Anda di halaman 1dari 7

87

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Sampel


Tikus wistar (Rattus novergicus) memiliki struktur DNA yang mirip dengan
manusia, sehingga dapat digunakan sebagai hewan coba laboratorium (Sengupta,
2013). Selain itu, tikus jenis wistar putih juga mudah diperoleh, mudah
beradaptasi dan dibiakkan, serta tahan terhadap kondisi laboratorium dengan
berbagai perlakuan serta anastesi, mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap
obat (Sengupta, 2013; Fitria, dan Mulyati, 2014). Berat badan tikus dipilih 250-
300 gram karena menggambarkan kondisi kesehatan hewan coba sebelum
diberikan perlakuan serta memudahkan pengambilan sampel organ karena
ukurannya yang cukup besar (Deby, 2015).
Pada dasarnya struktur kulit tikus wistar putih (Rattus novergicus) memiliki
kesamaan yang tidak banyak dengan kulit manusia. Kulit pada tikus cenderung
lebih longgar dimana batas antara lapisan dermis dan epidermis tidak teratur.
Papilla dermis saling mengunci dengan epidermal ridges (tonjolan epidermis).
Kondisi ini membuat kulit tikus lebih tipis dan lebih cepat dalamproses
penyembuhan. Risiko infeksi pada luka pada kulit juga lebih rendah. Proses
epitelisasi lebih cepat karena tikut dapat mengkonversi sendiri L-
gluconogammalactone menjadi vitamin C yang sangat penting dalam sintesis
kolagen (Waber, dkk., 2019). Namun pemilihan tikus ini didasarkan pada
kemiripan genom dalam metabolisme sehingga proses pnyembuhan luka seperti
proses inflamasi, proliferasi, dan remodeling hampir sama dengan kulit manusia.
Kecepatan waktu penyembuhan luka yang dibutuhkan pada tikus ini juga tidak
terlalu lama jika dibanding pada manusia menguntungkan dalam efektifitas dan
efisiensi waktu perlakuan (Sanjar, dkk., 2020).
Pemilihan tikus dengan jenis kelamin jantan supaya hasil data tidak
dipengaruhi oleh hormonal seperti siklus menstruasi dan kehamilan. Selain itu
kadar hormon estrogen juga berpengaruh pada elastisitas dan kolagen dalam kulit
yang berperan penting pada penyembuhan luka. Selain itu, estrogen juga berperan
88

dalam proliferasi, migrasi dan diferensiasi fibroblast yang dimediasi oleh ERα.
Fibroblas sangat berpengaruh dalam sintesis kolagen dan epitelisasi dalam kulit
terutama saat proses penyembuhan luka (Gonzales, dkk., 2016; Hong, dkk.,
2017). Pemilihan tikus dengan usia 2-3 bulan atau 8-10 minggu dengan
pertimbangan tikus sudah mencapai usia dewasa muda dan ukuran dari organ
tikus tidak terlalu kecil sehingga memudahkan peneliti dalam pengambilan organ
saat pembedahan hewan coba (Deby, 2015).
Berdasarkan perhitungan sampel menurut Federrer (dalam Charan, 2013),
jumlah sampel seharusnya digunakan dalam penelitian ini minimal adalah 20 ekor
tikus. Namun untuk menghindarai hilangnya data apabila terdapat kematian
hewan coba, maka dilakukan penambahan 20% dari jumlah tikus. Penambahan ini
menjadikan setiap kelompok perlakuan terdiri dari 6 ekor tikus wistar pada 4
kelompok perlakuan (Charan, dkk., 2013). Tikus ini akan diadaptasi selama 7 hari
dan ditempatkan pada kandang yang telah diberi penutup dan kandang masing-
masing berisi satu ekor tikus (single cage). Hal ini dilakukan agar tidak bias dan
juga stress akibat perkelahian antar tikus sehingga menimbulkan luka satu sama
lain diluar perlukaan sayatan yang dibuat sebagai perlakuan. Pembersihan
kandang juga dilakukan setiap hari agar tidak terjadi infeksi dari kandang yang
kotor (Deby, 2015; Weber, dkk., 2019).
Pemberian adeps lanae dipilih sebagai basis karena mampu mengikat dengan
baik perasan lidah buaya yang berbentuk cair. Adeps lanae juga mampu
meningkatkan absorpsi terhadap zat aktif lebih baik dibanding basis lainnya
(Saifullah, dan Rina, 2008). Selain itu, penggunaan adeps lanae juga ditujukan
untuk menyerap cairan dari dalam luka (Abbas, dkk., 2011). Luas pemberian
olesan perasan lidah buaya (Aloe vera L.) didasarkan pada BSA (Body Surface
Area). Perhitungan BSA dilakukan dengan cara mengambil 10% dari berat badan
hewan coba, kemudian diakarkan (Purnomo, 2019). Rerata hitung BSA yang
digunakan untuk penelitian ini sebesar 5,4 cm².
Pemberian povidone iodine (PVP-I) 10% sebagai kontrol postif karena
penggunaannya sebagai antiseptik yang dapat membunuh bakteri dan spora masih
sering digunakan secara luas. Selain itu, PVP-I ini juga mudah untuk didapatkan
dan harganya yang terjangkau sehingga masih banyak digunakan sebagai
89

penanganan pertama pada penyembuhan luka. Beberapa penelitian juga masih


menyakini keefektifan PVP-I dalam penyembuhan luka dengan mencegah adanya
infeksi (Vermeulen, dkk., 2010; Bigliardi, dkk., 2017). Namun, beberapa
kandungan didalamnya sering menimbulakan iritasi disertai rasa sakit saat kontak
langsung dengan luka karena komponen dan susunan yang berbeda dengan sel
tubuh atau keadaan kulit yang sensitif sehingga muncul ketidaknyamanan pada
pasien (Atik, dan Januarsih, 2009).

6.2 Pengaruh Pemberian Perasan Lidah Buaya (Aloe vera L.)


Dibandingkan dengan Povidone Iodine 10% Terhadap Ketebalan Epitel
Berdasarkan hasil rerata ketebalan epitel pada kelompok perasan lidah buaya
tampak lebih tebal dibandingkan kelompok kontrol positif dengan povidone
iodine 10%, terutama pada dosis 40% dan 80% terbukti efektif dalam
meningkatkan ketebalan epitelial pada luka sayatan tikus wistar jantan. Hal ini
menunjukkan proses regenerasi penyembuhan luka lebih cepat pada kelompok
lidah buaya.
Povidone iodine juga memiliki keuntungan untuk mempercepat proses
reepitalisasi karena dapat memberikan suasana lembab pada luka sayatan,
menginduksi angiogenesis sehingga banyak mediator inflamasi yang membantu
proses proliferasi dan bersifat sebagai antibakterial lokal. Namun, pada penelitian
in vitro terhadap penggunaan povidone iodine 10% pada sel kultur ditemukan
adanya efek yang menghambat pertumbuhan fibroblast, juga pada penggunaan
berlebih dapat menyebabkan iritasi pada kulit terlebih pada kulit yang luka dan
terekspose dengan lingkungan luar (Irfan, 2017). Uji toksisitas povidone iodine
10% yang dilakukan oleh Barlin dan Pratt (2002), menunjukkan bahwa dalam
waktu 15 menit PVP-I mampu untuk membunuh 100% kultur sel fibroblast. Hal
ini didukung oleh penelitian Danarti (2015), bahwa penggunaan konsentrai PVP-
I lebih dari 0,1% bersifat toksik pada sel fibroblast. Penghambatan pertumbuhan
fibroblast akan mempengaruhi fase proliferasi dengan mensisntesis matriks
kolagen yang nantinya akan berlanjut ke proses re-
epitelisasi/remodelling/maturasi (Atik dan Januarsih, 2009; Sumbayak, 2015).
90

Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi yang terdiri


dari pembentukan kapiler (pembuluh darah) yang baru, fibroblas, dan makrofag
pada daerah yang mengalami jejas. Pada fase ini terdapat beberapa rangkaian
proses penyembuhan seperti epitelisasi, fibroplasia, dan rekonstrusksi
(Sumbayak, 2015). Fase ini dimulai sekitar hari ke 3 sampai minggu ke 3 pasca
luka, pada sumber lain menyatakan terjadi pada hari ke 6 sampai dengan hari ke
21. Fase ini juga ditemukan sel radang berupa netrofil dan limfosit namun lebih
sedikit dibandingkan dengan fase inflamasi (Reinke, 2012).
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa lidah
buaya berefek stimulasi reepitelialisasi (Irfan, 2017). Efek ini mungkin
dikarenakan kandungan accemanan dan fraksi glikoprotein G1G1M1DI2 yang
mampu menstimulasi proliferasi keratinosit, meningkatkan multiplikasi
keratinosit, migrasi, dan pembentukan epidermis, yang berlanjut ke
penyembuhan luka. Fraksi ini juga meningkatkan sintesis DNA dan
mengekspresikan reseptor epithelial growth factor (EGF) yang berikatan dengan
ligan kemudian mentransmisikan signal proliferasi. Selain itu, fraksi tersebut
dapat mengaktivasi metabolisme umum dan meningkatkan aktivitas metabolik
yang juga akan meningkatkan ekspresi reseptor EGF. Efek ini dapat
mempercepat reepitelialisasi dengan meningkatnya multiplikasi serta migrasi
keratinosit, dan meningkatkan kecepatan penutupan epidermal pada jaringan luka
(Atik, dan Januarsih, 2009). Kandungan antioksidan pada lidah buaya berperan
sebagai antiinflamasi dan membantu proses penyembuhan luka. Kandungan
anthraquinone seperti aloenin, barbaloin, dan iso-barbaloin bertindak sebagai
antibakteri yang membantu mencegah terjadinya infeksi pada luka sehingga
mempercepat proses penyembuhan luka (Gottrup, 2007). Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa pemberian perasaan lidah buaya pada dosis 20%, 40%, dan
80% terbukti dapat meningkatkan jumlah makrofag sekitar 30-60% jika
dibandingkan dengan pemberian povidone iodine 10% (Ravida, 2019). Aktivasi
makrofag sebagai respon pelepasan chemoattractans dari jaringan yang cedera
dapat membantu proliferasi fibroblast. Makrofag akan melepaskan PDGF
(platelet derived growth factor), EGF, TGF-α yang akan merangsang proliferasi
sel epitel pada penyembuhan luka (Mendonça, dkk., 2009; Hashemi, dkk., 2015)
91

Selain itu, kandungan senyawa polisakarida dapat mempromosikan proliferasi


fibroblas, produksi asam hialuronat dan hidroksiprolin pada fibroblas, yang
memainkan peran penting dalam remodeling matriks ekstraselular selama
penyembuhan luka. Isolat polisakarida dari lidah buaya menginduksi matriks
mellatopeptidase (MMP)-3 dan ekspresi gen metalopeptidase inhibitor-2 yang
berperan penting dalam proses penyembuhan luka (Ananda, dan Ade, 2017).
Pada gambaran secara makroskopis juga terlihat bahwa jaringan bekas luka
yang diobati dengan perasan lidah buaya tampak lebih halus dan baik. Hal ini
karena lidah buaya merangsang produksi sel melalui aktivitas asam amino, yang
menjadi dasar pembentukan sel baru, dan juga karena kemampuan enzimnya
yang mendorong regenerasi pada lapisan kulit terdalam yang menandakan proses
re-epitelisasi berlangsung dengan lebih baik (Ananda, dan Ade, 2017).
Antar dosis pada perasan lidak buaya tidak berbeda secara signifikan. Pada
dosis 20% dimungkinkan karena pada pemberian dosis kecil respon yang didapat
tidak begitu besar, sehingga pemberian perlakuan pada KP dan P1 menghasilkan
efek yang sama (Bara, dkk., 2019; Saifuddin, dkk., 2020). Pada dosis 40% dan
80 % tampak bahwa semakin tinggi dosis memberikan efek peningkatan
ketebalan epitel namun kedua dosis tidak berbeda signifikan. Hasil ini sesuai
dengan teori hubungan dosis-respon, dimana respon tiap individu terhadap dosis
berbeda (Bara, dkk., 2019).

6.3 Pengaruh emberian Perasan Lidah Buaya (Aloe vera L.) Dibanding
Povidone Iodine 10% Terhadap Kepadatan Kolagen
Berdasarkan hasil pengamatan pada kepadatan kolagen pada pada kelompok
povidone iodine 10% dan perasan lidah buaya tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan. Hasil kepadatan kolagen hanya menunjukkan peningkatan yang
minimal pada kelompok perasan lidah buaya, begitu pula dengan peningkatan
dosis. Peningkatan minimal ini terlihat dari matriks kolagen yang tampak (warna
biru) lebih banyak pada kelompok lidah buaya.pada histopatologi gambar 5.5.
Kandungan lidah buaya (Aloe vera L.) yang bermanfaat untuk penyembuhan
luka adalah glukomanan dan giberelin. Zat ini berinteraksi dengan reseptor faktor
pertumbuhan dari fibroblast yang merangsang aktivitas dan proliferasi sehingga
92

meningkatkan sintesis kolagen, meningkatkan sintesis dari asam hyaluronic dan


dermatan sulfate sehingga mempercepat granulasi untuk penyembuhan luka
(Putri, 2014).
.Penelitian Atik, dkk. (2009). menunjukkan jumlah rerata fibroblas pada
kelompok lidah buaya lebih banyak dibandingkan kelompok povidone iodine.
Peningkatan jumlah fibroblas pada kelompok lidah buaya disebabkan oleh
aktivitas komponen manosa-6-fosfat yang merupakan monosakarida terbanyak
(97%) dari zat aktif acemannan (Yuza, dkk., 2014). Komponen ini dapat
berikatan dengan reseptor IGF-2/manosa-6-fosfat reseptor yang terdapat pada
permukaan sel fibroblas. Ikatan ini menstimulasi fibroblas untuk berproliferasi,
berdiferensiasi menjadi myofibroblas, ataupun menginduksi deposisi kolagen
melalui aktivasi TGF-β dan menghasilkan protein matriks lain dalam jumlah
besar. Sintesis kolagen oleh fibroblas dimulai sejak awal proses penyembuhan
luka (hari ke-3 sampai hari ke-5) dan berlanjut selama beberapa minggu,
bergantung pada ukuran lukanya (Ambiyani, 2013; Sahu, 2013).
Kandungan acemanan pada lidah buaya dalam penyembuhan luka berperan
juga sebagai agen aktivasi makrofag. Pada fase inflamasi makrofag memiliki
peran utama dalam regulasi perbaikan jaringan dengan melepaskan sitokin dan
faktor pertumbuhan (PDGF, TGF-a, TGF-ß, EGF, VEGF). Sitokin TGF β1
meningkatkan mitosis sel fibroblas pada kulit manusia, sehingga meningkatkan
pebentukan angiogenesis melalui ekspresi Vaskular Endotelial Growth Factor
(VEGF). Pembentukan pembuluh darah baru akan semakin menarik fibroblas,
keratinosit, dan sel endotel untuk memperbaiki jaringan, mempercepat epitelisasi,
dan menginduksi kolagen (Yuza, dkk., 2014; Hashemi, dkk., 2015). Selain itu,
ikatannya dengan dengan faktor-faktor pertumbuhan akan menstabilkan aktivitas
faktor tersebut dan melindungi dari panas dan degradasi enzim (Atik, dan
Jasnuarsih, 2009; Suhartono dan Nafi’ah, 2018).
Kandungan vitamin E, C dan beberapa asam amino pada lidah buaya
seharusnya mampu meningkatkan produksi kolagen sebagaimana fungsinya
sebagai antioxidant (Hashemi, dkk., 2015). Namun, perbedaan yang tidak
signifikan mungkin juga disebabkan povidone iodine juga memiliki kandungan
fosfolipid yang dapat mengkoordinasi migrasi sel endotel dan otot polos vaskuler
93

sehingga menginduksi angiogenesis. Keadaan ini memicu peningkatan sel


fibroblas sehingga terbentuk matriks-matriks kolagen untuk membantu proses
penyembuhan luka (Atik, dan Januarsih, 2009). Sehingga rerata hasil kepadatan
kolagen antara povidone iodine 10% dan pemberian perasan lidah buaya terutama
dosis rendah atau 20% tidak berbeda jauh.
Selain itu, penelitian Fatma Y, dkk. (2014), menunjukkan bahwa penggunaan
ekstraksi liadah buaya pada dosis 90% menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam kepadatan kolagen terhadap kontrol pada hari ke-7 dan akan menurun pada
hari ke 14. Hal ini disebabkan fibroblast yang berperan penting dalam sintesi
serabut kolagen mulai menginvasi area cidera pada fase proliferasi, tepatnya hari
ke 3 sampai ke 7 (Yuza, dkk., 2014).
Penelitian Danarti (2015) menunjukkan bahwa pembentukan sel fibroblas
muncul pada 24-32 jam pertama dan akan berkurang pada 96 jam berikutnya, hal
ini menunjang bahwa fibroblas telah menghasilkan matrik kolagen pada waktu
tersebut dan akan berlanjut ke proses epitelisasi, sehingga kadarnya akan
berkurang seiring waktu. Pembuatan preparat luka sayatan dilakukan pada hari ke-
7 sehingga kemungkinan dominan yang akan terlihat dalam histologi adalah
proses re-epitelisasi dan ini terbukti pada ketebalan epitel tikus dengan perasan
lidah buaya dosis 40% 80% daripada kadar kolagen. Bedasarkan penelitian ini
kemungkinan dosis yang digunakan juga belum dapat menunjukkan hasil yang
maksimal, sehingga tidak berbeda signifikan dengan pemberian povidone iodine
10%.

Anda mungkin juga menyukai