Anda di halaman 1dari 12

LINGKUNGAN

PEMANFAATAN MOLASES DAN TYPHA ANGUSTIFOLIA PADA


TEKNOLOGI CW-MFC TERINTEGRASI ELEKTRODA CARBON
SEBAGAI PEREDUKSI DAN APLIKASI BIOSENSOR LIMBAH AIR
WUDHU DI MASJID ULIL ALBAB UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Disusun untuk Mengikuti Lomba Esai Nasional


BKFS Ke-37
Universitas Warmadewa

Disusun oleh:
Ari Adrianto 17521087/2017
Bayu Setiawan 17521030/2017

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


YOGYAKARTA
2020
1

Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk


beragama Islam. Salah satu tata cara mensucikan diri yang sering dilakukan umat
islam adalah berwudhu. Wudhu merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mensucikan diri dengan media air. Namun faktanya, konsumsi air untuk keperluan
wudhu menimbulkan kondisi air limbah setelah pencucian tubuh dibuang secara
langsung tanpa ada perawatan menuju drainase. Hal ini menyebabkan tingkat
pencemaran air drainase semakin meningkat dan dapat menimbulkan beberapa
efek berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air menyatakan bahwa kualitas air bekas wudhu
umumnya memiliki kandungan suhu sekitar 27,8oC, COD 29,03 mg/L, amonia
bebas (NH3-N) 0,19 mg/L, BOD5 38,48 mg/L, Ph 6,37, oksigen terlarut (DO) 0,85
mg/L. Dan MPN Coliform <16x104. Selain itu, saat ini kebutuhan air bersih akan
semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk memenuhinya. Sebagaimana
permasalahan air yang terdapat di Universitas Islam Indonesia (UII) memiliki
kebutuhan air rata-rata perbulan sebesar 9000 m3 dengan biaya 35 juta rupiah.
Sebagai upaya untuk menekan tingkat pencemaran air, beberapa peneliti telah
mengembangkan berbagai teknologi pengolahan limbah berkualitas tinggi sebagai
upaya dalam perwujudan pelestarian hijau. Salah satu teknologi pengolahan, yang
saat ini sedang dikembangkan adalah sistem Constructed Wetlands-Microbial
Fuel Cells.

Gambar 1. Air Wudhu


2

Di beberapa negara saat ini, peneliti tengah mengembangkan teknologi


Constructed Wetland-Microbial Fuel Cell (CW-MFC). Constructed Wetland
(CW) merupakan teknologi untuk mengolah berbagai limbah cair seperti limbah
domestik, drainase industri, pertanian air limbah, dan lindi. Microbial Fuel Cell
(MFC) adalah sebuah perangkat yang menghasilkan listrik dari proses degradasi
mikroba substrat organik dan anorganik. Definisi Tian, 2011 menyatakan bahwa
Constructed Wetlands memiliki rancangan menggunakan prinsip desain lahan
basah yang efektif dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan metode fisik,
kimia dan biologi serta menggunakan tanaman, mikroba, sinar matahari, dan
gravitasi untuk mengubah limbah air grey water menjadi air yang dapat digunakan
kembali. Mekanisme kerja Constructed Wetlands memanfaatkan akar tanaman,
sedimentasi, penyerapan biologis, presipitasi, dekomposisi, transformasi oleh
bakteri anaerob dan anaerobik untuk menyaring kadar senyawa atau polutan
berbahaya dalam limbah. Berdasarkan literatur yang penulis dapatkan, sistem
SubSurface Flow aliran horizontal berpotensi diterapkan untuk mengatasi
penyaringan limbah greywater. Dimana, sistem ini tidak menghasilkan bau, tidak
terjadi perkembangbiakan nyamuk, dan biaya operasional murah.
Model perencanaan CWs berbasis Subsurface Flow aliran horizontal
berbentuk trapesium. Pada lapisan sistem, proses beroperasi secara paralel dan
bergantian dengan memanfaatkan lapisan kerikil, lapisan substrat organik, dan
akar tanaman. Pengolahan limbah greywater dilakukan secara primer melalui
saluran masuk dan keluar yang telah terhubung oleh media filter berpori (kerikil).
Diperlukan media tanaman dan kerikil dalam pembuatan konfigurasi agar
memenuhi standar kualifikasi yang baik. Kuffour et al. (2009) menyatakan bahwa
kerikil jenis granulometri yang lebih kecil (0,1-0,5mm) menghasilkan effluent dua
kali lebih sedikit terkonsentrasi jika dibandingkan dengan granulometri yang lebih
besar (1-1,5mm).
3

Gambar 2. Design 3D Rancangan sistem CW-MFC

Selain lapisan kerikil, kelompok tumbuhan perlu diperhatikan pada


rancangan CWs. Berdasarkan literatur yang didapatkan, kelompok tumbuhan pada
sistem harus memiliki beberapa karakteristik diantaranya tumbuhan bersifat
tenggelam (submerged plant) atau tumbuhan yang bersifat ada dipermukaan
(emergent), sehingga tanaman yang memiliki karakteristik ini dirasa memiliki
kinerja baik dalam proses fitoremediasi. Submerged plant berperan sebagai tempat
menyimpan polutan sementara melalui proses transformasi dan pemisahan yang
terjadi dalam substrat. Tumbuhan emergent sering ditanam pada media kerikil
untuk merangsang penyerapan zat hara dan menciptakan kondisi yang sesuai
untuk melakukan proses oksidasi dari substrat organik sehingga proses
pengolahan limbah optimum. Hamdani et al, 2014 membuktikan bahwa sistem
pengolahan Subsurface Flow Constructed Wetland dengan tanaman Typha
Angustifolia mampu mereduksi zat pencemar dengan variabel waktu 5, 10 dan 15
hari adalah berturut-turut untuk TSS (73,78%;77,18%; 84,71%). Typha
angustifolia disebut juga tumbuhan Lembang atau Ambet memiliki efektifitas
positif dalam menurunkan kadar total nitrogen dalam air limbah (Vymazal, 2011),
berakar serabut yang menyerap hara, biasanya ditemukan di rawa-rawa yang
memiliki ketinggian air kurang dari 80 cm, memiliki bentuk batang berwarna
hijau yang panjang dan runcing, dan memiliki lebar daun 0.6-1.2 cm.
Pada sistem MFC, sistem akar akan berperan untuk melepaskan eksudat
melalui proses rhizodeposisi yang akan menghasilkan sumber karbon untuk
menghilangkan nitrat dan penyaring polutan yang baik (Doherty et al 2015a,
4

2015b; Aguirre Sierra 2017). Selain itu, tanaman lahan basah berperan penting
dalam menyediakan permukaan untuk degradasi oleh bakteri. Meskipun
kontribusi tanaman lahan basah terhadap efisiensi pengolahan dan pembangkit
listrik, makrofit, terutama tanaman yang muncul, telah diidentifikasi sebagai
penyebab hilangnya air yang signifikan dalam CW-MFC melalui
evapotranspirasi. Efisiensi pengolahan dapat dipengaruhi karena volume air
limbah yang mengalir melalui sistem menurun karena kehilangan air terutama
ketika laju evapotranspirasi melebihi 2,5 mm / d (Białowiec dkk. 2014; Oon dkk.
2017). Selain itu, tingkat oksigen terlarut (DO) dalam reaktor berkurang karena
konsumsi DO melebihi produksi di malam hari (tidak adanya cahaya).
Fotosintesis dan respirasi pabrik mengubah dinamika oksigen reaktor yang pada
akhirnya akan menyebabkan fluktuasi tegangan (Doherty et al. 2015a, 2015b).
Penelitian Oon et al (2015) menyatakan sistem akar pada kompartemen elektroda
katoda dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan akibatnya meningkatkan
reaksi sel.
Sedangkan, pada sistem Microbial Fuel Cells. Kinerja sistem Microbial
Fuel Cells dapat ditingkatkan dengan menggunakan variasi bahan pada elektroda.
Penelitian Govind, 2015 membuktikan bahwa kinerja sistem Microbial Fuel Cells
dapat ditingkatkan menggunakan bahan elektroda carbon. Elektroda karbon
memiliki keunggulan yakni kelenturan dalam ukuran, bentuk, dan biaya
komersialisasi yang lebih murah. Sedangkan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa elektroda karbon memiliki efisiensi tertinggi pada bagian anoda dan
katoda. Pada analisis elektroda anoda karbon, diperoleh bahwa penelitian Logan
et.al, 2007 menunjukkan bahwa efisiensi elektroda material jenis carbon brush
memiliki luaran kekuatan listrik sebesar 2400 mW/m 2. Sedangkan pada penelitian
lainnya menunjukkan bahwa efisiensi bahan elektroda graphite, active carbon
cloth, dan carbon mesh memiliki efisiensi masing-masing sebesar 1410 mW/m 2,
0,51 mW/m2, dan 893 mW/m2.
5

Tabel 1. Elektroda anoda karbon, tipe MFC, sumber bakteri dan keluaran daya

Sedangkan, pemilihan elektroda berbahan dasar katoda karbon memiliki


potensi pengurangan biaya karena fleksibilitas yang memanfaatkan material
ekonomis. Selain itu, efisiensi yang dihasilkan cukup besar jika dibandingkan
dengan material lainnya. Pada penelitian Chang et al., 2006 menunukkan bahwa
material elektroda berjenis carbon clothnafion binder dengan MFC type Single
Chamber memiliki efisiensi kekuatan daya tertinggi sebesar 480 mW/m2.

Tabel 2. Elektroda katoda karbon, tipe MFC, katalis, dan keluaran daya

Meskipun demikian, MFC berbahan elektroda carbon dapat ditingkatkan


efisiensinya dengan mengkombinasikan limbah organik dan bakteri untuk
meningkatkan kinerja MFC. Salah satu limbah organik yang berpotensi
dimanfaatkan adalah molases. Mikroorganisme seperti bakteri elektrokimia dapat
hidup dan berkembang pada permukaan lembaran karbon (Cheng et al.,2014)
,limbah air molases memiliki kandungan sekitar 10-20% zat padatan dan sekitar
70% mengandung gula, protein dan vitamin (Wang et al.,2014). Molases sangat
berpeluang untuk menjadi sumber karbon untuk hidupnya bakteri elektrokimia
dan menjadi penyalur elektron ke dalam anoda yang nantinya akan menghasilkan
energi listrik (Hassan et al.,2019). Mikroba pada molasses akan menghasilkan
energi berupa proton dan lectron dari molasses yang kemudian dikonversikan
6

menjadi energi listrik. Mikroba dalam sistem MFC harus berada pada kondisi pH
ytang sesuai dan memiliki nutrisi yang cukup agar dapat menghasilkan energi
(Logan dan Regan, 2006). Studi literatur membuktikan, bahwa kandungan gula
pada sistem MFC sangat penting sebagai penghasil karbon. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemanfatan air limbah tahu dengan kandungan gula dan
laktosa sebesar 0,8% mampu menghasilkan beda potensial sebesar 25,5 mV/100
mL dan 33,3 mV/100 mL (Inayati, 2015 dan Ismawati, 2015).
Selain itu, peran bakteri pada MFC juga dapat meningkatkan kinerja
teknologi. Dalam mekanismenya, air limbah wudhu memiliki kandungan
beberapa bakteri pengotor yang dihasilkan dari pemakaian oleh manusia. Salah
satu bakteri yang dihasilkan dari sisa air wudhu adalah eschericia coli. Studi
penelitian Morozan et.al, 2007 melakukan pengujian pengaruh MFC berbasis
elektroda karbon terhadap bakteri eschericia coli sebagai bakteri dan biru metilen
sebagai mediator electron. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa reaksi
yang terjadi mampu memberikan output daya listrik yang lebih tinggi. Selain itu,
kombinasi biokompabilitas untuk bakteri akan memberikan output daya yang jauh
lebih tinggi,
Sedangkan, mekanisme arah aliran air limbah air wudhu dengan memasuki
air bekas wudhu akan masuk ke dalam sistem dari atas dan keluar dari bawah.
Pada tahap awal air bekas wudhu melewati akar tumbuhan, disini terjadi proses
penyaringan oleh akar-akar tumbuhan tersebut, residu-residu besar akan terasing
oleh akar dan mikroorganisme yang ada pada akar tumbuhan akan terbawa oleh
air. Setelah air melewati akar-akar tumbuhan, air akan melewati katoda yang
berada dibawah, katoda akan mereduksi oksigen maka dari itu katoda perlu
ditempatkan pada permukaan sistem agar mendapatkan supply oksigen. Kemudian
air akan melewati filter 1 sebelum melewati anoda. Pada anoda terdapat molase
yang akan mengelilingi anoda, molase ini bertujuan sebagai substrat dari mikroba-
mikroba yang dibawa oleh air sekaligus menjadi bahan baku reaksi oksidasi,
mikroba-mikroba yang dibawa oleh air tadi akan membantu proses oksidasi pada
anoda. Dari sini akan dihasilkan aliran elektron dari anoda ke katoda dengan kata
lain akan menghasilkan energi listrik. Air yang telah melewati anoda akan
disaring kembali, sebelum air keluar dan didistribusikan kembali untuk
7

penggunaan air wudhu. Air yang telah melewati anoda akan disaring kembali
pada filter 2 dan masuk kedalam heater. Sedangkan, hasil analisis ekonomi yang
didapatkan menunjukkan penggunaan teknologi CW-MFC dapat mengemat
pemakaian air dua kali lebih baik. Oleh karena itu, untuk memenuhi tingkat
kualitas air yang baik, diharapkan inovasi ini dapat mengurangi pencemaran air
sekaligus menekan biaya operasional pada penggunaan instalasi air wudhu
khususnya di area Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia .

Gambar 3. Design Alir dan Mekanisme Kerja sIstem CW-MFC


8
DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, H., & Izzati, M. (2014). Kemampuan tumbuhan Typha angustifolia


dalam sistem subsurface flow constructed wetland untuk pengolahan
limbah cair industri kerupuk (Studi kasus limbah cair sentra industri
kerupuk Desa Kenanga Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu Jawa
Barat). Bioma.
Cheng, S., Liu, H., & Logan, B. E. (2006a). Increased performance of single-
chamber microbial fuel cells using an improved cathode
structure. Electrochemistry communications, 8(3), 489-494.
Cheng, S., Liu, H., & Logan, B. E. (2006b). Increased power generation in a
continuous flow MFC with advective flow through the porous anode and
reduced electrode spacing. Environmental science & technology, 40(7),
2426-2432.
Chang, S., Wu, C., Chang, D. and Lin, C., 2014. Effects of mediator producer and
dissolved oxygen on electricity generation in a baffled stacking microbial
fuel cell treating high strength molasses wastewater. International Journal
of Hydrogen Energy, 39(22), pp.11722-11730.
Doherty L., Zhao Y., Zhao X., Hu Y., Hao X., Xu L. and Liu R. (2015a). A
review of a recently emerged technology: Constructed wetland - Microbial
fuel cells. Water Res 85, 38-45.
Doherty L., Zhao X., Zhao Y. and Wang W. (2015b). The effects of electrode
spacing and flow direction on the performance of microbial fuel cell-
constructed wetland. Ecological Engineering 79, 8-14.
Govind, M. A. (2015). Review on carbon electrodes in microbial fuel cell. Int.
Res. J. of Eng. and Technol, 2(8), 424-427.
Hassan, S., el Nasser A. Zohri, A. and Kassim, R., 2019. Electricity generation
from sugarcane molasses using microbial fuel cell technologies. Energy,
178, pp.538-543.
Inayati, N. S., Aminin, A. L., & Suyati, L. (2015). The Bioelectricity of Tofu
Whey in Microbial Fuel Cell System with Lactobacillus bulgaricus. Jurnal
Sains dan Matematika, 23(1), 32-38.
Ismawati, N., Aminin, A. L., & Suyati, L. (2015). Whey Tahu sebagai Penghasil
Biolektrisitas pada Sistem Microbial Fuel Cell dengan Lactobacillus
Plantarum. Jurnal Sains Dan Matematika, 23(2), 43-49.
Logan, B. E., & Regan, J. M. (2006). Electricity-producing bacterial communities
in microbial fuel cells. TRENDS in Microbiology, 14(12), 512-518.
Morozan, A., Stamatin, I., Stamatin, L., Dumitru, A., & Scott, K. (2007). Carbon
electrodes for microbial fuel cells. Journal of Optoelectronics and
Advanced Materials, 9(1), 221.
Villasenor, J., Capilla, P., Rodrigo, M. A., Canizares, P., & Fernández, F. J.
(2013). Operation of a horizontal subsurface flow constructed wetland–
microbial fuel cell treating wastewater under different organic loading
rates. Water research, 47(17), 6731-6738.
Wang, Y., Guo, W., Xing, D., Chang, J. and Ren, N., 2014. Hydrogen production
using biocathode single-chamber microbial electrolysis cells fed by
molasses wastewater at low temperature. International Journal of
Hydrogen Energy, 39(33), pp.19369-19375.
Lampiran 1. Design Teknologi Sistem CW-MFC

Gambar 1. Design 3D Rancangan sistem CW-MFC

Gambar 2. Design Alir dan Mekanisme Kerja sIstem CW-MFC

Anda mungkin juga menyukai