Anda di halaman 1dari 17

TUGAS PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

Dosen Pembimbing : HERMIEN NUGRAHENI, SKM, M.KES

Disusun oleh:
1. Nilla Dita Riana (P1337420617003)

2. Gracia Ayu Christina (P1337420617004)

3. Muhammad Hasan Yusuf (P1337420617008)

4. Mohamad Fauzan (P1337420617016)

5. Widagdo Ciptaning Ar Ma’ruf (P1337420617019)

6. Nuansa Ramadhanty (P1337420617022)

7. Amalia Nur Utami (P1337420617024)

8. Ferishandy Bagaskara (P1337420617026)

9. Hidayat Syam Nurmansyah (P1337420617027)

10. Nur Chafidhoh Auliya Rachmany (P1337420617003)

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
tuntunan, serta bantuan-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan berbagai kesulitan dan
masalah yang kami hadapi.

Seperti yang kita semua tahu bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat
dibenci oleh semua kalangan karena tindakan ini adalah suatu perbuatan yang merugikan banyak
pihak, namun korupsi itu sendiri seperti tidak ada habisnya, tak hentinya-hentinya para pengusa
dari jaman-jaman melakukan perbuatan tidak terpuji ini dan kebanyakan dilakukan oleh mereka-
mereka yang menduduki jabatan penting atau tinggi dalam suatu lembaga, baik itu lembaga
pemerintah mapun lembaga swasta, bahkan tidak sedikit kasus yang melibatkan lembaga
pemerintah dan swasta yang bekerja sama untuk mendapatkan keuntungan lebih dari hasil
korupsi tersebut.

Makalah ini bisa menjadi sebuah bahan refleksi dan pembangkit semangat bagi kita
semua dalam upaya melawan korupsi di negeri kita ini, karena sampai kapanpun Indonesia ini
tidak akan maju jika korupsi masih menjadi trend politk di negeri ini. Dengan makalah ini kami
berharap bisa meningkatkan pengetahuan kita terkait dengan korupsi, dan semoga apa yang kami
tulis di dalamnya bisa dihargai sebagai sebuah pelajaran, dan mari kita semua bertekad untuk
melawan korupsi dan tidak akan melakukan tindakan korupsi.

Dalam penyusunan makalah ini terdapat pihak-pihak yang telah membantu kami, untuk
itu kami ingin menyampaikan terima kasih kami kepada, pertama Tuhan Sang Penguasa, ibu
Hermien Nugraheni, SKM, M.KES sebagai Dosen mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi,
teman-teman kelompok 1 yang telah bekerja keras dengan semangat yang tinggi, serta semua
pihak yang telah membantu kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua bukan hanya
sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran kita terhadap korupsi.

Semarang, 18 Agustus 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang


kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat (Kurniawan, 2020).

Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary menjabarkan korupsi


adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan beberapa keuntungan yang
bertentangan dengan tugas dan hak orang lain (Kompas.com, 2019).

Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara


Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain
dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung
lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki
sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu.
Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian,
perpolitikan, sosial, dan kebudayaan.
Fenomena korupsi telah menghilangkan nilai-nilai kerja keras, kebersamaan,
tenggang rasa, dan rasa senasib sepenanggungan di antara sesama warga bangsa
Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang apatis terhadap nasib dan
penderitaan sesama khususnya rakyat kecil. Tindakan korupsi seolah-olah bukanlah lagi
sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama manapun sebab kecenderungan korupsi
telah merasuki hati sebagian orang bangsa ini.
Dalam tulisan ini, akan dikaji mengenai korupsi sebagai sebuah budaya karena
tindakan korupsi di Indonesia sudah menjadi sebuah budaya. Mungkin banyak orang
yang menyetujui dan memiliki pemahaman yang sama dengan pendapat tersebut. Ada
tiga penyebab mengapa orang dapat melakukan tindak korupsi yaitu karena adanya
tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan rasionalisasi (rationalization). Pada
tulisan ini akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan korupsi dan mencoba
memberikan penyelesaian agar korupsi tidak semakin membudaya.

B. Tujuan Penulisan
Mengetahui faktor yang mempengaruhi orang untuk berperilaku koruptif, di
antaranya kebiasaan buruk masyarakat yang ketika melanggar aturan lalu-lintas
kemudian mencoba “berdamai” dengan petugas.
C. Permasalahan

Video seorang anggota Polantas menilang seorang pengendara sepeda motor


diduga di Palembang, Sumatera Selatan, lalu melakukan pungutan liar, viral di media
sosial. Kejadian di video tersebut benar adanya alias fakta.  Informasi yang beredar Video
YouTube yang diunggah pemilik akun bernama Benni Eduward pada Selasa (3/4/2018)
menunjukkan seorang pria yang memegang kamera meminta polisi berinisial Bripka TA
mengembalikan uang pungutan liar yang diperolehnya dari seorang remaja laki-laki yang
baru saja ditilang. Dalam keterangan video itu, pemilik akun mengaku tidak sengaja
melintas di lokasi kejadian dan melihat beberapa polisi sedang menilang pelanggar lalu
lintas. Dia juga menuliskan sering mendengar bahwa sering terjadi aksi pungutan liar
oleh oknum polisi di kawasan Taman Makam Pahlawan.

Saat itu, menurut pemilik akun, ada lima pengendara sepeda motor yang ditilang
lantaran tidak menghidupkan lampu utama serta tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
(SIM). Saat itu, oknum Polisi Bripka TA diduga meminta uang damai Rp 100.000.
Namun, korban di dalam video mengaku hanya memiliki uang Rp 20.000. Bripka TA,
lanjut si pemilik akun, akhirnya meminta uang Rp 50.000 kepada korban dan kemudian
diberikan setelah korban meminjam dari teman kuliahnya. Penelusuran dan verifikasi
Kompas.com memverifikasi video tersebut langsung kepada Kapolda Sumatera Selatan
Irjen (Pol) Zulkarnain Adinegara. Kapolda Sumsel membenarkan kejadian tersebut.
Bripka TA diketahui bertugas sebagai anggota Lalulintas di Polresta Palembang. "Saya
prihatin dengan kejadian ini. Sekarang sudah diproses di Propam," kata Zulkarnain saat
dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (5/4/2018).

D. Tinjauan Pustaka
Korupsi dalam bahasa latin disebut corruption yang berasal dari kata kerja corrumpere
yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Sehingga secara
harfiah, korupsi merupakan tindakan pejabat public, baik politisi maupun pegawai negeri
yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri ataupun kelompoknya dengan
menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan pada mereka [ CITATION Arg13 \l
1033 ].

Dalam yuridis Indonesia pengertian korupsi diidentifikasikan dari rumusan perbuatan


yang dapat dihukum karena tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999
juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:

1. Pelaku Korupsi
Pelaku korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja. Paling berpotensial adalah
seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan birokrasi berbelit-belit dan
bertingkat-tingkat sehingga memiliki peluang besar untuk melakukan tindak korupsi.
2. Pelanggaran Korupsi
Mereka yang melakukan penyesuaian anggaran jauh dari kenyataan di lapangan,
suap-menyuap petugas, pemberian hadiah, maupun timbulnya praktik-praktik di luar
prosedur yang ada.
3. Tujuan Korupsi
Disinyalir terdapat keinginan untuk memperkaya diri atau kelompok maupun
korporasi.
4. Cara Korupsi dapat Dilakukan
Cara korupsi dilakukan dengan jabatan dan kedudukan seseorang yang dapat
mempermudah suatu proses yang berkaitan.
5. Akibat Korupsi
Perbuatan korupsi dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Dampak
yang ditimbulkan bisa menyengsarakan rakyat [ CITATION Arg13 \l 1033 ].
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Korupsi yang terjadi di Indonesia dikenal sebagai perilaku pejabat dan atau
organisasi (Negara) yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma-
norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi dipahami sebagai kejahatan Negara
(state corruption). Korupsi selama ini dipandang sebagai fenomena politik, fenomena
sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan.
Karena itu, upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui
startegi atau pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan
budaya. Berdasarkan pengertian, Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah
kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika
demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah,
karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara =
Kekuasaan = Korupsi.

Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan


perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai
dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain
itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau
penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit
(unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa Inspektorat.

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas


sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-
undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan
keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah
meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling
terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei di kalangan
para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk
Consultancy (PERC).

B. Budaya Korupsi
Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya
dengan melihat fenomena yang terjadi. Budaya dalam arti nilai yang umum dijalankan
dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna mengendalikan berbagai kejadian yang
merugikan atau merusak kehidupan masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu
instrumen penting untuk menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia,
dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural dapat melindungi kehidupan mereka.
Dengan demikian perilaku menaklukan atau mengendalikan pihak yang
menguasai melalui berbagai upaya pemberian atau sesajen telah menjadi bagian dari nilai
kehidupan pada masa animisme, dan jika demikian maka bentuk bentuk korupsi yang
terjadi dewasa ini bisa saja di rujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya
nampak jadi kompleks dalam konteks perkembangan dunia modern dewasa ini.
Namun demikian, hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level
manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial
dan nilai agama, sehingga dapat menjadi prilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika
secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar,
maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi.
Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena
korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya
mementingkat pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka mempunyai
kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung [ CITATION
Arg13 \l 1033 ].
C. Ciri-ciri Korupsi
Menurut Syed Hussein Alatas, seorang sosiolog asal Malaysia, mengemukakan
ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. Seseorang yang diberikan amanah seperti
seorang pemimpin yang menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi,
golongan, atau kelompoknya.
2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya.
Usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan suatu lembaga
tertentu seperti penipuan memperoleh hadiah undian dari suatu perusahaan, padahal
perusahaan yang sesungguhnya tidak menyelenggarakan undian.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
Contohnya, mengalihkan anggaran keuangan yang semestinya untuk kegiatan sosial
ternyata digunakan untuk kegiatan kampanye partai politik.
4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang
berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu. Korupsi biasanya dilakukan
secara tersembunyi untuk menghilangkan jejak penyimpangan yang dilakukannya.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Beberapa jenis korupsi melibatkan
adanya pemberi dan penerima.
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain.
Pemberi dan penerima suap pada dasarnya bertujuan mengambil keuntungan
bersama.
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti
dan mereka yang dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada kasus yang
melibatkan petinggi Makamah Konstitusi bertujuan memengaruhi keputusannya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum.
Adanya upaya melemahkan lembaga pemberantasan korupsi melalui produk hukum
yang dihasilkan suatu negara atas inisiatif oknum-oknum tertentu di pemerintahan
[CITATION Pus14 \l 1033 ].
D. Korupsi dalam Perspektif Budaya
Secara umum perilaku seseorang yang melakukan praktik korupsi didorong oleh
beberapa hal, antara lain perilaku serakah sebagai potensi yang ada dalam diri setiap
orang, kesempatan untuk melakukan kecurangan, dan kebutuhan untuk memenuhi tingkat
kehidupan yang menurutnya mapan. Dalam hal ini pelaku sadar bahwa tindakannya akan
merugikan suatu pihak dan akan ada konsekuensi yang dihadapinya apabila kecurangan
itu diketahui.
Dalam perspektif budaya, korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa karena
telah dilakukan, baik secara sadar maupun tidak sadar dalam sikap hidup sehari-hari. Jika
dikategorikan secara berjenjang perilaku seseorang terhadap praktik korupsi dimulai dari
sangat permisif, permisif, antikorupsi, dan sangat antikorupsi.
“Budaya korupsi” sudah sejak zaman dahulu dilakukan, contohnya terjadi pada
zaman kerajaan bagaimana seorang penguasa menerima upeti dan hadiah dari rakyatnya
agar mendapatkan perlindungan. Hal ini masih kerap dilakukan oleh masyarakat terhadap
pemimpinnya. Karena itu, korupsi dianggap sudah menyebar secara vertikal dan
horizontal.
Berikut ini adalah beberapa fenomena kasus koruptif yang sering terjadi dalam
dunia kesehatan dan dianggap sebagai suatu kebiasaan yang berujung pada korupsi:
1. Ada kebiasaan masyarakat memberikan uang pelicin atau tips kepada petugas
kesehatan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
Kebiasaan masyarakat ini dimulai dari nilai-nilai individu yang memandang bahwa
hal tersebut merupakan unsur budaya atau kebiasaan, tetapi tanpa disadari berpotensi
menyuburkan tindakan korupsi.
2. Seorang petugas kesehatan merekomendasikan obat pesanan sponsor karena ia telah
menerima gratifikasi dari produsen obat tersebut.
3. Penyalahgunaan kartu miskin/Jamkesmas/Jamkesda untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan gratis yang dilakukan masyarakat dalam golongan mampu.
4. Manipulasi data pelaporan tindakan medis yang berdampak pada besarnya klaim pada
asuransi kesehatan atau sejenisnya[ CITATION Pus14 \l 1033 ].

E. Faktor yang menyebabkan korupsi

Faktor yang menyebabkan korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan


eksternal. Faktor internal berawal dari dalam diri pelaku dan faktor eksternal adalah
penyebab dari luar.

Faktor internal yang menyebabkan korupsi, yaitu :

1. Sifat tamak / rakus, tidak puas dengan apa yang telah dicapai,selalu mersa kurang
sehingga menyebabkan tindakan korupsi

2. Moral yang kurang kuat, seseorang yang moralnya tidak kuat mudah tergoda untuk
melakukan korupsi,
3. Gaya hidup konsumtif, perilaku konsumtif yang tidak dibarengi dengan pendapatan
yang cukup

Faktor eksternal yang menyebabkan korupsi yaitu :

1. Faktor ekonomi, kurangnya gaji bagi pegawai

2. Faktor politik, instabilitas politik

3. Faktor organisasi, kurang adanya sikap keteladanan pimpinan kepada bawahan

4. Faktor hukum, lemahnya hukum dan buruknya perundang – undangan

E. Kondisi yang Kondusif bagi Munculnya Budaya Korupsi


Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat aktual dan potensial
dalam arti bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab tidak serta merta dapat menjadi
pengurang terjadinya korupsi karena bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan
kondisi-kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi.
Kondisi tersebut mencakup hal-hal mengenai konsentrasi kekuasan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering
terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik, kurangnya transparansi di pengambilan
keputusan pemerintah, kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran
lebih besar dari pendanaan politik yang normal, proyek yang melibatkan uang rakyat
dalam jumlah besar, lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan
“teman lama”, lemahnya ketertiban hukum, lemahnya profesi hukum, kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa, gaji pegawai pemerintah yang
sangat kecil, rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum, dan ketidakadaannya kontrol
yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.
Oleh karena, itu di samping diperlukan menghilangkan penyebab-penyebabnya,
diperlukan juga upaya mempersempit ruang gerak atau kondisi yang dapat memicu
terjadinya korupsi, agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan
signifikan bagi penguatan kehidupan berbangsa [ CITATION Arg13 \l 1033 ].
F. Fenomenologi Tilang Damai
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 1992 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan menjelaskan bahwa :
“Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk
memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh ketahanan
nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa dan usaha mencapai
tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. ”
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari
realitas yang tampak. Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas
(pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain).
Fenomenologi berangkat dari sebuah pola pikir subyektivisme yang tidak hanya
memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna dibalik
gejala tersebut.
Alfred Schutz menyatakan bahwa tindakan para aktor tidak muncul begitu saja,
tetapi ada yang melalui suatu proses panjang untuk dievaluasi dengan
mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan norma etika agama atas dasar
tingkat kemampuan pemahaman sendiri sebelum tindakan itu dilakukan, dan pengalaman
penuh dengan makna.Dengan demikian, fenomena yang ditampakkan oleh individu
merupakan refleksi dari pengalaman transendental dan pemahaman tentang makna
tersebut.
Sebelum masuk pada tahapan in order to motive , menurut Schutz ada tahapan
because motive yang mendahului. Maksud dari because motive adalah motif sebab yang
merupakan dasar suatu tindakan dari individu, sehingga motif tersebut yang menjadi
sebuah pertimbangan dari individu. Pada akhirnya individu tersebut mengalami
perubahan dalam berprilaku didunia sosialnya. Sebelum pelanggar lalu lintas melakukan
tilang berujung damai, pelanggar lalu lintas tersebut akan mempertimbangkannya terlebih
dahulu. Selanjutnya maksud dari in order to motive adalah motif tujuan yang menjadi
sasaran atau harapan dari subyek yang melakukan tilang berujung damai. Kehidupan
individu tidak pernah keluar dari dunia sosial yang dimiliki, sehingga dalam proses
bertindak selalu terdapat bagian dimana kesadaran bertindak berdasarkan pada
kemampuan indra sehingga akhirnya menimbulkan rasionalitas [ CITATION Fai15 \l 1033 ].
G. Ketentuan dan Denda Resmi Pelanggaran Lalu Lintas (Tilang)
1. Prosedur Penilangan
Polisi yang memberhentikan pelanggar wajib menyapa dengan sopan serta
menunjukan jati diri dengan jelas. Polisi harus menerangkan dengan jelas kepada
pelanggar apa kesalahan yang terjadi, pasal berapa yang telah dilanggar dan tabel
berisi jumlah denda yang harus dibayar oleh pelanggar.
Pelanggar dapat memilih untuk menerima kesalahan dan memilih untuk
menerima slip biru, kemudian membayar denda di BRI tempat kejadian dan
mengambil dokumen yang ditahan di Polsek tempat kejadian, atau menolak kesalahan
yang didakwakan dan meminta sidang pengadilan serta menerima slip merah.
Pengadilan kemudian yang akan memutuskan apakah pelanggar bersalah atau tidak,
dengan mendengarkan keterangan dari polisi bersangkutan dan pelanggar dalam
persidangan di kehakiman setempat, pada waktu yang telah ditentukan (biasanya 5
sampai 10 hari kerja dari tanggal pelanggaran).
2. Menyuap Polisi
Ada sebagian pelanggar peraturan memilih untuk menyuap polisi dengan uang
berlipat-lipat dari denda yang akan dijatuhkan karena adanya anggapan bahwa
mengurus tilang itu sangatlah sulit. Ada pula kalanya polisilah yang meminta uang
kepada pelanggar agar pelanggar bisa segera pergi dari lokasi pelanggaran tanpa
mengikuti prosedur hukum. Bila penyuapan ini terbukti maka bisa membuat polisi
dan penyuap dihukum penjara karena menyuap polisi/pegawai negeri adalah sebuah
perbuatan melanggar hukum.
3. Informasi Lengkap
Sanksi pelanggaran lalu lintas di jalan raya semakin berat. Dalam undang-undang
tentang lalu lintas yang terbaru, sanksi denda atau tilang naik sekitar 10 kali lipat
dengan kisaran Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang disahkan DPR pada 22
Juni 2009 .
H. Solusi

Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan
pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Menurut
pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan agar korupsi
tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat, diantaranya:

1. Sistem penggajian yang layak

2. Larangan menerima suap dan hadiah

3. Perhitungan kekayaan

4. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para
pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi

5. Hukuman yang setimpal

6. Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau


menghilangkan korupsi.

Dari point-point tersebut dapat dieksplisitkan bahwa pemberantasan korupsi harus


melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya
(yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang
berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut
dilakukan langkah-langkah yang terpadu.

Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang
tidak akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara”
agar lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan.

Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk


menanggulangi korupsi sebagai berikut:

1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah


pembayaran tertentu.

2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.


3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan
dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling
tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi
pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi
kesempatan korupsi.

Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan


yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya
pungutan resmi.

Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut:

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh.

2. Menanamkan aspirasi Nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan


Nasional.

3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak


korupsi.

4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan


jumlah Kementerian beserta jawatan dibawahnya.

6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan


berdasarkan sistem “ascription”.

7. Adanya kebutuhan Pegawai Negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi


pemerintah.

8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur

9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah diatas Korupsi dapat dipahami sebagai kejahatan Negara (state
corruption). Korupsi juga selama ini dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial,
fenomena budaya, fenomena ekonomi, serta sebagai fenomena pembangunan. Untuk itu,
upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau
pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya

Pemerintah juga sudah melakukan upaya yang dilaksanakan melalui berbagai kebijakan
berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tidak hanya itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berkaitan dengan adanya sitem damai dalam tilang hal tersebut sudah mulai menjadi
budaya di kalangan masyarakat. Maka dari itu budaya yang dinilai kurang baik seharusnya
dihilangkan. Caranya diantaranya dengan menumbuhkan kesadaran rakyat untuk ikut
memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial. Tidak hanya
itu, Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi,
Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.

B. Saran

Penulis memberikan saran agar para pembaca mulai menumbuhkan kesadaran dan mental
anti korupsi dari diri sendiri terlebih dahulu. Lalu saran untuk para penguasa dan pembuat
peraturan dapat memberikan contoh yang baik untuk rakyatnya. Penanganan hukum juga
harus diperketat dan dipertegas.

DAFTAR PUSTAKA
Argiya, V. S. P. M,. (2013). Mengupas Tuntas Budaya Korupsi yang Mengakar Serta
Pembasmian Mafia Koruptor Menuju Indonesia Bersih. Recidive 2(2), 162-170.
Faidah, M dan Harianto, S. (2015). Fenomenologi Tilang Damai oleh Pelanggar Lalu Lintas di
Wilayah Gresik. Paradigma 3(3); 1-7.

Polri. (Tidak tercantum). Ketentuan dan Denda Resmi Pelanggaran Lalu Lintas (Tilang).
Diakses pada tanggal 18 Agustus 2020 pukul 16.10 WIB dilansir pada laman:
https://www.polri.go.id/tilang.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. (2014). Buku Ajar Pendidikan dan Budaya
Antikorupsi. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kemenkes RI.

Sukidin, Basrowi, dan Agus Wiyaka. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Insan Cendekia

(2019, December 11). Retrieved from Kompas.com:


https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/11/185540869/korupsi-pengertian-
penyebab-dan dampaknya?page=all#:~:text=Berdasarkan%20Undang%2Dundang
%20Nomor%2031,keuangan%20negara%20atau%20perekonomian%20negara.
Kurniawan, A. (2020, August 16). Retrieved from gurupendidikan.com:
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli-beserta-definisi-
dan-unsurnya/
Putra, Aji YK. (2018). Video Polisi Tilang Pemotor lalu Minta Uang Damai Rp 50.000.
Diakses pada tanggal 18 Agustus 2020 pukul 14.15 WIB dilansir dari www.
regional.kompas.com/read/2018/04/05/18134761/fakta-viral-video-polisi-tilang-pemotor-
lalu-minta-uang-damai-rp-50000

Abdillah, Ahmad L. 2016. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Korupsi. Diakses pada 18
Agustus 2020.
https://www.kompasiana.com/ahmadlutfiabdillah/57f79b24127f616116b9f400/faktor-
internal-dan-eksternal-penyebab-korupsi?page=2

Anda mungkin juga menyukai