OLEH:
Kelompok 3
Hadya Aswamadanti 171200253
Ni Kadek Ayu Surya Adnyani 171200254
Ni Kadek Wiwin Natali 171200255
Ni Ketut Widhiastari 171200256
Ni Komang Anita Saraswati Dewi Dana 171200257
Ni Luh Anis Siantari 171200258
Ni Luh Putu Ayu Suciptawati 171200259
Ni Luh Putu Manik Candra Dewi 171200260
A2D FarmasiKlinis
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi diabetes mellitus.
2. Mengatahui patofisiologi diabetes mellitus.
3. Mengetahui tatalaksana diabetes mellitus (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait diabetes mellitus secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP.
II. DASAR TEORI
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif. (Kee dan Hayes,1996). Diabetes melitus adalah diabetes yang berkaitan
dengan kadar gula dalam tubuh, juga dikenal dengan nama kencing manis. (Sukandar,
2008).
Diabetes adalah kondisi kronis yang disebabkan oleh kekurangan absolut pada insulin
atau kekurangan relatif insulin akibat gangguan sekresi dan aksi (sensitivitas) insulin.
Karakteristik khasnya adalah intoleransi glukosa simptomatik yang mengakibatkan
hiperglikemia dan perubahan metabolisme lipid dan protein. Dalam jangka panjang,
diabetes mellitus berkontribusi pada peningkatan risiko perkembangan komplikasi seperti
penyakit kardiovaskular (CVD), retinopati,nefropati, dan neuropati dan risiko kanker
(Alldredge et al., 2013) Diabetes mellitus bukan merupakan patogen melainkan secara
etiologi adalah kerusakan atau gangguan metabolisme. Gejala umum diabetes adalah
hiperglikemia, poliuria, polidipsia, kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan
kekurangan insulin sampai pada infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom
hiperosmolar dan kekurangan insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik menyebabkan
kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ.
Komplikasi jangka panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy,
katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).
2.2 Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus
1. Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe 1 (karena destruksi sel beta akibat autoimun, biasanya menyebabkan
defisiensi insulin absolut). Bentuk diabetes ini dihasilkan dari penghancuran autoimun sel
β pankreas. Penanda destruksi imun pada Sel β ada ada saat diagnosis pada 90% individu
dan termasuk antibodi sel islet, antibodi terhadap dekarboksilase asam glutamat,dan
antibodi terhadap insulin. Bentuk diabetes ini biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja,
pada usia berapapun. Individu yang lebih muda biasanya memiliki tingkat destruksi sel β
yang cepat dan disertai dengan adanya ketoasidosis, sementara orang dewasa sering
mempertahankan sekresi insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama
bertahun-tahun, yang sering terjadi disebut sebagai diabetes autoimun laten pada orang
dewasa. Diabetes tipe 1 dapat juga disebabkan adanya interaksi antara faktor-faktor
lingkungan dengan kecenderungan sebagai pewaris penyakit diabetes mellitus. Hal ini
menunjukkan bahwa IDDM dapat timbul karena adanya hubungan dengan gen-gen pasien
dan dapat pula dipicu oleh faktor lingkungan yang ada, termasuk bermacam-macam virus
(Jones and Gill, 1998).
2. Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe 2 (karena kehilangan sekresi insulin secara progresif oleh sel beta, sering
diakibatkan oleh resistensi insulin. Bentuk diabetes ini ditandai dengan resistensi insulinn
dan kekurangan relatif pada sekresi insulin, dengan sekresi insulin yang semakin menurun
dari waktu ke waktu. Kebanyakan individu dengan diabetes tipe 2, memiliki gambaran
obesitas perut yang menjadi peyebab resistensi insulin. Selain itu, hipertensi,
dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol HDL yang rendah), dan
meningkatnya inhibitor plasminogen aktivator-1 (PAI-1), yang berkontribusi terhadap
hypercoagulable state, sering hadir pada orang dengan DM tipe 2. Pengelompokan
kelainan ini disebut sebagai "sindrom resistensi insulin" atau "sindrom metabolik." Karena
kelainan ini, pasien dengan diabetes tipe 2 berisiko tinggi terkena komplikasi
macrovascular. Diabetes tipe 2 memiliki predisposisi genetik yang kuat dan lebih umum
terjadi pada semua kelompok etnis selain kelompok etnis Eropa keturunan (Ganiswara,
1995).
Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2 terutama yang berada pada tahap
awal umumnya dpat didetekski jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, di sampiing
kadar guula yang juga tinggi. Jadi, awal potofuidologisnya bahkan bukan disebakan oleh
kuangnya sekresi insulin, tetapi karena sel- sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin pada penderita DM tipe 2 hsnys bersifat relative, tidak dabsolut. Oleh
sebab itu, dalam penanganannya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel- sel beta
kalenjar pancreas non sekresi insulin alam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi
segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya
kadar glukosa darah, sedangkan sekresi dua fase terjadi di sekitar 20 menit sesudahnya.
(Ganiswara, 1995).
Jenis diabetes khusus karena penyebab lainnya, misalnya, sindrom diabetes monogenik
(seperti diabetes neonatal dan maturity-onset diabetes pada kaum muda [MODY]),
penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), dan diabetes akibat obat-obatan
(seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatanHIV / AIDS, atau setelah
transplantasi organ (American Diabetes Association (ADA), 2017).
2.3 Gejala
Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak selalu
sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak
mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita diabetes melitus
yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu (Tjoktoprawiro, 1998).
2. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang disebabkan
oleh kurangnya insulin, yaitu :
a. Banyak minum
b. Banyak kencing
c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)
d. Mudah lelah
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah melebihi 500
mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri) dan disebut koma
diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar glukosa
darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik, gejala dan penurunan
berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan utama penderita untuk berobat ke
dokter (Tjokroprawiro, 1998). Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak
menunjukkan gejala akut (mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala
setelah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini
dikenal dengan gejala kronik atau menahun (Katzung, 2002).
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti yang disebut
dibawah ini :
a. Kesemutan
b. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarumRasa tebal pada kulit telapak kaki,
sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur
c. Kram
d. Capai, pegal-pegal
e. Mudah mengantuk
f. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
g. Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita
h. Gigi mudah goyah dan mudah lepas
i. Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan
produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh
bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain
sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara
lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan
antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi utama
yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki
ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%.
Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe
1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel ß pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh
sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans(Muchid et al., 2005).
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan
sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak
terjadi pengrusakan sel-sel ß Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM
Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat
relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan
terapi pemberian insulin (Muchid et al., 2005). Sel-sel ß kelenjar pankreas mensekresi
insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan
sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe
2, sel-sel ß menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel
ß pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,
yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Muchid et al., 2005)
2.5 Diagnosis
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL
(11.1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien
tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa terganggu(TTGO)> 200 mg/dL
(11.1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa
anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air (Muchid et al., 2005).
1. Terapi Farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun
dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30
asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel. Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai
kerjanya baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid,
Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting) Sediaan insulin ini bekerja dengan cara
mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari
tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan
insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh:
Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting) Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya
dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama
kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002). Secara
keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah
tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin
dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin
(Waspadji, 2010). 2. Obat Antidiabetik Oral Obat-obat antidiabetik oral ditujukan
untuk membantu penanganan pasien diabetes mellitus tipe
Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan
satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
a. Golongan Sulfonilurea Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin
dikelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans
pankreas masih dapat berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi
setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan
sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea generasi pertama Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat
dimetabolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh
eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002).
Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini
diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan
Suharto, 1995). Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami
biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini
diubah menjadi 1- hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek
hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-
hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira
4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995). Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-
80% dimetabolisme di dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui
ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga
efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan
Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002). Sulfonilurea generasi
kedua Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali
lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak
efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari
mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama
makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21%
metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995). Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90%
glipizid dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10%
diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002). Glimepiride dapat
mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua
senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian
maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5
jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif
(Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan
hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang
overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi
insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke
dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih
tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh:
Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan Universitas Sumatera Utara
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose (Tjay
dan Rahardja, 2002)
3.2. Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)
Okt 19
Nama Obat 16 17 18 19
Lasix inj 1-0-0 √ √ - -
Lasix inj 2-0-0 - - √ √
Ondansetron inj - - √ √
2x1
Omeprazol inj - - - -
2x1
Amlodipin - √ √ √
Candesartan TI - - - -
80 mg tab 1-0-0
Asam folat - √ √ √
Paracetamol tab Kp Kp Kp Kp
3x1
NS atau RL √ √ √ √
Actrapid 16 iu √ √ √ √
3x1
Lantus 12 iu - - - √
1x1
Lactulosa syr - - - -
3xCI
N(x/min) 88 86 72 88
Suhu(oC) 37 36,5 37 37
RR (x/min) 20 26 26 20
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan, W.A.,
2013, Koda-Kimble & Youngs Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10th ed.,
Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, United States of America.
American Diabetes Association. (2017). Standards of Medical Care in Diabetes 2017. Vol. 40.
USA : ADA
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 9, 29, 30, 32, 39, 43
Katzung, B.G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik , Edisi III, 693-694, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Muchid, A., Umar, F., Ginting, M. N., Basri, C., Wahyuni, R., Helmi, R., et al., 2005,
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus, Jakarta, Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Tjay dan Rahardja, 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek Sampingnya, Edisi
V, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta
Tjokroprawiro, A. 1998. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Gramedia Pustaka
Utama.Jakarta .