1. Pengertian
Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam
penggunaan teknologi dan/atau industri.
2. Penyebab
- Kebakaran.
- Kegagalan/kesalahan desain keselamatan pabrik teknologi.
- Kesalahan prosedur pengoperasian pabrik/ teknologi.
- Kerusakan komponen.
- Kebocoran reaktor nuklir.
- Dampak ikutan dari bencana alam (gempa bumi, banjir dan sebagainya)
- Kecelakaan transportasi (darat, laut, udara). (DIBAWAH INI PENGERTIAN
KECELAKAN TRANSPORTASI)
• Bangun daerah penyangga atau penghalang api serta penyebaran asap/pengurai asap.
penanggulangan asap, tanggap darurat dan evakuasi bagi pegawai serta penduduk di
sekitar .
• Sosialisasikan rencana penyelamatan kepada pegawai dan masyarakat sekitarnya
• Batasi dan kurangi kapasitas penampungan bahan bahan kimia yang berbahaya dan mudah
terbakar.
(BNPB, 2012)
Bencana kegagalan teknologi mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dan harta
benda, baik milik perorangan maupun milik umum. Ini dapat mengganggu dan bahkan
melumpuhkan kegiatan sosial dan ekonomi penduduk. Manusia akan meninggal karena
terbakar, hilang, sakit dan luka dan mengungsi. Sarana dan prasarana umum dan transportasi,
alat transportasi, sosial dan ekonomi yang rusak, terbakar, roboh atau hancur, seperti
angkutan umum, sekolah, rumah ibadah, pasar, gedung pertemuan, puskesmas, rumah sakit,
fasilitas pemerintahan, industri dan jasa yang berada di sekitar bencana kegagalan teknologi.
KECELAKAAN TRANSPORTASI
1. Pengertian
Kecelakaan (accident) adalah peristiwa hukum pengangkutan berupa kejadian atau
musibah, yang tidak dikehendaki oleh pihak-pihak, terjadi sebelum, dalam waktu atau
sesudah penyelenggaraan pengangkutan karena perbuatan manusia atau kerusakan
alat pengangkutan sehingga menimbulkan kerugian material, fisik, jiwa, atau
hilangnya mata pencaharian bagi pihak penumpang, bukan penumpang, pemilik
barang, atau pihak pengangkut. Kecelakaan transportasi adalah peristiwa atau
kejadian pengoperasian sarana transportasi yang mengakibatkan kerusakan sarana
transportasi, seperti korban jiwa dan/ atau kerugian harta benda.
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua
kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran
dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku
ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura- pura tidak tahu.
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman di
daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan.
Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai
sepeda dan sepeda terbang.
- Faktor Cuaca
Hari hujan juga memengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih
jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak
bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi
lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah
pegunungan
- Faktor Kendaraan
Faktor kendaraan yang paling sering adalah kelalaian perawatan yang dilakukan terhadap
kendaraan. Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan
diperlukan, di samping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor
secara reguler.
Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana dilakukan bila upaya pencegahan dan mitigasi bencana
telah dilaksanakan namun bencana tidak dapat dielakkan untuk ini perlu upaya kesiapsiagaan.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana harus dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana
saat bencana itu terjadi. Peringatan dini dan beberapa kegiatan tanggap darurat bencana
masuk dalam bagian ini.
Kegiatan ini meliputi penyiapan Posko bantuan bencana darurat, tempat evakuasi, tim reaksi
cepat evakuasi dan prosedur tetap.
Untuk tiap bencana dan masing-masing pemukiman perlu dilakukan dan disediakan hal-hal
berikut:
Pembentukan sistim keamanan pada saat bencana. Ini untuk memberi rasa
aman kepada warga yang meninggalkan rumahnya saat bencana.
Penyediaan air bersih dan sarana mandi, cuci, kakus (MCK) di lokasi
evakuasi.
Penyediaan air bersih di lokasi evakuasi. Saat ini sudah banyak tersedia alat
penjernih air yang mudah dibawa dan dipindahkan ke berbagai lokasi. Alat ini sangat
diperlukan saat terjadi evakuasi karena air jernih siap pakai sangat dibutuhkan saat
evakuasi.
Untuk bencana kegagalan teknologi dapat dilakukan peringatan dini bencana. Kegiatan
peringatan dini bencana meliputi:
Sebagai contoh, peringatan dini bencana kegagalan teknologi dapat bekerjasama dengan
BPBD/Satkorlak Bencana Daerah dan peringatan dini bencana oleh masyarakat. Semua
kegiatan peringatan dini tentu saja berkoordinasi dengan BNPB/BPBD, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat.
Oleh karena itu masing-masing Badan/Dinas yang berwenang tadi melakukan sendiri dan
memiliki prosedur tetap masing-masing untuk hal-hal berikut:
Saat ini masyarakat juga memanfaatkan alat yang dipakai secara tradisional,
seperti kentongan, lonceng, sirine, atau pengeras suara di mushola dan mesjid.
Organisasi ORARI dan RAPI selalu siap menyebarkan peringatan dini bencana.
Uji coba dan latihan sistem peringatan dini. Uraian kegiatan secara rinci
silakan lihat bagian.
Masyarakat dan tiap rumah tangga harus pula memiliki informasi penting
terkini berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti daftar nama, alamat, nomor
telepon orang-orang penting dan keluarga, lembaga, kantor polisi, Tim SAR, Palang
Merah, Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, relawan yang bisa dihubungi pada saat
bencana. Hal ini penting agar tiap keluarga dapat meminta bantuan kepada petugas
yang berwenang atau memberi kabar tentang keadaannya setelah bencana terjadi.
Gladi Simulasi Bencana atau latihan simulasi kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya
tentang peringatan dini dan evakuasi, harus dilakukan secara berkala dan rutin di lapangan
dan di sekolah-sekolah. Gunanya adalah untuk menguji tingkat kesiapsiagaan dan
membiasakan diri para petugas, siswa dan masyarakat menghadapi bencana.
TRAUMA HEALING (PEMULIHAN TRAUMA)
Trauma psikologis merupakan akibat dari adanya pengalaman traumatik yang terjadi pada
diri seseorang. Menurut Robinson Lawrence dan Jeanne (2014) sebenarnya untuk
menentukan suatu kejadian merupakan pengalaman traumatik adalah hal yang bersifat
subjektif. Ketika suatu kejadian dapat membuat seseorang terancam, tidak berdaya, dan
ketakutan, maka kejadian tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pengalaman traumatik.
Menurut Willey & Sons (2008) trauma psikologis merupakan keadaan yang terjadi akibat
peristiwa yang sangat mengejutkan dan menakutkan, bersifat mengancam bahaya fisik atau
psikis, bahkan hampir menyebabkan kematian. Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa
trauma psikologis dapat menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri sehingga
menimbulkan luka yang sangat sulit disembuhkan sepenuhnya. Berdasarkan pemaparan di
atas, dapat disimpulkan bahwa trauma psikologis merupakan suatu keadaan yang dihasilkan
dari pengalaman yang tidak menyenangkan yang mengakibatkan gangguan yang serius pada
mental seseorang
Berdasarkan aspek yang ada dalam diri manusia, Jaffe, Segal, dan Dumke (2005)
menyebutkan bahwa berikut ini adalah bentuk gejala-gejala yang mungkin timbul dari trauma
psikologis yang dirasakan oleh seseorang:
a. Fisik
1) Gangguan Makan
2) Gangguan tidur
3) Disfungsi Seksual
b. Emosional
2) Kecemasan
3) Serangan panik
4) Merasa takut
c. Kognitif
4) Merasa terganggu
5) Gejala ADHD
Herman (1992) menjelaskan bahwa pemulihan trauma tidak berarti pembebasan penuh
terhadap gejala trauma psikologis yang dimilikinya, melainkan mampu hidup dengan baik di
masa sekarang tanpa adanya pengaruh perasaan di masa lalu yang menganggu. Proses
pemulihan trauma yang baik adalah yang dilakukan secara bertahap dan berkala. Terdapat
tiga tahapan dalam proses pemulihan trauma, antara lain:
Orang yang mengalami trauma psikologis cenderung merasa bahwa dirinnya tidak aman juga
terjadi gangguan pada hubungannya dengan orang lain. Dalam tahap itu, individu perlu
mencari tahu bidang kehidupan apa yang perlu distabilkan dan bagaimana cara bergerak
untuk memulihkannya. Mereka memiliki emosi yang tidak stabil, terutama saat berhdapan
dengan stimulus yang membangkitkan ingatan tentang trauma.
Tujuan dari tahap ini adalah agar individu mampu untuk mengontrol dirinya apabila gejala
trauma psikologis muncul pada dirinya, setidaknya dapat mengurangi durasi dan frekuensi
timbulnya gejala trauma psikologis. Tahapan ini diharapkan dapat membantu individu yang
memiliki bahaya yang tidak dapat diprediksikan menjadi kemanan yang dapat diandalkan.
Tahapan ini dapat memerlukan waktu berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-
bulan. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan dari dirinya sendiri.
Tahap ini menyediakan ruang bagi individu untuk berduka dan mengekspresikan perasaan
mereka, tujuannya agar individu mampu mendapat ketabahan atas peristiwa yang
menimpanya. Setelah itu, diharapkan individu mampu menceritakan kembali kejadian
traumatis yang menimpanya dengan tenang dan tanpa emosi yang berlebihan.
4. Terapi Trauma
Terapi trauma tidak bisa diberikan seperti memakai baju untuk semua ukuran atau “All Size”,
harus diadaptasi untuk symptom yang berbeda-beda. Ahli kesehatan mental yang dilatih
dalam mengatasi trauma dapat mengakses kebutuhn unik korban yang selamat dari bencana
alam dan merencanakan penanganan ya gsesuai bagi mereka. Baru-baru ini ditemukan
beberapa modalitas terapi trauma:
a. Cognitive Behavioral Tharapy (CBT) mengajarkan orang menjadi lebih peduli pada
pemikiran dan keyakinan mereka tentang trauma dan memberi mereka kesempatan untuk
bantu mereka mereaksi pemicu emosi dengan cara yang lebih sehat.
b. Exposure Therapy (disebut juga dengan Vivo Exposure Therapy) adalah bentuk cognitive
Behavior Tharapy yang digunakan untuk mengurangi rasa takut yang diasosiasikan dengan
pemicu emosi yang disebabkan oleh trauma.
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif membantu untuk mengubah asumsi tidak realistis, keyakinan, dan otomatis
pikiran yang menyebabkan disturbingemotions dan gangguan fungsi. Sebagai contoh, trauma
korban sering memiliki rasa bersalah tidak realistis yang berkaitan dengan trauma: korban
dapat menyalahkan dirinya untuk perkosaan; seorang veteran perang mungkin merasa itu
adalah kesalahan bahwa sahabatnya dibunuh. Thegoal terapi kognitif adalah untuk mengajar
pasien untuk mengidentifikasi kognisi disfungsional sendiri tertentu, timbang theevidence
untuk dan melawan mereka, dan mengadopsi lebih realistis pikiran yang akan menghasilkan
emosi lebih seimbang.
b. Terapi Paparan
Paparan terapi: membantu orang untuk menghadapi situasi tertentu, orang-orang, benda,
kenangan, atau emosi thathave menjadi terkait dengan stres dan sekarang menimbulkan
ketakutan tidak realistis. Ini dapat dilakukan di bagi menjadi dua:
(1) Paparan imajinal: berulang emosional menceritakan traumatis kenangan sehingga mereka
tidak lagi menimbulkan highlevels tertekan.
(2) In vivo paparan: konfrontasi dengan situasi yang sekarang aman, tetapi yang orang
menghindari karena mereka havebecome terkait dengan trauma dan memicu rasa takut yang
kuat (misalnya, mengemudi mobil lagi setelah terlibat dalam kecelakaan-lekuk;
menggunakan elevator lagi setelah sedang diserang dalam Lift). Eksposur berulang
membantu orang menyadari bahwa situasi ditakuti tidak berbahaya dan bahwa ketakutan
akan menghilang jika seseorang tetap dalam situationlong cukup daripada melarikan diri itu.
c. Terapi Bermain
d. Edukasi Psikologi
Edukasi Psikologi mendidik pasien dan keluarga mereka tentang gejala PTSD dan berbagai
perawatan Yangyang yang tersedia untuk itu. Jaminan ini adalah mengingat bahwa gejala
PTSD normal dan expectable tak lama setelah trauma andcan diatasi dengan waktu dan
pengobatan. Juga mencakup pendidikan tentang gejala-gejala dan pengobatan gangguan
anycomorbid. Selain dari terapi-terapi di atas ada juga beberapa terpi yang dapat digunakan
dalam menangani PTSD yaitu gerakan desensitisasi pengolahan (EMDR), hipnoterapi,
andpsychodynamic psikoterapi, tetapi menurut para ahli terapi tersebut tidak menilai teknik-
teknik yang kurang tepat untuk pengobatan PTSD.
Indonesia telah meratifikasi Convention for the Unification of Certain Rules for International
Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu tentang Angkutan Udara
Internasional) yang telah ditetapkan pada tanggal 28 Mei 1999 di Montreal, Kanada. Hasil
ratifikasi tersebut menjadi aturan hukum nasional dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 95
Tahun 2016, akan tetapi perpres tersebut hanya berlaku untuk penerbangan internasional
Berdasarkan atau rute luar negeri, sehingga dalam perlindungan hukum korban kecelakaan
penerbangan nasional yang terbaru dan mengacu pada konvensi montreal masih berlaku
ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. konvensi montreal 1999
atau Perpres nomor 95 tahun 2016 maka besaran ganti rugi oleh korban penumpang. Adapun
nilai terbaru tanggung jawab pengangkut sesuai dengan yang telah ditentukan dalam
Konvensi Montreal 1999 adalah:
1. Jumlah kompensasi bagi penumpang yang meninggal atau menderita akibat kecelakaan
pesawat udara sampai dengan 113.100 Special Drawing Rights (SDR) atau sekitar Rp 2,03
miliar sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Jika penumpang ingin mengajukan klaim melebihi
batas 113.100 SDR tersebut, berlaku asas tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
(liability based on fault). Maskapai penerbangan harus membuktikan bahwa tidak ada
kesalahan yang disengaja di pihaknya sesuai dengan Pasal 21 ayat (2)
2. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh keterlambatan pesawat udara, maskapai
penerbangan wajib memberikan kompensasi maksimum 4.694 SDR atau sekitar Rp. 84,2 juta
sesuai dengan Pasal 22 ayat (1)
3. Untuk kehilangan, kerusakan, ataupun musnahnya barang bawaan dan bagasi, tanggung
jawab pengangkut udara dibatasi sampai dengan maksimum 1.131 SDR atau sekitar Rp 20,3
juta sesuai dengan Pasal 22 ayat (2)
Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim Identification) Interpol.
Proses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem
Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.
1. The Scene
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban
hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat
mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang
diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label
ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat.
Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
2. Post Mortem Examination
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk
mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi,
seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula
pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke
dalam pink form berdasarkan standar interpol.
3. Ante Mortem Information Retrieval
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data
sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian
yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi,
dan lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik
jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan
pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam
yellow form berdasarkan standar interpol.
4. Reconciliation
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria
minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.
5. Debriefing
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun
tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada satu fase
lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan
setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat
dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana,
prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus
dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang
tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang
harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah
beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing.