Disusun oleh:
1. Nilla Dita Riana (P1337420617003)
JURUSAN KEPERAWATAN
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
tuntunan, serta bantuan-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan berbagai kesulitan dan
masalah yang kami hadapi.
Seperti yang kita semua tahu bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat
dibenci oleh semua kalangan karena tindakan ini adalah suatu perbuatan yang merugikan banyak
pihak, namun korupsi itu sendiri seperti tidak ada habisnya, tak hentinya-hentinya para pengusa
dari jaman-jaman melakukan perbuatan tidak terpuji ini dan kebanyakan dilakukan oleh mereka-
mereka yang menduduki jabatan penting atau tinggi dalam suatu lembaga, baik itu lembaga
pemerintah mapun lembaga swasta, bahkan tidak sedikit kasus yang melibatkan lembaga
pemerintah dan swasta yang bekerja sama untuk mendapatkan keuntungan lebih dari hasil
korupsi tersebut.
Makalah ini bisa menjadi sebuah bahan refleksi dan pembangkit semangat bagi kita
semua dalam upaya melawan korupsi di negeri kita ini, karena sampai kapanpun Indonesia ini
tidak akan maju jika korupsi masih menjadi trend politk di negeri ini. Dengan makalah ini kami
berharap bisa meningkatkan pengetahuan kita terkait dengan korupsi, dan semoga apa yang kami
tulis di dalamnya bisa dihargai sebagai sebuah pelajaran, dan mari kita semua bertekad untuk
melawan korupsi dan tidak akan melakukan tindakan korupsi.
Dalam penyusunan makalah ini terdapat pihak-pihak yang telah membantu kami, untuk
itu kami ingin menyampaikan terima kasih kami kepada, pertama Tuhan Sang Penguasa, ibu
Hermien Nugraheni, SKM, M.KES sebagai Dosen mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi,
teman-teman kelompok 1 yang telah bekerja keras dengan semangat yang tinggi, serta semua
pihak yang telah membantu kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua bukan hanya
sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran kita terhadap korupsi.
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
Mengetahui faktor yang mempengaruhi orang untuk berperilaku koruptif, di
antaranya kebiasaan buruk masyarakat yang ketika melanggar aturan lalu-lintas
kemudian mencoba “berdamai” dengan petugas.
C. Permasalahan
Saat itu, menurut pemilik akun, ada lima pengendara sepeda motor yang ditilang
lantaran tidak menghidupkan lampu utama serta tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
(SIM). Saat itu, oknum Polisi Bripka TA diduga meminta uang damai Rp 100.000.
Namun, korban di dalam video mengaku hanya memiliki uang Rp 20.000. Bripka TA,
lanjut si pemilik akun, akhirnya meminta uang Rp 50.000 kepada korban dan kemudian
diberikan setelah korban meminjam dari teman kuliahnya. Penelusuran dan verifikasi
Kompas.com memverifikasi video tersebut langsung kepada Kapolda Sumatera Selatan
Irjen (Pol) Zulkarnain Adinegara. Kapolda Sumsel membenarkan kejadian tersebut.
Bripka TA diketahui bertugas sebagai anggota Lalulintas di Polresta Palembang. "Saya
prihatin dengan kejadian ini. Sekarang sudah diproses di Propam," kata Zulkarnain saat
dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (5/4/2018).
D. Tinjauan Pustaka
Korupsi dalam bahasa latin disebut corruption yang berasal dari kata kerja corrumpere
yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Sehingga secara
harfiah, korupsi merupakan tindakan pejabat public, baik politisi maupun pegawai negeri
yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri ataupun kelompoknya dengan
menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan pada mereka [ CITATION Arg13 \l
1033 ].
1. Pelaku Korupsi
Pelaku korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja. Paling berpotensial adalah
seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan birokrasi berbelit-belit dan
bertingkat-tingkat sehingga memiliki peluang besar untuk melakukan tindak korupsi.
2. Pelanggaran Korupsi
Mereka yang melakukan penyesuaian anggaran jauh dari kenyataan di lapangan,
suap-menyuap petugas, pemberian hadiah, maupun timbulnya praktik-praktik di luar
prosedur yang ada.
3. Tujuan Korupsi
Disinyalir terdapat keinginan untuk memperkaya diri atau kelompok maupun
korporasi.
4. Cara Korupsi dapat Dilakukan
Cara korupsi dilakukan dengan jabatan dan kedudukan seseorang yang dapat
mempermudah suatu proses yang berkaitan.
5. Akibat Korupsi
Perbuatan korupsi dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Dampak
yang ditimbulkan bisa menyengsarakan rakyat [ CITATION Arg13 \l 1033 ].
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Korupsi yang terjadi di Indonesia dikenal sebagai perilaku pejabat dan atau
organisasi (Negara) yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma-
norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi dipahami sebagai kejahatan Negara
(state corruption). Korupsi selama ini dipandang sebagai fenomena politik, fenomena
sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan.
Karena itu, upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui
startegi atau pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan
budaya. Berdasarkan pengertian, Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah
kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika
demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah,
karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara =
Kekuasaan = Korupsi.
B. Budaya Korupsi
Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya
dengan melihat fenomena yang terjadi. Budaya dalam arti nilai yang umum dijalankan
dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna mengendalikan berbagai kejadian yang
merugikan atau merusak kehidupan masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu
instrumen penting untuk menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia,
dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural dapat melindungi kehidupan mereka.
Dengan demikian perilaku menaklukan atau mengendalikan pihak yang
menguasai melalui berbagai upaya pemberian atau sesajen telah menjadi bagian dari nilai
kehidupan pada masa animisme, dan jika demikian maka bentuk bentuk korupsi yang
terjadi dewasa ini bisa saja di rujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya
nampak jadi kompleks dalam konteks perkembangan dunia modern dewasa ini.
Namun demikian, hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level
manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial
dan nilai agama, sehingga dapat menjadi prilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika
secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar,
maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi.
Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena
korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya
mementingkat pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka mempunyai
kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung [ CITATION
Arg13 \l 1033 ].
C. Ciri-ciri Korupsi
Menurut Syed Hussein Alatas, seorang sosiolog asal Malaysia, mengemukakan
ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. Seseorang yang diberikan amanah seperti
seorang pemimpin yang menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi,
golongan, atau kelompoknya.
2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya.
Usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan suatu lembaga
tertentu seperti penipuan memperoleh hadiah undian dari suatu perusahaan, padahal
perusahaan yang sesungguhnya tidak menyelenggarakan undian.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
Contohnya, mengalihkan anggaran keuangan yang semestinya untuk kegiatan sosial
ternyata digunakan untuk kegiatan kampanye partai politik.
4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang
berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu. Korupsi biasanya dilakukan
secara tersembunyi untuk menghilangkan jejak penyimpangan yang dilakukannya.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Beberapa jenis korupsi melibatkan
adanya pemberi dan penerima.
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain.
Pemberi dan penerima suap pada dasarnya bertujuan mengambil keuntungan
bersama.
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti
dan mereka yang dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada kasus yang
melibatkan petinggi Makamah Konstitusi bertujuan memengaruhi keputusannya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum.
Adanya upaya melemahkan lembaga pemberantasan korupsi melalui produk hukum
yang dihasilkan suatu negara atas inisiatif oknum-oknum tertentu di pemerintahan
[CITATION Pus14 \l 1033 ].
D. Korupsi dalam Perspektif Budaya
Secara umum perilaku seseorang yang melakukan praktik korupsi didorong oleh
beberapa hal, antara lain perilaku serakah sebagai potensi yang ada dalam diri setiap
orang, kesempatan untuk melakukan kecurangan, dan kebutuhan untuk memenuhi tingkat
kehidupan yang menurutnya mapan. Dalam hal ini pelaku sadar bahwa tindakannya akan
merugikan suatu pihak dan akan ada konsekuensi yang dihadapinya apabila kecurangan
itu diketahui.
Dalam perspektif budaya, korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa karena
telah dilakukan, baik secara sadar maupun tidak sadar dalam sikap hidup sehari-hari. Jika
dikategorikan secara berjenjang perilaku seseorang terhadap praktik korupsi dimulai dari
sangat permisif, permisif, antikorupsi, dan sangat antikorupsi.
“Budaya korupsi” sudah sejak zaman dahulu dilakukan, contohnya terjadi pada
zaman kerajaan bagaimana seorang penguasa menerima upeti dan hadiah dari rakyatnya
agar mendapatkan perlindungan. Hal ini masih kerap dilakukan oleh masyarakat terhadap
pemimpinnya. Karena itu, korupsi dianggap sudah menyebar secara vertikal dan
horizontal.
Berikut ini adalah beberapa fenomena kasus koruptif yang sering terjadi dalam
dunia kesehatan dan dianggap sebagai suatu kebiasaan yang berujung pada korupsi:
1. Ada kebiasaan masyarakat memberikan uang pelicin atau tips kepada petugas
kesehatan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
Kebiasaan masyarakat ini dimulai dari nilai-nilai individu yang memandang bahwa
hal tersebut merupakan unsur budaya atau kebiasaan, tetapi tanpa disadari berpotensi
menyuburkan tindakan korupsi.
2. Seorang petugas kesehatan merekomendasikan obat pesanan sponsor karena ia telah
menerima gratifikasi dari produsen obat tersebut.
3. Penyalahgunaan kartu miskin/Jamkesmas/Jamkesda untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan gratis yang dilakukan masyarakat dalam golongan mampu.
4. Manipulasi data pelaporan tindakan medis yang berdampak pada besarnya klaim pada
asuransi kesehatan atau sejenisnya[ CITATION Pus14 \l 1033 ].
1. Sifat tamak / rakus, tidak puas dengan apa yang telah dicapai,selalu mersa kurang
sehingga menyebabkan tindakan korupsi
2. Moral yang kurang kuat, seseorang yang moralnya tidak kuat mudah tergoda untuk
melakukan korupsi,
3. Gaya hidup konsumtif, perilaku konsumtif yang tidak dibarengi dengan pendapatan
yang cukup
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan
pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Menurut
pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan agar korupsi
tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat, diantaranya:
3. Perhitungan kekayaan
4. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para
pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi
Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang
tidak akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara”
agar lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan.
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah diatas Korupsi dapat dipahami sebagai kejahatan Negara (state
corruption). Korupsi juga selama ini dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial,
fenomena budaya, fenomena ekonomi, serta sebagai fenomena pembangunan. Untuk itu,
upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau
pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya
Pemerintah juga sudah melakukan upaya yang dilaksanakan melalui berbagai kebijakan
berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tidak hanya itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berkaitan dengan adanya sitem damai dalam tilang hal tersebut sudah mulai menjadi
budaya di kalangan masyarakat. Maka dari itu budaya yang dinilai kurang baik seharusnya
dihilangkan. Caranya diantaranya dengan menumbuhkan kesadaran rakyat untuk ikut
memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial. Tidak hanya
itu, Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi,
Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
B. Saran
Penulis memberikan saran agar para pembaca mulai menumbuhkan kesadaran dan mental
anti korupsi dari diri sendiri terlebih dahulu. Lalu saran untuk para penguasa dan pembuat
peraturan dapat memberikan contoh yang baik untuk rakyatnya. Penanganan hukum juga
harus diperketat dan dipertegas.
DAFTAR PUSTAKA
Argiya, V. S. P. M,. (2013). Mengupas Tuntas Budaya Korupsi yang Mengakar Serta
Pembasmian Mafia Koruptor Menuju Indonesia Bersih. Recidive 2(2), 162-170.
Faidah, M dan Harianto, S. (2015). Fenomenologi Tilang Damai oleh Pelanggar Lalu Lintas di
Wilayah Gresik. Paradigma 3(3); 1-7.
Polri. (Tidak tercantum). Ketentuan dan Denda Resmi Pelanggaran Lalu Lintas (Tilang).
Diakses pada tanggal 18 Agustus 2020 pukul 16.10 WIB dilansir pada laman:
https://www.polri.go.id/tilang.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. (2014). Buku Ajar Pendidikan dan Budaya
Antikorupsi. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kemenkes RI.
Sukidin, Basrowi, dan Agus Wiyaka. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Insan Cendekia
Abdillah, Ahmad L. 2016. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Korupsi. Diakses pada 18
Agustus 2020.
https://www.kompasiana.com/ahmadlutfiabdillah/57f79b24127f616116b9f400/faktor-
internal-dan-eksternal-penyebab-korupsi?page=2