Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KARAKTERISTIK STUDI ISLAM

KARAKTERISTIK STUDI ISLAM


Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Metologi Studi Islam
Dosen Pengampu: Iswanto, M.Pd

Disusun Oleh:
ARDIANSYAH
IRFANTORO

PRODI EKONOMI SYARIAH


STES TP DUTA NUSANTARA
TULANG BAWANG BARAT

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan besar kita nabi
Muhammad saw

Dengan bekal kemampuan yang terbatas akhirnya makalah tentang


"Karakteristik Studi Islam" ini dapat terselesaikan dengan baik meski belum
sempurna , tentunya berkat bantuan dari berbagai pihak, baik itu dari Bapak
Iswanto M.Pd selaku dosen pengampu, maupun teman-teman yang telah membantu
dalam mencari referensi yang kami butuhkan.

Namun kami menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari kekeliruan, baik
dari sisi redaksional maupun dari cara penulisan. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu dalam penulisan makalah ini, semoga apa yang akan di bawakan dalam
isi makalah ini nantinya dapat bermanfaat bagi para pembaca maupun yang
mendengarkan.

Tubaba, 20 september 2020

Penulis.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang..............................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi al-Qur’an?......................2


2.2. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hadits?...........................4
2.3. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam?...............8
2.4. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam?.............12

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan................................................................................................17
3.2. Saran...........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam
memandang bahwa pendidikan hak bagi setiap orang (Education for All) dan
berlangsung terus menerus sepanjang saat (Long life Education). Karakteristik
berasal dari bahasa inggris, character yang berarti watak, karakter, dan sifat.
Selanjutnya kata ini menjadi characteristic yang berarti sifat khas yang membedakan
antara satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Indonesia character berarti sifat
yaitu rupa atau keadaan yang tampak pada suatu benda, atau kata yang menyatakan
keadaan sesuatu seperti panjang, keras, dan besar.
Studi Islam secara bahasa merupakan terjemahan dari bahsa Arab Dirasah
Islamiyyah. Studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan
keislaman. Studi Islam dalam hal ini yaitu kajian secara sistematis yang terpadu
untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang
berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam,
maupun pokok-pokok yang menyangkut ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas
pela ksanaanya ataupun tatananya dalam kehidupan itu sendiri.

B. Pokok Masalah
1. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi al-Qur’an?
2.Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hadis?
3.Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam?
4.Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui karakteristik studi Islam dalam Studi al-Qur’an
2. Untuk mengetahui karakteristik studi Islam dalam Studi Hadist
3. Untuk mengetahui karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam
4. Untuk mengetahui karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam

1
BAB II
POKOK MASALAH

A.   Karakteristik Studi Islam dalam Studi Al-Qur’an


Al-Qur’an diyakini tetap terpelihara seluruh isinya sepanjang zaman.
Pemeliharaan ini dijamin Allah SWT dengan cara: Pertama, bahwa susunan ayat dan
surat-suratnya walaupun mencapai lebih dari 6.000 ayat tetapi dapat dihafal bukan
hanya oleh yang dapat melihat, melainkan juga tunanetra, bahkan anak di bawah
umur. Melalui mereka yang diberikan kemudahan oleh Allah SWT ini, al-Qur’an
akan terjaga. Hal ini menunjukka bahwa susunan ayat dan surat Qur’an tersebut
mengandung keistimewaan dan makdus-maksud tertentu, antara lain untuk dihafal.
Sifat susunan ayat dan surat al-Qur’an yang demikian tidak terjadi pada kitab suci
lainnya. Kedua, bahwa lafal-lafalnya bersifat mukjizat, yakni selain tidak mungkin
dapat dipalsukan, juga tidak dapat ditandingi manusia.
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasul SAW yang berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada para sahabat tentang arti dan
kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
samar artinya. Setelah Rasul SAW wafat, para sahabat melakukan ijtihad dalam
memahami al-Qur’an khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali
bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay buin Kaab, dan Ibn Mas Seiring berjalannya waktu,
maka muncullah para ulama yang mencoba memberikan rambu-rambu atau standar
prosedur yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an. Para
ulama itu menyusun apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum Al-
Qur’an). Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain Ulum al-Qur’an dan
Ilmu Tafsir.

1. Ulum al-Qur’an
Secara Etimologis, Ulum al-Qur’an adalah susunan Idhafah yang terdiri dari
kata ulum dan al-Qur’an yang berarti ilmu-ilmu al-Qur’an. Sedangkan secara
Terminologi definisi Ulum al-Qur’an sangat bervariatif, tergantung dari aspek-aspek
pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang ingin dimasukkan dalam definisinya itu.
Menurut Manna’ al-Qathan, ilmu al-Qur’an adalah ilmu yang berkaitan dengan
pembahasan yang berkenaan dengan al-Qur’an cari segi sebab-sebab turunnya,
pengumpulan dan susunannya, mengenai ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, ayat

2
yang nasikh (yang menghapus) dan yang mansukh (yang dihapus), al- Muhkam (ayat
yang tegas dan jelas), al-Mutasyabih (ayat yang tidak tegas dan tidak jelas), dan
lainnya yang berkaitan dengan al-Qur’an.
Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefisikan Ulum al-
Quran sebagai:
‫مباحث تتعلق بالقرأن الكريم من ناحية نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته وقرأته وتفسيره و إعجازه و ناسحه‬
‫ومنسوححه ودفع ااشبهة عنه و نحو ذلك‬
“Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an al-Karim
dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya,
mukzijatnya, nasikh dan mansukhnya, dan penolakan/ bantahan terhadap hal-hal
yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an dan lain sebagainya”.
Dari definisi-definisi Ulum al-Qur’an diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
Ulum al-Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencangkup semua ilmu yang
ada hubungannya dengan al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu
tafsir, maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rab al-Qur’an. Ulum al-
Qur’an berbeda dengan suatu ilmu yang merupakan cabang dari Ulum al-Qur’an.
Misalnya ilmu tafsir yang menitikberatkan pembahasannya pada penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an. Ilmu Qira’at menitikberatkan pembahasannya pada cara membaca lafal-
lafal al-Qur’an. Sedang Ulum al-Qur’an  membahas al-Qur’an dari segala segi yang
ada relevansinya dengan al-Quran.

2. Ilmu Tafsir
Kata Tafsir diambil dari kata Fassara-Yufassiru-Tafsira yang berarti
keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir  menurut
pengertian bahasa Arab adalah al-Kasf wa al-Izhhar yang artinya menyingkap
(membuka) dan melahirkan.
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dimulai sejak permulaan abad ke
II H, para ulama memberikan prioritas menyusun tafsir, sebab tafsir adalah Ummul
al-Qur’aniyah (Induk ilmu-ilmu al-Qur’an). Diantara Ulama abad II H yang
menyusun tafsir adalah:
a) Syu’bah bin al-Hajjaj ( wafat tahun 160 H).
b) Sufyan bin ‘Uyainah (wafat tahun 198 H).
c) Waki’ bin al-Jonah (wafat tahun 197 H).

3
Tafsir mereka umumnya berisikan aqwal al-shahabah dan pendapat-pendapatt
dari kalangan tabiin. Kemudian menyusul Ibnu Jarir al-Thabary (wafat 310 H). tafsir
al-Thabary diakui sebagai kitab tafsir yang terbesar pada zamannya dan paling tinggi
nilainya. Tafsir al-Thabary didalmnya dikemukakan oleh pengarangnya pendapat
yang berbeda-beda dan ditunjukkannya satu pendapat yangf terpilih, disertai
keterangan riwayat-riwayat (sumber-sumber) yang benar dan tersusun rapi, di
lengkapi penjelasan-penjelasan I’rab dan hukum-hukum al-Qur’an yang dapat
diistinbathkan.
Dari perkembangan kitb-kitab tafsir, sejak dimulai usaha penyusunan tafsir-
tafsir al-Qur’an, sejak permulaan abad II H sampai sekarang, kita dapat mengetahui
bahwa disamping ada ulama-ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan pola tafsir
riwayah atau bi al-Manqul, ada yang menafsirkannya dengan pola tafsir dirayah atau
bi al-Ra’yi bi al-Ma’qul. Demikian pula ada ulama yang menafsirkan al-Qur’an
seluruhnya, ada yang menafsirkan satu juz atau satu surat saja, atau hanya tema-tema
tertentu, misalnya ayat ahkam dan sebagainya.

B. Karakteristik Studi Islam dalam Studi Hadis


Kedudukan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits juga didasarkan kepada pendapat
kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau
wafat.
Dari sudut etimologi, hadits secara umum berarti sesuatu yang baru (al-
jadid), lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim). Secara terminologis Para ahli hadits
mangartikan hadits sebagai adalah segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi
SAW berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat atau perilaku, perjalanan hidup,
baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan, terkadang
jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti
ini sejalan dengan makna Hadits Nabi yang artinya: ”Barang siapa yang membuat
sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan
pahala bagi orang yang mengerjakannya dan barang siapa yang membuat sunnah

4
yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi
orang yang mengerjakannya”.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli Hadits
mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan,
perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-
Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan,
perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Al Qur’an, Al-Sunnah memiliki
fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al Qur’an. Diantara fungsi hadits yaitu:
1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-
Qur’an.
2. Menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an yang global (garis besar) yang
memerlukan perincian.
3. Mengkhususkan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (menyeluruh).
4. Menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-Qur’an.

Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah
dan Ilmu Hadits Dirayah. Kedua macam ilmu ini akan dijelaskan dibawah ini:
1. Ilmu Hadits Riwayah
Adalah ilmu yang difungsikan pada upaya penukilan (penerimaan) yang
teliti dan cermat terhadap semua yang bersumber dari Nabi berupa ucapan,
perbuatan, taqrir, dan sifat-sifatnya, serta semua yang besumber dari sahabat
dan tabi’in.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan
menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai
dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan
pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan
diterima (maqbul) dan ditolak (mardud) nya suatu hadits.

5
Berikut ini ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Hadits;
1. Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu ini sangat penting kedudukanya dalam lapangan ilmu Hadits. Hal ini
karena, sebagaimana diketahui bahwa obyek kajian Hadits pada dasarnya ada
dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal ini lahir bersama-sama dengan
periwayatan Hadits dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk
mempelajari persoalan-persoalan disekitar sanad.
Di antara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi
thabaqat adalah karya Muhammad ibn Sa’ad (w 9.230 H) yaitu Thabaqat Al-
Kubra dan karya Khalifah ibn Ashfari (w 240 H) yaitu Thaqabat Al-Ruwwah,
dan lain-lain.
2. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil        
Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”, adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan
dan kedhabitanya. Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa
diketahui melalui dua jalan, yaitu:
a. Popularitas para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai seorang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang
sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilanya, maka mereka
tidak perlu lagi diperbincangkan keadilanya, begitu juga dengan perawi
yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi
dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi yang lain yang adil. Bila
seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi lain yang belum
terkenal keadilanya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa
menyandang gelar adil dan periwayatanya bisa diterima.
3. Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Ilmu tarikh ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits yang
berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap Hadits. Dengan ilmu ini
akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahiranya,
wafatnya, guru-gurunya, siapa orang   yang meriwayatkan Hadits darinya, dan
lain-lain.
Sebagian dari ilmu Rijal Hadits, ilmu ini mengkususkan pembahasanya secara
mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam

6
periwayatan. Jadi ilmu tarikh ar-ruwah ini merupakan senjata yang ampuh
untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar
kebohongan para perawi.
4. Ilmu I’lal al-Hadits
Kata ‘ilal adalah bentuk jamak dari kata al-‘illah, yang menurut bahasa berarti
al-maradh (penyakit atau sakit). Jadi I’lal hadits adala ilmu yang membahas
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.   
5. Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh
Yang dimaksud dengan ilmu al-nasikh wa al-masukh disini, adalah terbatas
disekitar nasikh dan mansukh pada Hadits. Kata al-naskh menurut bahasa
mempunyai dua pengertian, al-izalah (menghilangkan.
Mengetahui ilmu ini sangat penting dalam ilmu Hadits ini. Bahkan menurut
Al-Zuhri, ilmu inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan
fuqaha. Hal ini karena tigkat kesulitanya yang tinggi, terutama dalam
melakukan istinbat hukumnya dari nas yang samar-samar.  Untuk mengetahui
nasakh dan mansukh ini bisa melakukan beberapa cara, seperti:
a. Dengan penjelasan dari nash syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul
SAW.
b. Dengan penjelasan dari para sahabat.
c. Dengan mengetahui tarikh keluarnya Hadits serta sebab wurud Hadits.
Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu mana yang
datang kemudian.
6. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan
masa-masanya.
7. Ilmu Garib al-Hadits
Menurut Ibnu Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah
ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat
dalam matan Hadits karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.
Memahami makna kosa kata (mufradat) matan Hadits merupakan langkah
pertama dalam memahami suatu Hadits dan untuk istinbath hukum. Oleh
karena itu ilmu ini akan banyak menolong untuk menuju ke pemahaman
tersebut. Ada beberapa cara untuk menafsirkan Hadits-Hadits yang
mengandung lafazh yang gharib ini, di antaranya:

7
a. Dengan Hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung
lafazh gharib tersebut.
b. Dengan penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan Hadits atau
sahabat lain yang tidak meriwayatkanya, tapi paham akan makna gharib
tersebut.
b. Penjelasan dari rawi selain sahabat.
8. Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashif wa at-tahrij, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
menerangkan tentang Hadits-Hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya
(mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Al-Hafidz ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian yaitu ilmu al-tashif
dan ilmu al-tahrif. Sedangkan ibn Shalah dan para pengikutnya
menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini
merupakan satu disiplin ilmu yang bernilai tinggi, yang dapat membangkitkan
semangat para ahli hafalan (huffazh). Hal ini disebabkan, karena dalam hafalan
para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang
diterimanya dari orang lain.
Suatu contoh, dalam suatu riwayat yang disebutkan bahwa salah seorang yang
meriwayatkan Hadits dari Nabi SAW, dari bani Sulaimah adalah “Utbah ibn
Al-Bazir, padahal yang sebenarnya adalah “Utbah bin Al-Nazhr”. Dalam
Hadits ini terjadi perubahan sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.
9. Ilmu Talfiq al-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits yang
berlawanan lahirnya.
10. Ilmu Mushtalah wa al-Hadits,
Yaitu ilmu yang membahas tentang berbagai istilah yang digunakan para ahli
hadits dan yang dikenal dikalangan mereka.

C. Karakteristik Studi Islam dalam Studi Hukum Islam


a. Bentuk-bentuk Studi Hukum Islam
Mengacu kepada gejala studi Islam pada umumnya, maka hukum Islam juga
dapat dipandang sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan
hukum Islam adalah gejala budaya,sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan
sesamanya atau dengan masyarakat non-muslim disekitar hukum Islam adalah gejala

8
sosial. Secara terperinci Atho’ Mudzhar membedakan studi hukum Islam sebagai
berikut:
1. Penelitian Hukum Islam sebagai doktrin asaz,
Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual hukum
Islam seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep
maqashid al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-istinbat, konsep qiyas,
konsep ‘am dan khas, konsep nasikh dan mansukh dan lain-lain.
2. Penelitian Hukum Islam Normatif
Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau
aturan, baik yang masih dalam bentuk nas maupun yang sudah menjadi produk
pemikiran manusia (Mudzhar, 2000: 30). Aturan yang masih dalam bentuk nash
meliputi ayat-ayat ahkam dan hadith-hadith ahkam, sedangkan kitab-kitab fiqih
perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama, dan bentuk
aturan lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusu
(dustur), kodifikasi, perjanjian-perjanjian Internasional, deklarasi hak-hak
manusia, surat-surat kontrak, surat wasiat, kesaksian, dan sebagainya (Mudzhar,
1998: 91-93).
3. Penelitian Hukum Islam sebagai gejala sosial
Sasaran utama dari penelitian ini adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan
masalah-masalah interaksi antar sesama manusia, baik antara sesama muslim
atau antara muslim dan non muslim di sekitar masalah-masalah hukum ini
mencakup masalah-masalah politik (siyasah), perumusan dan penetapan hukum
(siyasah al-shar’iyah), perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti
dan lain-lain (Mudzhar, 2000: 30-35).
a. Hukum Islam dapat dipahami sebagai hukum asas, hukum normatif, dan
sebagai hukum sosiologis.Karena itu pendekatan sosiologis dapat diterapkan
dalm studi-studi hukum Islam seperti pada studi hukum Islam pada
umumnya. Pendekatan sosiologis dalam hukum Islam mempunyai sasaran
utama perilaku masyarakat atau interaksi antar sesama manusia, baik antara
sesama mmuslim maupun antaea muslim dan non muslim disekitar masalah-
masalah hukum Islam.
b. Cara Memahami Sumber Hukum Islam

9
Sebenarnya dalam Al-quran ataupun Al-sunah sudah disebutkan mengenai
tertib urutan pemakaian beberapa sumber dan dalil hukum yang ada, seperti
disebutkan dalam Al-quran.
“wahai orang-orang yang beriman ta’atlah kamu semua kepada Allah, dan
ta’atlah kepada rasul urusan Allah, dan orang yang menguasai urusan diantara
kamu. Seandainya ada perselisihan diantara kamu tentang sesuatu maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya, jika kamu semua beriman kepada Allah
dan hari akhir, hal demikian lebih baik bagimu dan lebih akibatnya.”
Dalil ini ditopang dengan hadits Nabi yang mengutus Mu’adz bin Jabal ke
Yaman, dengan kesimpulan bahwa Mu’adz memutuskan perkara pertama kepada Al-
quran, selanjutnya dengan As-sunah, kalau tidak ada dalam sunah Rosul, maka
Mu’adz akan berijtihad dengan nalarnya. Untuk itu dapat diambil pemahaman bahwa
dalam mencari fiqih seorang mujtahid akan memahami nas Al-quran atau Al-sunah,
kemudian kalau tidak ada dalam keduanya mereka akan berijtihad dengan berbagai
metode yang beragam mulai dengan ijma’, qiyas yang dalam katagori adilah al-
ahkam. Untuk itu munculah istilah ijtihad, istidlal, istiqra’ dan sebagainya dalam
rangka mencari pemahaman status hukum dari sebuah persoalan yang ditemui
sehingga pada akhirnya akan menghasilkan fiqih.
Ilmu itu pada hakikatnya adalah dari Allah dan manusia diberi alat untuk
mengetahuinya yakni akal dan indera. Al-Shatibi mengelompokkan empat bentuk
pola pikir dalm memenuhi Nas, yaitu;
a. Pola pikir Zahiriyah
Mazhab ini dibidani oleh Dawud bin Ali Khalaf al-Asbahani al-Zahiri. Ia
lahir di Kufah tahun 202 H dan wakaf di Baghdad tahun 270 H, dalm usia 68tahun.
Menurut pola pikir kaum tekstualis maksud shara’ hanya dapat diketahui dari lafadz
teks sebagaimana apa yang tersurat. Alasannya maksud shara’yang tertuang dalam
redaksi nash menurut mereka masih misterius tanpa ada penjelasan dari nas itu
sendiri. Untuk itu melalui firman-firman yang tertuang itulah kita dapat memahami
nas.Berhubung kaum zahiriyah hanya berpegang pada lahirnya nas, maka tidak
memerlukan bantuan pemahaman diluar nas didalam menetapkan hukum.
b.  Pola Pikir Batiniyah
Pola pikir batiniyah ini, sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah umum
sebagaimana yang terkandung dalam kajian ilmu usul al-fiqh.Seperti dalam
penafsiran al-Quran begitu liberal dan batiniyah, tidak ada aturan apapun kecuali

10
kehendak mereka. Kata kafir mereka artikan orang yang ingkar kepada ali bin abi
thalib, taharat diartikan mengambil sesuatu yang diizinkan oleh imam, puasa berarti
tidak membuka rahasia.
Karena corak tafsiran kaum batiniyah yang begitu liberal, tanpa
menggunakan kaidah apapun layaknya  para mufasirun, takwilannya merusak al-
Quran. Untuk itu menurut mereka segala persoalan hukum dapat ditemukan dalm
ketiga sumber hukum yaitu al-Quran, al-Sunah dan ketiga adalah fatqwa imam
mereka yang maksum.
c.    Pola Pikir Kontekstual
Pola pikir kontekstual menurut al-Shatibi adalah kaum al-muta’amiqin fi al-
qiyas (kelompok yang amat gemar melakukan qiyas dan analogi).kelompok ini lebih
memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri. Doktrin yang mereka
ajukan dalam memahami nash adalah mencari makna diseberang teks selagi hasil
yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali teks-teks
tersebut bersifat mutlak. Sedangkan yang dimaksud mutlak lafadz adalah lafadz yang
menunjukkan kesatuan makna yang utuh. Jika ada pertentangan teksnas dengan
makna teks atas dasar nazariyah, kolompok kontekstualisme akan mengutamakan
makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya kemaslahatan, atau mencari
makna baru karena tak kewajiban bagi mujtahid untuk tertahan pada pengambilan
maksud nas secara tekstual. Hukum Allah itu ditegakkan karena adanya illat atau
kemaslahatan bagi umat manusia.
d.Gabungan Antara Tekstualis dan Kontekstualisme
Al-Shatibi menyatakan bahwa golongan pola pikir gabungan antara tekstualis
dan kontekstualis merupakan golongan yang benar-benar matang intelektualisnya
(rasikhun) dalam mengetahui maksud shara’.Ia sendiri menyatakan bahwa dirinya
masuk golongan ini. Mereka menggabungkan antara yang tersurat dan tersirat dari
makna teks adalah tidak bertentangan.Metode yang dikembangkan kelompok ini
sama dengan kelompok kontekstulis yang salah satuwujud nyatanya adalah al-
mutaamiqin fi al-qiyas dan zahiriyah dengan pendirian bahwwa shara’ (Tuhan dan
Rosul) di dalam menshari’atkan hukum, apakah berhubungan dengan masalah adat
atau istiadat, masing-masing mempunyai maksud yang asli (asliyat) dan maksud
yang mendampinginya (tab’iyat).
Dari beberapa kajian dapat diambil beberapa pemahaman terhadap hukum
islam, yaitu;

11
 Sumber hukum yang pertama adalah al-quran dan al-sunah, kedua adalah ijtihad
yang digunakan oleh para ahli hukum yang memahami beberapa dalil hukum
yang terdiri dari ijma’, qiyas, maslaha, istihsan, istishab dan lain sebagainya
 Cara kerja ilmu fiqih adalah menggali fiqih (hukum) dari sumbernya (al-Quran
dan al-Sunah) kemudian kalau tidak ada maka akan ijtihad menggunakan dalil.
Hanya saja para ahli usul berbeda-beda dalam pemahamannya.
 Hasil penalaran ilmu fiqh menghasilkan berbagai macam aturan yang dapat
mengatur kehidupan orang islam.

D. Karakteristik Studi Islam dalam Studi Sejarah Islam

Terdapat berbagai teori yang menjelaskan tentang asal usul kata sejarah.
Sebagian ada yang berpendapat, bahwa kata sejarah berasal dari bahasa arab
“sajarah” yang berarti pohon. Sejarah adalah terjemahan dari kata tarikh (bahasa
arab), sirah (bahasa arab), history (bahasa inggris), dan geschichte (bahasa Jerman).
Semua Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu istoria berarti ilmu.
Sedangkan secara terminologis banyak definisi tentang sejarah. Ibnu Khaldul
misalkan menyatakan bahwa “sejarah ialah menunjuk kepada peristiwa-peristiwa
istimewa atau penting pada waktu dan ras tertentu”. Sementara Al Maqrizi
membatasi “sejarah” ialah memberikan informasi tentang suatu yang pernah terjadi
di dunia. Selanjutnya kata Islam yang terdapat di belakang kata sejarah dapat
mengandung beberapa pengertian. Pertama, mengandung arti segala sesuatu yang
berkaitan dengan dengan Islam, yaitu ajaran, umat, kemajuan dan kemunduran,
peran dan fungsi dan lain sebagainya. Kedua, mengandung arti sifat atau nilai yang
harus berpegang teguh dalam mengkonstrusikan sejarah, yakni nilai kebenaran,
kejujuran dan kegunaan, sebagaimana terdapat di dalam ajaran Al-Qur’an dan Al-
Sunnah. Ketiga Pengertian tersebut dalam tulisan ini sama-sama digunakan yakni
selain mengemukakan berbagai hal yang berkaitan dengan ajaran Islam, Juga
berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian, Sejarah Islam dapat
diartikan suatu upaya merekonstruksi perisriwa masa lalu secara komperhensif dan
sistematis dengan menggunakan pendekatan dan teori tertentu dengan berdasarkan
pada nilai-nilai ajaran Islam.

12
1. Periodisasi Sejarah
Menurut Harun nasution, bahwa sejarah Islam dapat dibagi ke dalam periode
Klasik, Pertengahan, dan Modern. Masing-masing periode tersebut memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Periode Klasik (650-1250 M)
Pada periode klasik (650-1250) ini dibagi masa kemajuan Islam I dan Dissintegrasi.
a)      Masa Kemajuan Islam I (650-1000M)
Perkembangan Islam Klasik ditandai dengan perluasan wilayah.  Ketika
tinggal di Mekkah, Nabi Muhammada SAW dan para pengikutnya yang mendapat
tekanan dari kalangan Quraisy yang tidak setuju terhadap ajaran yang di bawa Nabi
Muhammad SAW. Karena tekanan itu, Nabi Muhammad SAW terpaksa mengirim
sejumlah pengikutnya ke Abesinia  yang beragama Kristen Koptis untuk
mendapatkan suaka. Itulah fase Mekkah yang membuat Nabi SAW bertahan di
Mekkah atas dukungan keluarga.
Pada tahun 620M, Nabi muhammad SAW membuat persetujuan dengan
sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka yang membuat ia dan pengikutnya
diterima dikalangan mereka. Di madinah, umat Islam, dikelompokkan menjadi dua:
(1) umat Islam yang berasal dari Mekkah dan ikut berpindah ke Yatsrib, yang
disebut Mihajirin dan (2) umat Islam yang berasal dari Madinah, yang menerima
kedatangan umat Islam dari mekkah disebut Anshar. Peristiwa hijrah ditaggapi
dengan berbagai pengikutnya. Setelah kedudukan Islam di Madinah menjadi kuat,
umat Islam menentukan langkah berikutnya yaitu menaklukkan Mekah setelah
sebelumnya melakukan perundingan yang hampir tanpa kekerasan (630M).
Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal kemudian yang memerintah daulat
Islamiyah adalah Khulafaur Rasyidin, bani Umayyah dan Abbas. Khulafaur Rasidin
berkuasa mulai tahun 632-661M, atau kurang lebih selama 29 tahun, Bani Umayyah
berkuasa mulai tahun 661 sampai dengan 750 M, atau kurang lebih selama 90 tahun,
dan bani Abbas berkuasa mulai tahun 750-1250 M atau selama 500 tahun. Dengan
demikian, masa klasik ini jika dijumlahkan berlngsung selama 600 tahun atau sekitar
6 abad.
Para Khulafaur Rasyidin adalah Abu Bakar al- Shiddiq berkuasa selama kurang
lebih dua tahun, yakni dari tahun 632-634 M, dilanjutkan oleh Umar Ibn Khattab
yang berkuasa selama 10 tahun, yakni dari tahun 634-644 M, diteruskan oleh Usman
bin Affan yang berkuasa selama 12 tahun, yakni dari tahun 644-656 M, dan Ali bin

13
Abi thalib yang berkuasa selama kurang lebih lima tahun, yaitu dari tahun 656-661
M. Dengan demikian masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29
tahun.
Akhir kekuasaan khulafaur Rasyidin ditandai dengan terpecahnya umat Islam
menjadi dua kubu besar yaitu pendukung Ali bin Abi thalib dan pendukung
Muawiyah bin Abi Sufyan yang ketika itu berkedudukan sebagai Gubernur Suriah.
b)  Masa Disintegrasi ( 1000-1250 M)
Menurut Harun Nasution, bahwa disintegrasi dalam arti perpecahan politik dan
sulitnya mempersatukan dunia Islam yang demikian luas dalam sebuab pemerintahan
yang berpusat di Baghdad, sesungguhnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman bani
umayyah, namun memuncak di zaman bani Abbas, terutama aetelah khalifah-
khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara-tentara pengawal. 
Selanjutnya disintegrasi di bidang politik ditandai dengan adanya keinginan
wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota negara, yaitu Baghdad, untuk melepaskan
diri. Dinasti-dinasti kecil sebenarnya sudah ada sejak abad IX M. Diantaranya
Dinasti Samani (874-999M) di Transoxania, Dinasti Thahiri (820-872M) di
Khurasan, Dinasti Thulun di Mesir, Dinasti Aghlabi (800-969M) di Tunisia, dan
Dinasti Idrisi (788-974M) di Maroko. Munculnya keinginan daerah-daerah itu untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad karena khalifah di Baghdad dibawah
kendali Dinasti lain, yaitu dibawah Dinasti Buwaihi (945-1055M) dan Saljuk (1055-
1199M). Disamping itu, Dinasti Fatimiah (909-1171). Yang beraliran Syi’ah di
Mesir mengambil bentuk khilafah yang menjadi saingan Dinasti Bani Abbas di
Baghdad.
Disintegrasi mencapai klimaksnya dengan jatuhnya Dinasti Bani Abbas di
Baghdad ke tangan Mongol yang di pimpin oleh Hulagu Khan pada tahun 1258. 
b.      Periode Pertengahan
Periode ini dapat pula dibagi kedalam dua masa, yaitu Masa kemunduran I dan
Masa Tiga Kerajaan Besar.
a)   Masa Kemunduran I (1250-1500M)
Kemunduran umat Islam pada zaman pertengahan diawali dengan kehancuran
Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis Khan). Dari Baghdad, ia meneruskan
serangan ke Suria dan Mesir. Tetapi di Mesir ia berhasil dipukul mundur oleh
Baybars, jenderal Mamluk di Ain Jalut. Baghdad selanjutnya diperintah oleh Dinasti
Ilkhan (gelar bagi Hulagu Khan)

14
Di Mesir, dinasti yang berkuasa silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai
dari Dinasti Fatimiah, yang beraliran Syiah, digantikan oleh Dinasti Ayubiah yang
beraliran Sunni. Ayubiah di Mesir berakhir tahun 1250, digantikan oleh Dinasti
Mamluk sampai tahun 1517.
Perpecahan juga terjadi di antara para pengikut madzhab fikih. Para ulama
pengikut madzhab disibukkan dengan kegiatan pembelaan dan penguatan madzhab
yang dianutnya, bahkan cenderung beranggapan bahwa madzhabnyalah yang paling
benar. Hal ini mendorong semakin turunnya ijtihad dan akhirnya meninggalkan
ijtihad. Akhirnya, fikih tidak berkembang. Yang berkembang adalah budaya ittiba’
dan taqlid.
b)   Tiga Kerajaan Besar (1500-1800M)
Ini berlangsung selama 300 tahun. Kerajaan itu adalah Kerajaan Turki Utsmani
di Turki (1290-1924), Kerajaan Safawi di Persia (1501-1736), dan Kerajaan Mughal
di India (1526-1858).
Berbeda dengan kemajuan Islam yang pertama sebagaimana sebagaimana yang
terjadi di zaman Klasik, adalah bahwa kemajuan Islam kedua ini, Barat mulai
bangkit terutama setelah terbukanya jalan ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan
mentah di Timur Jauh, melalui Afrika Selatan dan ditemukannya Benua Amerika
oleh Colombus (1492M). Namun demikian, kekuatan Barat dan Eropa lebih kuat
dibandingkan kekuatan Islam.  Hal ini berbeda sekali dengan Kemajuan Islam I,
dimana Barat dan Eropa belum bangkit sama sekali sehingga Kemajuan Islam II ini
sudah mulai mendapat tantangan dari kemajuan Barat dan Eropa.
c.Periode Modern (Sejak 1800 M)
Periode modern disebut pula oleh Harun Nasution disebut juga zaman
kebangkitan Islam. Ekspedisi Napo, leon yang berakhir tahun 1801 membuka mata
umat Islam, terutama Turki dan Mesir , akan kemunduran dan kemunduran
kelemahan umat Islam di samping kekuatan dan kemjuan Barat. Ekspedisi Napoleon
di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam
berbagai cabang ilmu. Ide-ide baru yang diperkenalkan Napoleon di Mesir adalah
sistem negara republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu,
persamaan (egalite), dan kebangsaan (nation).
Raja dan para pemuka Islam mulai berpikir dan mencari untuk mengembalikan
balance of power yang telah membahayakan umat Islam. Di, mesir pembaruan di
gagas dan dilakukan oleh para pembaru diantaranya Rifa’ah al Badawi Rafi’ al-

15
Tahtawi (1801-1873), yang menjadi redaktur surat kabar al- Waqa’i al Mishriyyah,
Jamaluddin al-afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla
(1865-1935).
                                                                                                        

16
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Karakteristik Studi Islam terdiri dari Studi al-Qur’an, Studi Hadis,Studi
Hukum Islam dan Studi Sejarah Islam. Studi alqur’an meliputi ilmu-ilmu al-Qur’an
(Ulum Al-Qur’an) sedangkan Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain
Ulum al-Qur’an dan Ilmu Tafsir. Karakteristik kedua yakni Studi Hadits,secara garis
besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits
Dirayah. Disamping itu terdapat ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Hadits yaitu
Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu Tarikh ar-Ruwah, Ilmu I’lal al-
Hadits, Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Garib al-
Hadits, Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif, Ilmu Talfiq al-Hadits, dan Ilmu Mushtalah wa
al-Hadits.
Karakteristik yang ketiga yakni Studi hukum Islam Secara terperinci Atho’
Mudzhar membedakan studi hukum Islam sebagai penelitian hukum Islam sebagai
doktrin asaz, penelitian hukum Islam normative dan penelitian hukum Islam sebagai
gejala sosial. Karakteristik yang terakhir adalah Studi sejarah Islam yang terbagi
dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern.

B.  Saran
Demikian makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Studi Islam. Semoga dapat menambah wacana Karakteristik Studi
Islam.Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memerlukan
penyempurnaan. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
kami harapkan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini
bermanfaat dalam membuka lebih jauh wawasan pengetahuan pembaca dalam studi
Psikologi Pendidikan.

17
DAFTAR PUSTAKA

ABD. Hakim, Atang dkk. 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: Rosda
Anwar, Rosihoh. Ulum al-Qur’an. 2013. Bandung: Pustaka Setia.
Erlangga.
Hakim, Atang Abd, dkk.2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ichwan, Mohammad Nor. 2008. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Semarang:
RaSAIL Media Group.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu
Hadits. Jakarta:
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Soebahar, H.M. Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi.
Semarang:
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.
155.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL
Media Group, 2008), hal.4.
Rosihoh Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal. 209.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL
Media Group, 2008), hal.7.
H.M. Erfan Soebahar, Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi, (Semarang:
FAKULTAS TARBIYAH IAIN WALISONGO SEMARANG, 2012), hal. 13-14.
Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hal. 84.
Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hal. 87-88.
Daniel Juned, Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadits,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 95.
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal.
193-194.
Maftuhin, dkk., Nuansa Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 117
Asnawi, Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012) hlm. 35- 40
Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 336

18
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung,
2011) hlm. 137
Amin Syukur dkk, Metodologi Studi Islam, (Gunung jati: Semarang, 1998) hlm.129
Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 339
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung,
2011) hlm. 139

Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 339-340
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung,
2011) hlm. 144

Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung,
2011) hlm. 145

Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 349
Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 335
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung,
2011) hlm. 147
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung,
2011) hlm. 148
Nurul Jannah, S.Pd di 21.24

19

Anda mungkin juga menyukai