Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daun kelor tidak hanya kaya nutrisi akan tetapi juga memiliki sifat
fungsional karena tanaman ini mempunyai khasiat dan manfaat kesehatan
manusia. Baik itu kandungan nutrisi maupun zat aktif yang terkandung
dalam tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan makhluk hidup
dan lingkungan. Semua bagian dari tanaman kelor memberikan khasiat dan
manfaat di bidang pangan maupun non pangan. Sebagian tanaman yang
kaya akan nutrisi baik makro maupun mikro tidak hanya sebagai sumber
nutrisi bagi produk pangan tetapi memberikan efek farmakologi. Hal ini
disebabkan oleh tingginya kandungan senyawa bioaktif pada tanaman kelor.
Potensi ini memberikan peluang bagi industri farmasi untuk menjadikan
tanaman kelor sebagai obat alternatif berbahan baku alami.1

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki


keanekaragaman hayati terbesar di dunia, banyak macam tumbuhan yang
secara tradisional dapat digunakan untuk penyembuhan berbagai macam
penyakit. Salah satu alternatif yang sering digunakan yaitu penyembuhan
luka menggunakan tumbuhan atau sering dikenal dengan obat herbal sangat
disukai masyarakat dikarenakan mudah didapat dan sangat ekonomis.
Pengobatan alternatif yang lebih ekonomis diharapkan dapat meningkatkan
angka kesembuhan pasien semakin tinggi. Salah satu tumbuhan yang
mempunyai khasiat sebagai obat dan memiliki kandungan senyawa
metabolit sekunder adalah daun kelor (Moringa oleifera).2

Senyawa antibakteri pada daun Kelor merupakan hasil metabolit


sekunder. Senyawa ini terdiri dari alkaloid, saponin, flavonoid, tanin,
terpenoid dan lain-lain. Daun kelor digunakan sebagai infeksi bakteri,
infeksi fungi, penyakit menular seksual, anti inflamasi dan diare.3
2

Berdasarkan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Ananto


dkk. Bahwa gel daun kelor sebagai antibiotik alami secara in vivo antara gel
daun kelor dengan luka infeksi Pseudomonas aeruginosa yaitu semakin
dosis ditinggikan maka luka semakin cepat menutup pada mencit (Mus
musculus).4

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Taufik Gunawan dkk.


Menunjukkan efektifitas Gel ekstrak daun Kelor (Moringa oleifera) dan
Katekin Gambir untuk penyembuhan luka bakar yang terinfeksi pada Tikus
(Sprague dawley), membuktikan bahwa gel campuran ekstrak daun Kelor
dan Katekin dapat memberikan efek sebagai obat luka bakar, dimana terlihat
proses penyembuhan yang ditandai dengan penurunan diameter luka yang
lebih cepat pada luka tikus. Pada penelitian ini formula 3 dengan ekstrak
daun kelor 50 g dan katekin 6 g mempunyai presentase penyembuhan luka
bakar yang paling efektif yaitu 99.98% dengan lama penyembuhan 17 hari.7

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendra Kurniawan.


Menunjukan efek daun Kelor (Moringa oleifera) dalam mempercepat
penurunan tanda inflamasi eritema pada luka steril pada Marmut (Carvia
porcellus), bahwa kemampuan daun kelor terbukti dapat mempercepat
proses penyembuhan luka dalam hal ini yang diamati adalah penurunan
tanda inflamasi eritema.15

Berdasarkan penjelasan diatas, belum adanya penelitian mengenai


pengaruh ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap ketebalan epitel
pada luka insis tikus jantan. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan menggunakan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap


ketebalan epitelisasi pada luka insisi pada tikus jantan ?
3

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun kelor (Moringa


oleifera) terhadap ketebalan epitelisasi pada luka insisi pada tikus
jantan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui ketebalan epitelisasi pada tikus yang di beri ekstrak


daun kelor (Moringa oleifera)

2. Untuk mengetahui dosis ekstrak daun kelor yang paling efektif


terhadap ketebalan epitelisasi pada luka insisi tikus jantan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat untuk Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan


mengenai pengaruh ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap
penyembuhan luka insisi pada tikus jantan

1.4.2 Manfaat untuk Pelayanan Kesehatan


Manfaat di bidang pelayanan kesehatan adalah diharapkan dapat
memberikan sumber informasi terhadap masyarakat tentang peranan
ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan povidone iodine dapat
digunakan sebagai penyembuhan luka pada tikus jantan, serta dapat
memberikan kontribusi dalam pengembangan obat tradisional.
4

1.4.3 Manfaat untuk Masyarakat


Penelitian ini diharapakan dapat digunakan oleh masyarakat
sebagai informasi tentang pengobatan alternatif luka insisi pada tikus
jantan.

1.4.4 Manfaat untuk Peneliti Lain


Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
peneliti-peneliti lain mengenai pengaruh ekstrak daun kelor (Moringa
oleifera) dengan povidone iodine terhadap penyembuhan luka insisi
pada tikus jantan.
1.5 Orisinalitas Penelitian yang Terkaitzi

Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian


No. Peneliti, Judul, Tahun Desain Hasil
1. Fadilah, Uji Aktifitas Eksperimental Uji aktivitas ekstrak daun
Antibakteri Ekstrak Daun
kelor (Moringa oleifera)
Kelor (Moringa oleifera)
Terhadap Penyembuhan terhadap penyembuhan
Luka Pada Mencit (Mus
luka pada mencit (Mus
musculus L.), 2018.6
musculus L.). Variasi
konsentrasi 10%, 20%,
30%, 40% dan 50%. Daun
kelor mengandung
saponin, alkaloid dan
tanin yang merupakan
agen antibakteri. Hasil
rata-rata zona hambat
paling besar dengan
konsentrasi 50% yaitu
13,37 mm. Penelitian ini
menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
ekstrak daun kelor
konsentrasi 50% dapat
menyembuhkan luka lebih
5

cepat dibandingkan
kontrol positif dan kontrol
negatif. Hal ini ditandai
dengan adanya
pengurangan panjang luka
hingga ditumbuhi bulu
pada mencit.
2. Taufik Gunawan, Efektifitas Eksperimental Efektivitas gel campuran
Gel Campuran Ekstrak Daun ekstrak daun kelor dan
Kelor Dan Katekin Gambir katekin untuk
untuk Penyembuhan Luka penyembuhan luka bakar
Bakar yang Terinfeksi Pada yang terinfeksi pada tikus
Tikus, 2015.7 Sprague dawley.
Kelompok perlakuan
terdiri dari formula 1
(ekstrak daun kelor 50g :
katekin 2g), formula 2
(ekstrak daun kelor 50g :
katekin 4g), formula 3
(ekstrak daun kelor 50g :
katekin 6g). Hasil
penelitian membuktikan
bahwa gel campuran
ekstrak daun kelor dan
katekin dapat memberikan
efek sebagai obat luka
bakar, dimana terlihat
proses penyembuhan yang
ditandai dengan
penurunan diameter luka
yang lebih cepat pada luka
tikus. .

Perbedaan yang dilakukan oleh penulis peneliti sebelumnya :


6

1. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada penelitiannya sebelumnya


adalah penyembuhan pada luka efektif pada dosis 50 % sedangkan pada
penelitian ini di tingkatkan menjadi > 50 % bertujuan mencari yang lebih
efektif

2. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu variabel terikat yang digunkan pada
penelitian sebelumnya adalah penyembuhan pada luka bakar sedangkan
pada penelitian ini variabel terikat yang digunakan adalah penyembuhan
pada luka insisi.

BAB II
7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Deskripsi tanaman

Daun kelor berbentuk bulat telur dengan tepi daun rata dan
ukurannya kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Daun
kelor muda berwarna hijau muda dan berubah menjadi hijau tua pada
daun yang sudah tua. Daun muda teksturnya lembut dan lemas
sedangkan daun tua agak kaku dan keras. Daun berwarna hijau tua
biasanya digunakan untuk membuat tepung atau powder daun kelor.
Apabila jarang dikonsumsi maka daun kelor memiliki rasa pahit tetapi
tidak beracun. Rasa pahit hilang jika kelor sering dipanen secara
berkala untuk dikonsumsi umumnya digunakan daun yang masih
muda dan buahnya.1

2.1.1.1. Taksonomi

Gambar 4. Daun Kelor (Moringa oleifera).


8

Klasifikasi daun kelor (Moringa oleifera) adalah sebagai


berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)


Divisi : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
Subdivisi : Tracheobionta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lamk
2.1.1.2. Morfologi Tumbuhan

Tanaman Kelor (Moringa oleifera) merupakan salah


satu jenis tanaman tropis yang mudah tumbuh di daerah
Indonesia. Tanaman kelor merupakan tanaman perdu
dengan ketinnggian 7-11 meter dan tumbuh subur mulai
dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m diatas
permukaan laut. Kelor dapat tumbuh pada daerah tropis
dan subtropis pada semua jenis tanah.

2.1.1.3. Kandungan Tumbuhan

Daun kelor merupakan salah satu bagian dari


tanaman kelor yang banyak diteliti kandungan gizi dan
kegunaannya. Daun kelor sangat kaya akan nutrisi
diantaranya kalsium, besi, protein, vitamin A, vitamin B
dan vitamin C. Daun kelor mengandung zat besi lebih
tinggi dari pada sayuran lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100
g. Selain itu daun kelor juga mengandung berbagai macam
asam amino, mengandung fenol dalam jumlah yang
banyak yang dikenal sebagai penangkal senyawa radikal
9

bebas. Kandungan fenol dalam daun kelor segar sebesar


3,4% sedangkan daun kelor yang telah diekstrak sebesar
1,6%. Daun kelor termasuk aktivitas spektrum luas dalam
pengembangan obat tradisional sebagai pengobatan
gigitan hewan berbisa, untuk obat rematik dan mampu
menurunkan tekanan darah.1
Selain itu telah diidentifikasi bahwa daun kelor
mengandung antioksidan tinggi dan antimikroba. Hal ini
disebabkan oleh adanya kandungan asam askorbat,
flavonoid, fenolik dan karetenoid. Daun kelor juga
berfungsi sebagai bahan pengawet alami. Daun kelor
mengandung senyawa antibakteri seperti saponin,
alkaloid, triterpenoid, flavonoid dan tanin yang memiliki
mekanisme kerja dengan merusak membran sel bakteri
dan daun kelor dapat digunakan untuk menghambat luka
lambung dan saluran cerna. Ekstrak daun kelor
mengandung protein dengan berat molekul rendah yang
mempunyai aktivitas antibakteri dan antijamur.

2.1.2. Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.


Kejadian ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan.9

Ketika timbul luka, beberapa efek yang akan muncul:

1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ


2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
10

2.1.2.1. Jenis-jenis luka


Luka dibagi 2 jenis, yaitu:10

1. Luka tertutup merupakan luka dimana keadaan kulit tetap


utuh dan tidak ada kontak antara jaringan yang ada di
bawah kulit dengan dunia luar, kerusakannya diakibatkan
oleh trauma benda tumpul. Luka tertutup umumnya
dikenal sebagai luka memar yang digolongkan menjadi 2
jenis yaitu:
(1) Kontusio, kerusakan jaringan di bawah kulit dimana
dari luar hanya tampak sebagai benjolan.
(2) Hematoma, kerusakan jaringan di bawah kulit disertai
perdarahan sehingga dari luar hanya tampak kebiruan.
2. Luka terbuka adalah luka dimana kulit atau jaringan di
bawahnya mengalami kerusakan. Penyebab luka ini adalah
benda tajam, tembakan, benturan keras dan lain-lain.
Macam-macam luka terbuka antara lain luka lecet
(ekskoriasi), luka gigitan (vulnus marsum), luka
insisi/sayat (vulnus scisum), luka bacok (vulnus caesum),
luka robek (vulnus traumaticum), luka tembak (vulnus
sclopetinum), luka gores (vulnus laceratum).
Luka insisi atau sayatan (vulnus scisum) biasanya
ditimbulkan oleh sayatan benda bertepi tajam seperti
pisau, silet, parang dan sejenisnya. Luka yang timbul
biasanya berbentuk memanjang, tepi luka tidak mengalami
kerusakan.
2.1.2.2. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka:
1. Status imunologi atau kekebalan tubuh: Penyembuhan
luka adalah proses biologis yang kompleks, terdiri dari
serangkaian peristiwa berurutan bertujuan untuk
11

memperbaiki jaringan yang terluka. Peran sistem


kekebalan tubuh dalam proses ini tidak hanya untuk
mengenali dan memerangi antigen baru dari luka, tetapi
juga untuk proses regenerasi sel.
2. Kadar gula darah: Peningkatan gula darah akibat
hambatan sekresi insulin, seperti pada penderita diebetes
melitus, juga menyebabkan nutrisi tidak dapat masuk ke
dalam sel, akibatnya terjadi penurunan protein dan kalori
tubuh.
3. Rehidrasi dan pencucian luka: Dengan dilakukan
rehidarasi dan pencucian luka, jumlah bakteri di dalam
luka akan berkurang, sehingga jumlah eksudat yang
dihasilkan bakteri akan berkurang.
4. Nutrisi: Nutrisi memainkan peran tertentu dalam
penyembuhan luka. Misalnya, vitamin C sangat penting
untuk sintesis kolagen, vitamin A meningkatkan
epitelisasi, dan seng (zinc) diperlukan untuk mitosis sel
dan proliferasi sel. Semua nutrisi, termasuk protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral, baik melalui
dukungan parenteral maupun enteral, sangat dibutuhkan.
Malnutrisi menyebabkan berbagai perubahan metabolik
yang mempengaruhi penyembuhan luka.
5. Kadar albumin darah: Albumin sangat berperan untuk
mencegah edema, albumin berperan besar dalam
penentuan tekanan onkotik plasma darah. Target albumin
dalam penyembuhan luka adalah 3,5-5,5 g/dl.
6. Suplai oksigen dan vaskularisasi: Oksigen merupakan
prasyarat untuk proses reparatif, seperti proliferasi sel,
pertahanan bakteri, angiogenesis, dan sintesis kolagen.
Penyembuhan luka akan terhambat bila terjadi hipoksia
jaringan.
12

7. Nyeri: Rasa nyeri merupakan salah satu pencetus


peningkatan hormon glukokortikoid yang menghambat
proses penyembuhan luka.
8. Kortikosteroid: Steroid memiliki efek antagonis terhadap
faktor-faktor pertumbuhan dan deposisi kolagen dalam
penyembuhan luka. Steroid juga menekan sistem
kekebalan tubuh/sistem imun yang sangat dibutuhkan
dalam penyembuhan luka.
2.1.2.3. Fase penyembuhan luka
1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka


sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh darah yang
terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan, dan
tubuh berusaha menghentikannnya dengan vasokontriksi,
pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan
reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit
yang keluar dari pembuluh darah saling melekat, dan
bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah
yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang
berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoatraktan
yang menarik sel radang serta mengakifkan fibroblas lokal
dan sel endotel serta vasokontriktor. Sementara itu terjadi
reaksi inflamasi. Setelah hemostasis, proses koagulasi
akan mengaktifkan kaskade komplemen. Dari kaskade ini
akan dikeluarkan bradikinin dan anafilatoksin C3a dan
C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan permeabilitas
vaskular meningkat sehingga terjadi eksudasi, penyebukan
sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis
reaksi radang menjelas, berupa warna kemerahan karena
13

kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor),


dan pembengkakan (tumor).

Aktivitas selular yang terjadi yaitu pergerakan


leukosit menembus dinding pembuluh darah menuju luka
karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim
hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran
luka. Monosit dan limfosit yang kemudian muncul, ikut
menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri
(fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena
reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, dan luka hanya
dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah. Monosit yang
berubah menjadi makrofag ini juga menyekresi
bermacam-macam sitokin dan growth factor yang
dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.

Gambar 1. Fase Penyembuhan Luka.10

2. Fase Proliferasi
14

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena


yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblas. Fase ini
berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira
akhir minggu ketiga. Pada fase ini fibroblas membentuk
kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi
pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi
peradangan fibroblas berasal dari sel mesenkim yang
belum berdifferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida,
asam amino glisin, dan prolin yang merupakan bahan
dasar kolagen serat yang akan mernpertautkan tepi luka.10

Pada fase ini, serat kolagen dibentuk dan


dihancurkan kembali untuk menyesuaikan dengan
tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini,
bersama dengan sifat kontraktil miofibroblas,
menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini,
kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal.
Nantinya, dalam proses remodelling, kekuatan serat
kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan
antarmolekul menguat.13

Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi oleh sel


radang, fibroblas, dan kolagen, serta pembentukan
pembuluh darah baru, membentuk jaringan berwarna
kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang
disebut jaringan granulasi. Proses granulasi berjalan
seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap
akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada
permukaan luka. Luka akan berkembang menjadi
keropeng yang terdiri dari plasma dan prodeni yang
bercampur dengan sel-sel mati. Pada fase ini luka
kelihatan seperti garis kuning yang menandakan sedang
15

terjadi proses epitelisasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas


sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya
terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini
baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup
seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan
luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan
granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses
pematangan dalam fase remodeling.10

Gambar 2. Fase Proliferasi Penyembuhan Luka10

3. Fase Remodelling

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri


atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih,
pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi, dan
akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru. Fase ini
dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir
kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha
menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal
16

karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang


diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup
dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan
sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan.
Selama proses ini berlangsung, dihasilkan jaringan parut
yang pucat, tipis, dan lentur, serta mudah digerakkan dari
dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir
fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan
kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai
kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan. Perupaan luka
tulang (patah tulang) memerlukan waktu satu tahun atau
lebih untuk membentuk jaringan yang normal secara
histologis.

Gambar 3. Fase Remodelling Penyembuhan Luka.10

2.1.3. Povidone Iodine


17

Poviodone iodine memiliki sifat anti bakteri utamanya melalui


mekanisme dimana povidone membawa senyawa iodine bebas masuk
menembus membran sel. Senyawa iodine memiliki sifat yang
sitotoksik sehingga mampu membunuh sel bakteri. Povidone iodine
dapat merubah struktur dan fungsi dari protein dan enzim sel dan
merusak fungsi sel bakteri dengan jalan menghambat perlekatan
hidrogen dan merubah struktur membran sel Povidon iodine bersifat
bakteriostatik dengan kadar 640 μg/ml dan bersifat bakterisid pada
kadar 960 μg/ml. Dalam 10% povidon iodine mengandung 1%
iodiyum yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan
membunuh spora dalam waktu 15 menit.
Manfaat povidon iodine menurut Tjay dan Rahardja berpendapat
bahwa:12
1. Povidon-iodine 10% merupakan antiseptik solution yang
digunakan untuk pengobatan pertama dan mencegah
timbulnya infeksi pada luka-luka seperti lecet,
terkelupas, tergores, terpotong atau terkoyak.
2. Untuk mencegah timbulnya infeksi pada luka.

3. Untuk melindungi luka-luka operasi terhadap


kemungkinan timbulnya infeksi.
Penggunaan povidone iodine selain menghambat
penyembuhan luka juga efeknya menimbulkan parut dan
kebanyakan masyarakat sering menggunakan povidone
iodine untuk mengobati luka sehari-hari, tetapi povidone
iodine memiliki sifat antiseptik juga memiliki sifat toksik
terhadap fibroblas kulit, paru-paru dan gingiva,
keratinosit, serta osteoblast dan yang secara klinis lebih
jelek.11
Pengaruh yang kurang signifikan Povidone Iodine
terhadap penurunan kolonisasi bakteri pada luka yang
18

terkontaminasi. Bahan ini juga memiliki kontra indikasi


yaitu pada pasien hipersensitivitas yang bila digunakan
dapat menyebabkan iritasi, alergi, residu, toksik pada sel
dan bila konsentrasinya > 3 % akan memberikan
komplikasi lebih lanjut seperti reaksi hipersensitivitas kulit
misalnya rash, gatal, Povidone iodine, selain memiliki
sifat antiseptik juga memiliki sifat toksik.11

2.2 Kerangka Teori

Luka Insisi

Fase Inflamasi

Angiogenesis Pembentukan
Epitelisasi Jaringan Ikat

Faktor yamg Ekstrak daun kelor

mempengaruhi : Alkaloid

Status imunologi, Flavonoid

Kadar gula darah, Saponin

Rehidrasi dan Tanin


Penyembuhan Luka
pencucian luka,
Nutrisi,
Kadar albumin
darah dll.
19

↓↓

Gambar 5. Kerangka Teori

Keterangan :

: Bagian yang tidak di teliti

: Bagian yang di teliti

2.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Ekstrak daun
Ketebalan
Kelor (Moringa
epitelisasi
oleifera)

Gambar 6. Kerangka Konsep.

2.3 Hipotesis

Ho :Ekstrak daun Kelor efektif terhadap penyembuhan luka insisi pada


mencit jantan (Mus musculus).

Hi :Ekstrak daun Kelor tidak efektif terhadap penyembuhkan luka


insisi pada mencit jantan (Mus musculus).
20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang Ilmu Farmakologi,


Traumatologi, Bedah dan Dermatologi.

3.2 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan


penelitian post test only control group design. Desain ini dipilih karena
tidak memungkinkan dilakukannya pre test karena akan berpengaruh pada
perlakuan eksperimen. Mencit diberi luka insisi pada bagian punggungnya
dan dilihat perubahan ukuran luka pada hari ke 10. Pada penelitian ini
menggunakan lima kelompok, yaitu dua kelompok kontrol dan tiga
kelompok perlakuan.
21

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi Target

Populasi target penelitian ini adalah hewan percobaan mencit


jantan (Mus musculus) di Laboratorium PAU UGM.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah tikus yang


memenuhi kriteria inklusi.

3.3.2.1. Kriteria Inklusi

1. Tikus jantan

2. Usia 3-4 bulan

3. Berat badan 20 – 30 gram

4. Sehat

3.3.2.2. Kriteria Eksklusi

1. Tikus jantan yang tidak bergerak secara aktif atau sakit

3.3.2.3. Kriteria Droup Out

1. Tikus mati pada saat adaptasi atau perlakuan

3.3.3. Cara Sampling

Penelitian ini menggunakan 5 kelompok, yaitu 2 kelompok


kontrol dan 3 kelompok perlakuan dilakukan secara Simple random
sampling, yaitu pengelompokan dilakukan secara random.
Kelompok penelitian ini terdiri dari:

1. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif (K(-)) yaitu mencit yang


dilukai dan tidak diberi perlakuan

2. Kelompok 2 sebagai kontrol positif (K(+)) yaitu mencit yang


dilukai dan diberi povidone iodine dengan dosis 10 %
22

3. Kelompok 3 sebagai kelompok perlakuan 1 (P1) yaitu mencit


yang diberi ekstrak daun kelor dengan dosis 50 %

4. Kelompok 4 sebagai kelompok perlakuan 2 (P2) yaitu mencit


yang diberi ekstrak daun kelor dengan dosis 75 %

5. Kelompok 5 sebagai kelompok perlakuan 3 (P3) yaitu mencit


yang diberi ekstrak daun kelor dengan dosis 100 %

3.3.4. Besar Sampel

Kelompok sampel dibagi menjadi 5 kelompok. Besarnya sampel


tiap kelompok ditentukan dengan rumus Federer. Bila di hitung
sebagai berikut :

(n-1) (t-1) ≥ 15

(n-1) (5-1) ≥ 15

4n-4 ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75

Keterangan

n = jumlah sampel

t = jumlah kelompok

Jadi, jumlah sampel yang di gunakan pada penelitian ini


adalah 5 ekor (n≥5) dan jumlah kelompok pada penelitian ini
adalah 5 sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor.

Proses randomisasi adalah 25 ekor mencit dikelompokan


secara acak menjadi 5 kelompok dimana masing-masing, terdiri
atas:

Kelompok Kontrol Negatif (K(-)) : 5 mencit

Kelompok Kontrol Positif (K(+)) : 5 mencit


23

Kelompok Perlakuan 1 (P1) : 5 mencit

Kelompok Perlakuan 2 (P2) : 5 mencit

Kelompok Perlakuan 3 (P3) : 5 mencit

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak daun Kelor


(Moringa oleifera)

3.4.2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah ketebalan epitel


pada tikus jantan

3.5 Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


. Operasion
al

1 Variabel Bebas : Ekstrak daun Kromatografi Dosis I 50% Nominal


Ekstrak daun Kelor
Kelor (Moringa Dosis II 75%
merupakan
oleifera)
Dosis III 100%
zat aktif dari
daun kelor
yang memiliki
sifat
antioksidan
dan juga
antibakteri.
24

2 Variabel Terikat Interpretasi Penggaris Luas Rasio


: Penyembuhan lama Penyembuhan
luka insisi pada Luka
penyembuhan
mencit
luka
didapatkan
dengan
melihat luka
yang sembuh
pada luka
insisi mencit
putih jantan
(Mus
musculus).

3.6 Cara Pengumpulan Data

3.6.1. Alat dan Bahan

3.6.1.1. Alat

1. Alat ekstrak

(1) Kertas saring

(2) Rotatory vacuum evaporator

2. Alat untuk insisi

(1) Gagang bisturi

(2) Bisturi no.15

(3) Pinset chirurgis

(4) Gunting

(5) Alat pencukur rambut

3. Alat untuk olesan

(1) Sarung tangan steril


25

(2) Kasa steril

3.6.1.2. Bahan

1. Bahan Penelitian

(1) Hewan coba berupa mencit jantan (Mus musculus)

(2) makan standar dan minum

(3) Ekstrak daun Kelor

(4) Povidone iodine 10%

(5) Lidokain

(6) Aquades

2. Bahan Ekstrak

(1) Daun Kelor

(2) Metanol

3.6.2. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan ekstrak daun Kelor

Daun kelor sebanyak 1,27 kg dicuci dengan air mengalir


dan selanjutnya dilakukan sortasi basah untuk memisahkan
daun kelor yang masih segar. Daun kelor kemudian ditiriskan
dan disimpan dalam wadah tertutup. Daun kelor dikeringkan
di dalam oven pada suhu 50C sampai kering dan kemudian
diukur kadar airnya dengan alat moisture balance. Simplisia
daun kelor kering diblender dan diayak menggunakan ayakan
no 40 Mesh. Serbuk yang diperoleh selanjutnya digunakan
untuk pembuatan Ekstrak Metanol Daun Kelor (EMDK)

Proses maserasi simplisia daun kelor dilakukan dengan


merendam 300 gram serbuk daun kelor dengan 2.250 mL
methanol dalam bejana maserasi. Bejana maserasi ditutup
26

dan dibiarkan selama tiga hari serta diletakkan pada tempat


yang terlindung dari sinar matahari langsung. Selama proses
perendaman, rendaman diaduk beberapa kali dengan tujuan
untuk meningkatkan efektifitas proses difusi senyawa terlarut
ke dalam cairan penyari. Maserat yang diperoleh didiamkan
selama semalam dan diendapkan. Maserat dipekatkan dengan
menggunakan rotarry evaporator pada suhu 500C sehingga
diperoleh ekstrak kental daun kelor (EMDK). Uji taksonomi
dilakukan di Laboratorium FMIPA Universitas Negeri
Semarang.

2. Pengadaptasian Mencit

Sebelum dilakukan perlakuan kepada semua mencit


laboratorium, mencit terlebih dahulu diadaptasikan dengan
lingkungan Laboratorium Pangan dan Gizi Antar Universitas
(PAU) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta selama
tujuh hari kemudian dilanjutkan dengan prosedur penelitian
berikutnya.

3. Pembuatan Luka Insisi pada Mencit

Langkah awal berupa mencukur bulu di sekitar


punggung mencit dan kulit diolesi dengan alkohol. Setelah di
cukur lalu dilakukan prosedur anastesi, mencit terlebih
dahulu dianastesi menggunakan lidokain 0,2 cc. Hal ini
ditujukan untuk menghilangkan rasa sakit serta mencegah
terjadinya pergerakan yang berlebihan dari mencit, sehingga
mempermudah prosedur yang akan dilakukan setelahnya.
Setelah mencit didesinfeksi dan dianastesi barulah kemudian
punggung mencit dibuat sayatan dengan panjang 2 cm dan
kedalaman 0,25 cm hingga mencapai dermis.
27

4. Pemberian Ekstrak daun Kelor pada luka insisi

Mencit yang telah diinduksi luka sayat, dipisahkan


secara random menjadi 5 kelompok masing-masing terdiri
dari 5 mencit. Selanjutkan mencit akan diberikan perlakuan
dengan pemberian ekstrak daun kelor masing-masing
kelompok dengan dosis 50%, 75%, dan 100%. Pemberian
ekstrak tersebut dilakukan dengan cara ditetesi di bagian luka
pada punggung mencit, dilakukan hingga hari ke 10 setelah
perlukaan. Sebagai pembanding digunakan kontrol negatif
(K-) yaitu mencit yang tidak di beri perlakuan dan kontrol
positif (K+) yang diberi povidone iodine 10% sebagai obat
standar penanganan sebagian besar luka. Kelompok
perlakuan 1 (P1) diberi ekstrak daun kelor dengan dosis 50%,
kelompok perlakuan 2 (P2) diberi ekstrak daun kelor dengan
dosis 75% dan kelompok perlakuan 3 (P3) diberi ekstrak
daun kelor dengan dosis 100%.
28

3.6 Alur penelitian

25 Ekor mencit jantan (Mus


musculus)

Adaptasi selama 7 hari

Dicukur bulu bagian punggung

Dibuat luka insisi sepanjang 2 cm dan kedalaman 0,25 cm

Kontrol (-) Kontrol (+) Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

5 ekor mencit 5 ekor mencit 5 ekor mencit 5 ekor mencit 5 ekor mencit
jantan yg di lukai jantan di beri jantan diberi jantan diberi jantan diberi
dan tidak diberi povidone iodine ekstrak daun ekstrak daun ekstrak daun
perlakuan 10% kelor 50 % kelor 75 % kelor 100 %

Pengobatan luka 2 kali sehari pagi dan sore selama 10 hari

Mencit diterminasi pada hari ke 10

Analisis data

Gambar 7. Alur penelitian


29

3.7 Analisis Data

Analisis data yang pertama dilakukan adalah uji normalitas dengan uji
Saphiro-Wilk karena sampel yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 25 ekor (<50). Analisis selanjutnya adalah melakukan uji
komparasi dengan one way Anova untuk menguji hipotesis yang ada
kemudian dilakukan uji Post-hoc dengan menggunakan uji Least
Significant Different (LSD) untuk mengetahui kelompok-kelompok mana
saja yang berbeda. Interpretasi hasil dari uji normalitas berdasarkan nilai p
yaitu p>0.05 artinya data berdistribusi normal, apabila p<0.05 data tidak
berdistribusi normal, dan untuk uji hipotesis berdasarkan nilai p yaitu
p<0.05 artinya hipotesis diterima, apabila p>0.05 berarti hipotesis ditolak.

3.8 Etika Penelitian


Penelitian yang dilakukan menggunakan Mencit (Mus musculus)
sebagai bahan uji coba, oleh karena itu semua hewan coba dirawat sesuai
standar pemeliharaan binatang. Hal yang perlu dilakukan sesuai dengan
animal ethics antara lain perawatan dalam kandang, pemberian makan dan
minum secara ad libitum, aliran udara dalam ruang kandang, perlakuan
saat penelitian, menghilangkan rasa sakit, pengambilan unit analisa
penelitian dan pemusnahannya. Kemudian penulis mengajukan surat
permohonan dan persetujuan untuk melakukan penelitian di Laboratorium
Pangan dan Gizi PAU (Pusat Antar Universitas) Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Aminah, S, Tezar R, Muflihani Y. 2015. Kandungan Nutrisi dan Sifat


Fungsional Tanaman Kelor (Moringa oleifera). Buletin Pengkajian
Teknologi Pertanian. Jakarta. Vol 5, No.2.

2. Ikalinus, R, Sri K, Ni L.k. 2015. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol


Kulit Batang Kelor (Moringa Oleifera). Universitas Udayana. Bali.
Vol. 4 No.1 : 71-79.

3. Rahman, M, Sheikh M, Sharmin S. 2009. Antibacterial Activity Of leaf


Juice and Extract of Moringa oleifera Lam. Against some Human
Pathogenic bacteria. CMU.J.Nat.Sci. Vol.8(2) : 219-227.

4. Ananto, F.J , Eko S.H, Nayla B. N, Yusri C, Najwa, Mohammad Z,A,


Irmas. 2015. Gel Daun Kelor Sebagai Antibiotik Alami Pada
Pseudomonas aeruginosa Secara In Vivo. Universitas Muhammadiyah
Malang. Indonesia Vol.12, No, 01. ISSN 1693-3591.

5. Amaliya, S, Bambang, Yulian. 2013. Efek Ekstrak Daun Pegangan


(Centella Asiatica) Dalam Mempercepat Penyembuhan Luka
Terkontaminasi Pada Tikus Putih (Rattus novergicus) Galur Wistar.
Jurnal Ilmu Keperawatan. Brawijaya. Vol. I.

6. Fadilah, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Kelor (Moringa


oleifera) terhadap Penyembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus).
2018.

7. Taufik Gunawan, Moerfiah, Erni Rustiani. Efektivitas Gel Campuran


Ekstrak Daun Kelor dan Katekin Gambir untuk Penyembuhan Luka
Bakar yang Terinfeksi pada Tikus (Sprague Dawley).

8. Ernawaty. Uji Efek Penyembuhan Luka Sediaan Gel Ekstrak Etanol


Daun Afrika (Vernonia amygdalina.Del) pada Mencit Jantan. Jurnal
Ilmiah PANNMED. 2014;184–7.

9. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid III. Jakarta: EGC; 2010.
Hlm 95-100.

10. Kartika RW, Bedah B, Paru J, Luka AP. Perawatan Luka Kronis
dengan Modern Dressing. Perawatan Luka Kronis Dengan Modern
Dressing. Wound Care/Diabetic Center RS Gading Pluit Jakarta.
2015;42(7):546–50.
31

11. Kramer M.et All. Iodine Release and antibacterial effects of wound
paste combined with PVP-iodine powder and/or solution in vitro.
International

12. Tjay, T. H., & Raharja K. Obat-obat penting : khasiat, penggunaan dan
efek samping. 5th ed. Jakarta: Gramedia; 2002. hlm 62-88.

13. Kumar Abbas Aster. Buku Ajar Patologi Robbins. Nasar IM, editor.
Vol. 9. Elsevier Saunders; 2015. 67-69.

14. Olwin N, Cornelis A. Diet Sehat dengan Serat: Cermin Dunia


Kedokteran. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI; 2005. 45-46 p

15. Hendra Kurniawan. Efek Daun Kelor (Moringa Oleifera) Dalam


Mempercepat Penurunan Tanda Inflamasi Eritema Pada Luka Steril
Pada Marmut (Cavia Porcellus). THE INDONESIAN JOURNAL OF
HEALTH SCIENCE, Vol. 1, No. 1, Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai