MK : ETNOGRAFI INDONESIA
KELAS : A
Suku Kantu termasuk golongan suku bangsa Iban yang mendiami bagian hulu
lembah sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Perladangan Padi Paya merupakan
suatu hal yang menarik perhatian dalam sistem perladangan orang kantu Rumah
panjang orang Kantu yaitu Kulit Tuba yang terletak di Sungai Empanang, cabang
anak sungai kedua di bagian barat Sungai Kapuas. Kulit Tuba terdiri dari 116
penghuni yang terbagi dalam 16 rumah tangga (household) uang terpisah dan
mendiami suatu daerah yang luasnya medekati 9 mil persegi. Orang-orang Kantu
di Kulit Tuba menanam lima macam padi paya yang berbeda-beda, termasuk jenis
gluntinus dan non- gluntinos. Padi paya dibedakan dari padi darat karena akarnya
yang lebih panjang dan karena kemampuannya untuk tumbuh di tanah-tanah rawa,
tetapi tidak dapat tumbuh di tanah kering ( sedangkan padi darat sebaliknya ).
Dari 69 ladang yang dibuat oleh keluarga-keluarga Kulit Tuba selama jangka
waktu 2 tahun, 1975 dan 1976, hanya pada 13 ladang tidak didapati tanah rawa
sama sekali. Presentasi tanah rawa berkisar antara 0% hingga 100% dan rata-rata
mencapai 39%. Meskipun demikian, tanah rawa hanya meliputi 10% dari
sejumlah 137 ha lahan yang terdapat dalam 69 ladang, karena 26 ladang adalah
tanah rawa yang cenderung lebih sempit (rata-rata hanya 4 ha luasnya) daripada
43 ladang yang lainnya yang berupa lahan kering (rata-rata luasnya 2,9 ha).
Perladangan rawa begitu penting artinya bagi suku Kantu bukan hanya karena
ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak didapati pada ladang-ladang
kering, tetapi juga karena tanpa memperhitungkan yang mana yang lebih
menguntungkan, ladang-ladang rawa memang berbeda dari ladang-ladang kering.
Ladang-ladang tersebut merupakan suatu relung lingkungan- mikro (micro-
environmental niche) yang berbeda dari lainnya. Dengan demikian, penciptaan
ladang-ladanf rawa memungkinan suku Kantu untuk memperbesar hingga batas
maksimum berbagai sistem perladangan yang ada pada mereka. Semakin besar
perbedaan yang ada pada ladang-ladang suku Kantu semakin kecil kemungkinan
bahwa fenomena-fenomena lingkungan yang berlawanan (yaitu trlalu sedikit
hujan, terlalu banyak hujan, bahaya banjir, penyakit padi, binatang pengganggu
padi dan sebagainya) aman menghancurkan tanaman padi di semua ladang pada
suatu keluarga atau suatu rumah oanjang dalam suatu tahun tertentu. Adanya
perbedaan-perbedaan pada perladangan merupakan suatu elemen yang ownting
dalam seberapa besar suatu pendapatan yang kecil (low-gain) tapi dengan resiko
kecil dalam strategi perladangan. Adanya perbedaan-perbedaan dalam
perladangan ini juga mempunyai fungsi kedua yaitu memungkinkan suku Kantu
untuk menggunakan sumber-sumber tenaga kerja mereka semaksimal mungkin.
Suku Kantu di lembah sungai Empanang baru mulai menanam padi paya sesudah
tahun 1925. Dalam perkembangan evolusi ini penanam padi telah mencapai
siklusnya yang tertinggi. Perkembangan perladangan Padi Paya merupakan suatu
perubahan dalam strategi perladangan suku Kantu tetapi hal ini merupakan suatu
intensifikasi dari strategi tersebut karena input tenaga kerja dan hasil produksi
menjadi lebih besar.