3) Kurikulum 1964, “Rentjana Pendidikan 1964”
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali
menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama
Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang
menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana4 , yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik,
keprigelan, dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran
diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan
dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4) Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana
Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dari segi tujuan
pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada
upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Dalam kurikulum ini tampak dilakukannya perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968
merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan
dasar, dan kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9
pokok. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. "Hanya
memuat mata pelajaran pokok saja," . Muatan materi pelajaran bersifat teoritis,
tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya
pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang
pendidikan. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan
dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
5) Kurikulum 1975
Kurikulum 19755 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih
efektif dan efisien. latar belakangi lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh
konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu," Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan
istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap
satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-
mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibuat sibuk
menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
6) Kurikulum 1984, “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum
ini juga sering disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Konsep
CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolahsekolah yang
diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara
nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA.
Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di
sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar
model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan.
7) Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-
kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang,
perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik
berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari
muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan
dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian,
keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompokkelompok
masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum.
Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum
1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi pelajaran
saja.
8) Kurikulum 2004, “KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)”
Sebagai pengganti kurikulum 1994 adalah kurikulum 2004, yang
disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)6. Suatu program
pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
pemilihan kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi
untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; dan pengembangan
pembelajaran. KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal,
berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi,
sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang
memenuhi unsur edukatif. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Struktur
kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester.
Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan
dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut. Pernyataan hasil belajar
ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan
hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa
ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”.
Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas
kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai
teknik penilaian. Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita
mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”
9) Kurikulum 2006, “KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)”
Pelaksanaan KBK masih dalam uji terbatas, namun pada awal tahun
2006, uji terbatas tersebut dihentikan. Dan selanjutnya dengan terbitnya
permen nomor 24 tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan permen nomor 22
tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan permen nomor 23 tahun 2006
tentang standar kelulusan, lahirlah kurikulum 2006 yang pada dasarnya sama
dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan
dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada jiwa dari desentralisasi sistem
pendidikan.
Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru
dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan
penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil
pengembangan dari semua mata pelajaran, dihimpun menjadi sebuah
perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah binaan dan
pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat.
10) Kurikulum 2013
Pemerintah melakukan pemetaan kurikulum berbasis kompetensi yang
pernah diujicobakan pada tahun 2004 (curriculum based competency).
Kompetensi dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk
mengembangkan berbagai ranah pendidikan; pengetahuan, keterampilan, dan
sikap dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan, khususnya pada jalur
pendidikan sekolah.
Kurikulum 2013 berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan
kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum
ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang
dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaianya dapat diamati dalam
bentuk perilaku atau keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria
keberhasilan. Kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta
didik menguasai sekurang-kurangnya tingkkat kompetensi minimal, agar
mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan
konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat. Setiap peserta didik harus
diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemamapuan dan
kecepatan belajar masing-masing.
Tema utama kurikulum 2013 adalah menghasilkan insan Indonesia
yang produktif, kreatif, inovatif, afektif, melalui pengamatan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Untuk mewujudkan hal
tersebut, dalam implementasi kurikulum, guru dituntut secara profesional
merancang pembelajaran secara efektif dan bermakna, mengorganisir
pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan
prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif, serta
menetapkan kriteria keberhasilan.

B. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)


Salah satu upaya untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan global
tersebut adalah dengan mengembangkan kurikulum pendidikan khususnya pada
pendidikan kejuruan yang mampu memberikan keterampilan dan keahlian untuk
dapat bertahan hidup dan berkompetisi dalam perubahan, pertentangan,
ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kesulitan dalam kehidupan. Salah satu langkah
strategis untuk mengantisipasi permasalahan tersebut adalah dengan diterapkannya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Menurut Djemari Mardapi (2003), ada dua pertimbangan perlunya
menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pertama persaingan yang terjadi
di era global terletak pada kemampuan SDM hasil lembaga pendidikan, dan kedua
standar kompetensi yang jelas akan memudahkan lembaga pendidikan dalam
mengembangkan sistem penilaiannya. Berdasarkan dua pertimbangan tersebut,
sesungguhnya penerapan KBK bukan semata-mata sebagai upaya perbaikan terhadap
kurikulum sebelumnya, akan tetapi lebih disebabkan oleh situasi dan kebutuhan
masyarakat yang menuntut tersedianya SDM yang unggul dan kompeten.
a) Pengertian kurikulum berbasis kompetensi
Kurikulum dalam arti sempit dimaknai sebagai kumpulan
berbagai mata pelajaran / mata kuliah yang diberikan kepada peserta
didik melalui kegiatan yang dinamakan proses pembelajaran. Kerr dan
Kelly berpendapat seiring perkembangan ilmu pegetahuan, khususnya
sosio-teknologi, maka kurikulum diartikan secara lebih luas sebagai
keseluruhan proses pembelajaran yang direncanakan dan dibimbing di
sekolah / kampus, baik yang dilaksanakan di dalam kelompok atau
secara individual di dalam atau di luar sekolah / kampus (Kuartolo,
2002).
Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pada pasal 1 ayat (19), menyebutkan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3)
disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan:
- peningkatan iman dan takwa;
- peningkatan akhlak mulia;
- peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- keragaman potensi daerah dan lingkungan;
- tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- tuntutan dunia kerja;
- perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- agama;
- dinamika perkembangan global; dan
- persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Istilah kompetensi (competence) sering disandingkan, bahkan
acap disamakan dengan kinerja (performance) dan keterampilan (skill).
Ketiga istilah ini memang berhubungan erat secara timbal balik, namun
berbeda dimensi dan konsepnya. Kompetensi berdimensi batiniah,
tidak kasat mata (tidak terindra), dan mentalitas atau abstrak sifatnya,
karena berurusan dengan kewenangan atau kekuasaan untuk
memahami dan melakukan sesuatu. Sedangkan kinerja dan
keterampilan, berdimensi lahiriah, kasat mata (terindra) dan konatif
(psikomotoris, teknis) atau konkret, karena berhubungan dengan tindak
atau laku untuk memahami dan melakukan sesuatu. Kompetensi selalu
terwujud dalam kinerja dan keterampilan. Namun kinerja dan
keterampilan tidak selalu, malah tak pernah merupakan cermin atau
wujud seluruh kompetensi (yang dimiliki seseorang), melainkan
merupakan cermin atau wujud dari sebagaian kompetensi yang dimiliki
seesorang.
Berdasarkan konsep tersebut dapat diketahui bahwa pada
dasarnya kompetensi lebih bersifat mentalis dan sosiopsikologis dari
pada vokasional, meskipun sikap vokasional juga terkandung dalam
kompetensi. Sementara kinerja lebih bersifat konatif dan
sosiopsikologis dengan kandungan sifat vokasional yang sangat kuat.
Baik kompetensi, kinerja, maupun keterampilan mempunyai hubungan
timbal balik, sebagai contoh: kompetensi dapat dikenali melalui kinerja
dan keterampilan.
Menurut Depdiknas (2003) mendefinisikan kompetensi sebagai
pegetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang digunakan oleh
seseorang untuk berpikir, bertindak (memahami dan melakukan
sesuatu). Kompetensi ini dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar
dan indikatornya dapat diukur dan diamati, misalnya melalui kinerja
dan keterampilan. Hal senada dikemukakan oleh Matec (2001) yang
mendefinisikan kompetensi sebagai kesatuan dan kepaduan sejumlah
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diharapkan dapat
dikuasai oleh pembelajar yang termanifestasi ke dalam sejumlah
kinerja dan kegiatan.
Jadi menurut Depdiknas (2002:3), mendefinisikan bahwa
kurikulum berbasis kompetensi merupakan perangkat rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai
siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber
daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum
ini berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul
pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang
bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan
kebutuhannya. Penerapan KBK berorientasi pada pembelajaran tuntas
(mastery learning).
b) Latar belakang kurikulum berbasis kompetensi
Cukup banyak hal yang melatarbelakangi lahirnya KBK,
diantaranya adalah:
 lahirnya konsep tentang kecerdasan ganda (multiple
intelligence);
 tuntutan publik akan peningkatan kemampuan dunia
Pendidikan untuk mengikuti (beradaptasi) dengan
perubahan yang terjadi pada dunia pekerjaan;
 (3) kecenderungan dunia untuk segera memasuki abad
pengetahuan; dan
 (4) konsep tentang empat pilar belajar versi Unesco,
dan sejumlah variabel lain yang juga berpengaruh
signifikan terhadap lahir dan diberlakukannya KBK.

a. Empat Pilar Belajar Versi Unesco


Pembaharuan kurikulum nasional (yang kemudian
terkenal dengan KBK) merupakan respons terhadap hasil kerja
Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad XXI.
Komisi ini ditugasi Unesco untuk melakukan kajian masa
depan tentang berbagai kecenderungan, termasuk
kecenderungan perubahan jenis pekerjaan, pekerjaan yang akan
muncul dan yang akan hilang, akibat revolusi pengetahuan, dan
bagaimana pendidikan harus direncanakan sekarang. Komisi ini
merekomendasikan bahwa jika pendidikan ingin berhasil
melaksanakan tugastugasnya, maka pendidikan hendaknya
dibangun disekitar empat jenis belajar yang fundamental
sifatnya, yang di sepanjang hayat seseorang, dapat dikatakan
sebagai sendi (pilar) pengetahuan, yakni: belajar mengetahui,
belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi
seseorang (Delors, 1999).
Pertama belajar mengetahui (learning to know), ini
bukanlah jenis belajar memperoleh informasi yang sudah
dimodifikasi, dirinci, melainkan menguasai instrumen-
instrumen pengetahuan ini memampukan setiap orang untuk
memahami sedikitnya tentang lingkungan untuk dapat hidup
dalam harkatnya, untuk mengembangkan kecakapan kerja, dan
untuk berkomunikasi (di samping juga mendasari kegemaran
untuk memahami, mengetahui, dan menemukan). Oleh karena
itu penting bagi semua orang dimanapun mereka berada untuk
mampu memperoleh pengetahuan tentang metode ilmiah,
metode belajar bagaimana belajar, mengetahui cara untuk dapat
mengetahui, sehingga ia bisa mengetahui tentang sesuatu yang
ia perlukan untuk dapat mengetahui, sehingga setiap saat
bertambah pengetahuannya. Pendidikan formal dalam
pandangan masa depan, tak memadai lagi menyediakan
sejumlah pengetahuan bagi siswa / mahasiswa untuk digunakan
sebagai bekal hidup selanjutnya. Pertumbuhan pengetahuan
yang demikian masif dengan perubahan begitu cepat, tak
mampu lagi dikejar oleh institusi pendidikan yang bertumpu
pada paradigma “pembekalan” sejumlah banyak pengetahuan
bagi siswa / mahasiswa. Oleh karena itu, jauh lebih penting dari
pada belajar tentang susunan pengetahuan adalah belajar
instrumen-instrumen pengetahuan itu sendiri.
Kedua belajar berbuat (learning to do) adalah jenis
belajar yang tidak terlepas dengan jenis belajar mengetahui.
Jenis belajar ini tidak sesederhana konsep tradisional dengan
mengajar siswa / mahasiswa untuk mempraktikkan apa yang
sudah dipelajari dalam rangka mempersiapkan seseorang untuk
tugas praktis perbuatan sesuatu, akan tetapi lebih merupakan
representasi belajar kecakapan hidup (suatu kecakapan yang
memadukan sejumlah unsur keterampilan kognitif, teknikal,
dan sikap). Belajar berbuat tidak dapat dipandang sebagai
transmisi sederhana keterampilan-keterampilan diskret.
Ketiga belajar hidup bersama (learning to live together)
merupakan antesis dari berbagai bentuk kompetisi, persaingan,
perselisihan, pertengkaran, dan peperangan dalam berbagai
sektor kehidupan, misalnya sektor politik, ekonomi, budaya,
dan agama. Semangat yang dibangun adalah semangat
perdamaian, kebersamaan, keselarasan, dan keserasian
berkehidupan melalui usaha-usaha atau kerja kolaboratif untuk
mencapai tujuan bersama, dan bukan membangun semangat
kompetisi dan rivalisasi. Oleh karena itu kata kunci yang
ditawarkan adalah sinergi dan kolaborasi. Bahwa kemampuan
untuk bersinergi dan berkolaborasi merupakan modal seseorang
untuk sukses di masa depan.
Keempat belajar menjadi seseorang (learning to be)
merupakan tujuan akhir dari proses pembelajaran setelah orang
belajar mengetahui, belajar berbuat dan belajar hidup bersama.
Jenis belajar ini bertumpu pada asumsi bahwa manusia belajar
bagi dirinya sendiri untuk pemenuhan perkembangan seutuhnya
setiap manusia, meliputi: jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan,
tanggung jawab pribadi, dan nilai-nilai spiritual.

b. Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi


KBK adalah seperangkat perencanaan dan pengaturan
pembelajaran yang sistematis guna mencapai kompetensi
tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa KBK merupakan
kurikulum yang berisi sejumlah kompetensi yang dibutuhkan
dan perlu dikuasai oleh pembelajar untuk menjalani kehidupan
mereka, baik untuk mendapatkan pekerjaan, bekerja,
melanjutkan studi, maupun belajar sepanjang hayat.
Kompetensi tersebut disusun dan dikemas sedemikian rupa
sehingga memungkinkan untuk dicapai dan dikuasai oleh
pembelajar (siswa / mahasiswa). Baik dalam tataran formal
maupun operasional di lapangan, KBK semestinya memiliki
karakteristik umum, yakni:
1) Berbasis kompetensi dasar, bukan berbasis isi atau
materi.
2) Bertumpu pada pembentukan kemampuan yang
diperlukan oleh siswa/mahasiswa, bukan penerusan
materi belajar.
3) Berpendekatan atau berpusat pembelajaran, bukan
pengajaran
4) Berorientasi pada pemerolehan pengalaman belajar
siswa / mahasiswa yang kaya, bukan perolehan
pengetahuan semata
5) Berpendekatan terpadu dan integratif, bukan diskret-
analisis yang terpisah.
6) Mengutamakan kebermaknaan, keorisinilan, dan
keontetikan proses pembelajaran.
7) Bermuatan multi-kecerdasan, multi-strategi.
8) Menggunakan asas maju berkelanjutan dan belajar
tuntas.
9) Berpusat pada siswa / mahasiswa, yang berati bahwa
siswa / mahasiswa menjadi subyek utama dalam
pembelajaran, dan guru / dosen menjadi fasilitator,
pendamping, dan sesama pembelajar.
10) Memberikan pengalaman belajar yang relevan dan
kontekstual.
11) Membentuk mental yang mantap dan kaya akan
pembelajaran.
12) Bersifat diversifikatif, pluralistik, dan multicultural.
c. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Versi
Depdiknas (Kasus di Perguruan Tinggi Indonesia) Untuk
perguruan tinggi, kehendak kurikulum nasional Tahun 2002
untuk mengembangkan pendidikan sesungguhnya ingin
bertumpu pada empat pilar UNESCO. Penerjemahan 4 pilar
tersebut ke dalam kurikulum nasional dituangkan dalam tiga
pedoman utama, yakni: peguasaan pengetahuan dan
keterampilan, sikap, dan pengenalan sifat pekerjaan. Akan
tetapi ketika sampai pada deskripsi matakuliah dengan
menyepadankan empat pilar Unesco dengan kelompok-
kelompok matakuliah, maka yang terjadi adalah “materialisasi”
kurikulum yang dalam hal ini justru menjadi antitesis empat
pilar belajar Unesco. Kurikulum nasional Tahun 2002 (untuk
perguruan tinggi), belajar mengetahui disepadankan dengan
sekelompok Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK),
belajar berbuat disepadankan dengan sekelompok Matakuliah
Keahlian Berkarya (MKB), belajar hidup bersama
disepadankan dengan sekelompok Matakuliah Berkehidupan
Bersama (MBB) dan matakuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK), dan belajar menjadi seseorang disepadankan dengan
sekelompok Matakuliah Perilaku Berkarya (MKB).
Penerjemaahn pilar Unesco menjadi muatan sekelompok
matakuliah ini tidak lain merupakan bentuk materialisasi
kurikulum, sehingga kurikulum nasional masih dikesani banyak
orang sebagai kurikulum berbasis isi. Diskursus yang terjadi
dikalangan para ahli ilmu pendidikan adalah bahwa: belajar
mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar
menjadi seseorang dalam pandangan Unesco merupakan siklus
belajar. Proses belajar ini bisa melekat dalam proses
pembelajaran setiap pelajaran / matakuliah, tidak hanya
sekelompok mata pelajaran / mata kuliah dengan hanya
ditujukan 48 untuk satu jenis belajar tertentu. Dengan perkataan
lain, dalam pembelajaran suatu mata pelajaran / mata kuliah
dapat dikembangkan belajar mengetahui, belajar melakukan,
belajar hidup bersama, dan belajar menjadi seseorang sekaligus
sebagai suatu siklus belajar. Akan tetapi kurnas menerjemahkan
secara berbeda. Satu pilar belajar mewujud pada kelompok
mata kuliah tertentu, sehingga berangkat dari empat pilar itu
akhirnya dikembangkan menjadi empat kelompok mata kuliah
(dalam kasus pengelompokan mata kuliah di perguruan tinggi).
Pro dan kontra terhadap fenomena ini pernah mengemuka pada
tahun 2003 s.d. 2004; namun sejauh ini, kurikulum nasional
yang tetap menjadi acuan dari implementasi KBK Perguruan
Tinggi di Indonesia. Pada kesempatan ini, segenap tenaga
fungsional kependidikan (Guru dan Dosen) dan juga sebagai
pengelola lembaga pendidikan dihadapkan pada dua pilihan:
mengimplementasikan KBK atau tidak. Jika pilihan jatuh pada
alternatif yang pertama, yakni mengimplementasikan KBK,
maka terdapat sejumlah konsekuensi yang harus dilakukan,
sebagai implikasinya.
d. Implikasi Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Implikasi dari pemberlakuan KBK cukup luas, terutama yang
menyangkut proses pembelajaran, diantaranya adalah :
pembaharuan pada lingkungan belajar, metode pembelajaran,
media belajar, bahan belajar, dan sebagainya. Semua itu
menuntut adanya guru / dosen yang juga berbasis kompetensi.
Belajar merupakan kegiatan aktif siswa / mahasiswa dalam
membangun makna atau pemahaman. Dengan demikian
guru/dosen perlu memberikan dorongan kepada siswa /
mahasiswa untuk mengunakan otoritasnya dalam membangun
gagasan. Tanggung jawab belajar ada pada siswa/mahasiswa,
tetapi guru / dosen bertanggung jawab untuk menciptakan
situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung
jawab untuk belajar sepanjang hayat para anak didiknya.
Berdasarkan hal tersebut guru / dosen perlu merancang materi,
metode, media, dan model penilaian sebagai “hidangan nikmat”
begi siswa/mahasiswa dengan sebuah pendekatan belajar yang
lebih memberdayakan dan melayani semua siswa/mahasiswa.
Dengan merujuk pada kompetensi dasar dan indikator
pencapaian hasil belajar, guru / dosen menciptakan situasi
pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa/mahasiswa
untuk belajar melalui kegiatan “mengalami sendiri” dalam
lingkuangan yang alamiah. Oleh karena itu perinsip kegiatan
pembelajaran KBK, adalah:

1) Berpusat pada siswa / mahasiswa


2) Belajar dengan berbuat dan melakukan
3) Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan
menantang
4) Mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan
nilai
5) Mengembangkan kemampuan social
6) Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah
ber-Tuhan
7) Mengembangakan keterampilan memecahkan masalah
8) Mengembangkan kreativitas siswa/mahasiswa
9) Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan
teknologi
10) Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang
baik
11) Belajar sepanjang hayat
12) Membangun kemampuan bersinergi dan berkolaborasi.
Letak perbedaan KBK dengan kurikulum (berbasis isi)
sebelumnya, adalah pemusatan perhatian pada perangkat
kemampuan lulusan yang dikehendaki, dan bukan pada
pengelaran materi dan penerusan materi. Ini berarti bahwa
penjabaran atau analisis materi dilakukan berdasarkan rumusan
kompetensi yang dikehendaki. Dalam pengejawantahannya,
dalam bentuk pengembangan kurikulum intruksional, guru /
dosen perlu mengembangkan peta kompetensi dari setiap
rumusan kompetensi yang ada di dalam kurikulum formal
berbasis kompetensi itu. Pengembangan peta kompetensi ini
akan menghasilkan deskripsi yang cermat broad-skill dan sub-
skill, dan dari sub-skill ini dapat ditemukan jabaran secara
cermat keterampilan kognitif dan teknikal (praktis), sehingga
materi (content of subject matter) dapat ditetapkan dan
kemudian ditata.

c) Karakteristik kurikulum berbasis kompetensi


 Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa,baik secara
individual maupun klasikal.
 Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman
 Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
 Sumber belajar bukan hanya guru,tetapi juga sumber belajar
yang lain yang memenuhi unsur edukasi
 Penilaian menekankan pada proses dan hasil dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi di


tunjukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan
cerdas dalam membangun identitas budaya dan
bangsanya,kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar
pengetahuan,keterampilan,pengalaman belajar yang
membangun integritas social,serta membudayakan dan
mewujudkan karakter nasional.dengan kurikulum ini
memudahkan guru dalam penyajian pengalaman belajar yang
sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu
pada empat pilar pendidikan universal (UNESCO),yaitu:
learning to know,learning to be,learning to do dan learning to
live together. (Dwi R.2003)
d) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP)
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan RPP.
Silabus merupakan sebagian sub-sistem pembelajaran yang terdiri dari
atau yang satu sama yang lain saling berhubungan dalam rangka
mencapai tujuan. Hal penting yang berkaitan dengan pembelajaran
adalah penjabaran tujuan yang disusun berdasarkan indikator yang
ditetapkan. Kurniawati menyatakan bahwa: “Perencanaan program
pembelajaran merupakan suatu penetapan yang memuat komponen-
komponen pembelajaran secara sistematis.Pemahaman analisis
sistematis di sini adalah proses perkembangan pendidikan yang akan
mencapai tujuan pendidikan agar lebih efektif dan efisien disusun
secara logis, rasional, sesuai dengan kebutuhan siswa, sekolah, dan
daerah (masyarakat).
Perencanaan program pembelajaran merupakan hasil
pemikiran, berupa keputusan yang akan dilaksanakan. Kurniawati
menambahkan bahwa: “Perencanaan program pembelajaran pada
hakekatnya merupakan perencanaan program jangka pendek untuk
memperkirakan suatu proyeksi tentang sesuatu yang akan dilakukan
dalam kegiatan pembelajaran. Lebih lanjut, Permendiknas Nomor 41
Tahun 2007 menyatakan bahwa: “Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan
pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar
yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perencanaan
pembelajaran adalah suatu upaya menyusun perencanaan pembelajaran
yang akan dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum sesuai dengan
kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah. Dalam KTSP, guru bersama
warga sekolah berupaya menyusun kurikulum dan perencanaan
program pembelajaran, meliputi: program tahunan, program semester,
silabus, dan rencana peleksanaan pembelajaran. Rencana pelaksanaan
pembelajaran dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan
belajar peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar. RPP
merupakan acuan guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk setiap
kompetensi dasar. Oleh karena itu, apa yang tertuang di dalam RPP
memuat hal-hal yang langsung berkaitan dengan aktivitas
pembelajaran dalam upaya pencapaian penguasaan suatu kompetensi
dasar
Komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Suatu
pembelajaran tidak akan memperoleh hasil yang maksimal apabila
tidak mencakup pemahaman yang benar terjadap komponen yang
wajib ada dalam rumusan tersebut. Menurut Permendiknas Nomor 41
Tahun 2007a, komponen RPP terdiri dari:
(a) identitas mata pelajaran,
(b) standar kompetensi,
(c) kompetensi dasar,
(d) indikator pencapaian kompetensi,
(e) tujuan pembelajaran,
(f) materi ajar,
(g) alokasi waktu,
(h) metode pembelajaran,
(i) kegiatan pembelajaran meliputi: pendahuluan, inti, penutup.
(j) sumber belajar,
(k) penilaian hasil belajar meliputi: soal, skor dan kunci jawaban.

Langkah- Langkah Menyusun RPP Secara teknis, seorang guru


harus memahami format yang baku dalam kegiatan penyusunan RPP,
mengingat sering kali terjadi perubahan yang mengakibatkan rumusan
RPP tersebut tidak tepat. Oleh karena itu, langkahlangkah menyusun
RPP antara lain:
a) mengisi kolom identitas,
b) menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan
yang telah ditetapkan,
c) menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan
indikator yang akan digunakan yang terdapat pada silabus yang
telah disusun,
d) merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang telah
ditentukan,
e) mengidentifikasi materi ajar berdasarkan materi
pokok/pembelajaran yang terdapat dalam silabus, materi ajar
merupakan uraian dari materi pokok/pembelajaran,
f) menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan,
g) merumuskan langkah-langkah yang terdiri dari kegiatan awal,
inti dan akhir,
h) menentukan alat/bahan/sumber belajar yang digunakan,
i) menyusun kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal,
teknik penskoran dan kunci jawaban.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menyusun RPP Dalam
penyusunan RPP perlu memperhatikan hal sebagai berikut:
1) RPP disusun untuk setiap kompetensi dasar yang dapat
dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih,
2) tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil
belajar yang harus dicapai oleh peserta didik sesuai dengan
kompetenrsi dasar,
3) tujuan pembelajaran dapat mencakup sejumlah indikator,
atau satu tujuan pembelajaran untuk beberapa indikator,
yang penting tujuan pembelajaran harus mengacu pada
pencapaian indikator,
4) kegiatan pembelajaran (langkah-langkah pembelajaran)
dibuat setiap pertemuan, bila dalam satu RPP terdapat 3 kali
pertemuan, maka dalam RPP tersebut terdapat 3 langkah
pembelajaran,
5) bila terdapat lebih dari satu pertemuan untuk indikator yang
sama, tidak perlu dibuatkan langkah kegiatan yang lengkap
untuk setiap pertemuannya.
(Isnawardatul B.2017)

Anda mungkin juga menyukai