Anda di halaman 1dari 2

NAMA : RUSMAN

NIM : B 301 19 105

MK : ANTROPOLOGI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK

KELAS : A ANTROPOLOGI

 FENOMENA ANTROPLOGI POLITIK

Kerusuhan Poso (bahasa Inggris: Poso riots) atau konflik komunal Poso
(bahasa Inggris: Poso communal conflict), adalah sebutan bagi serangkaian
kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini
melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. berawal dari serangkaian bentrokan
antara kelompok pemuda Islam dan Kristen. Beberapa faktor berkontribusi
terhadap pecahnya kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara penduduk asli
Poso yang mayoritas Kristen dan para pendatang seperti pedagang Bugis Muslim
dan transmigran dari Jawa, ketidakstabilan politik dan ekonomi menyusul
jatuhnya Orde Baru, persaingan antarpejabat pemerintah mengenai posisi
birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak Kristen dan Islam.
Situasi dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum
yang lemah, menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya
kekerasan.

Para pendukung teori provokator menunjukkan bahwa kekerasan dimulai


tepat setelah pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13 Desember 1998, yang
menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengikuti pemilihan ulang sebagai Bupati
Poso, sekaligus membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang ambisius. Secara
kebetulan, fase ini juga bertepatan dengan pecahnya rangkaian kekerasan dan
unjuk rasa yang terjadi di seluruh Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru.

Berawal dari permaslahan antar perorangan yang kemudian membesar


menjadi permasalaahan antar agama dan ditambah dengan politik. kerusuhan poso
menjadi sebuah tragedi yang memakan banyak korban jiwa dan tidak bisa
dilupakan.
 FENOMENA KEBIJAKAN PUBLIK

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di


sejumlah kota di Indonesia, semakin membatasi pergerakan warga untuk
ke luar rumah. Banyak pusat perbelanjaan dibatasi jam operasionalnya,
bahkan tutup sama sekali. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
berbelanja secara online mau tidak mau harus dilakukan.

Namun, karena transaksi jual beli dilakukan melalui internet, maka


yang bisa dilakukan calon pembeli hanyalah mencermati detail barang
yang hendak dibelinya melalui foto-foto dan deskripsi barang yang
dicantumkan penjual.

Setelah memutuskan untuk membeli barang tersebut, pembeli


lantas mentransfer dana sesuai harga. Entah itu ke rekening penjual
langsung atau pihak ketiga kalau memang bertransaksi melalui
marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, Lazada dan lainnya.

Meskipun menawarkan kemudahan dalam berbelanja karena tidak


harus ke luar rumah, sayangnya membeli barang bermodal kepercayaan
tersebut juga membuka celah penipuan.

Tahu Hak Konsumen


Agar tidak menjadi korban penipuan saat berbelanja online, kamu
tentunya harus tahu hak-hak kamu sebagai konsumen. Apalagi kalau kamu
bertransaksi dengan nilai yang lumayan besar seperti contoh di atas.

Tujuannya agar kamu tahu kemana harus mengadu jika tertipu,


termasuk melengkapi bukti-bukti yang diperlukan petugas kepolisian
untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
1. Sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU PK), sebenarnya hak antara
konsumen yang bertransaksi secara online atau offline tidak
dibedakan
2. Undang-undang No. 39 tahun 2007 yang mengatur tentang
informasi dan transaksi elektronik menjadikan transaksi elektronik
kita (misal transfer uang, atau online shopping) menjadi lebih
terjamin dan terlindungi.

Anda mungkin juga menyukai