Anda di halaman 1dari 42

Jurnal Asma PPOK

16 Juni 2015

Wily Pandu Ariawan


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hiperresponsif jalan napas
 Merupakan karakteristik fisiologis yang
abnormal pada asma
 Didefinisikan sebagai peningkatan sensitifitas
dan ukuran abnormal pada penyempitan
jalan napas yang merupakan respons dari
berbagai macam pemicu
 Pada klinis, responsifitas jalan napas
ditentukan oleh perangsangan bronkhial
yang biasanya menggunakan metakolin,
histamin atau adenosin 5’ monofosfat
(AMP) berupa aerosol
Cain H. Bronchoprovocation testing. Clin Chest Med 2001;22:651–659
Adenosin 5’ Trifosfat (ATP)
 Merupakan purin nukleotida yang ditemukan
pada setiap sel
 Memiliki peranan penting pada metabolisme
sel dan pembentukan energi
 ATP dilepaskan oleh sel baik disebabkan
proses fisiologis maupun patologis
 ATP ekstraseluler berperan sebagai sebuah
regulator fisiologis sekaligus mediator
endogen
 ATP berperan secara mekanis dalam
patofisiologi penyakit jalan napas obstruktif
Pelleg A, Schulman ES. Adenosine 5-triphosphate axis in obstructive airway diseases.
Am J Ther 2002; 9:454–464
Adenosin 5’ Trifosfat (ATP)

Sel Denritik

ATP Eosinofil

Sel Mast Histamin

Schulman ES, Glaum MC, Post T, et al. ATP modulates anti-IgE-induced release of
histamine from human lung mast cells. Am J Respir Cell Mol Biol 1999; 20:530–537
Adenosin 5’ Trifosfat (ATP)

Neurogenik
Vagal
ATP Bronkhokonstriksi
Ekstrasel &
Neuropeptida Inflamasi

Pelleg A, Schulman ES. Adenosine 5-triphosphate axis in obstructive airway diseases.


Am J Ther 2002; 9:454–464
Adenosin 5’ Trifosfat (ATP)
 Pada beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan pasien dengan asma memiliki
respons yang lebih intens (seperti
bronkhokonstriksi) untuk menghirup ATP
dibanding individu normal
 Pada kedua kelompok subjek penelitian,
menunjukkan bahwa ATP lebih poten
dibandingan metakolin dan histamin dalam
menurunkan nilai baseline FEP1 sebesar 15%

Pellegrino R, Wilson O, Jenouri G, et al. Lung mechanics during induced


bronchoconstriction. J Appl Physiol 1996; 81:964–975
AMP & Adenosin
 Adenosin adalah sebuah nukleosid purin yang
merupakan produk dari degradasi enzimatik
ATP
 Adenosin dalam bentuk aerosol memicu
bronkhokonstriksi pada penderita asma
namun tidak pada subjek yang sehat
 Karena respons terhadap dosis yang
diberikan identik antara adenosin dan AMP,
juga karena AMP lebih larut dibandingan
adenosin, maka AMP telah digunakan
sebagai pemicu bronkhial pada klinis
Polosa R, Rorke S, Holgate ST. Evolving concepts on the value of adenosine
hyperresponsiveness in asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Thorax
2002; 57:649–654
AMP & Adenosin
 Pengaruh dari adenosin dan AMP sebagian
besar dimediasi dengan merangsang
pelepasan mediator – mediator inflamasi
seperti histamin dan leukotrien dari sel mast
 Pengukuran respons jalan napas terhadap
AMP mungkin berguna dalam mengevaluasi
terapi anti inflamasi dan menilai status
penyakit akibat inflamasi jalan napas karena
alergi

Lee DK, Gray RD, Lipworth BJ. Adenosine monophosphate bronchial provocation and
the actions of asthma therapy. Clin Exp Allergy 2003; 33:287–294
ATP, AMP & Adenosin
 Pada penelitian sebelumnya, ATP dalam
bentuk aerosol (bukan AMP/adenosin) juga
menyebabkan bronkhokostriksi pada subjek
yang sehat
 Sebagai tambahan, ATP (bukan adenosin)
mengaktifasi vagal C fibers, juga secara
bersamaan mengaktifasi reseptor – reseptot
yang mampu beradaptasi dengan cepat atau
A-Λ Fibers pada jalan napas, sebuah proses
yang dimediasi oleh reseptor P2X yang
berbeda dari P1 reseptor adenosin
Pelleg A, Hurt CM. Mechanism of action of ATP on canine pulmonary vagal C fibre nerve
terminals. J Physiol 1996; 490:265–275
Hipotesis
 Sepertinya terlihat bahwa mekanisme aksi
ATP adalah “adenosin independen”, produk
dari degradasi enzimatiknya
 Hingga saat ini (saat penelitian ini dilakukan,
2005), perbandingan tes provokasi antara
ATP dan AMP pada pasien – pasien dengan
asma belum pernah dilakukan
 Hipotesis yang dibuat, pengaruh ATP inhalasi
akan berbeda dengan AMP inhalasi
 Pengaruh dosis ekuimolar aerosol ATP dan
AMP pada kaliber jalan napas, persepsi sesak
napas dan gejala – gejala lain diukur pada
subjek yang tidak merokok dan pasien asma
MATERIAL & METODE
Pasien
Disain Studi
 Disain pada penelitian ini adalah prospektif,
random dan double blind.
 Setiap subjek datang ke laboratorium dengan
3 tujuan :
1. Screening visit, prosedur yang dilakukan
termasuk; catatan medik, penilaian fungsi
paru, reversibilitas dan tes skin-prick
terhadap aeroalergen
2. Kunjungan ke – 2 & 3 dengan jarak 2 sampai
7 hari, pasien diberikan provokasi dengan
ATP atau AMP
Disain Studi
 Sebelum, segera setelah dan 30 menit setelah
provokasi, dilakukan tes spirometri
 Skor Borg untuk sesak napas ditentukan dan
gejala selain sesak napas dicatat
Tes Skin-Prick
 Standar sensitifitas kulit diukur terhadap 4
aeroalergen yang biasa didapat (debu rumah,
serbuk rerumputan, rambut kucing dan
Aspergillus fumingatus dengan kontrol positif
dan negatif)

Fungsi Paru
 Tes spirometrik dan reversibilitas digunakan
dengan menggunakan spirometer
Skor Borg
 Digunakan skala Borg yang telah
dimodifikasi, memberikan gambaran sesak
yang dirasakan dengan angka 0 hingga 10
 Semua subjek (yang memberikan respons
maupun tidak pada ATP/AMP) diminta untuk
memilih angka yang paling sesuai
menggambarkan sesak yang dirasakan
 Perubahan pada sesak yang dirasakan juga
digambarkan sebagai Λ Borg, yang
merupakan perbedaan skor Borg sebelum
dan sesudah provokasi
Tes Provokasi Inhalasi
 ATP dan AMP yang baru dilarutkan dalam
larutan saline untuk mengahasilkan jarak dari
konsentrasi yang digandakan antara
• 0.227 - 929 µmol/mL (0.125 - 512mg/mL)
untuk ATP
• 0.138 - 1152 µmol/mL (0.048 – 400mg/mL)
untuk AMP
 Diberikan dengan menggunakan breath-
activated dosimeter dengan output sebesar 10
µL per inhalasi
Chai H, Farr RS, Froehlich LA, et al. Standardization of bronchial inhalation challenge
procedures. J Allergy Clin Immunol 1975; 56:323–327
Tes Provokasi Inhalasi
 Dengan menggunakan penjepit hidung,
subjek menghirup sebanyak 5X larutan saline,
yang kemudian diikuti dengan konsentrasi
penggadaan berurutan dari ATM maupun
AMP
 VEP1 diukur 2 menit setelah inhalasi yang ke
– 5 hingga terjadi penurunan VEP1 hingga >
20% yang dicatat setelah inhalasi larutan
saline (nilai dasar) atau hingga dicapai
konsentrasi maksimal baik ATP maupun AMP
setelah inhalasi
Tes Provokasi Inhalasi
 Dosis provokatif menyebabkan penurunan
nilai VEP1 hingga 20% (PD20) yang dihitung
dengan menggunakan interpolasi dari kurva
respons dosis logaritmik
Analisis Statistik
 Berbagai perbedaan yang signifikan di antara
kelompok – kelompok dinilai dengan
menggunakan student t test
 Analisis variabel kategori diuji dengan
menggunakan tes X²
 Pearson correlation coefficient dan analisis
regresi linear digunakan untuk menganalisis
hubungan antara perubahan presentasi VEP1
dan skor Borg
Analisis Statistik
 Nilai PD20 untuk ATP dan AMP secara
logaritma diubah untuk menormalisasi
distribusi dan dipresentasikan sebagai rerata
geometrik
 Semua variabel numerik yang lain
diekspresikan sebagai rerata+ SEM dan nilai
yang signifikan ditetapkan sebagai p<0.05
HASIL
Responsifitas Jalan Napas
terhadap AMP dan ATP
 Tidak satu pun dari subjek yang tidak
merokok memberikan respons terhadap ATP
atau AMP
 Semua pasien asma (100%) memberikan
respons terhadap ATP
 Sebayak 90% pasien memberikan respons
terhadap AMP (menunjukkan >20%
penurunan nilai VEP1 lebih dari konsentrasi
maksimal yang diberikan)
Responsifitas Jalan Napas
terhadap AMP dan ATP
 Rerata geometrik PD20 ATP sebesar 48.7
µmol/mL (26.9 mg/mL) dan PD20 AMP
sebesar 113.5 µmol/mL (39.6 mg/mL) pada
subjek yang memberikan respons (p<0.05)
 Bronkhokonstriksi yang diprovokasi oleh ATP,
digambarkan sebagai presentasi dari nilai
dasar VEP1 (Λ VEP1), memiliki nilai lebih
besar dibandingkan yang disebabkan oleh
provokasi AMP pada kedua kelompok
Responsifitas Jalan Napas
terhadap AMP dan ATP
 Namun demikian, perbedaan tersebut
terlihat signifikan hanya pada pasien – pasien
dengan asma (Λ VEP1 ATP = 29% vs Λ VEP1
AMP = 22%, p<0.05)
Pengaruh dari Provokasi ATP
& AMP pada Keluhan Sesak
 Persepsi sesak, yang dinilai dengan
menggunakan skor Borg, meningkat secara
signifikan setelah provokasi ATP (mulai 0.1
sampai 3.3 p<0.01) dan AMP (mulai 0.2
sampai 2.5 p<0.01) pada pasien – pasien
dengan asma
 Λ Borg (perbedaan antara skor Borg sebelum
dan sesudah tes provokasi) setelah provokasi
ATP memiliki nilai yang lebih besar dibanding
kan setelah AMP pada pasien – pasien asma
Pengaruh dari Provokasi ATP
& AMP pada Keluhan Sesak
(Λ Borg ATP = 3.2 vs Λ Borg AMP = 2.3,
p<0.05) bahkan saat pasien yang tidak
memiliki rsepons terhadap AMP
dieksklusikan
 Terdapat korelasi negatif antara PD20 dan
skor Borg segera setelah, baik provokasi ATP
(r = -0.85 p<0.01) atau AMP (r = -0.88 p ,0.001)
ketika semua subjek dipertimbangkan
bersama
Pengaruh dari Provokasi ATP
& AMP pada Keluhan Sesak
 Sebaliknya, terdapat korelasi positif antara Λ
VEP1 dan skor Λ Borg setelah, baik provokasi
ATP (r = 0.82 p<0.0001) atau AMP (r = 0.77
p<0.0001)
Pengaruh dari Provokasi ATP
& AMP pada Keluhan Lain
 Sebanyak 16 subjek (80%) mengeluh batuk
setelah provokasi ATP, sedangkan provokasi
AMP memicu batuk pada 8 subjek (40%)
[p<0.05]
 Persentasi subjek yang mengeluhkan iritasi
tenggorokan lebih tinggi setelah provokasi
ATP dibanding AMP (masing – masing 70% vs
35%; p<0.05)
Pengaruh dari Provokasi ATP
& AMP pada Keluhan Lain
 Subjek sehat yang mengeluhkan iritasi
tenggorokan lebih tinggi secara signifikan
setelah provokasi ATP dibanding AMP (80%
vs 20%, p<0.01)
 ATP menginduksi batuk pada 70% subjek
yang sehat, sedangkan ahanya 20% dari
mereka mengeluh batuk setelah diprovokasi
dengan AMP
 ATP dan AMP menyebabkan batuk pada
masing – masing 90% dan 60% pasien
dengan asma
DISKUSI
 Data – data menunjukkan bahwa ATP
merupakan bronkhokonstriktor yang lebih
poten dan memiliki pengaruh yang lebih
besar pada keluhan sesak dan gejala lain
dibandingkan dengan AMP pada pasien –
pasien asma
 Terlihat hubungan yang signifikan antara
perubahan akut pada ukuran jalan napas dan
skor Borg baik terhadap provokasi ATP
maupun AMP
 Semua pasien asma yang saat penelitian ini
dilakukan tidak merokok, merespon ATP,
90% di antaranya responsif terhadap AMP
 ATP 2.3 kali lipat lebih poten sebagai
bronkhokonstriktor dibandingkan AMP pada
pasien – pasien asma
 Derajat dari pasien – pasien yang
memberikan respons terhadap ATM dan AMP
berbeda pada setiap individu dengan asma
 Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya,
menunjukkan ATP aerosol memicu
bronkhokonstriksi pada subjek yang sehat
dan pasien asma yang tidak merokok;

Pellegrino R, Wilson O, Jenouri G, et al. Lung mechanics during induced


bronchoconstriction. J Appl Physiol 1996; 81:964–975
 Pada pasien – pasien asma, ATP 50 kali lipat
lebih poten dari metakolin dan 87 kali lipat
lebih poten dibanding histamin dalam hal
membuat penurunan nilai VEP1 sebesar 15%
 Meskipun pada penelitian ini telah digunakan
konsentrasi ATP yang sama, tidak satu pun
dari subjek sehat yang tidak merokok
memberikan respons terhadap ATP
 Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut dari
perbedaan ini

Pellegrino R, Wilson O, Jenouri G, et al. Lung mechanics during induced


bronchoconstriction. J Appl Physiol 1996; 81:964–975
 Peningkatan yang signifikan pada persepsi
sesak yang dinilai dengan menggunakan skor
Borg, diobservasi setelah provokasi ATP dan
AMP pada pasien asma, peningkatan ini lebih
tinggi setelah provokasi ATP
 Skor Borg berkorelasi dengan presentasi
penurunan nilai VEP1 baik setelah provokasi
ATP maupun AMP
 Temuan – temuan ini sejalan dengan apa
yang diteliti oleh Burdon et al, menunjukkan
rasa sesak yang digambarkan oleh skor Borg
meningkat pada subjek dengan asma saat
nilai VEP1 menurun
Burdon JG, Juniper EF, Killian KJ, et al. The perception of breathlessness in asthma. Am Rev
Respir Dis 1982; 126:825–828
 Telah diteliti sebelumnya bahwa AMP dan
metabisulfit, yang menyebabkan
bronkhokonstrisi melalui mekanisme tidak
langsung, memicu rasa tidak nyaman pada
pernapasan dengan nilai VEP1 yang lebih
rendah dibanding metakolin, yang bekerja
langsung pada sel – sel otot polos jalan napas
 Potensi diferensial ATP dan AMP dapat
dijelaskan dengan mekanisme yang berbeda,
ATP mengeksaserbasi mediator IgE histamin
dan mediator lain dari sel mast, basofil dan
eosinofil
Schulman ES, Glaum MC, Post T, et al. ATP modulates anti-IgE-induced release of histamine
from human lung mast cells. Am J Respir Cell Mol Biol 1999; 20:530–537
 ATP juga mengaktifasi sensor vagal saraf
terminal (C fibers) di paru, yang
menghasilkan refleks bronkhokonstriksi dan
kemungkinan pelepasan neuropeptida lokal
melalui refleks akson
 Pada penelitian ini subjek dilaporkan lebih
banyak mengalami keluhan batuk dan iritasi
tenggorokan setelah provokasi ATP
dibandingkan AMP
 Secara spesifik, ATP dan AMP memicu batuk
masing – masing pada 80% dan 40% subjek
 Karena nilai pH AMP (antara 3.1 - 4.3) dan
ATP (3.5 - 4.1), sehingga larutannya mirip
 Induksi diferensial batuk tidak dapat
dijelaskan dengan kadar pH larutan ATP yang
lebih rendah
 Walaupun batuk dan bronkhokonstriksi
dipercaya memiliki jalur persarafan aferen
yang berbeda, kedua gejala tersebut
seringkali timbul secara simultan dan
ditengarai memiliki hubungan yang erat
 Telah dijelaskan bahwa pemberian ATP
dengan cara bolus cepat, baik pada atrium
kanan maupun arteri pulmonalis anjing
menstimulasi kedua vagal pulmonary
capsaicin-sensitive C-fibers sebagai reseptor
Pelleg A, Hurt CM. Mechanism of action of ATP on canine pulmonary vagal C fibre nerve
terminals. J Physiol 1996; 490:265–275
yang memeiliki kemampuan adaptasi cepat
 ATP juga diketahui memiliki peran penting
pada mekanisme batuk
 Adenosin, yang merupakan produk turunan
ATP memiliki efek yang lebih poten
dibanding AMP pada persepsi sesak, induksi
batuk dan bronkhokonstriksi
 Berdasarkan data yang telah dikeluarkan saat
ini dan sebelumnya,maka ATP ekstraselular
dan reseptor – reseptor P2 memiliki peran
mekanik pada penyakit obstruksi jalan napas
dengan mengaktifasi persarafan sensoris
jalan napas yang dapat menjadi lebih sensitif
Pelleg A, Hurt CM. Mechanism of action of ATP on canine pulmonary vagal C fibre nerve
terminals. J Physiol 1996; 490:265–275
pada pasien – pasien dengan penyakit
obstruksi jalan napas
 Pemahaman yang lebih baik terhadap peran
ATP pada penyakit – penyakit jalan napas,
dapat mengarah pada terapi yang lebih baik
berdasarkan blokade selektif dari spesifik
subtipe purinoseptor pada paru

Anda mungkin juga menyukai