Anda di halaman 1dari 18

KEGAGALAN TEKNOLOGI

1. Pengertian
Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam
penggunaan teknologi dan/atau industri.

2. Penyebab
- Kebakaran.
- Kegagalan/kesalahan desain keselamatan pabrik teknologi.
- Kesalahan prosedur pengoperasian pabrik/ teknologi.
- Kerusakan komponen.
- Kebocoran reaktor nuklir.
- Dampak ikutan dari bencana alam (gempa bumi, banjir dan sebagainya)
- Kecelakaan transportasi (darat, laut, udara). (DIBAWAH INI PENGERTIAN
KECELAKAN TRANSPORTASI)

3. Gejala dan Peringatan Dini


 Kejadian sangat cepat (dalam hitungan detik atau jam) dan secara tiba-tiba
 Desain pabrik/industri harus dilengkapi dengan sistem monitoring dan sistem
peringatan akan bahaya kebakaran, kerusakan komponen/peralatan dan terjadinya
kondisi bahaya lainnya.
 Pelepasan bahan-bahan pencemar yang berbahaya pada umumnya tidak terlalu
cepat sehingga memungkinkan untuk memberikan peringatan dan evakuasi pekerja
dan masyarakat sekitarnya.
 Ledakan pabrik dalam beberapa kasus dapat diantipasi.

4. Mitigasi dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana


• Kurangi pemakaian bahan-bahan kimia yang berbahaya mudah terbakar .

• Tingkatkan ketahanan terhadap kebakaran dengan menggunakan material bangunan

ataupun peralatan yang tahan api.

• Bangun daerah penyangga atau penghalang api serta penyebaran asap/pengurai asap.

• Tingkatkan fungsi sistem deteksi dan peringatan dini.

• Perencanaan kesiapsiagaan dalam peningkatan kemampuan pemadaman kebakaran dan

penanggulangan asap, tanggap darurat dan evakuasi bagi pegawai serta penduduk di

sekitar .
• Sosialisasikan rencana penyelamatan kepada pegawai dan masyarakat sekitarnya

bekerjasama dengan instansi terkait.

Mitigasi dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana

• Tingkatkan kemampuan pertahanan sipil dan otoritas kedaruratan.

• Batasi dan kurangi kapasitas penampungan bahan bahan kimia yang berbahaya dan mudah

terbakar.

• Tingkatkan standar keselamatan di pabrik dan desain peralatan.

• Antisipasi kemungkinan bahaya dalam desain pabrik.

• Buat prosedur operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan teknologi.

• Pindahkan bahan/material yang berbahaya dan beracun.

(BNPB, 2012)

5. Kerusakan, korban dan kerugian akibat bencana

Bencana kegagalan teknologi mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dan harta
benda, baik milik perorangan maupun milik umum. Ini dapat mengganggu dan bahkan
melumpuhkan kegiatan sosial dan ekonomi penduduk. Manusia akan meninggal karena
terbakar, hilang, sakit dan luka dan mengungsi. Sarana dan prasarana umum dan transportasi,
alat transportasi, sosial dan ekonomi yang rusak, terbakar, roboh atau hancur, seperti
angkutan umum, sekolah, rumah ibadah, pasar, gedung pertemuan, puskesmas, rumah sakit,
fasilitas pemerintahan, industri dan jasa yang berada di sekitar bencana kegagalan teknologi.
KECELAKAAN TRANSPORTASI

1. Pengertian
Kecelakaan (accident) adalah peristiwa hukum pengangkutan berupa kejadian atau
musibah, yang tidak dikehendaki oleh pihak-pihak, terjadi sebelum, dalam waktu atau
sesudah penyelenggaraan pengangkutan karena perbuatan manusia atau kerusakan
alat pengangkutan sehingga menimbulkan kerugian material, fisik, jiwa, atau
hilangnya mata pencaharian bagi pihak penumpang, bukan penumpang, pemilik
barang, atau pihak pengangkut. Kecelakaan transportasi adalah peristiwa atau
kejadian pengoperasian sarana transportasi yang mengakibatkan kerusakan sarana
transportasi, seperti korban jiwa dan/ atau kerugian harta benda.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi


- Faktor Manusia

Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua
kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran
dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku
ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura- pura tidak tahu.

- Faktor Jalan dan Lainnya

Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman di
daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan.
Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai
sepeda dan sepeda terbang.

- Faktor Cuaca

Hari hujan juga memengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih
jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak
bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi
lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah
pegunungan

- Faktor Kendaraan
Faktor kendaraan yang paling sering adalah kelalaian perawatan yang dilakukan terhadap
kendaraan. Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan
diperlukan, di samping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor
secara reguler.

3. Mitigasi dan Upaya Pengurangan Resiko Bencana

- Hati - hati dalam berkendara, baik di darat, laut maupun udara.


- Cek kondisi mesin saat akan melakukan perjalanan, agar dapat terhindar dari kecelakaan
transportasi yang disebabkan oleh kondisi mesin kendaraan yang tidak layak jalan.
- Patuhi peraturan lalu lintas yang berlaku di jalan, baik di darat, laut maupun udara.
- Jaga kondisi tubuh dan mental pengemudi agar dapat mengemudi dengan benar.
- Persiapkan perjalanan sebaik mungkin, sehingga dapat meminimalisir terjadinya
kecelakaan transportasi.
KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI BENCANA

Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana dilakukan bila upaya pencegahan dan mitigasi bencana
telah dilaksanakan namun bencana tidak dapat dielakkan untuk ini perlu upaya kesiapsiagaan.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana harus dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana
saat bencana itu terjadi. Peringatan dini dan beberapa kegiatan tanggap darurat bencana
masuk dalam bagian ini.

1. Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana yang dilakukan meliputi:

 Penilaian Risiko Bencana dengan memperhatikan kearifan dan pengetahuan


masyarakat lokal meliputi: pengidentifikasian ancaman bencana dan kerentanan;
analisis risiko bencana, penentuan tingkat risiko bencana, dan pemetaan wilayah
risiko bencana.

 Penilaian kemampuan dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di daerah


rentan bencana.

 Perencanaan siaga dengan membuat skenario kejadian untuk tiap jenis


bencana yang dibuat kebijakan penanganannya, dikaji kebutuhannya, diinventarisasi
sumberdayanya yang diuji kaji dan selalu dimutakhirkan.

 Mobilisasi sumberdaya dengan invertarisasi sumberdaya yang dimilikinya dan


dari luar yang siap digunakan untuk keperluan darurat, seperti: barang pasokan
kebutuhan dasar (sembako) untuk darurat bencana dan bahan, barang, perlengkapan
dan peralatan untuk pemulihan rumah, sarana dan prasarana publik.

 Pendidikan di sekolah-sekolah dan Pelatihan pengelolaan dan teknis


pelaksanaan penanggulangan bencana secara berkelanjutan.

 Forum koordinasi dan pertemuan berkala secara rutin, saling bertukar


informasi dan menyusun rencana terpadu pada tingkat masyarakat dan jajaran
pemerintah daerah.

2. Pengelolaan Tanggap Darurat Bencana

Kegiatan ini meliputi penyiapan Posko bantuan bencana darurat, tempat evakuasi, tim reaksi
cepat evakuasi dan prosedur tetap.

Untuk tiap bencana dan masing-masing pemukiman perlu dilakukan dan disediakan hal-hal
berikut:

 Penentuan lokasi evakuasi, jalur ke lokasi evakuasi, papan tanda menuju


lokasi evakuasi, dan peta jalan menuju lokasi evakuasi. Sebaiknya setiap orang dan
keluarga melakukan uji coba evakuasi dengan mengikuti jalur yang sudah ditentukan.
 Penyediaan perlengkapan dan fasilitas di lokasi evakuasi.

 Pembuatan pedoman prosedur evakuasi pada saat bencana.

 Pembentukan Tim SAR dan melengkapi peralatan SAR yang dibutuhkan,


seperti perahu karet, peralatan komunikasi, lampu senter, pemngeras suara portabel,
dan sejenisnya.

 Pembentukan sistim keamanan pada saat bencana. Ini untuk memberi rasa
aman kepada warga yang meninggalkan rumahnya saat bencana.

 Kendaraan transportasi menuju lokasi evakuasi. Dalam beberapa bencana,


seperti gunung api meletus, lokasi evakuasinya biasa berjarak cukup jauh dari
pemukiman penduduk. Oleh karena itu perlu disiapkan alat transporatsi untuk
mengangkut pengungsi dengan cepat.

 Penyediaan air bersih dan sarana mandi, cuci, kakus (MCK) di lokasi
evakuasi.

 Penyediaan air bersih di lokasi evakuasi. Saat ini sudah banyak tersedia alat
penjernih air yang mudah dibawa dan dipindahkan ke berbagai lokasi. Alat ini sangat
diperlukan saat terjadi evakuasi karena air jernih siap pakai sangat dibutuhkan saat
evakuasi.

 Makanan di lokasi evakuasi. Dapur umum yang menyediakan makanan bagi


pengungsi, terutama anak-anak, harus disediakan sedini mungkin. Demikian pula
dengan alat-alat masak dan bahan bakunya. Tenaga relawan yang memasak bisa
mudah diperoleh saat evakuasi.

 Pertolongan pertama, pengobatan darurat dan obat-obatan penting di lokasi


evakuasi.

 Layanan medis di lokasi evakuasi. Dinas kesehatan pemerintah daerah, klinik


kesehatan, dinas kesehatan TNI, pelayanan kesehatan PMI dan lembaga lainnya
umumnya sudah siap sedia untuk memberi pelayanan kesehatan pada saat bencana. 

3. Kegiatan Peringatan Dini Bencana

Untuk bencana kegagalan teknologi  dapat dilakukan peringatan dini bencana. Kegiatan
peringatan dini bencana meliputi:

 Pengelolaan peringatan dini


Mengingat dapat terjadi bencana kegagalan teknologi di Indonesia maka dalam
perkembangannya pengelolaan peringatan dini untuk bencana juga dilakukan oleh berbagai
lembaga yang berwenang.

Sebagai contoh, peringatan dini bencana kegagalan teknologi dapat bekerjasama dengan
BPBD/Satkorlak Bencana Daerah dan peringatan dini bencana oleh masyarakat. Semua
kegiatan peringatan dini tentu saja berkoordinasi dengan BNPB/BPBD, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat.

Oleh karena itu masing-masing Badan/Dinas yang berwenang tadi melakukan sendiri dan
memiliki prosedur tetap masing-masing untuk hal-hal berikut:

 Pembangunan, pemasangan dan pengoperasian peralatan untuk mengamati


gejala bencana.

 Metode untuk menganalisa hasil pengamatan gejala bencana.

 Proses pembuatan keputusan status bencana berdasar hasil analisa masing-


masing badan/lembaga.

 Sistim penyebaran informasi hasil keputusan status bencana:

 Ketersediaan alat penyebaran informasi peringatan dini (telepon, radio baterai,


handy talky/HT). Semua badan dan lembaga yang melakukan kegiatan peringatan dini
tersebut di atas telah melengkapi kegiatannya dengan berbagai alat penyebaran
informasi peringatan dini. Untuk mendukung upaya penyebaran informasi peringatan
dini ini agar dapat mencapai semua penduduk di berbagai wilayah maka diharapkan
masyarakat juga memiliki peralatan ini, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
kelompok.

 Saat ini masyarakat juga memanfaatkan alat yang dipakai secara tradisional,
seperti kentongan, lonceng, sirine, atau pengeras suara di mushola dan mesjid.
Organisasi ORARI dan RAPI selalu siap menyebarkan peringatan dini bencana.

 Uji coba dan latihan sistem peringatan dini. Uraian kegiatan secara rinci
silakan lihat bagian.

4. Manajemen Informasi Bencana

 Sistem informasi yang dikembangkan untuk peringatan dini bencana


sebaiknya dikembangkan sedemikian rupa sehingga mudah diakses, dimengerti dan
disebarluaskan. Untuk ini isi dan bentuk informasinya harus: Akurat, Tepat waktu,
Dapat dipercaya dan Mudah dikomunikasikan.

 Masyarakat dan tiap rumah tangga harus pula memiliki informasi penting
terkini berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti daftar nama, alamat, nomor
telepon orang-orang penting dan keluarga, lembaga, kantor polisi, Tim SAR, Palang
Merah, Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, relawan yang bisa dihubungi pada saat
bencana. Hal ini penting agar tiap keluarga dapat meminta bantuan kepada petugas
yang berwenang atau memberi kabar tentang keadaannya setelah bencana terjadi.

5. Gladi Simulasi Bencana

Gladi Simulasi Bencana atau latihan simulasi kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya
tentang peringatan dini dan evakuasi,  harus dilakukan secara berkala dan rutin di lapangan
dan di sekolah-sekolah. Gunanya adalah untuk menguji tingkat kesiapsiagaan dan
membiasakan diri para petugas, siswa dan masyarakat menghadapi bencana.
TRAUMA HEALING (PEMULIHAN TRAUMA)

1. Pengertian Trauma Psikologis

Trauma psikologis merupakan akibat dari adanya pengalaman traumatik yang terjadi pada
diri seseorang. Menurut Robinson Lawrence dan Jeanne (2014) sebenarnya untuk
menentukan suatu kejadian merupakan pengalaman traumatik adalah hal yang bersifat
subjektif. Ketika suatu kejadian dapat membuat seseorang terancam, tidak berdaya, dan
ketakutan, maka kejadian tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pengalaman traumatik.

Menurut Willey & Sons (2008) trauma psikologis merupakan keadaan yang terjadi akibat
peristiwa yang sangat mengejutkan dan menakutkan, bersifat mengancam bahaya fisik atau
psikis, bahkan hampir menyebabkan kematian. Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa
trauma psikologis dapat menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri sehingga
menimbulkan luka yang sangat sulit disembuhkan sepenuhnya. Berdasarkan pemaparan di
atas, dapat disimpulkan bahwa trauma psikologis merupakan suatu keadaan yang dihasilkan
dari pengalaman yang tidak menyenangkan yang mengakibatkan gangguan yang serius pada
mental seseorang

2. Gejala Trauma Psikologis

Berdasarkan aspek yang ada dalam diri manusia, Jaffe, Segal, dan Dumke (2005)
menyebutkan bahwa berikut ini adalah bentuk gejala-gejala yang mungkin timbul dari trauma
psikologis yang dirasakan oleh seseorang:

a. Fisik

1) Gangguan Makan

2) Gangguan tidur

3) Disfungsi Seksual

4) Energi yang rendah

5) Merasakan sakit terus-menerus yang tidak bisa dijelaskan

b. Emosional

1) Depresi, menangis secara spontan, putus asa

2) Kecemasan

3) Serangan panik
4) Merasa takut

5) Kompulsif dan perilaku obsesif

6) Merasa luar kendali

7) Lekas marah, marah dan kebencian

8) Mati rasa emosional

9) Penarikan dari rutinitas normal dan hubungan

c. Kognitif

1) Penyimpangan memori, terutama tentang trauma

2) Kesulitan membuat keputusan

3) Penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi

4) Merasa terganggu

5) Gejala ADHD

3. Tahapan Pemulihan Trauma

Herman (1992) menjelaskan bahwa pemulihan trauma tidak berarti pembebasan penuh
terhadap gejala trauma psikologis yang dimilikinya, melainkan mampu hidup dengan baik di
masa sekarang tanpa adanya pengaruh perasaan di masa lalu yang menganggu. Proses
pemulihan trauma yang baik adalah yang dilakukan secara bertahap dan berkala. Terdapat
tiga tahapan dalam proses pemulihan trauma, antara lain:

a. Keamanan dan Stabilisasi

Orang yang mengalami trauma psikologis cenderung merasa bahwa dirinnya tidak aman juga
terjadi gangguan pada hubungannya dengan orang lain. Dalam tahap itu, individu perlu
mencari tahu bidang kehidupan apa yang perlu distabilkan dan bagaimana cara bergerak
untuk memulihkannya. Mereka memiliki emosi yang tidak stabil, terutama saat berhdapan
dengan stimulus yang membangkitkan ingatan tentang trauma.

Tujuan dari tahap ini adalah agar individu mampu untuk mengontrol dirinya apabila gejala
trauma psikologis muncul pada dirinya, setidaknya dapat mengurangi durasi dan frekuensi
timbulnya gejala trauma psikologis. Tahapan ini diharapkan dapat membantu individu yang
memiliki bahaya yang tidak dapat diprediksikan menjadi kemanan yang dapat diandalkan.
Tahapan ini dapat memerlukan waktu berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-
bulan. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan dari dirinya sendiri.

b. Mengingat dan Berduka


Tahap ini disebut juga tahap mengolah trauma. Proses ini biasanya dilakukan oleh terapis
atau konselor baik secara terapi individu atau terapi kelompok. Pada tahap ini, tidak
membutuhkan banyak waktu. Tahap ini adalah saat dimana individu mengeksplorasi cerita
dan berkabung terkait dengan trauma yang dialaminya. Individu diminta untuk menceritakan
pengalaman traumatiknya secara detail. Individu akan menjadi sangat emosional ketika harus
mengingat dan menceritakan tentang peristiwa traumatis, apalagi ketika harus menceritakan
tentang kerugian yang dialami yang diakibatkan oleh peristiwa traumatis tersebut.

Tahap ini menyediakan ruang bagi individu untuk berduka dan mengekspresikan perasaan
mereka, tujuannya agar individu mampu mendapat ketabahan atas peristiwa yang
menimpanya. Setelah itu, diharapkan individu mampu menceritakan kembali kejadian
traumatis yang menimpanya dengan tenang dan tanpa emosi yang berlebihan.

c. Menghubungkan dan Mengintegrasikan Dalam tahap ini,individu sudah dapat mengakui


dan menerima dampak dari peristiwa traumatis yang dialaminya. Individu harus dapat
menciptakan perasaan baru dan juga harus mampu merancang masa depan yang baru.
Melalui proses ini, harapannya trauma dapat terintegrasikan dalam kehidupan individu
namun tidak sebagai pengatur hidup mereka. Dalam tahap ini, individu diharapkan dapat
mendapatkan makna hidup yang baru dan mampu menerima keadaannya saat itu. Mereka
sudah siap mengambil langkah-langkah konkret dan menuju pemberdayaan diri mereka. Pada
beberapa kasus, banyak orang yang telah mengalami trauma lebih dapat mengembangkan
dirinya dari sebelumnya. Banyak individu yang mampu memberikan motivasi pada orang lain
dengan menceritakan pengalaman traumatisnya. Keadaan ini juga mampu membuat individu
semakin dapat menerima keadaan dirinya.

4. Terapi Trauma

Terapi trauma tidak bisa diberikan seperti memakai baju untuk semua ukuran atau “All Size”,
harus diadaptasi untuk symptom yang berbeda-beda. Ahli kesehatan mental yang dilatih
dalam mengatasi trauma dapat mengakses kebutuhn unik korban yang selamat dari bencana
alam dan merencanakan penanganan ya gsesuai bagi mereka. Baru-baru ini ditemukan
beberapa modalitas terapi trauma:

a. Cognitive Behavioral Tharapy (CBT) mengajarkan orang menjadi lebih peduli pada
pemikiran dan keyakinan mereka tentang trauma dan memberi mereka kesempatan untuk
bantu mereka mereaksi pemicu emosi dengan cara yang lebih sehat.

b. Exposure Therapy (disebut juga dengan Vivo Exposure Therapy) adalah bentuk cognitive
Behavior Tharapy yang digunakan untuk mengurangi rasa takut yang diasosiasikan dengan
pemicu emosi yang disebabkan oleh trauma.

c. Talk Therapy (Psychodinamic Psychotherapy) adalah metoda komunikasi verbal yang


digunakan untuk membantu orang menemukan jalan keluar dari rasa sakit emosional dan
memperkuat cara adaptif untuk mengelola masalah yang ada. Life coaching adalah salah satu
yang digunakan dalam talk therapy. Modalitas tersebut membantu porsi memori (dibawah
sadar) dari trauma , di mana otak sadar korban bencana alam yang harus ditreatment.
Penelitian membuktikan bahwa pendekatan berorientasi pada tubuh seperti mind fulness,
Yoga dan lainnya bisa pula menjadi alat yang berguna untuk membantu pikiran dan tubuh
terhubung kembali. Selain itu neurofeedback, salah satu tipe biofeedback yang fokus pada
gelombang otak, memperlihatkan hasil dalam membantu pasien dengan symptom trauma
belaja

Beberapa terapi yang dapat di terapkan dalam penanganan PTSD adalah:

a. Terapi Kognitif

Terapi kognitif membantu untuk mengubah asumsi tidak realistis, keyakinan, dan otomatis
pikiran yang menyebabkan disturbingemotions dan gangguan fungsi. Sebagai contoh, trauma
korban sering memiliki rasa bersalah tidak realistis yang berkaitan dengan trauma: korban
dapat menyalahkan dirinya untuk perkosaan; seorang veteran perang mungkin merasa itu
adalah kesalahan bahwa sahabatnya dibunuh. Thegoal terapi kognitif adalah untuk mengajar
pasien untuk mengidentifikasi kognisi disfungsional sendiri tertentu, timbang theevidence
untuk dan melawan mereka, dan mengadopsi lebih realistis pikiran yang akan menghasilkan
emosi lebih seimbang.

b. Terapi Paparan

Paparan terapi: membantu orang untuk menghadapi situasi tertentu, orang-orang, benda,
kenangan, atau emosi thathave menjadi terkait dengan stres dan sekarang menimbulkan
ketakutan tidak realistis. Ini dapat dilakukan di bagi menjadi dua:

(1) Paparan imajinal: berulang emosional menceritakan traumatis kenangan sehingga mereka
tidak lagi menimbulkan highlevels tertekan.

(2) In vivo paparan: konfrontasi dengan situasi yang sekarang aman, tetapi yang orang
menghindari karena mereka havebecome terkait dengan trauma dan memicu rasa takut yang
kuat (misalnya, mengemudi mobil lagi setelah terlibat dalam kecelakaan-lekuk;
menggunakan elevator lagi setelah sedang diserang dalam Lift). Eksposur berulang
membantu orang menyadari bahwa situasi ditakuti tidak berbahaya dan bahwa ketakutan
akan menghilang jika seseorang tetap dalam situationlong cukup daripada melarikan diri itu.

c. Terapi Bermain

Terapi bermain: therapy untuk anak mempekerjakan permainan untuk memungkinkan


pengenalan topik yang tidak dapat effectivelyaddressed lebih langsung dan untuk
memfasilitasi paparan dan pengolahan terhadap, kenangan traumatis.

d. Edukasi Psikologi

Edukasi Psikologi mendidik pasien dan keluarga mereka tentang gejala PTSD dan berbagai
perawatan Yangyang yang tersedia untuk itu. Jaminan ini adalah mengingat bahwa gejala
PTSD normal dan expectable tak lama setelah trauma andcan diatasi dengan waktu dan
pengobatan. Juga mencakup pendidikan tentang gejala-gejala dan pengobatan gangguan
anycomorbid. Selain dari terapi-terapi di atas ada juga beberapa terpi yang dapat digunakan
dalam menangani PTSD yaitu gerakan desensitisasi pengolahan (EMDR), hipnoterapi,
andpsychodynamic psikoterapi, tetapi menurut para ahli terapi tersebut tidak menilai teknik-
teknik yang kurang tepat untuk pengobatan PTSD.

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kecelakaan Penerbangan Dalam Memperoleh


Ganti Rugi

Indonesia telah meratifikasi Convention for the Unification of Certain Rules for International
Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu tentang Angkutan Udara
Internasional) yang telah ditetapkan pada tanggal 28 Mei 1999 di Montreal, Kanada. Hasil
ratifikasi tersebut menjadi aturan hukum nasional dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 95
Tahun 2016, akan tetapi perpres tersebut hanya berlaku untuk penerbangan internasional
Berdasarkan atau rute luar negeri, sehingga dalam perlindungan hukum korban kecelakaan
penerbangan nasional yang terbaru dan mengacu pada konvensi montreal masih berlaku
ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. konvensi montreal 1999
atau Perpres nomor 95 tahun 2016 maka besaran ganti rugi oleh korban penumpang. Adapun
nilai terbaru tanggung jawab pengangkut sesuai dengan yang telah ditentukan dalam
Konvensi Montreal 1999 adalah:

1. Jumlah kompensasi bagi penumpang yang meninggal atau menderita akibat kecelakaan
pesawat udara sampai dengan 113.100 Special Drawing Rights (SDR) atau sekitar Rp 2,03
miliar sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Jika penumpang ingin mengajukan klaim melebihi
batas 113.100 SDR tersebut, berlaku asas tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
(liability based on fault). Maskapai penerbangan harus membuktikan bahwa tidak ada
kesalahan yang disengaja di pihaknya sesuai dengan Pasal 21 ayat (2)

2. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh keterlambatan pesawat udara, maskapai
penerbangan wajib memberikan kompensasi maksimum 4.694 SDR atau sekitar Rp. 84,2 juta
sesuai dengan Pasal 22 ayat (1)

3. Untuk kehilangan, kerusakan, ataupun musnahnya barang bawaan dan bagasi, tanggung
jawab pengangkut udara dibatasi sampai dengan maksimum 1.131 SDR atau sekitar Rp 20,3
juta sesuai dengan Pasal 22 ayat (2)

4. Untuk pengiriman kargo, pada kerusakan, kehilangan, keterlambatan, atau musnahnya


kargo, pengirim berhak atas ganti rugi maksimum 19 SDR atau sekitar Rp 341 ribu per
kilogram sesuai dengan Pasal 22 ayat (3) 1 SDR setara dengan sekitar 1,35 USD berdasarkan
data IMF per tanggal 24 Januari 2017. Sedangkan kurs dollar AS rata-rata sebesar Rp13.300,-
per tanggal 1 Februari 2017)
PROSEDUR IDENTIFIKASI KORBAN BENCANA

Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim Identification) Interpol.
Proses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem
Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.

1. The Scene
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban
hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat
mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang
diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label
ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat.
Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
2. Post Mortem Examination
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk
mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi,
seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula
pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke
dalam pink form berdasarkan standar interpol.
3. Ante Mortem Information Retrieval
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data
sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian
yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi,
dan lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik
jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan
pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam
yellow form berdasarkan standar interpol.
4. Reconciliation
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria
minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.
5. Debriefing
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun
tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada satu fase
lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan
setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat
dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana,
prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus
dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang
tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang
harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah
beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing.

Anda mungkin juga menyukai